Friday, June 6, 2008

Memperbincangkan Kembali Problematika SDM

MEMPERBINCANGKAN KEMBALI PROBLEMATIKA

SUMBER DAYA MANUSIA

Oleh : MAFTUH, S.Pd.I*

Pembicaraan di sekitar peningkatan sumber daya manusia (SDM) adalah salah satu topik yang sedang “populer” belakangan ini. Hal ini bisa dipahami, mengingat signifikansi topik ini dalam kaitannya dengan kehidupan masa depan bangsa yang lebih cerdas dan adil. Dikatakan bahwa, hanya dengan tersedianya SDM yang berkualitas tinggi, Indonesia bisa survive di tengah pertarungan ekonomi dan politik internasional yang terus kian kompetitif ( Azyumardi Azra, 1999: 57).

Pendidikan merupakan salah satu cara paling efektif dalam peningkatan SDM tersebut. Kondisi pendidikan yang terkesan fragmentaris atau terpecah-pecah, adalah di antaranya disebabkan oleh tujuan pendidikan yang cenderung berorientasi pada pembentukan “tukang-tukang” atau para spesialis yang terkurung dalam ruang spesialisasinya yang sempit, karena itu, perhatian dan minatnya lebih bersifat teknis. Padahal pendidikan merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penuntun dalam menjalani kehidupan dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peraban manusia. Tanpa pendidikan, maka generasi sekarang tidak akan berbeda dengan generasi masa lampau. Atau, manusia yang akan datang tidak akan berbeda dengan manusia sekarang bahkan mungkin saja malah lebih buruk kualitasnya.

Pendidikan, idealnya, adalah pendidikan yang berwajah insani dan mampu pula menajamkan nurani peserta didik. Maksudnya, pendidikan yang dipraktekkan mengangkat martabat dan derajat peserta didik sekaligus pada saat yang bersamaan mampu mengasah nuraninya. Oleh karena itu, pendidikan sejatinya tidaklah hanya dijadikan sebagai instrumen bagi mobilitas vertikal masyarakat yang pada akibatnya menciptakan kelas-kelas baru yang teralienasikan dari masyarakatnya itu. Namun juga pendidikan harus ditekankan terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian peserta didik sehingga ia mampu menyongsong kehidupan dengan berbekal ilmu pengetahuan dan keahlian yang dimiliknya.

Karakteristik Umum SDM Indonesia

Ironisnya, dalam kenyatannya seringkali kita temui hasil-hasil dari proses pendidikan yang justeru menggambarkan SDM yang sebaliknya. Sebagaimana ditegaskan oleh Taufiq Ismail (2005: 3) bahwa problem mendasar SDM Indonesia –yang notebene mayoritas beragama Islam ini- sesungguhnya berkaitan dengan sikap, mental, tata nilai, orientasi, pandangan hidup, dan kebudayaan yang melatarbelakangi dan melahirkannya.

Bahkan Mochtar Lubis (dikutip A.S. Munandar, 2001: xxiv-xxv) telah mencoba mengidentifikasi ciri-ciri manusia Indonesia. Ciri-ciri tersebut antara lain: (1) munafik, (2) segan dan enggan bertanggung jawab, (3) berjiwa feodal, (4) percaya tahayul, (5) artistik, (6) berwatak lemah (cengeng),(7) tidak hemat, (8) kurang gigih (9) dan tidak biasa bekerja keras. Ia masih memerinci lebih lanjut tentang sejumlah ciri negatif manusia Indonesia. Meski di sana-sini ada juga ciri positifnya, setidaknya apa yang dikatakannya sebagai kecenderungan umum yang melekat dalam diri manusia Indonesia.

Apa yang dikatakan oleh Mochtar Lubis tersebut ternyata juga sejajar dengan apa yang dikemukakan oleh Bapak Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat. Ia menyebutkan sedikitnya ada lima mentalitas negatif bangsa Indonesia, yaitu: (1) meremehkan mutu, (2) cenderung mencari jalan pintas (menerabas), (3) tidak percaya diri, (4) tidak berdisiplin, dan (5) mengabaikan tanggung jawab (Koentjaraningrat, 1974: 20).

Jika diterjemahkan lebih lanjut sikap yang meremehkan mutu dapat kita cermati dari cara manusia Indonesia umumnya yang cenderung mengerjakan sesuatu asal jadi, selesai, dan setelah itu dianggap bukanlah persoalannya lagi. Yang penting, pekerjaan itu dapat selesai, terlepas dari apakah pekerjaannya itu bermutu atau tidak. Jika hasil pekerjaannya itu memuaskan, ya syukur, jika mengecewakan, ya tidak apa-apa. Toh tanggung jawab terhadap pekerjaan itu sudah selesai.

Sedangkan sikap yang suka menerabas, mencari jalan pintas terjadi di hampir semua struktur sosial dan birokrasi. Istilah main belakang, orang dalam, semua bisa diatur, satu meja satu amplop, urusan diselesaikan dengan cara damai, sesungguhnya merupakan representasi dari kebiasaan main terabas itu. Dalam hal ini, tujuan atau hasil adalah segala-galanya, meskipun harus melalui proses yang tidak benar. Di sinilah kebiasaan suap-menyuap tumbuh subur. Keadaan ini kemudian seolah-olah memperoleh legitimasi ketika kita berurusan dengan aparat birokrasi pemerintah. Jangan heran jika seseorang yang hendak mengurus sesuatu di instansi pemerintah, dia harus menyiapkan setumpuk amplop yang akan disebarkan di sejumlah meja dan ke atas sejumlah tangan. Batas antara suap dan ungkapan terima kasih, sudah sangat sulit dibedakan. Kolusi sudah dianggap sebagai bagian dari pekerjaan, dan orang yang tidak melakukan itu dianggap melawan arus zaman. Dapat dibayangkan sukarnya guru yang bertugas mengajarkan budi pekerti, menyampaikan kepada siswa-siswanya di kelas tentang fenomena ini.

Sikap tidak percaya diri hampir merata melekat dalam diri sebagian besar dari masyarakat kita. Pengagungan yang berlebihan terhadap bangsa Barat termasuk mengikuti secara membuta-tuli segala sesuatu –teori, konsep, gaya hidup, mode, dari yang ilmiah sampai yang urakan- yang datang dari Barat, sebenarnya merupakan kompensasi dari rasa minder itu.

Demikian juga sikap tidak disiplin banyak menghinggapi masyarakat Indonesia ini. Istilah jam karet, vonis ditentukan di belakang meja, terlambat dalam pengerjaan banyak hal, lebih takut kepada polisi dibanding kepada aturan, membuang sampah sembarangan, adalah sebagian kecil dari ciri lenturnya disiplin bangsa ini. Taat asas dan konsekuen pada peraturan dianggap bersikap kaku, tidak manusiawi, tidak bertenggang rasa dan sok-disiplin. Ia akan menjadi bahan olok-olok dan mungkin sekali akan disingkirkan dari pekerjaan atau jabatan strategis.

Pendidikan sebagai Instrumen penyadaran

Dari uraian di atas sebenarnya merupakan tanggung jawab kita bersama untuk merubah mentalitas negatif atau minimal menguranginya. Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam memberi penyadaran atas kualitas dan elan suatu masyarakat. Harus ada proses ke arah itu. Di dalam proses itu pertama-tama yang dilakukan manusia adalah meningkatkan kualitas dirinya, meningkatkan kualitas SDM. ”Allah tidak akan mengubah suatu kaum (individu), jika kaum (individu) itu sendiri tidak berusaha untuk melakukan perubahan.” Demikian al-Qur’an Surat ar-Ra’d ayat 11 memberi petunjuk akan hal ini.

Terdapat beberapa hal yang patut kita perhatikan, sebagaimana dikemukakan Taufiq Ismail (2005: 19-21), sehubungan dengan proses penyadaran masyarakat kita ini.

Pertama, melalui pemberian penghargaan pada profesi. Perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa profesi apa pun pada hakikatnya adalah pekerjaan. Tumbuhnya kesadaran bahwa profesi adalah pekerjaan, tidak hanya akan mengubah cara pandang masyarakat terhadap konsep pekerjaan, melainkan akan menumbuhkan apresiasi yang sama terhadap profesi apa pun, sejauh tidak melanggar norma agama, hukum dan susila. Maka seorang majikan tidak akan memperlakukan pembantu rumah tangganya secara sewenang-wenang karena dia mempunyai kesadaran bahwa profesi sebagai rumah tangga pun adalah pekerjaan yang menuntut profesionalitas, dan bukan sekedar setia dan loyal.

Kedua, melalui pemberian penghargaan pada prestasi hasil budaya dan pemikiran. Penghargaan pada hasil budaya akan memperkaya ruhani dan itu menyangkut persoalan moral dan hati nurani. Dalam hal ini, pentingnya penghargaan pada prestasi budaya dapat menumbuhkan rasa cinta, kagum, bangga, dan memberi penyadaran bahwa prestasi merupakan sesuatu yang penting. Karena prestasi hanya dapat dicapai melalui kerja keras.

Ketiga, melalui pemberian penghargaan kepada karya-karya hasil pemikiran. Karya-karya dari buah pemikiran tidak lain merupakan prestasi dari sebuah kreativitas. Dengan memberi apresiasi pada buah pemikiran, kita akan memberi tempat pada pemikiran apa pun. Dalam konteks ini, penghargaan terhadap buah pemikiran akan melancarkan proses demokratisasi.

Keempat, melalui penumbuhan kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan, utamanya membaca buku dan menulis karangan. Bagaimanapun, peranan ilmu pengetahuan sebagai langkah untuk mencapai kemajuan dan mengejar ketertinggalan, mesti menjadi wacana kehidupan sehari-hari. Ilmu seharusnya ditempatkan sebagai kebutuhan ruhani yang primer. Dalam konteks SDM, ilmu adalah modal dasar untuk meningkatkan kualitas SDM. Hanya dengan ilmu, SDM akan menjadi capital (modal) yang mempunyai nilai lebih dan harga yang tinggi.

Oleh karena itu, penggalian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan pentingnya ilmu harus tidak bosan-bosannya disuarakan baik di dalam khutbah Jum’at dan dakwah agama lainnya. Sebab, hanya dengan ilmu seseorang akan dapat meningkatkan derajatnya lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak berilmu. Dengan ilmu pula penghargaan kita kepada sesama manusia, kepada alam semesta, dan kepada Tuhan , justeru akan meningkat. Dengan kesadaran seperti ini, keberimanan kita juga akan meningkat.

Kelima, melalui pemberian penghargaan kepada profesi guru. Guru yang profesional di antaranya adalah mereka yang setiap saat memperbaharui metode mengajarnya, menambah wawasan ilmu pengetahuannya, dan menyadari profesinya sebagai agen perubahan dan ujung tombak ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, citra guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa,” jelas merupakan pelecehan terhadap profesi guru. Guru adalah pahlawan yang harus diberi tanda jasa. Tanda jasanya, bisa berupa peningkatan kesejahteraan, peningkatan gaji, pemberian fasilitas untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuannya, atau memberi kebebasan untuk meningkatkan profesionalitasnya.

Sebaik apa pun kurikulum disusun, akan menjadi masalah mengganjal apabila kualitas gurunya sendiri terabaikan. Dalam hal ini, apresiasi yang tinggi harus diberikan kepada Departemen Agama –dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Islam- yang telah bergeser paradigmanya. Semula hanya sekedar pendidikan dan latihan (Diklat) untuk meningkatkan kualitas guru-guru. Namun, kini dengan slogannya “back to campus” memberikan kesempatan bagi guru-guru untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, dengan harapan kelak pada gilirannya akan dapat meningkatkan mutu pendidikan Islam di tempat mereka mengabdikan diri.

Pendidikan Islam jelas mempunyai peranan penting dalam peningkatan kualitas SDM ini. Karena, sesuai dengan cirinya sebagai pendidikan agama, secara ideal pendidikan Islam berfungsi dalam penyiapan SDM yang berkualitas tinggi, baik penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dalam hal karakter, sikap moral, dan penghayatan serta pengalaman ajaran agama. Singkatnya, pendidikan Islam secara ideal berfungsi membina dan menyiapkan peserta didik yang berilmu, berteknologi, berketerampilan tinggi dan sekaligus beriman dan beramal saleh.

Akhirnya, memang cara berpikir kita harus segera dirubah dengan cara pandang baru, yaitu memutar fokus lensa kamera kita lebih tajam terhadap kualitas guru dan menempatkan pekerjaan guru secara profesional. Semboyan “guru pahlawan tanpa tanda jasa,” harus disingkirkan jauh-jauh, dan diganti dengan “guru pahlawan yang harus diberi tanda jasa” seperti dinyatakan di atas, melalui peningkatan kesejahteraan dan kualitasnya. Pasukan paling depan dalam format pertempuran mengatasi kebodohan ini adalah guru. Wallahu a’lam.



* Penulis mengabdi pada MTs Al-Khairiyah Macute Mancak, Kandepag Kabupaten Serang dan Penerima Beasiswa Departemen Agama pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

No comments: