Saturday, June 14, 2008

Teknologi Pendidikan Islam

Dalam paradigma pembangunan disebutkan bahwa kehidupan masa depan efisiensi dan efektifitas ditentukan oleh penggunaan teknologi. Begitu juga dalam proses pendidikan dan pembelajaran, dan bahkan juga pendidikan keagamaan harus dapat menyerap dan diwarnai oleh kemajuan teknologi. Kehidupan masyarakat, proses pendidikan dan pembelajaran, kehidupan dan pendidikan keagamaan akan menjadi kurang efisien jika tidak mau memanfaatkan teknologi.
Namun demikian, dalam paradigma pemikiran yang manusiawi dan Islami, kita justru harus memiliki kewaspadaan dan kehati-hatian dalam menghadapi kecenderungan yang menghancurkan dari perkembangan teknologi dan pengetahuan bagi pertumbuhan kehidupan yang sehat.
Teknologi dan pengetahuan sebagai produk budaya manusia memang dapat menjadi alat yang efektif untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Tetapi teknologi sebagai alat dalam kehidupan yang modern ini semakin berubah posisinya menjadi tujuan dari kehidupan manusia. Manusia berlomba-lomba menciptakan teknologi dan ironinya untuk menggeser posisi dan peranan manusia dan kerapkali untuk menghancurkan manusia dan martabatnya.
Persoalannya adalah apakah tujuan pendidikan yang bersifat menghasilkan kualitas manusia yang memiliki derajat kemanusiaan itu dapat dilakukan oleh teknologi (mesin dan media elektronik.). Diterimanya mesin dan media elektronik yang dipandang dapat menggantikan posisi guru untuk menghasilkan manusia (peserta didik) yang memiliki derajat kemanusiaan yang tinggi, agaknya masih perlu dipertanyakan.


Baca selanjutnya...
Banyak pemikiran sederhana muncul, bahwa jumlah guru dapat dikurangi, peranan guru dapat diganti oleh media pengajaran yang bekerja secara otomatis dan lebih efisien, dan dapat menjangkau siswa lebih banyak yang tidak terbatas dalam satu ruang kelas saja. Dalam konteks ini, kita dapat mempertanyakan apakah tujuan pendidikan untuk menolong siswa yang berbeda-beda karakter, kemampuan dan gayanya dalam meningkatkan kualitas dirinya dapat dicapai dengan menggunakan satu alat media pendidikan yang sama. Dalam pendidikan terdapat diversitas siswa dengan diversitas motivasi, diversitas minat, kebutuhan dan perhatian, dan mesin atau satu media teknologi tidak dapat melayani dan mengembangkan perbedaan-perbedaan di antara murid. Mesin tidak dapat merubah strategi mengajar jika terdapat siswa yang tidak tertarik dengan proses pembelajaran yang dilakukan secara otomatis oleh media pengajaran dengan tanpa guru.
Tulisan ini akan membahas mengenai teknologi pendidikan dalam aplikasinya dalam pendidikan Islam. Namun sebelumnya akan dibahas terlebih dahulu tentang pengertian teknologi. Kemudian dijelaskan mengenai pengertian teknologi pendidikan. Pada bagian selanjutnya akan juga dikemukakan arti pentingnya teknologi pendidikan. Dan pada bagian akhir, akan dijelaskan mengenai kelebihan dan kelemahan pendekatan teknologik dalam pendidikan Islam.

B. Definisi Teknologi
Secara etimologi, istilah “teknologi” dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Inggris, yaitu “technology”. Menurut leksikon, technology berarti: 1) Scientific study and use of mechanical arts and applied sciences, eg. Engineering, 2) application of this to practical task industry, etc.
Dari definsi leksikon, dapat diambil beberapa pemahaman. Pertama, teknologi adalah scientific study yang berarti kajian, telaah, penelitian yang sistematis, ilmiah. Dengan kata lain, teknologi adalah “ilmu” dalam pengertiannya yang sangat luas. Kedua, teknologi adalah “mechanical art”; alat-alat bermesin. Ketiga, teknologi berarti “applied science”; ilmu-ilmu terapan atau ilmu-ilmu praktis. Keempat, teknologi berarti “application of this to practical task”; aplikasi dari ilmu, dan alat-alat untuk kepentingan atau pekerjaan harian. Dengan demikian, teknologi bukanlah alat-alat bermesin. Lebih dari itu, teknologi adalah ilmu dan bagaimana alat-alat serta ilmu tersebut diaplikasikan.
Pengertian leksikal tersebut tidak jauh berbeda dengan pemaknaan teknologi yang dikemukakan Armahedi Mahzar. Armahedi Mahzar menjelaskan bahwa teknologi itu benda abstrak seperti yang terbayang pada namanya. Seperti logi-logi lainnya ia adalah sejenis ilmu. Tepatnya, teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan manusia.
Senada dengan definisi di atas, Achmad Baiquni menjelaskan bahwa tenologi mempunyai pengertian “himpunan ilmu tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang produktif-ekonomis.”
Dengan demikian, teknologi adalah penerapan dari ilmu atau pengetahuan lain yang terorganisir ke dalam tugas-tugas praktis, dan mengisyaratkan hal-hal penting. Pertama, teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains. Kedua, teknologi bersumber atau bertalian erat dengan alam semesta. Ketiga, tujuan penciptaan dan penerapan teknologi adalah untuk kenyamanan manusia. Jadi, teknologi tidak dipisahkan dari alam dan dari manusia. Teknologi diciptakan untuk “melayani” dan memudahkan hidup manusia. Karena itu, teknologi tidak pernah netral dan terus berkembang.

C. Pengertian Teknologi Pendidikan
Berbagai pandangan diberikan ahli dalam memahami persoalan pengertian teknologi pendidikan. Di antara pendapat-pendapat tersebut yaitu:
Pertama, teknologi pendidikan diartikan sebagai sekedar hardware yang dapat menunjang kegiatan dalam sistem pembelajaran. Hardware sendiri adalah komponen-komponen media teknologi yang dapat digunakan sebagai sarana yang menunjang kemajuan sebuah sistem pengajaran. Media-media tersebut, dapat berupa televisi, radio, internet, komputer, dan bermacam media lainnya.
Kedua, teknologi diartikan sebagai keseluruhan komponen yang ada dalam sebuah sistem pendidikan, baik peralatan-peralatan media teknologi maupun teknik-teknik pengembangan yang selalu progres menuju sebuah proses pelajaran yang dinamis sesuai dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai.
Sesuai dengan apa yang dinyatakan S. Nasution, teknologi pendidikan adalah perpaduan software dan hardware sistem pendidikan, dengan melihat bahwa mengajar dan belajar adalah masalah yang harus dapat diselesaikan dan dihadapi secara rasional dan alamiah. Sejalan dengan pengertian kedua, teknologi pendidikan melihat bahwa komponen-komponen physically di dalamnya hanyalah sebuah alat peraga yang dapat bermanfaat saat itu dikaitkan dengan sistem pendidikan atau program pendidikan. Atau dengan kata lain, komponen-komponen fisik (hardware) itu baru nampak perannya bila diterapkan sesuai dengan program-program dalam sebuah sistem pendidikan (software). Briggs sendiri menyatakan bahwa media pendidikan adalah alat fisik yang dapat menyajikan pesan-pesan serta merangsang siswa untuk belajar.
Sedangkan AECT (2004) mendefinisikan teknologi pendidikan: “Educational technology is the study and ethical practice of facilitating learning and improving performance by creating, using, and managing appropriate technological processes and resources.” (Teknologi pendidikan adalah studi dan praktek etis dalam upaya memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja dengan cara menciptakan, menggunakan/memanfaatkan, dan mengelola proses dan sumber-sumber teknologi yang tepat).
Muhaimin bependapat bahwa teknologi pendidikan adalah sama dengan teknologi pembelajaran. Menurutnya teknologi pembelajaran adalah “suatu proses yang kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan dan organisasi, untuk menganalisis masalah, mencari cara pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan masalah-masalah dalam situasi di mana kegiatan belajar itu mempunyai tujuan dan terkontrol.”
Dari pengertian yang diberikan oleh Muhaimin tersebut dapat dipahami bahwa teknologi pendidikan adalah sebagai proses, bukan semata sebagai alat atau media, yang berarti memperkuat konsep yang berasal dari teori komunikasi. Proses tersebut bersifat kompleks dan terpadu, sehingga teknologi pendidikan selalu menggunakan pendekatan sistem, yakni melihat pendidikan sebagai suatu proses kegiatan yang terdiri atas unsur-unsur yang terpadu dan saling berinteraksi secara fungsional. Dalam memecahkan masalah belajar, perhatiannya akan tertuju pada komponen sistem pembelajaran, yang meliputi pesan, orang, bahan, alat, teknik dan lingkungan, yang sengaja dirancang, dipilih dan digunakan secara terpadu.
Dengan demikian, sebagai suatu produk teknologi pendidikan mudah dipahami karena sifatnya lebih konkrit seperti radio, televisi, proyektor, OHP dan sebagainya. sedangkan sebagai sebuah proses teknologi pendidikan bersifat abstrak. Dalam hal ini teknologi pendidikan bisa dipahami sebagai sesuatu proses yang kompleks, dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari jalan untuk mengatasi permasalahan, melaksanakan, menilai, dan mengelola pemecahan masalah tersebut yang mencakup semua aspek belajar manusia. Sejalan dengan hal tersebut, maka lahirnya teknologi pendidikan yaitu dari adanya permasalahan dalam pendidikan. Permasalahan pendidikan yang mencuat saat ini, meliputi pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, peningkatan mutu/kualitas, relevansi, dan efisiensi pendidikan. Permasalahan serius yang masih dirasakan oleh pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi adalah masalah kualitas, tentu saja ini dapat di pecahkan melalui pendekatan teknologi pendidikan.
Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Teknologi pembelajaran/teknologi pendidikan adalah suatu disiplin/bidang ilmu pengertahuan (field of study)
2. Istilah teknologi pembelajaran dipakai bergantian dengan istilah teknologi pendidikan
3. Tujuan utama teknologi pembelajaran adalah (a) untuk memecahkan masalah belajar atau memfasilitasi pembelajaran; dan (b) untuk meningkatkan kinerja;
4. Dalam mewujudkan tersebut menggunakan pendekatan sistem (pendekatan yag holistik/komprehensif, bukan pendekatan yang bersifat parsial);
5. Kawasan teknologi pembelajaran dapat meliputi kegiatan yang berkaitan dengan analisis, desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, implementasi dan evaluasi baik proses-proses maupun sumber-sumber belajar.
6. Teknologi pembelajaran tidak hanya bergerak di persekolahan tapi juga dalam semua aktifitas manusia (seperti perusahaan, keluarga, organisasi masyarakat, dan lain-lain) sejauh berkaitan dengan upaya memecahkan masalah belajar dan peningkatan kinerja.
7. Yang dimaksud dengan teknologi disini adalah teknologi dalam arti yang luas, bukan hanya teknologi fisik (hardtech), tapi juga teknologi lunak (softtech)

D. Arti Penting Teknologi Pendidikan dalam Sistem Pembelajaran
Sejak manusia mengenal sistem pendidikan, teknologi pendidikan telah menjadi fondasi bagi jalannya sistem pendidikan yang ada, dan itu telah ada beberapa abad sebelum adanya sebuah sistem yang sistematis seperti halnya yang ada dalam madrasah-madrasah yang ada di dunia Islam, seperti di Madrasah Nizamiyahdi Baghdad pada abad pertengahan saat Islam mengalami masa keemasan. Pada masa Aristoteles misalnya, melalui Lyceum-nya atau Akademia, teknologi pendidikan meski dalam bentuk yang sederhana telah mulai menjadi bagian integral dari sistem pembelajaran yang ada. Kemudian, era Skolastik di Barat yang terkenal dengan sekolah-sekolah bagi biarawan dan biarawatinya juga tidak lepas dengan teknologi pendidikannya. Sedangkan di Madrasah Nizamiyah sendiri, sistematisasi metode pengajaran nampak dengan adanya pembagaian ilmu-ilmu fikih yang diajarkan dengan mengajarkan ajaran empat madzab fikih, ditunjang dengan berbagai keilmuan lainnya dengan didukung misalnya perpustakaan yang memadai, laboratorium kimia maupun laboratorium langit, serta asrama bagi para siswanya. Semua elemen itu tersususun sebagai sebuah teknologi pendidikan yang berhasil membawa Islam menuju puncak keemasan.
Teknologi pendidikan jelas memiliki arti yang begitu penting, apalagi untuk manusia modern dan manusia posmodern saat ini. Dengan masalah hidup yang semakin kompleks dan berbagai tantangan hidup yang begitu banyak, dunia pendidikan sebagai salah satu tempat yang paling efektif membentuk pribadi dan kematangan manusia tentu semakin memerlukan sebuah metode atau tehnik yang compatible dengan zamannya. Teknologi pendidikan secara keseluruhan dalam sistem pendidikan adalah miniatur cara memandang dan menyikapi manusia untuk dapat terjun hidup sebagai anggota masyarakat. Melalui ini dalam sistem pendidikan manusia ditempa untuk menjadi manusia yang juga dapat menyesuaikan diri dengan baik dalam lingkungannya.
Kemudian secara khusus pun media pendidikan juga memiliki arti penting sama halnya teknologi pendidikan secara umum. Di era Abasiyyah di Madrasah Nizamiyah misalnya, kita dapat melihat bagaimana perpustakaan sebagai media pendidikan memiliki peran penting dalam progresifitas pendidikan pada masa itu. Tidak dipungkiri bahwa bahan bacaan adalah faktor yang menjadikan siswa menemukan khazanah keilmuan yang dapat mengisi khazanah pengetahuan dalam diri mereka selain dari apa yang disampaikan gurunya. Kalau di zaman sekarang, peran penting media pendidikan dengan menggunakan media teknologi seperti komputer, rekaman audio, atau juga film tentu amat sangat memiliki arti penting. Apalagi jika sistem pendidikan yang bersangkutan memiliki orientasi pada siswa untuk dicetak sebagai tenaga kerja, akan lebih lagi nilai penting media semacam itu dalam penemuan khazanah pengetahuan yang ingin didapat peserta didik. Meski demikian tetap saja harus ada penyesuaian di sana-sini agar media pendidikan yang digunakan tepat guna. Dan di sinilah software teknologi pendidikan diperlukan, bagaimana mengupayakan agar media pendidikan dengan menggunakan media teknologi bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Kita dapat melihat mekanisme teknologi pendidikan dengan menggunakan sampel pola hubungan media pendidikan yang menggunakan gambar dengan software dalam teknologi pendidikan. Gambar atau foto adalah salah satu media teknologi yang cukup bagus digunakan sebagai media dalam praktek pendidikan. Hal itu karena gambar atau foto memiliki kelebihan seperti sifatnya konkrit, Gambar dapat mengatasi batas ruang dan waktu, dapat memperjelas satu masalah, dan mudah didapatkan.
Namun sayangnya gambar juga memiliki kelemahan, di antaranya gambar hanya menekankan persepsi indera penglihatan, gambar yang terlalu komplek tidak efektif ketika digunakan dalam sistem pembelajaran, ukurannya sangat terbatas untuk kelompok besar. Untuk itu maka harus ada filterisasi di situ, dan tentu mekanisme software teknologi pendidikan diperlukan untuk mengoptimalkan guna gambar atau foto yang digunakan. Software menyaring gambar atau foto yang akan digunakan. Dengan menetapkan syarat-syarat berikut misalnya, software dalam teknologi pendidikan berperan; dengan mengklasifikasikan bahwa gambar yang dapat digunakan sebagai media pendidikan adalah yang autentik. Gambar yang menceritakan apa adanya satu peristiwa.
Kemudian juga, gambar itu harus sederhana, apalagi jika siswa yang diajar masih dalam tingkatan bawah seperti siswa Sekolah Dasar (SD) atau Taman kanak-kanak. Dengan komposisi sederhana yang cukup jelas menampilkan poin-poin yang ingin diajarkan. Demikianlah sedikit pembahasan yang menggambarkan nilai penting media pendidikan dalam teknologi pendidikan.

E. Prinsip-prinsip Pengembangan Program Pembelajaran dengan Pendekatan Teknologik
Terdapat tiga prinsip dasar dalam teknologi pendidikan sebagai acuan dalam pengembangan dan pemanfaatannya, yaitu : pendekatan sistem, berorientasi pada siswa, dan pemanfaatan sumber belajar.
Prinsip pendekatan sistem berarti bahwa penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran perlu didisain/perancangan dengan menggunakan pendekatan sistem. Dalam merancang pembelajaran diperlukan langkah-langkah prosedural meliputi: identifikasi masalah, analisis keadaan, identifikasi tujuan, pengelolaan pembelajaran, penetapan metode, penetapan media evaluasi pembelajaran.
Prinsip berorientasi pada siswa berarti bahwa dalam pembelajaran hendaknya memusatkan perhatiannya pada peserta didik dengan memperhatikan karakteristik, minat, potensi dari siswa.
Sedangkan prinsip pemanfaatan sumber belajar berarti dalam pembelajaran siswa hendaknya dapat memanfaatkan sumber belajar untuk mengakses pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkannya. Satu hal lagi bahwa teknologi pendidikan adalah satu bidang yang menekankan pada aspek belajar siswa. Keberhasilan pembelajaran yang dilakukan dalam satu kegiatan pendidikan adalah bagaimana siswa dapat belajar, dengan cara mengidentifikasi, mengembangkan, mengorganisasi, serta menggunakan segala macam sumber belajar. Dengan demikian upaya pemecahan masalah dalam pendekatan teknologi pendidikan adalah dengan mendayagunakan sumber belajar. Hal ini sesuai dengan ditandai dengan pengubahan istilah dari teknologi pendidikan menjadi teknologi pembelajaran.
Di samping itu, prinsip teknologi pendidikan juga berorientasi pada asas kemanfaatan, efektif dan efisien. Melalui prinsip-prinsip ini akan lahir pola dan bentuk kerja yang efektif dan efisien, sehingga pendekatan teknologi pendidikan menginginkan pencapaian tujuan secara sempurna, penuh dan tuntas.
Noeng Muhadjir menyebutkan bahwa, teknik pengembangan program yang digunakan para ahli sekarang, yang terbanyak adalah kemanfaatan dalam makna untuk sukses menjalankan tugas kerja tertentu. Dengan kata lain, pendekatan teknologi pendidikan ini berorientasi pada sukses menjalankan tugas, seperti guru mempunyai tugas kerja yang dapat diperinci secara spesifik. Demikian pula halnya dengan dokter, perawat dan sebagainya.
Pendekatan teknologik dalam dunia pendidikan yang tertuju dan terarah pada asas kemanfaatan tentu bersentuhan dengan program kependidikan yang mengarah pada pemilihan kompetensi untuk menjalankan tugas spesifik tertentu, seperti guru, dokter dan lain-lain.
Menganalisis asas dan prinsip teknologi pendidikan itu sendiri, terlihat pengembangan program pendidikan melalui pendekatan teknologik bertujuan bagaimana agar produk yang dihasilkan itu benar-benar mampu melakukan tugas-tugas spesifiknya secara sempurna. Pendek kata, tujuannya berkaitan erat dengan pengoptimalisasian proses belajar mengajar.
Kemudian terdapat empat fase, menurut Derk Rowntree, dalam mengembangkan program pendidikan melalui pendekatan teknologik, yaitu:
1. Mengindentifikasi tujuan. Ini meliputi analisis tujuan, mengetahui gambaran subjek didik, kompetensi yang dimilikinya dan kriteria tes.
2. Menentukan pola pengalaman belajar. Mencakup analisis tujuan yang hendak dicapai, mengidentifikasi sekuensi belajar, menetapkan strategi mengajar, menyeleksi media dan materi serta mempersiapkan pengalaman belajar.
3. Evaluasi mencakup melakukan try out dan menganalisis kegiatan pada fase kedua di atas dan memonitor hasil yang telah dicapai.
4. Perbaikan dan peningkatan. Mencakup review dan revisi terhadap hasil yang telah dicapai pada fase evaluasi.
Semua fase di atas bergerak dalam satu lingkaran. Antara satu fase dengan fase berikutnya selalu berputar menurut arah yang berkesinambungan. Khusus fase keempat dapat memberikan masukan terutama pada fase kedua di samping fase pertama dan ketiga.
Prinsip-prinsip umum yang melandasi penyusunan program pendidikan melalui pendekatan teknologik, adalah bahwa belajar mesti sesuai dengan kebutuhan tugas, materi atau bahan yang dipelajari mestilah disesuaikan dengan tugasnya, menggunakan tata atau metode belajar yang mendukung tercapainya kemampuan untuk melaksanakan tugas tersebut.
Prinsip di atas dijabarkan oleh Noeng Muhadjir yang mengawali dengan menjelaskan dan mempertegas tugas-tugas yang akan disandang setelah tamat nantinya. Tugasnya mungkin nanti guru, dokter, perawat dan sebagainya. Untuk kepentingan ini perlu dirumuskan kemampuan yang dituntut dapat melaksanakan tugas itu dengan cara yang baik dan sempurna, kemudian diciptakan pula kemampuan minimal dan kriteria sempurnanya.
Selanjutnya pada prinsip kedua, materi atau bahan pelajaran dapat diambil dari berbagai macam disiplin ilmu, menghimpunnya menjadi satu nama mata pelajaran. Nama mata pelajaran dipakai untuk mendeskripsikan satuan mata pelajaran dan hasil pengklasteran materi atau bahan yang relevan serta mendukung tugas tersebut.
Pada prinsip kedua itu perlu pula mempertimbangkan keterbatasan pendekatan teknologik dalam menyusun programnya seperti nurturance effect, kemampuan eksplorasi, kemampuan konsekuensi, kemampuan efek yang tidak terprogram dan banyak lagi yang lainnya. Kesemuanya ini tidak dapat dengan hanya mengandalkan pendekatan teknologi pendidikan dalam menyusun programnya, akan tetapi perlu pendekatan lain yang lebih tepat. Begitu pula dengan prinsip ketiga, memilih metode belajar yang mendukung tercapainya kemampuan untuk melaksanakan tugas. Dalam hal ini tidak cukup hanya dengan memberikan teori semata, tetapi mesti diberikan pula latihan yang sesuai dengan tugas yang akan diembannya kelak. Umpamanya guru mesti dilatih praktek mengajar, dokter mesti dilatih mendiangnosis pasiennya, tukang las dilatih untuk mengelas dan seterusnya.
Memperjelas tugas yang akan disandang subjek didik nantinya setelah menamatkan pendidikan seperti diuraikan di atas, memang merupakan suatu yang sangat penting. Hal ini mengingat seluruh kegiatan belajar ditujukan kepada tugas yang telah ditentukan sebagai tujuan akhir, di samping itu dapat pula mempermudah pemilihan materi dan cara yang relevan untuk tercapainya tugas yang telah ditetapkan.
Untuk latihan yang dibutuhkan sesuai dengan tugas yang akan diemban subjek didik setelah ia tamat sebagaimana yang disebutkan di atas, maka terapannya perlu mempertimbangkan metode behavior modeling dalam kegiatan belajar. Dalam behavior modeling ini, kecakapan melakukan tugas tertentu terlebih dahulu ditampilkan secara sempurna yang kemudian diikuti dengan praktik aktif yang diiringi pula dengan koreksi sebagai feed back untuk penyempurnaannya. Tujuan akhir behavior modeling ini adalah untuk menentukan tingkah laku yang sama dengan tingkah laku yang dituntut seseorang.
Behavior modeling akan sangat membantu metode latihan. Hal ini disebabkan pada behavior modeling, kemampuan yang dikuasai subjek didik terlebih dahulu ditampilkan sebelum ia benar-benar tampil dalam praktek. Hal ini diikuti pula dengan koreksi, bila terjadi kesalahan.

F. Teknik dan Prosedur Kerja Pengembangan Program Pembelajaran dengan Pendekatan Teknologik
Teknik dan prosedur kerja pengembangan program melalui pendekatan teknologik sebagai berikut:
1. Menspesifikasikan dengan jelas dan tegas bentuk tugas yang akan diemban subjek didik setelah menamatkan suatu program pendidikan
2. Merinci kemampuan yang akan dimiliki subjek didik untuk dapat melaksanakan tugas yang telah dispesifikasikan di atas
3. Memilih materi dan media yang mendukung tercapainya tugas yang telah ditentukan tersebut. Pelajari kembali materi dan media yang telah dipakai, apakah benar-benar relevan dengan tugas yang dituntut
4. Memilih metode belajar yang memungkinkan tercapainya tujuan, apakah metode latihan mampu menjadikan subjek didik telah cukup mampu, apakah behavior modeling perlu diberikan serempak, atau terpisah, apakah pendekatan pengajaran yang dipakai relevan dengan kemampuan yang dituntut sebagaimana yang telah ditentukan.
5. Pilih bentuk evaluasi yang benar-benar dapat mengetahui dengan tepat kemampuan subjek didik menguasai kompetensi tertentu. Pelajari kembali item-item tes dalam evaluasi yang dipakai apakah telah sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.
6. Tinjau kembali hasil kemampuan (kompetensi subjek didik) yang telah dimilikinya apakah telah menunjukkan hasil sempurna atau hasil minimal.
Semua hasil yang diperoleh dalam kegiatan ini ditujukan untuk merevisi dan mereview kegiatan sebelumnya, terutama kegiatan pada fase kedua, tidak tertutup pula untuk kegiatan fase pertama dan ketiga. Kegiatan ini dilakukan pada fase keempat.
Di samping pembenahan program pendidikan melalui pendekatan teknologik seperti diuraikan di atas, maka perlu pula pembenahan dan penataaan program pendidikan melalui pendekatan lain.
Pendekatan teknologik hanya dapat diperuntukkan bagi tugas yang spesifik dan elementer, seperti mengajar, komputer, merakit radio dan lain sebagainya yang secara mutlak memerlukan latihan-latihan.

G. Teknologi Pendidikan Agama Islam: Kelebihan dan Kurangan Pendekatan Teknologik
Sebagaimana diketahui bahwa porsi mata pelajaran pendidikan agama di sekolah umum dan madrasah semakin dirampingkan. Untuk sekolah umum adalah sekitar 2-3 jam, sedangkan untuk madrasah adalah sekitar 5-6 jam pelajaran efektif perminggu. Dengan adanya perampingan tersebut, maka guru pendidikan agama Islam (GPAI) diharapkan untuk dapat memanfaatkan waktu seefektif dan seefisien mungkin dalam mengejar hasil kualitas hasil pembelajaran pendidikan agama Islam bagi peserta didiknya. Dan untuk mencapainya antara lain dengan jalan memanfaatkan teknologi pendidikan (pembelajaran) atau melakukan pendekatan teknologik dalam pembelajaran pendidikan agama Islam.
Setidaknya ada tiga konsekuensi psikologis pendidikannya apabila pendekatan teknologik ini digunakan dalam mengembangkan program pendidikan agama Islam, yaitu: perlu menggunakan pendekatan yang berbasis kompetensi, konsep belajar tuntas dan menggunakan acuan patokan untuk evaluasi hasil belajarnya.
Kompetensi dapat diartikan sebagai seperangkat tindakan inteligen, penuh tanggung jawab yang mesti dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksanakan tugas dalam bidang tertentu.
Berbeda dengan pengembangan mata pelajaran berdasarkan akademik, pengembangan teknologik ini terlebih dahulu hendaklah dengan menetapkan kompetensi apa saja yang harus dimiliki tamatan suatu lembaga, kemudian harus dicarikan atau dipilih materi-materi dan media yang sesuai atau mendukung tercapainya kompetensi yang diinginkan.
Dengan demikian, pembelajaran itu dikatakan menggunakan pendekatan teknologik, bilamana ia menggunakan pendekatan sistem dalam menganalisis masalah belajar, merencanakan, mengelola, melaksanakan, dan menilainya. Di samping itu pendekatan teknologik ingin mengejar kemanfaatan tertentu, dan menuntut peserta didik agar mampu melaksanakan tugas-tugas tertentu, sehingga rencana produknya (hasilnya) diprogram sedemikian rupa, agar pencapaian hasil pembelajarannya (tujuan) dapat dievaluasi dan diukur dengan jelas dan terkontrol. Dari rancangan proses pembelajaran sampai mencapai hasil tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara efektif, efisien dan memiliki daya tarik.
Produk pendidikan dengan menggunakan pendekatan teknologik ini adalah agar semua subjek didik mempunyai kemampuan yang sempurna untuk menjalankan tugas yang akan diembannya setelah menamatkan suatu program. Konsekuensinya tidak semua materi disajikan pada peserta didik sebagi bekal untuk mentransfer ke berbagai situasi dan kondisi.
Pendekatan teknologik ini sudah barang tentu mempunyai keterbatasan-keterbatasan, antara lain: ia terbatas pada hal-hal yang bisa dirancang sebelumnya, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun produknya. Karena adanya keterbatasan tersebut, maka dalam pembelajaran pendidikan agama Islam tidak selamanya dapat menggunakan pendekatan teknologik.
Kalau kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam hanya sampai pada penguasaan materi dan keterampilan menjalankan ajaran agama, mungkin bisa menggunakan pendekatan teknologik, sebab proses dan produknya bisa dirancang sebelumnya. Tetapi kalau pembelajaran pendidikan agama Islam harus sampai pada taraf kesadaran iman dan pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari, maka pendekatan teknologik akan sulit diterapkan, karena prosesnya bisa dirancang, tetapi produk (hasil) pembelajarannya tidak bisa dirancang dan sulit diukur.
Karena itu tidak semua pesan-pesan pembelajaran pendidikan agama Islam dapat didekati secara teknologik. Sebagai contoh: bagaimana membentuk kesadaran keimanan peserta didik terhadap Allah Swt., malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan qadha-qadar. Masalah kesadaran keimanan banyak mengandung masalah yang abstrak, yang tidak hanya dilihat dari perilaku riil atau konkritnya. Sebab kadang-kadang yang konkrit justru bersifat semu atau tipuan belaka. Demikan pula bagaimana membentuk kesadaran peserta didik dalam mengamalkan syariat Islam dan berakhlak Islam dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin prosesnya bisa dirancang, tetapi produknya kadang-kadang tidak bisa diketahui, karena kadangkala peserta didik ketika di madrasah menampakkan sikap taat dan patuh, sementara ketika berada di rumah atau di masyarakatnya terjadi sebaliknya.
Disamping itu efisiensi, efektivitas dan memiliki daya tarik (sebagai ciri khas pendekatan teknologik) kadangkala juga sulit untuk dicapai dan dipantau oleh guru, karena pembentukan keimanan, kesadaran pengamalan ajaran Islam dan berakhlak Islam, sebagaimana tercantum dalam tujuan pembelajaran pendidikan agama Islam, memerlukan proses yang relatif sama, yang sulit dipantau hasil belajarnya dengan hanya mengandalkan pada kegiatan belajar mengajar di kelas dengan pendekatan teknologik. Karena itu perlu menggunakan pendekatan lain yang bersifat non-teknologik. Mata pelajaran fiqh misalnya adalah mata pelajaran yang strategi pembelajarannya dapat menggunakan pendekatan non-teknologik. Sedangkan mata pelajaran akidah akhlak adalah mata pelajaran yang menggunakan strategi pembelajaran non-teknologik.

H. Aplikasi Bentuk Teknologi Pendidikan pada SMA/MA: Kelemahan dan Kekurangannya
Lalu seperti apa bentuk-bentuk teknologi pendidikan Islam? Bentuk-bentuk teknologi pendidikan secara umum akan optimal bila menggunakan seluruh aspek berpikir manusia. Manusia berpikir bila dia: (1) menerima informasi dunia realitas dari pancainderanya; (2) memasukkan informasi ke dalam otaknya; (3) mengolah/menghubungkan informasi itu dengan informasi yang tersimpan sebelumnya.
Karena itu teknologi pendidikan yang baik akan menggunakan (1) sebanyak mungkin jalur indera, setidaknya tekstual, visual, dan akustikal, namun tentunya lebih optimal lagi kalau juga indera penciuman, perasaan maupun perabaan; (2) sebanyak mungkin bagian otak, baik otak kiri yang bersifat analitis rasional, otak kanan yang bersifat intuitif-kreatif-emosional maupun bagian otak yang disebut God-Spot yang bertanggung-jawab atas perasaan spiritual; (3) membantu menghubungkan dengan informasi yang tersimpan sebelumnya atau yang pernah dialami atau dipelajari siswa.
Berikut ini adalah tiga contoh gagasan teknologi pendidikan pada Madrasah Aliyah (MA)/Sekolah Menengah Atas (SMA) berbasis komputer guna mengajarkan suatu topik dalam Fisika, Biologi, dan Ekonomi.
1. Untuk mengajar fisika-mekanika, ditunjukkan film audio-visual berbagai peristiwa alam (air terjun, jatuhnya batu, pergerakan benda langit). Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang alam semesta untuk menghubungkan intelektualitas dengan spiritualitas. Lalu ada teks dan rumus matematis yang menjelaskan fenomena itu, dan di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan dan analisis pelajar. Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan mekanika secara syar’i, dilanjutkan film aplikasi mekanika yang baru dipelajari (PLTA, peluncur roket untuk jihad, satelit), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan syari’at (banjir, teror atas bumi Islam, satelit mata-mata asing). Kemudian terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi. Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan aplikasi teknologi apapun justru dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.
2. Untuk mengajar biologi-lingkungan ditunjukkan film audio-visual berbagai jenis mahluk hidup (pohon, serangga, mamalia). Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang kehidupan untuk menghubungkan intelektualitas dengan spiritualitas. Lalu ada teks dan yang menjelaskan fenomena itu, dan di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan. Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan ekologi secara syar’i, dilanjutkan film yang menunjukkan aplikasi ekologi yang baru dipelajari (reboisasi hutan, biopestisida, peternakan), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan syari’at (kerusakan hutan, hama, kepunahan bison). Kemudian terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi. Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan aplikasi teknologi apapun justru dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.
3. Untuk mengajar ekonomi perdagangan – yang berarti suatu realitas masyarakat manusia, ditunjukkan film audio-visual berbagai aktivitas manusia (jual-beli, kafilah dagang, bank). Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang manusia yang menghubungkan intelektualitas ke spiritualitas. Lalu ada teks yang menjelaskan fenomena itu, ditambah beberapa ayat yang spesifik mengatur sistem ekonomi di masyarakat. Di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan. Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan ilmu ekonomi perdagangan secara syar’i, dilanjutkan film yang menunjukkan aplikasi ekonomi yang baru dipelajari (desain pasar, jaringan logistik, bank syari’ah), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan koridor syari’at (penipuan, penimbunan, jeratan hutang). Lalu terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi. Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan ilmu apapun dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.
Di samping kelebihan-kelebihan dalam menggunakan film audio-visual tersebut. Ia juga memiliki kelemahan-kelemahaan yang di antaranya yaitu: 1) Tidak setiap sekolah atau madrasah mampu memiliki fasilitas tersebut; 2) tidak setiap mata pelajaran dapat secara efektif menggunakan media tersebut, misalnya materi mengenai keimanan atau akidah; 3) tidak setiap guru mampu mengoperasikan media tersebut, dan lain-lain.

I. Penutup
Dari uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa teknologi pendidikan atau dengan kata lain pendekatan teknologik baik dalam Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun Madrasah Aliyah (MA) dalam hal ini merupakan suatu keniscayaan.
Dalam pengetahuan-pengetahuan yang bersifat praktis, pendekatan teknologi tentulah mutlak diperlukan. Sebab, dengan pendekatan teknologik ini akan dapat dipersiapkan tenaga-tenaga yang benar-benar mampu dalam menjalankan tugasnya nanti di tengah-tengah masyarakat.
Kendati demikian, pendekatan teknologik ini memiliki keterbatasan yaitu ia tidak dapat digunakan apabila tujuannya mata pelajaran tersebut adalah agar subjek didik mampu mengembangkan diri dengan melihat situasi dan kondisi lingkungannya sesuai dengan menurut kehendak waktu dan tempat, di mana dipersyaratkan penguasaan bermacam-macam disiplin ilmu. Dalam kondisi seperti ini tidak dapat ditempuh dengan menggunakan pendekatan teknologik, tetapi justru pendekatan akademi atau non-teknologiklah yang paling tepat.
Kemudian, dalam proses belajar mengajar guru juga dapat memanfaatkan teknologi pendidikan yang berbentuk konkrit seperti film audio-visual yang menggambarkan tentang materi pelajaran tertentu sembari disisipkan pesan-pesan keagamaan baik berupa ayat-ayat al-Qur’an atau Hadis di akhir sesi. Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh media pendidikan tersebut, agaknya dengan film audio-visual materi akan menjadi lebih mudah diterima oleh peserta didik atau siswa. Wallahu a’lam.















DAFTAR PUSTAKA
Baiquni, Achmad, “Filsafat, Fisika dan al-Qur’an”, Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 4 Vol.II, 1990.

Dewan Pimpinan Pusat GUPPI, Pembaharuan Pendidikan Islam:Konsepsi dan Pengantar Dasar, Jakarta: GUPPI, 1993.

Fahmi, Nurul, “Pendidikan Sebagai Media Pengembang llmu Pengetahuan dan Teknologi”, dalam Ali Muhdi Amnur (Ed.), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007.

Hlynka, Denis dan Nelson Barbara, “Educational Technology as Methapor” dalam PLET, 22 (1), 1985.

Hoodboy, Pervez, Islam dan Sains: Pertarungan Menegakkan Rasionalitas, Penerj. Luqman, Bandung: Pustaka, 1997.

Hornby HS., Oxford Advanced Learner’s Dictionary, USA: Oxford University Press, 1989.

http://cepiriyana.blogspot.com/2006/06/konsep-teknologi-pendidikan.html, akses 5 June 2008

http://famhar.multiply.com/journal/item/74, akses 5 Juni 208

http://istpi.wordpress.com/, akses 5 juni 2008; juga http://tpers.net/?p=4, akses 5 Juni 2008

http://poetraboemi.wordpress.com/2008/04/15/teknologi-pendidikan-dalam-keberhasilan-sistem-pembelajaran/, akses 6 June 2008

http://tpers.net/?p=4, akses 5 juni 2008

Hunt, Graham, “Educational Technology: Cream or Salt6 in the Classroom”, dalam PLET, 22 (1) 1977.

Kearsley, Greg, Training and Technology, London: Addison Wesley Publishing Company, 1984.

Mahzar, Armahedi, “Teknologi dan Islam: Sebuah Refleksi Pengantar” dalam Ahmad Y. Al-Hassan dan Donal R. Hill, Teknologi dalam Sejarah Islam, Penerj. Yuliani Liputo, Bandung: Mizan, 1993.

Muhadjir, Noeng, Urgensi Teknologi Pendidikan bagi Pengembangan dan Peningkatan Mutu PTS, Prasaran, 1988.

Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Nuansa, 2003.

Muhmidayeli, “Pendekatan Teknologik dalam Pendidikan (Suatu Telaah Metodis Teknis Peningkatan kualitas Program Kependidikan Islam), Jurnal Al-Fikra, Vol.I, Nomor 1, Agustus-Desember 2002.

Nasution, S., Teknologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2005.

Rowntree, Derk, Educational Technology in Curriculum Development, London: Harper and Row Publisher, 1979.

Sadiman, Arif S., dkk., Media Pendidikan, Jakarta: Pustekkom Dikbud, 1984.

Warijan dkk., Pengembangan Kurikulum dan Sistem Instruksional, Jakarta: Depdikbud, 1984.













TEKNOLOGI PENDIDIKAN DALAM PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(Suatu Strategi Pembelajaran Pendekatan Teknologik)
Paper
Disusun untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Genap
pada Mata Kuliah Teknologi Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Drs. H. Ki Supriyoko, B.A., S.D.U., M.Pd.












Oleh:
MAFTUH, S.Pd.I
NIM. 07223784
MINAT AKIDAH AKHLAK
KONSENTRASI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2008

Silahkan baca selanjutnya.....

Friday, June 6, 2008

Memperbincangkan Kembali Problematika SDM

MEMPERBINCANGKAN KEMBALI PROBLEMATIKA

SUMBER DAYA MANUSIA

Oleh : MAFTUH, S.Pd.I*

Pembicaraan di sekitar peningkatan sumber daya manusia (SDM) adalah salah satu topik yang sedang “populer” belakangan ini. Hal ini bisa dipahami, mengingat signifikansi topik ini dalam kaitannya dengan kehidupan masa depan bangsa yang lebih cerdas dan adil. Dikatakan bahwa, hanya dengan tersedianya SDM yang berkualitas tinggi, Indonesia bisa survive di tengah pertarungan ekonomi dan politik internasional yang terus kian kompetitif ( Azyumardi Azra, 1999: 57).

Pendidikan merupakan salah satu cara paling efektif dalam peningkatan SDM tersebut. Kondisi pendidikan yang terkesan fragmentaris atau terpecah-pecah, adalah di antaranya disebabkan oleh tujuan pendidikan yang cenderung berorientasi pada pembentukan “tukang-tukang” atau para spesialis yang terkurung dalam ruang spesialisasinya yang sempit, karena itu, perhatian dan minatnya lebih bersifat teknis. Padahal pendidikan merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penuntun dalam menjalani kehidupan dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peraban manusia. Tanpa pendidikan, maka generasi sekarang tidak akan berbeda dengan generasi masa lampau. Atau, manusia yang akan datang tidak akan berbeda dengan manusia sekarang bahkan mungkin saja malah lebih buruk kualitasnya.

Pendidikan, idealnya, adalah pendidikan yang berwajah insani dan mampu pula menajamkan nurani peserta didik. Maksudnya, pendidikan yang dipraktekkan mengangkat martabat dan derajat peserta didik sekaligus pada saat yang bersamaan mampu mengasah nuraninya. Oleh karena itu, pendidikan sejatinya tidaklah hanya dijadikan sebagai instrumen bagi mobilitas vertikal masyarakat yang pada akibatnya menciptakan kelas-kelas baru yang teralienasikan dari masyarakatnya itu. Namun juga pendidikan harus ditekankan terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian peserta didik sehingga ia mampu menyongsong kehidupan dengan berbekal ilmu pengetahuan dan keahlian yang dimiliknya.

Karakteristik Umum SDM Indonesia

Ironisnya, dalam kenyatannya seringkali kita temui hasil-hasil dari proses pendidikan yang justeru menggambarkan SDM yang sebaliknya. Sebagaimana ditegaskan oleh Taufiq Ismail (2005: 3) bahwa problem mendasar SDM Indonesia –yang notebene mayoritas beragama Islam ini- sesungguhnya berkaitan dengan sikap, mental, tata nilai, orientasi, pandangan hidup, dan kebudayaan yang melatarbelakangi dan melahirkannya.

Bahkan Mochtar Lubis (dikutip A.S. Munandar, 2001: xxiv-xxv) telah mencoba mengidentifikasi ciri-ciri manusia Indonesia. Ciri-ciri tersebut antara lain: (1) munafik, (2) segan dan enggan bertanggung jawab, (3) berjiwa feodal, (4) percaya tahayul, (5) artistik, (6) berwatak lemah (cengeng),(7) tidak hemat, (8) kurang gigih (9) dan tidak biasa bekerja keras. Ia masih memerinci lebih lanjut tentang sejumlah ciri negatif manusia Indonesia. Meski di sana-sini ada juga ciri positifnya, setidaknya apa yang dikatakannya sebagai kecenderungan umum yang melekat dalam diri manusia Indonesia.

Apa yang dikatakan oleh Mochtar Lubis tersebut ternyata juga sejajar dengan apa yang dikemukakan oleh Bapak Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat. Ia menyebutkan sedikitnya ada lima mentalitas negatif bangsa Indonesia, yaitu: (1) meremehkan mutu, (2) cenderung mencari jalan pintas (menerabas), (3) tidak percaya diri, (4) tidak berdisiplin, dan (5) mengabaikan tanggung jawab (Koentjaraningrat, 1974: 20).

Jika diterjemahkan lebih lanjut sikap yang meremehkan mutu dapat kita cermati dari cara manusia Indonesia umumnya yang cenderung mengerjakan sesuatu asal jadi, selesai, dan setelah itu dianggap bukanlah persoalannya lagi. Yang penting, pekerjaan itu dapat selesai, terlepas dari apakah pekerjaannya itu bermutu atau tidak. Jika hasil pekerjaannya itu memuaskan, ya syukur, jika mengecewakan, ya tidak apa-apa. Toh tanggung jawab terhadap pekerjaan itu sudah selesai.

Sedangkan sikap yang suka menerabas, mencari jalan pintas terjadi di hampir semua struktur sosial dan birokrasi. Istilah main belakang, orang dalam, semua bisa diatur, satu meja satu amplop, urusan diselesaikan dengan cara damai, sesungguhnya merupakan representasi dari kebiasaan main terabas itu. Dalam hal ini, tujuan atau hasil adalah segala-galanya, meskipun harus melalui proses yang tidak benar. Di sinilah kebiasaan suap-menyuap tumbuh subur. Keadaan ini kemudian seolah-olah memperoleh legitimasi ketika kita berurusan dengan aparat birokrasi pemerintah. Jangan heran jika seseorang yang hendak mengurus sesuatu di instansi pemerintah, dia harus menyiapkan setumpuk amplop yang akan disebarkan di sejumlah meja dan ke atas sejumlah tangan. Batas antara suap dan ungkapan terima kasih, sudah sangat sulit dibedakan. Kolusi sudah dianggap sebagai bagian dari pekerjaan, dan orang yang tidak melakukan itu dianggap melawan arus zaman. Dapat dibayangkan sukarnya guru yang bertugas mengajarkan budi pekerti, menyampaikan kepada siswa-siswanya di kelas tentang fenomena ini.

Sikap tidak percaya diri hampir merata melekat dalam diri sebagian besar dari masyarakat kita. Pengagungan yang berlebihan terhadap bangsa Barat termasuk mengikuti secara membuta-tuli segala sesuatu –teori, konsep, gaya hidup, mode, dari yang ilmiah sampai yang urakan- yang datang dari Barat, sebenarnya merupakan kompensasi dari rasa minder itu.

Demikian juga sikap tidak disiplin banyak menghinggapi masyarakat Indonesia ini. Istilah jam karet, vonis ditentukan di belakang meja, terlambat dalam pengerjaan banyak hal, lebih takut kepada polisi dibanding kepada aturan, membuang sampah sembarangan, adalah sebagian kecil dari ciri lenturnya disiplin bangsa ini. Taat asas dan konsekuen pada peraturan dianggap bersikap kaku, tidak manusiawi, tidak bertenggang rasa dan sok-disiplin. Ia akan menjadi bahan olok-olok dan mungkin sekali akan disingkirkan dari pekerjaan atau jabatan strategis.

Pendidikan sebagai Instrumen penyadaran

Dari uraian di atas sebenarnya merupakan tanggung jawab kita bersama untuk merubah mentalitas negatif atau minimal menguranginya. Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam memberi penyadaran atas kualitas dan elan suatu masyarakat. Harus ada proses ke arah itu. Di dalam proses itu pertama-tama yang dilakukan manusia adalah meningkatkan kualitas dirinya, meningkatkan kualitas SDM. ”Allah tidak akan mengubah suatu kaum (individu), jika kaum (individu) itu sendiri tidak berusaha untuk melakukan perubahan.” Demikian al-Qur’an Surat ar-Ra’d ayat 11 memberi petunjuk akan hal ini.

Terdapat beberapa hal yang patut kita perhatikan, sebagaimana dikemukakan Taufiq Ismail (2005: 19-21), sehubungan dengan proses penyadaran masyarakat kita ini.

Pertama, melalui pemberian penghargaan pada profesi. Perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa profesi apa pun pada hakikatnya adalah pekerjaan. Tumbuhnya kesadaran bahwa profesi adalah pekerjaan, tidak hanya akan mengubah cara pandang masyarakat terhadap konsep pekerjaan, melainkan akan menumbuhkan apresiasi yang sama terhadap profesi apa pun, sejauh tidak melanggar norma agama, hukum dan susila. Maka seorang majikan tidak akan memperlakukan pembantu rumah tangganya secara sewenang-wenang karena dia mempunyai kesadaran bahwa profesi sebagai rumah tangga pun adalah pekerjaan yang menuntut profesionalitas, dan bukan sekedar setia dan loyal.

Kedua, melalui pemberian penghargaan pada prestasi hasil budaya dan pemikiran. Penghargaan pada hasil budaya akan memperkaya ruhani dan itu menyangkut persoalan moral dan hati nurani. Dalam hal ini, pentingnya penghargaan pada prestasi budaya dapat menumbuhkan rasa cinta, kagum, bangga, dan memberi penyadaran bahwa prestasi merupakan sesuatu yang penting. Karena prestasi hanya dapat dicapai melalui kerja keras.

Ketiga, melalui pemberian penghargaan kepada karya-karya hasil pemikiran. Karya-karya dari buah pemikiran tidak lain merupakan prestasi dari sebuah kreativitas. Dengan memberi apresiasi pada buah pemikiran, kita akan memberi tempat pada pemikiran apa pun. Dalam konteks ini, penghargaan terhadap buah pemikiran akan melancarkan proses demokratisasi.

Keempat, melalui penumbuhan kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan, utamanya membaca buku dan menulis karangan. Bagaimanapun, peranan ilmu pengetahuan sebagai langkah untuk mencapai kemajuan dan mengejar ketertinggalan, mesti menjadi wacana kehidupan sehari-hari. Ilmu seharusnya ditempatkan sebagai kebutuhan ruhani yang primer. Dalam konteks SDM, ilmu adalah modal dasar untuk meningkatkan kualitas SDM. Hanya dengan ilmu, SDM akan menjadi capital (modal) yang mempunyai nilai lebih dan harga yang tinggi.

Oleh karena itu, penggalian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan pentingnya ilmu harus tidak bosan-bosannya disuarakan baik di dalam khutbah Jum’at dan dakwah agama lainnya. Sebab, hanya dengan ilmu seseorang akan dapat meningkatkan derajatnya lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak berilmu. Dengan ilmu pula penghargaan kita kepada sesama manusia, kepada alam semesta, dan kepada Tuhan , justeru akan meningkat. Dengan kesadaran seperti ini, keberimanan kita juga akan meningkat.

Kelima, melalui pemberian penghargaan kepada profesi guru. Guru yang profesional di antaranya adalah mereka yang setiap saat memperbaharui metode mengajarnya, menambah wawasan ilmu pengetahuannya, dan menyadari profesinya sebagai agen perubahan dan ujung tombak ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, citra guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa,” jelas merupakan pelecehan terhadap profesi guru. Guru adalah pahlawan yang harus diberi tanda jasa. Tanda jasanya, bisa berupa peningkatan kesejahteraan, peningkatan gaji, pemberian fasilitas untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuannya, atau memberi kebebasan untuk meningkatkan profesionalitasnya.

Sebaik apa pun kurikulum disusun, akan menjadi masalah mengganjal apabila kualitas gurunya sendiri terabaikan. Dalam hal ini, apresiasi yang tinggi harus diberikan kepada Departemen Agama –dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Islam- yang telah bergeser paradigmanya. Semula hanya sekedar pendidikan dan latihan (Diklat) untuk meningkatkan kualitas guru-guru. Namun, kini dengan slogannya “back to campus” memberikan kesempatan bagi guru-guru untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, dengan harapan kelak pada gilirannya akan dapat meningkatkan mutu pendidikan Islam di tempat mereka mengabdikan diri.

Pendidikan Islam jelas mempunyai peranan penting dalam peningkatan kualitas SDM ini. Karena, sesuai dengan cirinya sebagai pendidikan agama, secara ideal pendidikan Islam berfungsi dalam penyiapan SDM yang berkualitas tinggi, baik penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dalam hal karakter, sikap moral, dan penghayatan serta pengalaman ajaran agama. Singkatnya, pendidikan Islam secara ideal berfungsi membina dan menyiapkan peserta didik yang berilmu, berteknologi, berketerampilan tinggi dan sekaligus beriman dan beramal saleh.

Akhirnya, memang cara berpikir kita harus segera dirubah dengan cara pandang baru, yaitu memutar fokus lensa kamera kita lebih tajam terhadap kualitas guru dan menempatkan pekerjaan guru secara profesional. Semboyan “guru pahlawan tanpa tanda jasa,” harus disingkirkan jauh-jauh, dan diganti dengan “guru pahlawan yang harus diberi tanda jasa” seperti dinyatakan di atas, melalui peningkatan kesejahteraan dan kualitasnya. Pasukan paling depan dalam format pertempuran mengatasi kebodohan ini adalah guru. Wallahu a’lam.



* Penulis mengabdi pada MTs Al-Khairiyah Macute Mancak, Kandepag Kabupaten Serang dan Penerima Beasiswa Departemen Agama pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Silahkan baca selanjutnya.....

Thursday, June 5, 2008

Silahkan baca selanjutnya.....

Umat Islam dan Iptek

UMAT ISLAM DAN IPTEK: Sketsa Realitas Umat Islam

Oleh: Maftuh, S.Pd.I

Kondisi Penguasaan Teknologi Umat Islam Saat Ini

Berbicara mengenai penguasaan teknologi di kalangan umat Islam, kita dihadapkan akan kenyataan yang tidak membanggakan, bahkan justru sebaliknya, sangat memprihatinkan. Sebab, dikatakan bahwa tidak satu pun dari negara-negara yang mayoritas umat Islam dapat disebut sebagai negara maju dengan perkembangan ilmu dan teknologinya.

Menyadari keadaan yang menyedihkan itu, Bassam Tibi, seorang pemikir Muslim Jerman asal Syria dalam bukunya The Crisis of Modern Islam, mengatakan bahwa dunia Islam secara keseluruhan dewasa ini masih berada dalam kultur pra-industri.[1] Dalam keadaan yang demikian ini, mustahil bagi dunia Islam untuk bersaing dengan dunia Barat yang telah jauh berada dalam kultur industri modern. Hingga kini dunia Islam hanya menghasilkan seorang saja peraih hadiah Nobel di bidang sains, Prof. Abdussalam, itu pun berasal dari aliran Ahmadiyah yang dianggap sebagai aliran sesat, bahkan tidak diakui sebagai bagian umat Islam oleh lembaga-lembaga resmi umat Islam. Namun dari aliran mayoritas, seperti Syi’ah dan Sunni, belum tampak seorang saintis yang menonjol dalam kaliber dunia.

Kenyataan itu juga diakui oleh Prof. Abdussalam, seorang ilmuwan Muslim dari Pakistan ini, dengan keprihatinannya yang mendalam, mengatakan: “Tidak diragukan lagi bahwa seluruh peradaban di planet ini, sains menempati posisi yang paling lemah dan benar-benar memprihatinkan di dunia Islam. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa kelemahan ini berbahaya karena kelangsungan hidup suatu masyarakat pada abad ini secara langsung tergantung pada penguasaannya atas sains dan teknologi.”[2]

Realitas seperti itu agaknya telah lama diidap oleh umat Islam dan telah berlangsung berabad-abad, sehingga bangsa-bangsa Barat yang lebih maju dengan leluasa menjajahnya. Data yang menyebutkan bahwa hanya sekitar 55 persen dari total umat Islam yang melek aksara, sangatlah memalukan. Sungguh ironi bagi dunia Islam yang pernah menjadi raksasa sains sampai abad pertengahan.[3] Ketertinggalan sains dan teknologi ini kemudian juga menyebabkan dunia Islam mudah ditipu dan dieksploitasi. Menurut ISESCO (Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization), 57 negara Islam yang tergabung dalam OKI (dengan 1,1 miliar penduduk dan wilayah seluas 26,6 juta kilometer) menyimpan 73 persen cadangan minyak dunia. Disebabkan rendahnya sumber daya manusia yang dimiliki, gabungan negara-negara Islam itu hanya memiliki GNP sebesar 1,016 miliar dolar AS. Berbeda dengan Prancis (hanya penduduk 57,6 juta dan wilayah 0,552 juta kilometer) bisa memiliki GNP 1,293 miliar dolar AS.[4]

Demikian halnya pula dalam tradisi penelitian yang berkembang di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Disebutkan bahwa, banyak sarjana Muslim penyandang gelar Ph.D dari universitas terkenal Barat yang menjauh dari kegiatan penelitian dan memilih menjadi birokrat. Nature, jurnal ilmiah sangat bergengsi di dunia, mengatakan bahwa prestasi ilmiah negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) sangat jauh terbelakang. Science Citation Index dan Social Sciences Citation Index mencatat jumlah rata-rata publikasi ilmiah 47 negara-negara OKI yang disurvei hanya 13 per satu juta penduduk, sementara rata-rata dunia untuk indeks ini ialah 137. Lebih parah lagi, dari 28 negara dengan produktivitas artikel ilmiah terendah, separuhnya adalah anggota OKI. Gabungan 20 negara Arab hanya menyumbang 0,55 persen dari total karya ilmiah dunia, sementara Israel 0,89 persen, Jerman 7,1 persen, Inggris 7,9 persen, Jepang 8,2 persen dan Amerika 30,8 persen.[5]

Dari data-data tersebut, jelaslah bahwa umat Islam sangat jauh tertinggal dari negara-negara yang selama ini dikenal sebagai negara yang umatnya non-Muslim. Dari titik ini, kita tentu berasumsi bahwa ada yang salah dalam pandangan (mindset) umat Islam ini, sehingga sedemikian jauh ketertinggalannya. Bukankah terdapat evidensi sejarah bahwa umat Islam pernah mengalami masa keemasan dalam penguasaan sains dan teknologi di saat Eropa masih dalam kegelapannya? Namun, mengapa sains dalam peradaban Islam itu tidak berhasil dipertahankan kontinyuitasnya, bahkan gagal mencapai titik peradaban, dan malah justru mengalami penurunan?

Sekarang mari kita coba menengok ke sejarah yang lebih awal tentang peradaban Islam dan sistem pengetahuan yang dibangunnya. Catatan A.I. Sabra dapat kita jadikan salah satu pegangan untuk melihat kontribusi peradaban Islam dalam sains. Dalam pengamatannya, peradaban Islam memang mengimpor tradisi intelektual dari peradaban Yunani Klasik. Tetapi proses ini tidak dilakukan begitu saja secara pasif, melainkan dilakukan melalui proses appropriation atau penyesuaian dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, peradaban Islam mampu mengambil, mengolah, dan memproduksi suatu sistem pengetahuan yang baru, unik, dan terpadu yang tidak pernah ada sebelumnya.

Ada dua hal yang dicatat Sabra sebagai kontribusi signifikan peradaban Islam dalam sains. Pertama, adalah dalam tingkat pemikiran ilmiah yang diilhami oleh kebutuhan dalam sistem kepercayaan Islam. Penentuan arah kiblat secara akurat adalah salah satu hasil dari konjungsi ini. Kedua, dalam tingkat institusionalisasi sains. Sabra merujuk pada empat institusi penting bagi perkembamgan sains yang pertama kali muncul dalam peradaban Islam, yaitu rumah sakit, perpustakaan umum, sekolah tinggi, dan observatorium astronomi. Semua kemajuan yang dicapai ini dimungkinkan oleh dukungan dari penguasa pada waktu itu dalam bentuk pendanaan dan penghargaan terhadap tradisi ilmiah.[6]

Lebih jauh kita dapat melihat pendapat yang datang dari Aydin Sadili. Seperti dijelaskan di atas bahwa keunikan sains dalam Islam adalah masuknya unsur agama dalam sistem pengetahuan. Tetapi, menurut Sadili, disini jugalah penyebab kegagalan peradaban Islam mencapai Revolusi Ilmiah. Dalam asumsi Sadili, tradisi intelektual Yunani Klasik yang diwarisi oleh peradaban Islam baru dapat menghasilkan kemajuan ilmiah jika terjadi proses rekonsiliasi dengan kekuatan agama. Rekonsiliasi antara sains dan agama tersebut terjadi di peradaban Eropa, tetapi tidak terjadi di peradaban Islam. Dikotomi antara dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan keagamaan dan pengetahuan duniawi (awâil) adalah indikasi kuat. Permasalahan yang terjadi adalah adanya ketimpangan posisi antara pengetahuan agama dan pengetahuan duniawi di mana pengetahuan agama menempati posisi sosial politik yang lebih baik sementara status pengetahuan duniawi berada pada status pelengkap.[7]

Memang, berdasarkan penelitian yang dilakukan George Makdisi, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, yang mengatakan bahwa lembaga pendidikan Islam (terutama madrasah sebagai pendidikan tinggi atau al-Jami’ah) tidak pernah menjadi universitas yang semata-mata untuk mengembankan tradisi penyelidikan bebas berdasarkan nalar. Ia banyak diabdikan kepada ‘ulumud diniyah (ilmu-ilmu agama) dengan penekanan kepada fikih dan hadis. Sementara ilmu-ilmu non-agama (keduniaan), terutama ilmu-ilmu alam dan eksakta sebagai alat pengembangan sains dan teknologi sejak awal perkembangan madrasah dan al-Jami’ah sudah berada dalam posisi marjinal.[8]

Dalam konteks umat Islam di Indonesia, keadaannya tidak lebih baik dengan negara-negara muslim lainnya – untuk tidak mengatakan justru lebih buruk lagi. Terbukti bahwa dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada Kamis (29/11/07) menunjukkan, peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Yang jelas, education development index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965).[9]

Sejalan dengan merosotnya pendidikan tersebut, penguasaan sains dan teknologi di negara ini juga memperlihatkan gambaran yang suram. Peneliti Pusat dan Perkembangan Iptek (Pappitek) LIPI, Yan Rianto, mengatakan, bahwa faktanya kapasitas industri di Indonesia memang sangat rendah dan tak terlalu bersemangat untuk melakukan inovasi. Kemajuan ekonomi, tegas Yan lebih lanjut, berarti mengurangi ketergantungan perekonomian nasional terhadap sektor primer (pertanian dan pertambangan) dan meningkatnya sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa, konstruksi) yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi dari sektor primer. Sektor industri manufaktur, katanya, memegang peranan penting dalam penerapan dan pengembangan berbagai teknologi dan sering dijadikan indikator perkembangan iptek di suatu bangsa.

Yan pun mengakui bahwa hasil kegiatan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) Indonesia yang terukur dalam bentuk publikasi nasional dan internasional serta paten, kenyataannya juga rendah. Termasuk jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura, terbilang belum bisa bersaing, apalagi jika dibanding dengan negara-negara lain seperti China.

Paten Indonesia yang terdaftar di kantor paten AS (negara yang merupakan pasar internasional yang cukup besar) hingga 2006 hanya 43 buah, padahal Filipina saja mencapai 145 paten, Thailand 164 paten, Malaysia 694, Singapura 1.840 paten. Padahal, lanjut dia, negara-negara tetangga ini pada awal 1980-an, sama-sama tak memiliki paten terdaftar di AS, namun dalam perjalanan waktu, pertumbuhan inovasi mereka tampak jauh lebih pesat.[10]

Ilustrasi di atas semakin mempertegas keadaan iptek di negara Indonesia yang dihuni oleh mayoritas umat Islam ini. Rendahnya iptek ini ternyata juga berkorelasi positif dengan anggaran yang dialokasikan untuk pengembangannya. Tercatat bahwa, rasio anggaran iptek terhadap PDB sejak tahun 2000 mengalami penurunan dari 0,052 persen menjadi 0,039% pada tahun 2002, sedangkan organisasi dunia UNESCO, merekomendasikan rasio anggaran iptek yang memadai adalah sebesar 2%.[11] Padahal jika suatu negara ingin maju anggaran litbang seharusnya diprioritaskan seperti juga anggaran pendidikan. Ironis memang.

Dari uraian tersebut terlihat jelas bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia sebenarnya sedang mengalami persoalan yang serius. Hal ini disebabkan setidaknya oleh dua sebab, yaitu pertama, lemahnya tradisi ilmiah yang masih menggelayuti umat Islam di Indonesia. Walaupun Indonesia memiliki perguruan tinggi yang cukup berkualitas, kegiatan ilmiah yang sehat, khususnya dalam bidang sains, dalam menghasilkan pengetahuan yang orisinil masih jauh dari harapan. Kondisi ini menjadi lebih lemah lagi karena terpisahnya sains dan filsafat dalam wacana akademik. Masuknya sains dalam kategori ilmu eksakta sementara filsafat sebagai ilmu non-eksakta adalah indikasinya. Padahal kategori eksakta dan non-eksakta tersebut bersifat ilusif. Ini menyebabkan tidak terbentuknya suatu tradisi filsafat kritik sains yang mapan, dan sebaliknya, sains berjalan sendiri seolah-olah dia bersifat otonom.

Kedua, merujuk pada tesis Nurcholish Majid, satu kenyataan bahwa masyarakat Islam di Indonesia tidak mewarisi tradisi intelektual peradaban Islam ketika masa keemasan. Islam muncul di Indonesia justru ketika tradisi intelektual Islam sedang mengalami penurunan di tempat asalnya sehingga tradisi intelektual tersebut tidak sempat terserap dalam sistem sosial dan kebudayaan. Disamping itu, salah satu syarat tumbuhnya tradisi intelektual adalah adanya sikap keterbukaan atau inklusivitas karena suatu sistem pengetahuan baru dapat terbentuk dengan baik jika berada dalam sistem sosial yang menghargai perbedaan dan keberagaman pemikiran. Hal ini menjadi isu penting mengingat masih kuatnya eksklusivitas di berbagai lapisan masyarakat Islam di Indonesia.[12]

Dengan demikian, adalah tanggung jawab kita bersama untuk mengejar ketertinggalan demi ketertinggalan itu, agar kita tidak selalu mudah ditipu dan dieksploitasi. Agaknya sudah saatnya untuk melakukan langkah kongkrit sesegera mungkin. Seperti yang dinyatakan oleh Abdullah Gymnastiar dalam khotbahnya, “mulailah dari sekarang, mulailah dari yang kecil dan mulailah dari diri sendiri.”

Kewajiban Menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Menyadari kelemahan-kelemahan umat Islam dalam penguasaan iptek di atas, maka sudah saatnya untuk melakukan sesuatu dalam memecahkan persoalan tersebut. Salah satu langkah yang paling penting adalah menumbuhkan dan mengembangkan kembali etos keilmuan pada umat Islam. Oleh karena itu, sasaran utama dalam upaya penumbuhan etos keilmuan ini, yaitu pandangan hidup seorang Muslim. Dan pandangan hidup seorang Muslim atau umat Islam, tentu tidak dapat lain kecuali berdasarkan ajaran Islam. Dengan lain perkataan, yang amat diperlukan sebetulnya adalah sebuah etos yang mampu melihat hubungan organik antara ilmu dan iman, atau iman dan ilmu.[13]

Sebenarnya, sebagaimana dikatakan Osman Bakar,[14] sejak kaum Muslimin sadar akan kemunduran dan kemandegan mereka, mereka telah berupaya untuk mengenal akar-akar penyebabnya, menganalisis masalah-masalah yang besar, dan memberikan obat yang efektif bagi keadaan yang tidak mengenakkan itu. Namun, jauh dari mencapai konsensus umum, kaum Muslimin justru terpecah tentang isu-isu mendasar. Berkaitan dengan itu, pada bagian ini akan coba diungkapkan pandangan Islam dari segi ajaran-ajarannya dalam memandang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab, menurut Osman Bakar lebih lanjut, orang dapat terilhami untuk mempelajari sains dan teknologi karena berbagai alasan, antara lain agama, ideologis, ekonomi, dan politis. Namun, motif yang paling baik dan paling bertahan lama adalah motif religius, yang mana di dalamnya juga mencakup alasan-alasan spiritual, etika dan filosofis.[15]

Dalam Islam, posisi iptek sangat dijunjung tinggi. Hal ini sangat jelas terlihat akan wahyu yang pertama kali turun, yakni Surat al-‘Alaq ayat 1-5 yang dimulai dengan kata iqra’.[16] Kata ini oleh para ulama mengandung arti yang sangat kaya. Sebagaimana misalnya Quraish Shihab, ahli tafsir kenamaan dari Indonesia, menerangkan bahwa iqra' terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak.[17] Dalam karyanya yang lain, Quraish Shihab menjelaskan bahwa qara’a – yang merupakan akar kata dari ‘iqra ini – terulang sebanyak tiga kali dalam al-Qur’an, masing-masing pada Surat al-Isra’ ayat 14 dan Surat al-‘Alaq ayat 1 dan 3. Sedangkan kata jadian dari akar kata tersebut, dalam berbagai bentuknya, terulang sebanyak 17 kali selain kata al-Qur’an yang terulang sebanyak 70 kali.[18]

Dengan demikian, perulangan kata-kata qara’a dan berbagai kata jadiannya itu, tentu saja bukannya tanpa maksud apa pun. Perulangan ini mengindikasikan bahwa Allah menghendaki hamba-Nya untuk membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya, baik bacaan yang suci yang bersumber dari Tuhan maupun yang bukan, baik menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis, sehingga mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, ayat suci al-Qur’an, majalah, koran, dan sebagainya.[19]

Manusia oleh Allah Swt. diberi tugas sebagai ‘abd lillah dan juga sebagai khalifah fi al-ardh. Kedua fungsi ini memiliki konsekuensi keilmuan yang dianugerahkan Allah kepada manusia, sekaligus sebagai persyaratan mutlak bagi kesempurnaan pelaksanaan kedua tugas tersebut. Ilmu, baik yang kasbiy (acquired knowledge) maupun yang ladunniy (abadi, perennial), tidak dapat dicapai tanpa terlebih dahulu melakukan qira’at – bacaan dalam arti yang luas. Dengan demikian, dalam pandangan Islam, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Ini tercermin dari kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan Al-Quran pada surat Al-Baqarah (2) 31 dan 32.[20]

Kaitannya dengan teknologi, Islam mengajak kita menengok sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam raya. Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar 750 ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya, dan yang memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkan alam ini. Secara tegas dan berulang-ulang Al-Quran menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan Allah untuk manusia Q.S. al-Jatsiyah [45]: 13).[21]

Islam, sebagai agama penyempurna dan paripurna bagi kemanusiaan, sangat mendorong dan mementingkan umatnya untuk mempelajari, mengamati, memahami dan merenungkan segala kejadian di alam semesta. Dengan kata lain Islam sangat mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berbeda dengan pandangan dunia Barat yang melandasi pengembangan ipteknya hanya untuk kepentingan duniawi dan sekular, maka Islam mementingkan pengembangan dan penguasaan iptek untuk menjadi sarana ibadah-pengabdian Muslim kepada Allah Swt. dan mengembang amanat khalifatullah fi al-ardh (wakil/mandataris Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada kemanusiaan dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ’Alamin). Ada lebih dari 800 ayat dalam Al-Qur’an yang mementingkan proses perenungan, pemikiran dan pengamatan terhadap berbagai gejala alam, untuk ditafakuri dan menjadi bahan dzikir (ingat) kepada Allah. Yang paling terkenal adalah ayat, misalnya:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imron [3] : 190-191)

Bagi umat Islam, kedua-duanya adalah merupakan ayat-ayat (atau tanda-tanda/sinyal) Ke-Maha-Kuasa-an dan Keagungan Allah Swt. Ayat tanziliyah/naqliyah (yang diturunkan atau transmitted knowledge), seperti kitab-kitab suci dan ajaran para Rasulullah (Taurat, Zabur, Injil dan Al Qur’an), maupun ayat-ayat kauniyah (fenomena, prinsip-prinsip dan hukum alam). Keduanya bila dibaca, dipelajari, diamati dan direnungkan, melalui mata, telinga dan hati (qalbu + akal) akan semakin mempertebal pengetahuan, pengenalan, keyakinan dan keimanan kita kepada Allah Swt., Tuhan Yang Maha Kuasa, Wujud yang wajib, Sumber segala sesuatu dan segala eksistensi. Jadi agama dan ilmu pengetahuan, dalam Islam tidak terlepas satu sama lain. Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua sisi koin dari satu mata uang koin yang sama. Keduanya saling membutuhkan, saling menjelaskan dan saling memperkuat secara sinergis, holistik dan integratif.[22]

Bila ada pemahaman atau tafsiran ajaran agama Islam yang menentang fakta-fakta ilmiah, maka kemungkinan yang salah adalah pemahaman dan tafsiran terhadap ajaran agama tersebut. Bila ada ’ilmu pengetahuan’ yang menentang prinsip-prinsip pokok ajaran agama Islam maka yang salah adalah tafsiran filosofis atau paradigma materialisme-sekular yang berada di balik wajah ilmu pengetahuan modern tersebut.

Karena alam semesta –yang dipelajari melalui ilmu pengetahuan, dan ayat-ayat suci Tuhan (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Saw. – yang dipelajari melalui agama, adalah sama-sama ayat-ayat (tanda-tanda dan perwujudan/tajaliyat) Allah Swt., maka tidak mungkin satu sama lain saling bertentangan dan bertolak belakang, karena keduanya berasal dari satu Sumber yang Sama, Allah Yang Maha Pencipta dan Pemelihara seluruh Alam Semesta.

Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, umat Islam hukumnya wajib mempelajari iptek. Sebab, tugasnya sebagai ‘abd dan khalifatullah sekaligus, tidak akan ditunaikan dengan baik dan sempurna tanpa penguasaan terhadap iptek tersebut. Sebagaimana kaidah-kaidah fikih yang menyatakan bahwa, pekerjaan wajib yang tidak sempurna tanpa adanya sesuatu, maka sesuatu itu statusnya menjadi wajib.

Pentingnya Menguasai Iptek

Hampir menjadi pengetahuan umum (common sense) bahwa dasar dari peradaban modern adalah ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Iptek merupakan dasar dan pondasi yang menjadi penyangga bangunan peradaban modern barat sekarang ini. Masa depan suatu bangsa akan banyak ditentukan oleh tingkat penguasaan bangsa itu terhadap iptek. Suatu masyarakat atau bangsa tidak akan memiliki keunggulan dan kemampuan daya saing yang tinggi, bila ia tidak mengambil dan mengembangkan iptek. Bisa dimengerti bila setiap bangsa di muka bumi sekarang ini, berlomba-lomba serta bersaing secara ketat dalam penguasaan dan pengembangan iptek.

Diakui bahwa iptek, di satu sisi telah memberikan “berkah” dan anugerah yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia. Namun di sisi lain, iptek telah mendatangkan “petaka” yang pada gilirannya mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Kemajuan dalam bidang iptek telah menimbulkan perubahan sangat cepat dalam kehidupan umat manusia. Perubahan ini, selain sangat cepat memiliki daya jangkau yang amat luas. Hampir tidak ada segi-segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh perubahan. Perubahan ini pada kenyataannya telah menimbulkan pergeseran nilai nilai dalam kehidupan umat manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan.

Osman Bakar dalam hal ini mengatakan:

“Apa pun halangan dan bahaya sains dan teknologi modern, khususnya jika dipandang dari sudut pandang Islam, tidak diragukan bahwa kaum Muslimin harus mempelajari dan menguasainya. Kaum Muslimin harus memperoleh pengetahuan ilmiah dan teknologi hingga dapat berdiri sendiri dan sangat kompetitif dan bahkan kalau bisa hingga mencapai tampuk kepemimpinan dunia. Islam harus menjadi daya dorong utama untuk merealisasikan tujuan ini. Ini artinya pengejaran kemajuan ilmiah dan teknologi oleh Muslimin harus dilakukan dalam kerangka filsafat sains dan teknologi Islam yang ditegakkan di atas sistem kepercayaan Islam serta sistem etika dan moral yang terwujud dalam syariah.[23]

Allah Swt. pun menegaskan dalam banyak ayat-Nya mengenai keutamaan orang-orang yang berilmu, di antara ayat-ayat itu adalah sebagai berikut:

“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?’ Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar [39] : 9).

“Allah berikan al-Hikmah (ilmu pengetahuan, hukum, filsafat dan kearifan) kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-Hikmah itu, benar-benar ia telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (berdzikir) dari firman-firman Allah.” (QS. Al-Baqoroh [2] : 269).

“… Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Mujaadilah [58] :11)

Rasulullah SAW pun memerintahkan para orang tua agar mendidik anak-anaknya dengan sebaik mungkin. “Didiklah anak-anakmu, karena mereka itu diciptakan buat menghadapi zaman yang sama sekali lain dari zamanmu kini.” (Al-Hadits Nabi Saw.); “Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap Muslimin, Sesungguhnya Allah mencintai para penuntut ilmu.” (Al-Hadits Nabi Saw.); dan hadis-hadis Nabi Saw. yang senada lainnya.

Dari uraian-uraian di atas, diketahui begitu tingginya apresiasi ajaran Islam terhadap pengembangan iptek. Hal ini disebabkan bahwa kebenaran iptek menurut Islam ditentukan oleh kemanfaatan yang terkandung di dalamnya. Iptek akan bermanfaat apabila (1) mendekatkan pada kebenaran Allah dan bukan menjauhkannya; (2) dapat membantu umat merealisasikan tujuan-tujuannya (yang baik); (3) dapat memberikan pedoman bagi sesama; dan (4) dapat menyelesaikan persoalan umat. Dalam konsep Islam sesuatu hal dapat dikatakan mengandung kebenaran apabila ia mengandung manfaat dalam arti luas.

Dengan melihat uraian-uraian mengenai kenyataan umat Islam yang memprihatinkan dalam penguasaannya akan iptek dewasa ini di satu sisi, dan pandangan ajaran Islam yang justru menyanjungnya, serta kenyataan historis umat Islam masa klasik di sisi lain, hendaknya membuka mata kita untuk segera bangkit dari kejumudannya dan meraih kembali “hikmah” yang direbut oleh orang-orang non-Muslim itu. Oleh karena itu, negara-negara Muslim –terutama negara Indonesia– hendaknya semakin serius untuk mengatasi kertinggalannya dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendorong dilakukannya penelitian-penelitian dalam bidang iptek. Jika tidak, “abad ke-15 Hijriah yang disebut sebagai abad kebangkitan umat Islam” tinggal hanya slogan belaka.

DAFTAR PUSTAKA

Aminullah, Syahrul, “Urgensi Meningkatkan Anggaran IPTEK”, file:///C:/Documents%20and%20Settings/Admin/My%20Documents/URGENSI%20MENINGKATKAN%20IPTEK.htm, akses 1 April 2008

Amir, Sulfikar, “Sains, Islam, dan Revolusi Ilmiah”, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&mode=print&id=153, akses 25 March 2008

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Bakar, Osman, Tauhid dan Sains: Esei-esei tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Penerj. Yuliani Liputo, Cet.II, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Thoha Putra, 1989.

Ghozali, Bob Syahrial, “Islam, Sains Dan Ketauhidan”, http://empiris-homepage.blogspot.com/2007/10/islam-sains-dan-ketauhidan-1.html, Akses 25 Maret 2008skip to main | skip to sidebar

Hoodboy, Pervez, Islam and Science: Religiuos Orthodox and the Battle for Rationality, Malaysia: Abdul Majeed & Co., 1992.

Lestari, Dewanti, “Masihkah IPTEK Tersungkur di 2008?”, file:///C:/Documents%20and%20Settings/Admin/My%20Documents/%C2%BB%20Masihkah%20Iptek%20Tersungkur%20di%202008.htm, akses 1 April 2008

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Cet.IV, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000.

Muhaimin, “Redefinisi Islamisasi Pengetahuan: Upaya Menjajaki Model-model Pengembangannya”, dalam Mudjia Rahardjo (Ed.), Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Pengetahuan, Malang: Cendekia Paramulya, 2002.

Munawar-Rahman, Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jakarta: Mizan, 2006.

Samantho, Ahmad Y, “IPTEK dan Peradaban Islam,” http://ahmadsamantho.wordpress.com/2007/09/18/170/, akses 3 April 2008

Shihab, M. Quraish, “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992.

_____, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudlu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996.

Tibi, Bassam, Krisis Peradaban Islam Modern: Sebuah Kultur Praindustri dalam Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Penerj. Yudian W. Asmin dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994.

Watt, W. Montmogery, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, Penerj. Hendro Prasetyo, Jakarta: Gramdia Pustaka Utama, 1995.

Yamin, Moh., Peringkat Pendidikan Turun dari 58 ke 62”, http://epajak.org/blog/peringkat-pendidikan-turun-dari-58-ke-62-232/, akses 1 April 2008

UMAT ISLAM DAN IPTEK: Sketsa Realitas Umat Islam

URAIAN

Disusun untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester Genap

pada Mata Kuliah Teknologi Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Ki Supriyoko, S.D.U., M.Pd.




Oleh:

MAFTUH, S.Pd.I

NIM. 07223784

MINAT AKIDAH AKHLAK (A)

KONSENTRASI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA

UIN SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2008



[1] Bassam Tibi, Krisis Peradaban Islam Modern: Sebuah Kultur Praindustri dalam Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Penerj. Yudian W. Asmin dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994)

[2] Pervez Hoodboy, Islam and Science: Religiuos Orthodox and the Battle for Rationality, (Malaysia: Abdul Majeed & Co., 1992), hal. 12, sebagaimana dikutip Muhaimin, “Redefinisi Islamisasi Pengetahuan: Upaya Menjajaki Model-model Pengembangannya”, dalam Mudjia Rahardjo (Ed.), Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Pengetahuan, (Malang: Cendekia Paramulya, 2002), hal. 221

[3] Pada masa keemaan Islam dikatakan bahwa: “Kaum Muslim klasik, pramodern, menyadari benar keunggulan mereka dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi atas banga-bangsa lain.” Lihat Budhy Munawar-Rahman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, (Jakarta: Mizan, 2006), hal. 3359; Lihat juga pengakuan jujur atas peradaban Islam klasik yang gemilang dan sumbangannya kepada Eropa-Barat oleh seorang orientalis konservatif, W. Montmogery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, Penerj. Hendro Prasetyo, (Jakarta: Gramdia Pustaka Utama, 1995)

[4]Bob Syahrial Ghozali, “Islam, Sains Dan Ketauhidan”, http://empiris-homepage.blogspot.com/2007/10/islam-sains-dan-ketauhidan-1.html, Akses 25 Maret 2008skip to main | skip to sidebar

[5] Ibid.; Bandingkan juga, Mohammad Nasir Mokhtar, Islam dan Sains, yang mencatat bahwa penulis-penulis Muslim “hanya” menyumbangkan 46 tulisan dari 4.168 di bidang Fisika, 53 dari 5.050 di bidang Matematika, dan 128 dari 5.375 tulisan di bidang Kimia pada tahun 1989.

[6]Sulfikar Amir, “Sains, Islam, dan Revolusi Ilmiah”, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&mode=print&id=153, akses 25 March 2008

[7] Ibid.

[8] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. ix

[9] Moh. Yamin, Peringkat Pendidikan Turun dari 58 ke 62”, http://epajak.org/blog/peringkat-pendidikan-turun-dari-58-ke-62-232/, akses 1 April 2008

[10]Dewanti Lestari, “Masihkah IPTEK Tersungkur di 2008?”, file:///C:/Documents%20and%20Settings/Admin/My%20Documents/%C2%BB%20Masihkah%20Iptek%20Tersungkur%20di%202008.htm, akses 1 April 2008

[11]Syahrul Aminullah, “Urgensi Meningkatkan Anggaran IPTEK”, file:///C:/Documents%20and%20Settings/Admin/My%20Documents/URGENSI%20MENINGKATKAN%20IPTEK.htm, akses 1 April 2008

[12] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Cet.IV, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), hal. 132

[13] Budhy Munawar-Rahman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 667

[14] Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Esei-esei tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Penerj. Yuliani Liputo, Cet.II, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), hal. 239-240

[15] Ibid.

[16] Arti ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Lihat, Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Thoha Putra, 1989), hal. 1079

[17] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudlu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 432

[18] M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 168

[19] Ibid.

[20] Dan dia (Allah) mengajarkan kepada Adam, nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!" Mereka menjawab, "Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 14

[21] Dan dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. Ibid., hal. 816

[22]Ahmad Y Samantho, “IPTEK dan Peradaban Islam,” http://ahmadsamantho.wordpress.com/2007/09/18/170/, akses 3 April 2008

[23]Osman Bakar, Tauhid dan Sains, hal. 250-251

Silahkan baca selanjutnya.....