SKETSA PEMIKIRAN EMPAT MADZHAB FIQH SUNNI:
Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali
Oleh: Maftuh, S.Pd.I., M.S.I
A. Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah fiqh, telah muncul berbagai aliran dalam fiqh baik itu yang bersifat keagamaan ataupun yang bertendensi politik. Begitu pula dalam pola pikir yang dibangun oleh fuqaha juga berbeda, masing-masing aliran memiliki kelebihan dan kekurangan. Perbedaan ini terletak pada cara pandang dan analisis nash (teks). Perbedaan cara pandang dan metode penetapan hukum tersebut, akhirnya melahirkan aliran-aliran tertentu, yang kemudian dikenal dengan aliran Ahlul Hadis dan Ahlur Ra’yi, atau ada yang menyebut dengan istilah aliran tradisionalisme dan rasionalisme.
Berkembangnya kedua aliran ijtihad tersebut pada akhirnya melahirkan madzhab-madzhab dalam fiqh yang memiliki corak metodologi dan produk hukum Islam atau fiqh tersendiri, serta masing-masing juga telah memiliki pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Dalam sejarahnya, dikenal beberapa madzhab yang secara umum dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yakni madzhab Sunni dan madzhab Syi’i.
Dalam madzhab Sunni sendiri dikenal berbagai madzhab, antara lain: madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Auza’i, Laitsi, Tsauri dan Dhahiri. Sedangkan madzhab atau aliran Syi’i antara lain: Aliran Itsna Asy’ariyah, Zaidiyah, Ismailiyah, Kisaniyah, Fathaniyah, Waqiyah dan Nawusiyah.
Dalam tulisan ini akan coba dibahas mengenai empat mazdhab fiqh Sunni, yakni: madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali, yang keberadaannya masih eksis sampai saat ini. Aspek-aspek yang dibahas yaitu mengenai asal-usul pertumbuhannya dan dasar-dasar pemikiran ijtihadi dari masing-masing madzhab tersebut.
B. Empat Mazdhab Fiqh Sunni: Asal-usul dan Pemikirannya
1. Madzhab Hanafi
a. Asal-usul Madzhab Hanafi
Nama madzhab ini diambil dari ulama yang bernama an-Nu’man bin Tsabit (80-150 H), yang lebih dikenal dengan julukan atau gelar Imam Abu Hanifah.
Ada beberapa riwayat tentang asal usul beliau mendapat julukan atau gelar tersebut. Ada yang menyebutkan bahwa nama itu disebabkan karena salah satu anaknya bernama Abu Hanifah. Ada lagi yang meriwayatkan karena beliau begitu dekat dan eratnya berteman dengan tinta untuk menulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya, maka beliau dijuluki dengan Abu Hanifah karena hanifah dalam bahasa Irak berarti “tinta”. Sementara riwayat yang lain menyatakan bahwa gelar tersebut diberikan oleh masyarakat karena ketaatan dan ketekunannya dalam beribadah kepada Allah, gelar ini diambil dari bahasa Arab hanif yang berarti yang berpegang teguh pada ajaran yang benar.
Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah, Irak pada tahun 80 Hijriyah. Ayah beliau, Tsabit, adalah pedagang sutera dari Persia yang juga diwarisi oleh Abu Hanifah. Sebagai pedagang sutera beliau dikenal sebagai orang yang selalu benar, jujur serta amanah dalam berdagang. Kendati demikian, Abu Hanifah tetap mempunyai kecenderungan yang tinggi dalam memperdalam ilmu-ilmu agama. Beliau terkenal sebagai orang yang sangat cerdas, kecerdasan beliau dapat diketahui dari pengakuan para tokoh dan ulama semasanya.
Dalam belajar fiqh, beliau belajar kepada Hammad bin Abi Sulaiman yang merupakan salah satu ulama besar pada saat itu. Beliau menimba ilmu dari gurunya tersebut selama kurang lebih 18 tahun, hingga gurunya tersebut meninggal pada tahun 120 H. Beliau juga berguru kepada ‘Atha bin Abi Rabah, Hisyam bin Urwah, Nafi’ Maula bin Umar.
Menurut A. Rahman I. Doi, Abu Hanifah ini adalah salah seorang tabi’in sebab sempat menyaksikan zaman pada saat sahabat-sahabat nabi masih hidup. Beberapa sahabat tersebut adalah Anas bin Malik (w. 93 H), Sahal bin Sa’ad (w. 91 H), Abu Thubail Amir bin Wathilah (w. 100 H) dan Abdullah bin Abi Aufah. Bahkan Abu Hanifah pernah berjumpa dengan Anas bin Malik dan meriwayatkan hadis: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”.
Abu hanifah menjadi ulama terkenal serta sangat disegani dan banyak orang menuntut ilmu darinya. Di saat Khalifah Abi Ja’far al-Mansur membangun kota Baghdad, Abu Hanifah diminta oleh oleh khalifah untuk menjadi qadhi (hakim). Namun permintaan itu ditolaknya sehingga beliau disiksa dan dipenjara. Imam besar ini akhirnya meninggal dunia di penjara. Dan menurut salah satu riwayat, beliau meninggal karena diracun oleh khalifah karena banyak orang yang berkunjung ke penjara untuk menimba ilmu dariya. Beliau meninggal pada bulan Rajab tahun 150 H.
b. Dasar-dasar Fiqh Madzhab Hanafi
Seperti diakui Muhammad Abu Zahra, sebagaimana dikutip Mun’im A. Sirry, kesulitan yang terbesar dalam mengkaji pemikiran Abu Hanifah terletak pada tidak adanya buku-buku yang secara substansial memuat pemikiran dan metodologi madzhab Hanafi. Yang ada saat ini adalah berupa periwayatan dari murid-muridnya, seperti yang ditulis Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan al-Syaibani.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahli Ra’yi. Meskipun Abu Hanifah pernah bermukim di Mekkah dan mempelajari hadis-hadis nabi, serta ilmu-ilmu lain dari para tokoh yang beliau jumpai, akan tetapi pengalaman yang beliau peroleh dari luar kufah digunakan untuk memperkaya koleksi hadis-hadisnya, sementara metodologi kajian fiqhnya mencerminkan aliran Ahli Ra’yi yang beliau pelajari dari Imam Hammad, dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber pertama dan kedua.
Apabila beliau tidak menemukan ketentuan yang tegas tentang hukum persoalan yang dikajinya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka beliau mempelajarinya dari perkataan sahabat baik dalam bentuk ijma’ maupun fatwa. Kalau ketiganya tidak menyatakan secara eksplisit tentang persoalan-persoalan tersebut, maka beliau mengkajinya melalui qiyas dan istihsan, atau melihat tradisi-tradisi yang berkembang dalam masyarakat yang ditaati secara bersama-sama.
Imam Abu Hanifah pernah berkata: “Aku mengambil hukum berdasarkan al-Qur’an, apabila tidak saya jumpai dalam al-Qur’an, maka aku gunakan as-Sunnah dan jika tidak ada dalam kedua-duanya (al-Qur’an dan as-Sunnah), maka aku dasarkan pada pendapat para sahabat dan aku tinggalkan apa saja yang tidak kusukai dan tetap berpegang kepada pendapat satu saja.” Beliau juga berkata: “Aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad dan berpegang kepada kebenaran yang didapat seperti mereka juga.”
Untuk lebih jelasnya, dasar-dasar yang digunakan oleh madzhab Hanafi dalam menetapkan suatu hukum berdasarkan urutannya, yaitu:
1) Al-Qur’an
2) As-Sunnah
Kualifikasi as-Sunnah ini harus shahih, mutawatir dan juga dikenal secara luas (masyhur). Madzhab Hanafi menolak menggunakan hadis uang diriwayatkan oleh satu orang saja yang disebut hadis ahad.
3) Perkataan sahabat
4) Al-Qiyas
5) Al-Istihsan
Yaitu berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat.
6) Al-‘Urf
Yaitu tradisi masyarakat baik berupa perkataan maupun perbuatan. Atau dengan perkataan lain adalah adat kebiasaan. Tentu saja ‘urf ini harus sejalan dengan semangat syari’ah, sedangkan ‘urf yang bertentangan dengan jelas ditolak oleh madzhab Hanafi.
Sebenarnya, menurut Mun’im A. Sirry, yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan para imam yang lain adalah terletak pada kegemarannya menyelami semua hukum, mencari tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disyari’atkannya suatu hukum. Perbedaan lebih tajam lagi, lanjut Mun’im, adalah bahwa Abu Hanifah banyak mempergunakan teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penerimaan hadis ahad. Tidak seperti para imam yang lain, Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash dan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangkan ‘illat, hikmah, tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang dipahami.
Contoh produk fiqh Abu Hanifah sebagai imam ahli fikir (Ahlir Ra’yi), yaitu: “Seseorang ketika di malam yang gelap atau di saat-saat yang sulit hendak menentukan arah kiblat, maka hukum shalatnya adalah sah, meskipun didapati ternyata dia tidak menghadap kiblat, tetapi dengan syarat dia sudah berusaha mencari arah kiblat.”
Madzhab Hanafi ini hingga saat ini berkembang di sebagian besar penduduk Irak, Mesir, Turki, Syiria, Syam hingga orang-orang muslim India, Pakistan, Afghanistan dan orang-orang muslin Cina.
2. Madzhab Maliki
a. Asal-usul Madzhab Maliki
Nama madzhab Maliki dinisbatkan dari seorang ulama yang bernama Imam Malik bin Anas (93-179 H). Beliau lahir di Madinah dan menjadi ahli fiqh yang terkenal di Madinah. Diriwayatkan bahwa beliau tidak pernah meninggalkan kota ini kecuali pada waktu melaksanakan ibadah haji. Mengenai tahun kelahirannya terdapat beberapa perbedaan. Ibnu Khaliqan mencatat bahwa tahun lahirnya adalah 75 H, sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa dia lahir 94 H.
Masa muda Malik disibukkan dengan menuntut ilmu. Mula-mula ia menghafal as-Sunnah, atsar dan fatwa-fatwa sahabat. Malik bin Anas mulai belajar dan menghafal al-Qur’an dan pada usia yang sangat muda telah hafal seluruh al-Qur’an. Setelah itu beliau mulai belajar dan menghafal hadis. Guru beliau dalam hadis antara lain: Ibnu Syihab az-Zuhri, Ibnu Hurmuz, dan Nafi’. Sementara guru beliau dalam bidang fiqh adalah Rabi’ah dan Yahya bin Sa’id al-Anshari.
Situasi ketika Malik hidup juga memberikan pengaruh besar terhadap sikap konsistensinya pada hadis dan keengganannya pada ijtihad rasio. Selama 40 tahun ia hidup dalam periode Umayyah dan 46 tahun dalam periode Abbasiyah. Masa-masa ini merupakan orde penuh gejolak dan sarat gelombang fitnah dan politik. Dalam lapangan politik, misalnya, munculnya aliran Syi’ah dan Khawarij. Dalam teologi muncul aliran Qadariyah, Jahmiyah dan Murji’ah. Dalam upaya membela madzhab-madzhabnya, kadang-kadang mereka menggunakan hadis-hadis nabi secara serampangan. Akibatnya timbul hadis-hadis palsu dan pertentangan di kalangan masyarakat.
Akibat dari kecerobohan-kecerobohan terhadap hadis-hadis Nabi itu, Imam Malik merasa perlu untuk meneliti riwayat-riwayat hadis. Dari sinilah lahir bukunya yang monumental, ¬al-Muwattha’, yang memuat hadis-hadis shahih, perbuatan-perbuatan orang-orang Madinah, fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in yang disusun secara sistematis mengikuti sistematika penulisan fiqh. Keistimewaan buku ini adalah bahwa Imam Malik memerinci berbagai persoalan dan kaidah-kaidah fiqhiyah yang diambil dari hadis-hadis dan atsar. Buku yang berjudul al-Muwattha’ dan disusun selama 40 tahun ini bermakna “kemudahan” dan “kesederhanaan”, karena penulisannya yang diusahakan sebaik mungkin untuk memudahkan dan menyederhanakan kajian-kajian hadis dan fiqh.
b. Dasar-dasar Madzhab Maliki
Imam Malik sendiri sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka madzhab ini, murid-murid Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah itu menyimpulkan dasar-dasar fiqhiyah Malik kemudian menuliskannya. Dalam Muwattha’, Malik secara jelas menerangkan bahwa dia mengambil “tradisi orang-orang Madinah” sebagai salah satu sumber hukum setelah al-Qur’an dan as-Sunnah. Ia juga mengambil hadis munqathi’ dan mursal sepanjang tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah itu.
Secara lebih jelas dasar-dasar yang digunakan oleh madzhab Maliki adalah sebagai berikut:
1) Al-Qur’an
2) As-Sunnah
Berbeda dengan Abu Hanifah yang mensyaratkan dengan kualifikasi tertentu, Imam Malik meski mengutamakan hadis mutawatir dan masyhur, juga menerima hadis ahad asalkan tidak bertentangan dengan amal (praktik) ahli Madinah.
3) Amal ahli Madinah (praktik masyarakat Madinah)
Imam Malik berpendapat bahwa Madinah merupakan tempat Rasulullah menghabiskan 10 tahun terakhir hidupnya, maka praktik yang dilakukan oleh masyarakat Madinah mesti diperbolehkan, atau bahkan dianjurkan oleh Nabi Saw. Oleh karena itu, Imam Malik beranggapan bahwa praktik masyarakat Madinah merupakan bentuk as-Sunnah yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan.
4) Fatwa Sahabat
5) Qiyas
6) Al-Mashlahah Mursalah
Yakni menetapkan hukum atas berbagai persoalan yang tidak ada petunjuk nyata dalam nash, dengan pertimbangan kemaslahatan, yang proses analisisnya lebih banyak ditentukan oleh nalar mujtahidnya.
7) Al-Istihsan
8) Adz-Dzari’ah
Yakni Imam Malik menetapkan hukum dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul dari suatu perbuatan. Jika perbuatan itu akan menimbulkan mafsadah meski hukum asalnya boleh, maka hukum perbuatan tadi adalah haram. Sebaliknya, jika akan menimbulkan maslahah, maka hukum perbuatan tadi tetap boleh atau bahkan dianjurkan atau meningkat menjadi wajib.
Penganut madzhab Maliki ini sampai sekarang banyak pengikutnya dan mereka tersebar di negara-negara, antara lain: Mesir, Sudan, Kuwait, Bahrain, Maroko dan Afrika.
3. Madzhab Syafi’i
a. Asal-usul Madzhab Syafi’i
Sebagaimana nama madzhab-madzhab sebelumnya, nama madzhab ini juga diambil dari nama imam yang menjadi tokoh utama yang pemikirannya banyak diikuti oleh pengikut madzhab ini. Beliau adalah Imam Abdullah bin Muhammad bin Idris asy-Syafi’i yang lahir bertepatan dengan wafatnya Abu Hanifah yaitu 150 Hijriyah di daerah yang bernama Ghazzah, salah satu kota di daerah Palestina, dan wafat di Mesir tahun 204 H (822). Ayah beliau meninggal ketika masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa ibunya ke Mekkah.
Dalam usia anak-anak, sekitar 9 tahun, ia sudah hafal al-Qur’an di luar kepala. Ia juga menghafal hadis-hadis Nabi. Syafi’i juga tekun belajar bahasa Arab, bahkan karena minatnya yang demikian tinggi ini membawanya selalu berkelana ke pelosok-pelosok pedesaan (badawah). Dari sana Imam Syafi’i menguasai sastera Arab untuk memahami teks al-Qur’an dan hadis dengan baik.
Dalam bidang hadis, di Mekkah ia berguru kepada Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid. Ia menghafal ¬al-Muwattha’ sebelum bertemu penulisnya, Imam Malik. Konon ia menghafalnya hanya dalam waktu 9 hari.
Pada diri asy-Syafi’i terkumpul pemikiran fiqh fuqaha Mekkah, Madinah, Irak, Syam dan Mesir. Ar-Razi – seperti dikutip Mun’im – mengatakan bahwa hampir semua ulama terkemuka yang hidup di zamannya pernah menjadi gurunya atau, paling tidak, pernah mendiskusikan berbagai persoalan dengannya.
Kehidupan ilmiahnya bersama Imam Malik selama 3 tahun di Hijaz, dengan tatanan kehidupan sosial yang sederhana membuat Imam sy-Syafi’i cenderung pada aliran hadis, bahkan mengaku sebagai pengikut madzhab Maliki. Tetapi sesudah ia mengembara ke Baghdad, Irak, dan menetap di sana untuk beberapa tahun lamanya serta mempelajari fiqh Abu Hanifah dan pemikiran rasional Ahlur Ra’yu, maka mulailah ia condong pada aliran Ahlur Ra’yu. Apalagi setelah ia rasakan sendiri tingkat kebudyaan di Irak sebagai daerah perkotaan menyebabkan aneka ragam masalah kehidupan berikut problematikanya yang seringkali tidak ditemukan ketentuan jawabannya dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua kondisi yang berbeda ini dapat diikuti dengan cermat sehingga melahirkan suatu sintesa pemikiran fiqh moderat antara Ahlul Hadis dan fiqh Ahlur Ra’yi. Imam Syafi’i dalam beberapa hal berbeda pendapat dengan Imam Malik dan juga melakukan koreksi terhadap pengikut-pengikut madzhab Hanafi. Dari kritik-kritik kedua madzhab itu akhirnya muncul dengan madzhab baru yang merupakan sintesa dari kedua madzhab tersebut.
Kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat memengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk pemikiran dan madzhab fiqhnya. Munculnya apa yang disebut qaul jadid dan qaul qadim membuktikan hal tersebut. Madzhab qaul qadim dibangun di Irak tahun 195 H. Kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah al-Amin itu melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqh rasional. Sedangkan qaul jadid adalah pendapatnya selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya. Lahirnya madzhab jadid ini merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialaminya, dari penemuan hadis, pandangan dan kondisi sosial baru yang tidak ditemui sebelumnya di Hijaz dan Irak.
b. Dasar-dasar Madzhab Asy-Syafi’i
Posisi tengah Imam Syafi’i terlihat dalam dasar-dasar madzhabnya. Sebagaimana madzhab-madzhab lainnya, Imam Asy-Syafi’i menempatkan al-Qur’an dalam sumber yang pertama dan utama. Namun baginya, as-Sunnah juga menempati satu tingkat yang sama dengan al-Qur’an, dan bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Menurutnya, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari al-Qur’an, memerinci yang global, mengkhususkan yang umum, dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada dalam al-Qur’an. Karenanya, Sunnah Nabi Saw. tidak berdiri sendiri, tetapi punya keterkaitan erat dengan al-Qur’an.
Imam asy-Syafi’i di samping tetap teguh berpegang pada al-Qur’an dan as-Sunnah, juga pada saat yang sama memandang penting penggunaan rasio dan ijtihad.
Secara ringkas, dasar-dasar madzhab Syafi’i dalam menentukan hukum adalah sebagai berikut:
1) Al-Qur’an
2) As-Sunnah
3) Ijma’
Imam Syafi’i berpandangan bahwa kemungkinan ijma’ berarti persamaan faham atau kesepakatan seluruh ulama atas suatu persoalan pada satu masa merupakan hal yang sulit terjadi, karena jauhnya jarak dan sulitnya komunikasi di antara para ulama tersebut. Namun demikian, ia tetap mengakui adanya ijma’ dan memeganginya sebagai dalil dan mungkin terjadi adalah ijma’ sahabat dalam persoalan-persoalan tertentu.
4) Perkataan Sahabat
5) Al-Qiyas
6) As-Istihab
Yaitu membiarkan suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuannya hingga ada dalil lain yang menggantikannya. Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm menyatakan: “Apabila seseorang melakukan suatu perjalanan dan ia membawa air, kemudian ia menduga bahwa air tersebut tercampuri najis, tetapi ia tidak yakin akab terjadinya percampuran tersebut, maka dalam hal ini air tersebut tetap dihukumi suci, bisa dibuat wudhu’ maupun diminum, hingga orang tersebut yakin benar bahwa air itu telah tercampuri najis.”
Pengikut-pengikut madzhab Syaf’I ini di antaranya di daerah-daerah seperti Mesir, Afrika Timur, Persia dan Malaysia, Indonesia, Khurasan, Syiria, Armenia, Ceylon, Tiongkok dan Filipina Selatan.
4. Madzhab Hanbali
a. Asal-usul Madzhab Hanbali
Nama ulama yang dijadikan sebagai nama madzhab ini adalah Imam Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal. Beliau lahir pada tanggal 20 bulan Rabi’ul Awwal tahun 146 H di Baghad dan juga wafat di tempat kelahirannya itu pada tahun 231 H. Imam Ahmad menjadi yatim sejak kecil sehingga tidak sempat mengenal ayahnya dengan baik.
Ahmad bin Hanbal telah hafal al-Qur’an pada usia relatif masih muda. Kemudian ia tekun belajar ilmu hadis, bahasa dan masalah-masalah administrasi. Ia banyak menimba ilmu dari sejumlah ulama dan fuqaha besar antara lain Abu Yusuf, seorang hakim dan murid Abu Hanifah. Dari Abu Yusuf ini ia mengenal pelajaran ahli fiqh Ahlur Ra’yi.
Setelah beberapa lama mempelajari fiqh Ahlur Ra’yi, ia beralih pada kajian-kajian Sunnah yang dipelajarinya dari Hisyam bin Basyir bin Abi Khazim al-Wasithi (w. 183 H), seorang tokoh ahli hadis di Baghdad. Selama empat tahun dari gurunya ini ia memperoleh pengetahuan hadis yang sangat luas dan menulis sekitar 300.000 hadis. Di masjid al-Haram dan kemudian di Baghdad, ia berguru pada Imam Syafi’i dalam bidang perumusan dan teknik pengambilan hukum.
Karya Imam Ahmad yang terkenal adalah al-Musnad yang menghimpun 40.000 buah hadis dari hasil seleksinya terhadap 700.000 hadis. Karyanya ini membuatnya dikenal sebagai ahli hadis. Namun demikian ia juga telah melahirkan fatwa-fatwa fiqh dan mempunyai teori-teori kajian fiqh tersendiri, serta memiliki para pengikut yang turut menyosialisasikan fatwa-fatwa maupun teori-teorinya tersebut, hingga terbentuklah madzhab Hanbali.
b. Dasar-dasar Madzhab Hanbali
Dalam memberikan fatwa tentang urusan dan hukum agama, Imam Ahmad tergolong orang yang sangat hati-hati. Diriwayatkan beliau tidak akan memberikan jawaban dengan terburu-buru atas persoalan yang dilontarkan padanya sebelum tahu dan faham dengan benar persoalan tersebut.
Dalam proses kajian hukumnya, Imam Ahmad menetapkan dan menggunakan dasar-dasarnya sebagai berikut:
1) Al-Qur’an
2) As-Sunnah
3) Perkataan Sahabat
4) Hadis Mursal
Yaitu hadis yang terputus sanadnya di tingkat sahabat atau tabi’in.
5) Al-Qiyas
Imam Ahmad memiliki banyak murid, di antara mereka adalah: Imam al-Bukhari dan Imam Muslim (pengumpul hadis yang terkenal), Yahya bin Adam, Abu Daud, ar-Razi. Sementara para pengikut madzhab Hanbali yang terkenal adalah: Abu al-Wafa’ ibnu Aqil, Taqiyuddin ibnu Taimiyyah dan Muhammad ibnu al-Qayyim.
Adapun para pengikutnya madzhab Hanbali ini telah tersebar ke beberapa daerah seperti: Irak, Mesir, Suriah, Palestina dan Arab Saudi. Bahkan Arab Saudi menjadikannya sebagai madzhab resmi negaranya.
C. Penutup
Demikianlah uraian singkat mengenai sejarah asal-usul madzhab Sunni yang masih tetap berkembang sampai hari ini. Terlihat bahwa, keempat madzhab Sunni itu memiliki titik-titik tekanan yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Madzhab Hanbali misalnya, dari sikapnya bahwa qiyas ditempatkan di nomor terbelakang dan sifatnya darurat, dapat dipahami apabila Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya dikenal sebagai pemikir yang literalis. Kemudian Imam Syafi’i, kendati sebagai tokoh yang banyak memberi gambaran bagaimana berpikir dengan qiyas, tetapi tampaknya masih digolongkan lebih berhati-hati, dekat kepada literalis. Sedangkan Imam Malik, dengan teori maslahah mursalahnya kelihatan mempunyai pemikiran yang lebih bebas dari dua ulama besar yang disebut tadi. Sementara Imam Hanafi agaknya yang penggunaan porsi akalnya paling menonjol di antara mereka, dan kemudian para ulama sepakat menggolongkannya sebagai pemuka Ahlur Ra’yi. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Jilid I, Cet.V, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
_______, T.M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Cet.II, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
Asy-Syafi’i, Al-Imam Abi Abdillah Muhammad al-Umm, I., ttp.: Dar asy-Sya’bi, 1321 H.
Asy-Syurbasi, Ahmad, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Penerj. Sabil Huda dan H.A. Ahmadi, Cet.IV, ttp.: Amzah, 2004.
Doi, A. Rahman I., Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syari’ah), Penerj. Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Cet.II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Cet.IV, Jakarta: PT Rajawali Press, 2002.
Ibrahim, Muslim, Pengantar Fiqh Muqaaran, Cet.II, Jakarta: Erlangga, 1991.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jil. II, Cet.V, Jakarta: UI Press, 1985.
Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Cet. IV, Jakarta: PT Rajawali Press, 1996.
Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqh Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya; Risalah Gusti, 1995.
Yusuf, Muhammad dkk., Fiqh dan Ushul Fiqh, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.
Zuhri, Muh., Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Cet. II, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997. Silahkan baca selanjutnya.....