Wednesday, June 4, 2008

Pendidikan Islam

QUO VADIS PENDIDIKAN ISLAM?

Oleh: Maftuh, S.Pd.I*

Konon, dulu, ketika kolonial Belanda ingin mendirikan pendidikan untuk penduduk pribumi, ia sempat melirik pendidikan Islam yang ada pada saat itu, yakni pondok pesantren. Sayang, kolonial melihat bahwa proses pembelajaran yang berlangsung di dalamnya dinilai sangat buruk untuk diadopsi dan dikembangkan menjadi pendidikan yang dikonsumsi publik. Ditambah lagi faktor politik kolonial yang terlanjur curiga dengan orang-orang yang berada di dalam pesantren. Karena ia pandang bibit-bibit “kaum pemberontak” justru lahir dari rahim lembaga pendidikan tersebut.

Singkat cerita, pemerintah kolonial Hindia Belanda akhirnya mengabaikan saja pendidikan Islam itu dengan mendirikan sistem pendidikan baru yang dibawa dari Barat, yang sekarang kita kenal dengan sebutan sekolah. Agaknya, kenyataan sejarah inilah yang menjadi akar penyebab munculnya dualisme dalam sistem pendidikan di Indonesia. Andaikata saja kolonial mengembangkan lembaga pendidikan Islam yang ada pada waktu itu, tentu jalan sejarah akan bercerita lain dari yang sekarang kita alami.

Kini, kita menyaksikan pendidikan Islam seolah gamang dalam menyahuti setiap perubahan kebijakan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Diknas). Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Diknas itu mungkin utamanya adalah diperuntukkan bagi lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah naungannya. Sedangkan pendidikan Islam –yang note bene- di bawah Departemen Agama (Depag) seharusnya memiliki formula kebijakan sendiri, karena yang mengetahui persoalan rumah tangga sendiri adalah si penghuni yang tinggal di dalamnya. Namun, kenyataan yang terjadi pada pendidikan Islam justru latah dengan cara mengamini setiap kebijakan itu dengan setengah hati untuk diterapkan di dalamnya.

Ironis memang. Departemen Pendidikan nasional dengan anggarannya yang jauh lebih besar dibanding Departemen Agama –terlebih khusus lagi untuk bidang pendidikan Islamnya maka tentu akan jauh lebih kecil lagi- berani melakukan pembenahan diri di sana-sini dalam mengejar target tujuannya. Sebaliknya, pendidikan Islam yang memikul tugas amat sangat berat yakni sebagai pengawal (guardian) moral bangsa, hanya kebagian “sisa-sisa” untuk disebarkan di sejumlah jenis dan jenjang lembaga pendidikan Islam yang ada. Oleh karena itu tidak usah terkejut apabila produk-produk lembaga-lembaga pendidikan Islam ditemukan mutunya jauh tertinggal di banding produk-produk lembaga pendidikan umum. Tentu saja ini adalah overgeneralisasi. Memang diakui ada produk lembaga pendidikan Islam yang juga qualified dan berani berkompetisi dengan lembaga-lembaga pendidikan bonafid lainnya. Namun, hemat penulis, ada berapa banyak lembaga pendidikan Islam yang “bagus” itu? Kalau diambil rerata, lembaga pendidikan di bawah naungan mana yang lebih unggul? Kendati belum melakukan penelitian untuk menjawab itu, kiranya asumsi yang mengatakan bahwa lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Diknas akan lebih baik dibanding di Depag, rupanya patut dipertimbangkan.

Kalau demikian, apakah pendidikan Islam disatu-atapkan saja dengan pendidikan nasional di bawah satu departemen? Jawabannya: bisa ya, bisa tidak. Jawaban ya, apabila pendidikan Islam yang berada sekarang, masih tetap “kerasan” jalan di tempat dengan segala citra pejoratif produknya yang belum juga terangkat. Ini mengindikasikan bahwa, departemen pengelolanya telah gagal “mengasuhnya” sehingga menjadi lembaga pendidikan yang “mumpuni”. Sedangkan jawaban tidak, apabila pendidikan Islam akan tercerabut dari ciri khasnya sebagai “pendidikan umum yang berciri khas Islam”. Karena, walau bagaimanapun, pendidikan Islam dengan ciri khasnya itu bertugas sebagai pembinaan jiwa agama dan akhlak anak didik, yang belum tentu dapat ditemukan di lembaga pendidikan umum, karena minimnya alokasi waktu untuk itu.

Sebagai refleksi akhir, akan kemana pendidikan Islam di masa depan, sebetulnya, akan sangat tergantung pada perkembangan politik di Indonesia sendiri. Sangat boleh jadi pendidikan Islam akan berubah ke arah format tertentu yang berbeda sama sekali dari yang ada sekarang, sejalan dengan perkembangan politik mutakhir yang diterapkannya pada saat itu. Quo vadis pendidikan Islam? Wallahu a’lam.



* Penulis adalah praktisi pendidikan Islam di Kandepag Kabupaten Serang dan mahasiswa Progam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

No comments: