Sunday, December 21, 2008

Pemikiran Empat Imam Madzhab



SKETSA PEMIKIRAN EMPAT MADZHAB FIQH SUNNI:
Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali
Oleh: Maftuh, S.Pd.I., M.S.I

A. Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah fiqh, telah muncul berbagai aliran dalam fiqh baik itu yang bersifat keagamaan ataupun yang bertendensi politik. Begitu pula dalam pola pikir yang dibangun oleh fuqaha juga berbeda, masing-masing aliran memiliki kelebihan dan kekurangan. Perbedaan ini terletak pada cara pandang dan analisis nash (teks). Perbedaan cara pandang dan metode penetapan hukum tersebut, akhirnya melahirkan aliran-aliran tertentu, yang kemudian dikenal dengan aliran Ahlul Hadis dan Ahlur Ra’yi, atau ada yang menyebut dengan istilah aliran tradisionalisme dan rasionalisme.
Berkembangnya kedua aliran ijtihad tersebut pada akhirnya melahirkan madzhab-madzhab dalam fiqh yang memiliki corak metodologi dan produk hukum Islam atau fiqh tersendiri, serta masing-masing juga telah memiliki pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Dalam sejarahnya, dikenal beberapa madzhab yang secara umum dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yakni madzhab Sunni dan madzhab Syi’i.
Dalam madzhab Sunni sendiri dikenal berbagai madzhab, antara lain: madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Auza’i, Laitsi, Tsauri dan Dhahiri. Sedangkan madzhab atau aliran Syi’i antara lain: Aliran Itsna Asy’ariyah, Zaidiyah, Ismailiyah, Kisaniyah, Fathaniyah, Waqiyah dan Nawusiyah.
Dalam tulisan ini akan coba dibahas mengenai empat mazdhab fiqh Sunni, yakni: madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali, yang keberadaannya masih eksis sampai saat ini. Aspek-aspek yang dibahas yaitu mengenai asal-usul pertumbuhannya dan dasar-dasar pemikiran ijtihadi dari masing-masing madzhab tersebut.


B. Empat Mazdhab Fiqh Sunni: Asal-usul dan Pemikirannya
1. Madzhab Hanafi
a. Asal-usul Madzhab Hanafi
Nama madzhab ini diambil dari ulama yang bernama an-Nu’man bin Tsabit (80-150 H), yang lebih dikenal dengan julukan atau gelar Imam Abu Hanifah.
Ada beberapa riwayat tentang asal usul beliau mendapat julukan atau gelar tersebut. Ada yang menyebutkan bahwa nama itu disebabkan karena salah satu anaknya bernama Abu Hanifah. Ada lagi yang meriwayatkan karena beliau begitu dekat dan eratnya berteman dengan tinta untuk menulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya, maka beliau dijuluki dengan Abu Hanifah karena hanifah dalam bahasa Irak berarti “tinta”. Sementara riwayat yang lain menyatakan bahwa gelar tersebut diberikan oleh masyarakat karena ketaatan dan ketekunannya dalam beribadah kepada Allah, gelar ini diambil dari bahasa Arab hanif yang berarti yang berpegang teguh pada ajaran yang benar.
Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah, Irak pada tahun 80 Hijriyah. Ayah beliau, Tsabit, adalah pedagang sutera dari Persia yang juga diwarisi oleh Abu Hanifah. Sebagai pedagang sutera beliau dikenal sebagai orang yang selalu benar, jujur serta amanah dalam berdagang. Kendati demikian, Abu Hanifah tetap mempunyai kecenderungan yang tinggi dalam memperdalam ilmu-ilmu agama. Beliau terkenal sebagai orang yang sangat cerdas, kecerdasan beliau dapat diketahui dari pengakuan para tokoh dan ulama semasanya.
Dalam belajar fiqh, beliau belajar kepada Hammad bin Abi Sulaiman yang merupakan salah satu ulama besar pada saat itu. Beliau menimba ilmu dari gurunya tersebut selama kurang lebih 18 tahun, hingga gurunya tersebut meninggal pada tahun 120 H. Beliau juga berguru kepada ‘Atha bin Abi Rabah, Hisyam bin Urwah, Nafi’ Maula bin Umar.
Menurut A. Rahman I. Doi, Abu Hanifah ini adalah salah seorang tabi’in sebab sempat menyaksikan zaman pada saat sahabat-sahabat nabi masih hidup. Beberapa sahabat tersebut adalah Anas bin Malik (w. 93 H), Sahal bin Sa’ad (w. 91 H), Abu Thubail Amir bin Wathilah (w. 100 H) dan Abdullah bin Abi Aufah. Bahkan Abu Hanifah pernah berjumpa dengan Anas bin Malik dan meriwayatkan hadis: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”.
Abu hanifah menjadi ulama terkenal serta sangat disegani dan banyak orang menuntut ilmu darinya. Di saat Khalifah Abi Ja’far al-Mansur membangun kota Baghdad, Abu Hanifah diminta oleh oleh khalifah untuk menjadi qadhi (hakim). Namun permintaan itu ditolaknya sehingga beliau disiksa dan dipenjara. Imam besar ini akhirnya meninggal dunia di penjara. Dan menurut salah satu riwayat, beliau meninggal karena diracun oleh khalifah karena banyak orang yang berkunjung ke penjara untuk menimba ilmu dariya. Beliau meninggal pada bulan Rajab tahun 150 H.
b. Dasar-dasar Fiqh Madzhab Hanafi
Seperti diakui Muhammad Abu Zahra, sebagaimana dikutip Mun’im A. Sirry, kesulitan yang terbesar dalam mengkaji pemikiran Abu Hanifah terletak pada tidak adanya buku-buku yang secara substansial memuat pemikiran dan metodologi madzhab Hanafi. Yang ada saat ini adalah berupa periwayatan dari murid-muridnya, seperti yang ditulis Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan al-Syaibani.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahli Ra’yi. Meskipun Abu Hanifah pernah bermukim di Mekkah dan mempelajari hadis-hadis nabi, serta ilmu-ilmu lain dari para tokoh yang beliau jumpai, akan tetapi pengalaman yang beliau peroleh dari luar kufah digunakan untuk memperkaya koleksi hadis-hadisnya, sementara metodologi kajian fiqhnya mencerminkan aliran Ahli Ra’yi yang beliau pelajari dari Imam Hammad, dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber pertama dan kedua.
Apabila beliau tidak menemukan ketentuan yang tegas tentang hukum persoalan yang dikajinya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka beliau mempelajarinya dari perkataan sahabat baik dalam bentuk ijma’ maupun fatwa. Kalau ketiganya tidak menyatakan secara eksplisit tentang persoalan-persoalan tersebut, maka beliau mengkajinya melalui qiyas dan istihsan, atau melihat tradisi-tradisi yang berkembang dalam masyarakat yang ditaati secara bersama-sama.
Imam Abu Hanifah pernah berkata: “Aku mengambil hukum berdasarkan al-Qur’an, apabila tidak saya jumpai dalam al-Qur’an, maka aku gunakan as-Sunnah dan jika tidak ada dalam kedua-duanya (al-Qur’an dan as-Sunnah), maka aku dasarkan pada pendapat para sahabat dan aku tinggalkan apa saja yang tidak kusukai dan tetap berpegang kepada pendapat satu saja.” Beliau juga berkata: “Aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad dan berpegang kepada kebenaran yang didapat seperti mereka juga.”
Untuk lebih jelasnya, dasar-dasar yang digunakan oleh madzhab Hanafi dalam menetapkan suatu hukum berdasarkan urutannya, yaitu:
1) Al-Qur’an
2) As-Sunnah
Kualifikasi as-Sunnah ini harus shahih, mutawatir dan juga dikenal secara luas (masyhur). Madzhab Hanafi menolak menggunakan hadis uang diriwayatkan oleh satu orang saja yang disebut hadis ahad.
3) Perkataan sahabat
4) Al-Qiyas
5) Al-Istihsan
Yaitu berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat.
6) Al-‘Urf
Yaitu tradisi masyarakat baik berupa perkataan maupun perbuatan. Atau dengan perkataan lain adalah adat kebiasaan. Tentu saja ‘urf ini harus sejalan dengan semangat syari’ah, sedangkan ‘urf yang bertentangan dengan jelas ditolak oleh madzhab Hanafi.
Sebenarnya, menurut Mun’im A. Sirry, yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan para imam yang lain adalah terletak pada kegemarannya menyelami semua hukum, mencari tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disyari’atkannya suatu hukum. Perbedaan lebih tajam lagi, lanjut Mun’im, adalah bahwa Abu Hanifah banyak mempergunakan teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penerimaan hadis ahad. Tidak seperti para imam yang lain, Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash dan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangkan ‘illat, hikmah, tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang dipahami.
Contoh produk fiqh Abu Hanifah sebagai imam ahli fikir (Ahlir Ra’yi), yaitu: “Seseorang ketika di malam yang gelap atau di saat-saat yang sulit hendak menentukan arah kiblat, maka hukum shalatnya adalah sah, meskipun didapati ternyata dia tidak menghadap kiblat, tetapi dengan syarat dia sudah berusaha mencari arah kiblat.”
Madzhab Hanafi ini hingga saat ini berkembang di sebagian besar penduduk Irak, Mesir, Turki, Syiria, Syam hingga orang-orang muslim India, Pakistan, Afghanistan dan orang-orang muslin Cina.
2. Madzhab Maliki
a. Asal-usul Madzhab Maliki
Nama madzhab Maliki dinisbatkan dari seorang ulama yang bernama Imam Malik bin Anas (93-179 H). Beliau lahir di Madinah dan menjadi ahli fiqh yang terkenal di Madinah. Diriwayatkan bahwa beliau tidak pernah meninggalkan kota ini kecuali pada waktu melaksanakan ibadah haji. Mengenai tahun kelahirannya terdapat beberapa perbedaan. Ibnu Khaliqan mencatat bahwa tahun lahirnya adalah 75 H, sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa dia lahir 94 H.
Masa muda Malik disibukkan dengan menuntut ilmu. Mula-mula ia menghafal as-Sunnah, atsar dan fatwa-fatwa sahabat. Malik bin Anas mulai belajar dan menghafal al-Qur’an dan pada usia yang sangat muda telah hafal seluruh al-Qur’an. Setelah itu beliau mulai belajar dan menghafal hadis. Guru beliau dalam hadis antara lain: Ibnu Syihab az-Zuhri, Ibnu Hurmuz, dan Nafi’. Sementara guru beliau dalam bidang fiqh adalah Rabi’ah dan Yahya bin Sa’id al-Anshari.
Situasi ketika Malik hidup juga memberikan pengaruh besar terhadap sikap konsistensinya pada hadis dan keengganannya pada ijtihad rasio. Selama 40 tahun ia hidup dalam periode Umayyah dan 46 tahun dalam periode Abbasiyah. Masa-masa ini merupakan orde penuh gejolak dan sarat gelombang fitnah dan politik. Dalam lapangan politik, misalnya, munculnya aliran Syi’ah dan Khawarij. Dalam teologi muncul aliran Qadariyah, Jahmiyah dan Murji’ah. Dalam upaya membela madzhab-madzhabnya, kadang-kadang mereka menggunakan hadis-hadis nabi secara serampangan. Akibatnya timbul hadis-hadis palsu dan pertentangan di kalangan masyarakat.
Akibat dari kecerobohan-kecerobohan terhadap hadis-hadis Nabi itu, Imam Malik merasa perlu untuk meneliti riwayat-riwayat hadis. Dari sinilah lahir bukunya yang monumental, ¬al-Muwattha’, yang memuat hadis-hadis shahih, perbuatan-perbuatan orang-orang Madinah, fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in yang disusun secara sistematis mengikuti sistematika penulisan fiqh. Keistimewaan buku ini adalah bahwa Imam Malik memerinci berbagai persoalan dan kaidah-kaidah fiqhiyah yang diambil dari hadis-hadis dan atsar. Buku yang berjudul al-Muwattha’ dan disusun selama 40 tahun ini bermakna “kemudahan” dan “kesederhanaan”, karena penulisannya yang diusahakan sebaik mungkin untuk memudahkan dan menyederhanakan kajian-kajian hadis dan fiqh.
b. Dasar-dasar Madzhab Maliki
Imam Malik sendiri sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka madzhab ini, murid-murid Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah itu menyimpulkan dasar-dasar fiqhiyah Malik kemudian menuliskannya. Dalam Muwattha’, Malik secara jelas menerangkan bahwa dia mengambil “tradisi orang-orang Madinah” sebagai salah satu sumber hukum setelah al-Qur’an dan as-Sunnah. Ia juga mengambil hadis munqathi’ dan mursal sepanjang tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah itu.
Secara lebih jelas dasar-dasar yang digunakan oleh madzhab Maliki adalah sebagai berikut:
1) Al-Qur’an
2) As-Sunnah
Berbeda dengan Abu Hanifah yang mensyaratkan dengan kualifikasi tertentu, Imam Malik meski mengutamakan hadis mutawatir dan masyhur, juga menerima hadis ahad asalkan tidak bertentangan dengan amal (praktik) ahli Madinah.
3) Amal ahli Madinah (praktik masyarakat Madinah)
Imam Malik berpendapat bahwa Madinah merupakan tempat Rasulullah menghabiskan 10 tahun terakhir hidupnya, maka praktik yang dilakukan oleh masyarakat Madinah mesti diperbolehkan, atau bahkan dianjurkan oleh Nabi Saw. Oleh karena itu, Imam Malik beranggapan bahwa praktik masyarakat Madinah merupakan bentuk as-Sunnah yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan.
4) Fatwa Sahabat
5) Qiyas
6) Al-Mashlahah Mursalah
Yakni menetapkan hukum atas berbagai persoalan yang tidak ada petunjuk nyata dalam nash, dengan pertimbangan kemaslahatan, yang proses analisisnya lebih banyak ditentukan oleh nalar mujtahidnya.
7) Al-Istihsan
8) Adz-Dzari’ah
Yakni Imam Malik menetapkan hukum dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul dari suatu perbuatan. Jika perbuatan itu akan menimbulkan mafsadah meski hukum asalnya boleh, maka hukum perbuatan tadi adalah haram. Sebaliknya, jika akan menimbulkan maslahah, maka hukum perbuatan tadi tetap boleh atau bahkan dianjurkan atau meningkat menjadi wajib.
Penganut madzhab Maliki ini sampai sekarang banyak pengikutnya dan mereka tersebar di negara-negara, antara lain: Mesir, Sudan, Kuwait, Bahrain, Maroko dan Afrika.



3. Madzhab Syafi’i
a. Asal-usul Madzhab Syafi’i
Sebagaimana nama madzhab-madzhab sebelumnya, nama madzhab ini juga diambil dari nama imam yang menjadi tokoh utama yang pemikirannya banyak diikuti oleh pengikut madzhab ini. Beliau adalah Imam Abdullah bin Muhammad bin Idris asy-Syafi’i yang lahir bertepatan dengan wafatnya Abu Hanifah yaitu 150 Hijriyah di daerah yang bernama Ghazzah, salah satu kota di daerah Palestina, dan wafat di Mesir tahun 204 H (822). Ayah beliau meninggal ketika masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa ibunya ke Mekkah.
Dalam usia anak-anak, sekitar 9 tahun, ia sudah hafal al-Qur’an di luar kepala. Ia juga menghafal hadis-hadis Nabi. Syafi’i juga tekun belajar bahasa Arab, bahkan karena minatnya yang demikian tinggi ini membawanya selalu berkelana ke pelosok-pelosok pedesaan (badawah). Dari sana Imam Syafi’i menguasai sastera Arab untuk memahami teks al-Qur’an dan hadis dengan baik.
Dalam bidang hadis, di Mekkah ia berguru kepada Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid. Ia menghafal ¬al-Muwattha’ sebelum bertemu penulisnya, Imam Malik. Konon ia menghafalnya hanya dalam waktu 9 hari.
Pada diri asy-Syafi’i terkumpul pemikiran fiqh fuqaha Mekkah, Madinah, Irak, Syam dan Mesir. Ar-Razi – seperti dikutip Mun’im – mengatakan bahwa hampir semua ulama terkemuka yang hidup di zamannya pernah menjadi gurunya atau, paling tidak, pernah mendiskusikan berbagai persoalan dengannya.
Kehidupan ilmiahnya bersama Imam Malik selama 3 tahun di Hijaz, dengan tatanan kehidupan sosial yang sederhana membuat Imam sy-Syafi’i cenderung pada aliran hadis, bahkan mengaku sebagai pengikut madzhab Maliki. Tetapi sesudah ia mengembara ke Baghdad, Irak, dan menetap di sana untuk beberapa tahun lamanya serta mempelajari fiqh Abu Hanifah dan pemikiran rasional Ahlur Ra’yu, maka mulailah ia condong pada aliran Ahlur Ra’yu. Apalagi setelah ia rasakan sendiri tingkat kebudyaan di Irak sebagai daerah perkotaan menyebabkan aneka ragam masalah kehidupan berikut problematikanya yang seringkali tidak ditemukan ketentuan jawabannya dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua kondisi yang berbeda ini dapat diikuti dengan cermat sehingga melahirkan suatu sintesa pemikiran fiqh moderat antara Ahlul Hadis dan fiqh Ahlur Ra’yi. Imam Syafi’i dalam beberapa hal berbeda pendapat dengan Imam Malik dan juga melakukan koreksi terhadap pengikut-pengikut madzhab Hanafi. Dari kritik-kritik kedua madzhab itu akhirnya muncul dengan madzhab baru yang merupakan sintesa dari kedua madzhab tersebut.
Kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat memengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk pemikiran dan madzhab fiqhnya. Munculnya apa yang disebut qaul jadid dan qaul qadim membuktikan hal tersebut. Madzhab qaul qadim dibangun di Irak tahun 195 H. Kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah al-Amin itu melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqh rasional. Sedangkan qaul jadid adalah pendapatnya selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya. Lahirnya madzhab jadid ini merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialaminya, dari penemuan hadis, pandangan dan kondisi sosial baru yang tidak ditemui sebelumnya di Hijaz dan Irak.
b. Dasar-dasar Madzhab Asy-Syafi’i
Posisi tengah Imam Syafi’i terlihat dalam dasar-dasar madzhabnya. Sebagaimana madzhab-madzhab lainnya, Imam Asy-Syafi’i menempatkan al-Qur’an dalam sumber yang pertama dan utama. Namun baginya, as-Sunnah juga menempati satu tingkat yang sama dengan al-Qur’an, dan bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Menurutnya, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari al-Qur’an, memerinci yang global, mengkhususkan yang umum, dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada dalam al-Qur’an. Karenanya, Sunnah Nabi Saw. tidak berdiri sendiri, tetapi punya keterkaitan erat dengan al-Qur’an.
Imam asy-Syafi’i di samping tetap teguh berpegang pada al-Qur’an dan as-Sunnah, juga pada saat yang sama memandang penting penggunaan rasio dan ijtihad.
Secara ringkas, dasar-dasar madzhab Syafi’i dalam menentukan hukum adalah sebagai berikut:
1) Al-Qur’an
2) As-Sunnah
3) Ijma’
Imam Syafi’i berpandangan bahwa kemungkinan ijma’ berarti persamaan faham atau kesepakatan seluruh ulama atas suatu persoalan pada satu masa merupakan hal yang sulit terjadi, karena jauhnya jarak dan sulitnya komunikasi di antara para ulama tersebut. Namun demikian, ia tetap mengakui adanya ijma’ dan memeganginya sebagai dalil dan mungkin terjadi adalah ijma’ sahabat dalam persoalan-persoalan tertentu.
4) Perkataan Sahabat
5) Al-Qiyas
6) As-Istihab
Yaitu membiarkan suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuannya hingga ada dalil lain yang menggantikannya. Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm menyatakan: “Apabila seseorang melakukan suatu perjalanan dan ia membawa air, kemudian ia menduga bahwa air tersebut tercampuri najis, tetapi ia tidak yakin akab terjadinya percampuran tersebut, maka dalam hal ini air tersebut tetap dihukumi suci, bisa dibuat wudhu’ maupun diminum, hingga orang tersebut yakin benar bahwa air itu telah tercampuri najis.”
Pengikut-pengikut madzhab Syaf’I ini di antaranya di daerah-daerah seperti Mesir, Afrika Timur, Persia dan Malaysia, Indonesia, Khurasan, Syiria, Armenia, Ceylon, Tiongkok dan Filipina Selatan.
4. Madzhab Hanbali
a. Asal-usul Madzhab Hanbali
Nama ulama yang dijadikan sebagai nama madzhab ini adalah Imam Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal. Beliau lahir pada tanggal 20 bulan Rabi’ul Awwal tahun 146 H di Baghad dan juga wafat di tempat kelahirannya itu pada tahun 231 H. Imam Ahmad menjadi yatim sejak kecil sehingga tidak sempat mengenal ayahnya dengan baik.
Ahmad bin Hanbal telah hafal al-Qur’an pada usia relatif masih muda. Kemudian ia tekun belajar ilmu hadis, bahasa dan masalah-masalah administrasi. Ia banyak menimba ilmu dari sejumlah ulama dan fuqaha besar antara lain Abu Yusuf, seorang hakim dan murid Abu Hanifah. Dari Abu Yusuf ini ia mengenal pelajaran ahli fiqh Ahlur Ra’yi.
Setelah beberapa lama mempelajari fiqh Ahlur Ra’yi, ia beralih pada kajian-kajian Sunnah yang dipelajarinya dari Hisyam bin Basyir bin Abi Khazim al-Wasithi (w. 183 H), seorang tokoh ahli hadis di Baghdad. Selama empat tahun dari gurunya ini ia memperoleh pengetahuan hadis yang sangat luas dan menulis sekitar 300.000 hadis. Di masjid al-Haram dan kemudian di Baghdad, ia berguru pada Imam Syafi’i dalam bidang perumusan dan teknik pengambilan hukum.
Karya Imam Ahmad yang terkenal adalah al-Musnad yang menghimpun 40.000 buah hadis dari hasil seleksinya terhadap 700.000 hadis. Karyanya ini membuatnya dikenal sebagai ahli hadis. Namun demikian ia juga telah melahirkan fatwa-fatwa fiqh dan mempunyai teori-teori kajian fiqh tersendiri, serta memiliki para pengikut yang turut menyosialisasikan fatwa-fatwa maupun teori-teorinya tersebut, hingga terbentuklah madzhab Hanbali.
b. Dasar-dasar Madzhab Hanbali
Dalam memberikan fatwa tentang urusan dan hukum agama, Imam Ahmad tergolong orang yang sangat hati-hati. Diriwayatkan beliau tidak akan memberikan jawaban dengan terburu-buru atas persoalan yang dilontarkan padanya sebelum tahu dan faham dengan benar persoalan tersebut.
Dalam proses kajian hukumnya, Imam Ahmad menetapkan dan menggunakan dasar-dasarnya sebagai berikut:
1) Al-Qur’an
2) As-Sunnah
3) Perkataan Sahabat
4) Hadis Mursal
Yaitu hadis yang terputus sanadnya di tingkat sahabat atau tabi’in.
5) Al-Qiyas
Imam Ahmad memiliki banyak murid, di antara mereka adalah: Imam al-Bukhari dan Imam Muslim (pengumpul hadis yang terkenal), Yahya bin Adam, Abu Daud, ar-Razi. Sementara para pengikut madzhab Hanbali yang terkenal adalah: Abu al-Wafa’ ibnu Aqil, Taqiyuddin ibnu Taimiyyah dan Muhammad ibnu al-Qayyim.
Adapun para pengikutnya madzhab Hanbali ini telah tersebar ke beberapa daerah seperti: Irak, Mesir, Suriah, Palestina dan Arab Saudi. Bahkan Arab Saudi menjadikannya sebagai madzhab resmi negaranya.

C. Penutup
Demikianlah uraian singkat mengenai sejarah asal-usul madzhab Sunni yang masih tetap berkembang sampai hari ini. Terlihat bahwa, keempat madzhab Sunni itu memiliki titik-titik tekanan yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Madzhab Hanbali misalnya, dari sikapnya bahwa qiyas ditempatkan di nomor terbelakang dan sifatnya darurat, dapat dipahami apabila Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya dikenal sebagai pemikir yang literalis. Kemudian Imam Syafi’i, kendati sebagai tokoh yang banyak memberi gambaran bagaimana berpikir dengan qiyas, tetapi tampaknya masih digolongkan lebih berhati-hati, dekat kepada literalis. Sedangkan Imam Malik, dengan teori maslahah mursalahnya kelihatan mempunyai pemikiran yang lebih bebas dari dua ulama besar yang disebut tadi. Sementara Imam Hanafi agaknya yang penggunaan porsi akalnya paling menonjol di antara mereka, dan kemudian para ulama sepakat menggolongkannya sebagai pemuka Ahlur Ra’yi. Wallahu a’lam.











DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Jilid I, Cet.V, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

_______, T.M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Cet.II, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.

Asy-Syafi’i, Al-Imam Abi Abdillah Muhammad al-Umm, I., ttp.: Dar asy-Sya’bi, 1321 H.

Asy-Syurbasi, Ahmad, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Penerj. Sabil Huda dan H.A. Ahmadi, Cet.IV, ttp.: Amzah, 2004.

Doi, A. Rahman I., Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syari’ah), Penerj. Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002.

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Cet.II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Cet.IV, Jakarta: PT Rajawali Press, 2002.

Ibrahim, Muslim, Pengantar Fiqh Muqaaran, Cet.II, Jakarta: Erlangga, 1991.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jil. II, Cet.V, Jakarta: UI Press, 1985.

Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Cet. IV, Jakarta: PT Rajawali Press, 1996.

Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqh Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya; Risalah Gusti, 1995.

Yusuf, Muhammad dkk., Fiqh dan Ushul Fiqh, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.

Zuhri, Muh., Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Cet. II, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997.

Silahkan baca selanjutnya.....

Monday, December 1, 2008

TAFSIR AHKAM



TAFSIR AHKAM:
Upaya Menafsirkan Al-Qur’an Berperspektif Hukum
Oleh: Maftuh

A. Pendahuluan
Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai hudan li al-nas, petunjuk bagi umat manusia. Akan tetapi petunjuk al-Qur’an tersebut tidaklah dapat ditangkap maknanya bila tanpa adanya penafsiran. Itulah sebabnya sejak al-Qur’an diwahyukan hingga dewasa ini gerakan penafsiran yang dilakukan oleh para ulama tak henti-hentinya. Hal ini terbukti dengan banyaknya karya-karya para ulama yang dipersembahkan guna menyingkap dan menguak rahasia-rahasia yangterkandung di dalamnya dengan menggunakan metode dan sudut pandang yang berlainan.
Sejarah penafsiran al-Qur’an adalah sejarah Islam itu sendiri. Artinya perjalanan sejarah tafsir al-Qur’an sudah sama tuanya dengan sejarah perjalanan Islam sebagai agama, sehingga antara keduanya menjadi identik tak terpisah.
Aktivitas penafsiran sudah barang tentu dimulai semenjak nabi Muhammad Saw yang menyampaikan risalah Tuhan yang datang dalam bentuk al-Qur’an. Sebagai pembawa risalah, nabi Muhammad harus faham dan mengerti terlebih dahulu atas pesan wahyu yang harus disampaikan kepada umatnya. Ketika sasaran wahyu, yaitu umat, menghadapi kesulitan tertentu dalam memahami wahyu maka mereka akan menanyakan langsung isi pesannya kepada nabi sebagai penyampai wahyu. Pada saat itu penafsiran dilakukan oleh Rasul dengan cara menjelaskan langsung beberapa makna ayat kepada para sahabat seperti menjelaskan lafal yang mujmal, mentakhsis lafal yang ‘am, menjelaskan yang musykil, dan sebagainya. Dengan demikian, tugas penafsiran menjadi bagian integral dari tugas risalah.
Tulisan ini akan coba mendiskusikan mengenai tafsir ahkam, yaitu suatu jenis tafsir yang bercorak fiqh atau bercorak hukum. Namun sebelum lebih jauh membahasnya, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian tafsir itu sendiri.

B. Pengertian Tafsir
Kata “tafsir” berasal dari bahasa Arab fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman dan perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah wa tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan.
Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan timbangan (wazan) kata taf’il, diambil dari kata al-fasr yang berarti al-bayan (penjelasan) dan al-kasyf yang berarti membuka atau menyingkap; dan dapat pula diambil dari kata al-tafsarah, yaitu istilah yang digunakan untuk suatu alat yang biasa digunakan oleh dokter untuk mengetahui penyakit.
Selanjutnya, pengertian tafsir seperti dikemukakan para pakar al-Qur’an tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, akan tetapi esensinya sama. Al-Jurjani, misalnya, mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun sebab nuzul-nya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas.
Sementara itu Imam az-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Selanjutnya, Abu Hayan, sebagaimanan dikutip al-Suyuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal al-Qur’an disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (al-Qur’an) yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw., dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.
Dari definisi-definisi di atas dapat ditemukan tiga ciri utama tafsir. Pertama,dilihat dari segi objek pembahasannya adalah kitabullah (al-Qur’an) yang di dalamnya terkandung firman Allah Swt. yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad Saw. melalui malaikat Jibril. Kedua, dilihat dari segi tujuannya, adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan al-Qur’an sehingga dijumpai hikmah, hukum, ketetapan, dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Ketiga, dilihat dari segi sifat dan kedudukannya adalah hasil penalaran, kajian, dan ijtihad para mufassir yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya, sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.
Dengan demikian, secara singkat dapat diambil suatu pengertian bahwa tafsir adalah usaha manusia dalam memahami al-Qur’an.

C. Kandungan Hukum dalam Al-Qur’an
Perlu dikemukakan terlebih dahulu yang dimaksud dengan istilah “fiqh” dan “hukum” itu sendiri.
1. Pengertian Fiqh
Kata “fiqh” secara etimologis berarti “paham yang mendalam”. Kata ini di dalam al-Qur’an sebanyak 20 ayat; 19 di antaranya berarti bentuk tertentu dari kedalaman paham dan kedalaman ilmu yang menyebabkan dapat diambil manfaat darinya.
Sedangkan secara terminologis, fiqh diartikan sebagai:
العلم بالأحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية
“Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafshili”.
Dari definisi tersebut, sebagaimana dijelaskan Amir Syarifuddin, fiqh diibaratkan dengan ilmu sebab fiqh merupakan semacam ilmu pengetahuan. Memang fiqh besifat dzhan, sedangkan ilmu tidak bersifat dzhan. namun dzhan dalam fiqh ini kuat sehingga ia juga dekat kepada ilmu.
Sedangkan kata “hukum” (jamak: ahkam) menerangkan bahwa hal-hal yang berada di luar apa yang dimaksud dengan kata “hukum”, seperti zat, tidaklah termasuk ke dalam pengertian fiqh. Disebut dalam bentuk jamaknya “ahkam” dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa fiqh itu ilmu tentang seperangkat aturan yang disebut hukum.
Penggunaan istilah “syar’iyyah” atau “syari’ah” dalam definisi di atas menjelaskan bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang syar’i, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata ini sekaligus menjelaskan bahwa sesuatu yang bersifat ‘aqli seperti ketentuan bahwa 2x2= 4 atau bersifat hissi seperti ketentuan bahwa api itu panas, bukanlah lapangan fiqh.
Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi di atas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak-tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan atau ‘aqidah tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam artian ini. umpamanya ketentuan bahwa Allah itu bersifat Esa dan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat.
Penggunaan kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan, penganalisaan dan penentuan ketetapan tentang hukum. karenanya bila bukan bentuk hasil suatu penggalian – seperti mengetahui apa-apa yang secara lahir dan jelas dikatakan Allah – tidak disebut fiqh. Fiqh itu hasil penemuan mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh nash.
Kata “tafshili” mengandung maksud bahwa dalil-dalil yang digunakan seorang faqih atau mujtahid dalam penggalian dan penemuannya. Karena itu ilmu yang diperoleh orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk dalam pengertian fiqh.
2. Pengertian Hukum
Sementara istilah “hukum” (jamak: ahkam) itu sendiri ada yang mengartikan:
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين إقتضاء أو تخييرا أو وضعا
“Tuntutan Allah ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhshah, atau ‘azimah”.
Dalam definisi tersebut ditegaskan bahwa hukum (menurut ajaran Islam) adalah kehendak Allah, untuk mengatur perbuatan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya. Hukum yang merupakan khitab Allah tersebut bagi umat Islam tertuang dalam al-Qur’an dengan klasifikasi hukum sebanyak 228 ayat.
Abdul Wahab Khallaf, sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, dalam mendefinisikan hukum mengganti kalimat خطاب الله تعالى (tuntutan Allah ta’ala) dalam definisi di atas dengan خطاب الشرع (tuntutan syar’i), dengan tujuan agar hukum itu bukan saja ditentukan Allah, melainkan juga ditentukan Rasulullah melalui Sunnahnya dan melalui ijma’ para ulama.
Akan tetapi, mayoritas ahli ushul fiqh menyatakan bahwa kalimat “tuntutan Allah ta’ala” tersebut maksudnya adalah al-Qur’an. Dalam al-Qur’an itu mencakup Sunnah dan juga sekaligus ijma’.
Dari definisi di atas, akhirnya para ulama menetapkan bahwa hukum harus bersumber dari syara’. Apabila hukum itu bukan bersumber dari syara’, maka tidak dinamakan hukum. Dari pengertian inilah, mayoritas ulama ushul akhirnya sepakat dengan menyatakan bahwa sumber hukum yang sebenarnya adalah al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas.
Sedangkan kata-kata “perbuatan mukallaf”, menurut para ahli ushul, selanjutnya dikatakan bahwa yang dibebani hukum itu hanya orang mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal sehat. Sikap dan tingkah laku orang-orang seperti inilah yang dibebani hukum. Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, orang yang berbuat dalam keadaan terpaksa, dan orang yang lupa, tidak dikenai pembebanan hukum.
Selanjutnya para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan hukum. Menurut ulama fiqh, hukm adalah “akibat” yang ditimbulkan oleh khitab (tuntutan) syar’i berupa wujub, mandub, hurmah, karahah, dan ibahah. Perbuatan yang dituntut itu, menurut mereka, disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah (boleh).
Akan tetapi, ulama ushul fiqh mengatakan yang disebut hukm adalah tuntutan syar’i itu sendiri, yaitu dalil al-Qur’an dan atau Sunnah. Misalnya Allah berfirman:
أقيموا الصلآة وآتوا الزكاة
“Dirikanlah shalat dan tunaikan zakat”
Teks di atas, menurut ahli ushul fiqh, disebut ijab; akibat yang ditimbulkan dalil ini disebut wujub; dan perbuatan yang dituntut disebut wajib. Akan tetapi, ulama fiqh tidak membedakan dalil dengan akibat yang ditimbulkan dalil, karena itu mereka sebut dengan wujub, dan perbuatan itu sendiri mereka sebut wajib.
3. Bagian-bagian Hukum dalam Al-Qur’an
Menurut Amir Syarifuddin, kandungan al-Qur’an yang berisi hukum-hukum ternyata hanya sebagian kecil saja, yaitu yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat dan ketentuan yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah Swt. maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya.
Secara garis besar, hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga macam:
Pertama, hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt. mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum i’tiqadiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau “Ushuluddin”.
Kedua, hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
Ketiga, hukum-hukum yang menyangkut tindak-tanduk manusia dan tingkah laku lahiriahnya dalam hubungan dengan Allah Swt., dalam hubungan dengan sesama manusia, dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”.
Selanjutnya, Abdul Wahab Khallaf, seperti dikutip Muin Umar dkk., membagi hukum amaliyah menjadi dua bagian, yaitu:
a. Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah, dan ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan antara manusia dan Allah Swt.
b. Hukum-hukum mu’amalah, seperti akad, pembelanjaan, hukuman, jinayat, dan lain-lain selain ibadah, yaitu yang mengatur hubungan manusia dengan manusia baik perorangan maupun kelompok. Inilah yang disebut hukum mu’amalah, yang dalam hukum modern bercabang-cabang sebagai berikut:
1) Hukum badan pribadi, tentang manusia, sejak adanya dan kemudian ketika bergaul sebagai suami istri. Di dalam al-Qur’an terdapat sekitar 70 ayat (akhwalusy akhabiyah)
2) Hukum perdata, yaitu hukum mu’amalah antara perseorangan dengan perseorangan dan juga masyarakat, seperti jual-beli, sewa-menyewa, gadai dan lain-lainnya yang menyangkut harta kekayaan. Ayat-ayat tentang ini sekitar 70 ayat (ahkamul madaniyah)
3) Hukum pidana, sekitar 30 ayat (ahkamul jinayah)
4) Hukum acara, yaitu yang bersangkut paut dengan pengadilan kesaksian dan sumpah, sekitar 13 ayat (al-ahkamul murafa’at)
5) Hukum perundang-undangan, yaitu yang berhubungan dengan hukum dan pokok-pokoknya. Yang dimaksudkan dengan ini ialah membatasi hubungan antara hakim dengan terdakwa, hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat. Ayat tentang ini sekitar 10 ayat (al-ahkam dusturiyah)
6) Hukum ketatanegaraan, yaitu hubungan antara negara-negara Islam dengan negara bukan Islam, tata cara pergaulan dengan selain muslim di dalam negara Islam. Semuanya baik ketika perang maupun damai sekitar 25 ayat (al-ahkamud dauliyah)
7) Hukum tentang ekonomi dan keuangan, yaitu hak orang miskin pada harta orang kaya, sumber air, bank, juga hubungan antara fakir dan orang-orang kaya, antara negara dengan perorangan. Ayat tentang ini sekitar 10 ayat (al-ahkamul iqtishadiyah wal maliyah).

D. Contoh Implementasi Tafsir Ahkam: al-Qurthubi
Salah satu dari sekian banyak tafsir yang ada adalah tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi. Oleh para ahli, tafsir al-Qurthubi ini dimasukkan dalam kategori tafsir corak hukum (fiqhi), sehingga sering juga disebut sebagai tafsir ahkam. Karena dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum.
Sebagai contoh dapat dilihat ketika ia menafsirkan surat al-Fatihah. Al-Qurthubi mendiskusikan persoalan-persoalan fiqh, terutama yang berkaitan dengan kedudukan basmalah ketika dibaca dalam shalat, juga persoalan bacaan fatihah makmun ketika imam membacanya jahr.
Contoh lain di mana al-Qurthubi membicarakan panjang lebar mengenai persoalan-persoalan fiqh dapat ditemukan ketika ia membahas ayat QS Al-Baqarah: 43
   •    
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'”. (QS Al-Baqarah [2]: 43)
Di antara diskusinya dalam menafsirkan ayat tersebut ia membicarakan tentang status anak kecil yang menjadi imam. Di antara tokoh-tokoh yang mengatakan tidak boleh adalah al-Sauri, Malik dan Ashab al-Ra’y. Dalam masalah ini al-Qurthubi berbeda pendapat dengan madzhab yang dianutnya, yakni Maliki, dengan mengatakan: “Anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik.”
Begitu pula ketika ia menafsrikan QS Al-Baqarah (2): 185
       ••     
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”. (QS Al-Baqarah [2]: 185)
Di dalamnya al-Qurthubi mendiskusikan mengenai shalat ‘Iedul Fithri yang dilaksanakan pada hari kedua. Ia berpendapat tetap boleh dilaksanakan, berbeda dengan pendapat Malik sebagai imam madzhabnya yang tak membolehkan.

Demikian pula ketika ia menafsirkan QS Al-Baqarah (2): 187
•       
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu”. (QS Al-Baqarah [2]: 187)
Ia mendiskusikan persoalan makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut tidak berkewajiban mengganti puasanya, berbeda dengan pendapat Imam Malik, sebagai madzhab yang dianutnya.
Dari keterangan-keterangan di atas jelaslah bahwa tafsir al-Qurthubi banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum, yang kemudian sarjana memasukkannya ke dalam kategori jajaran tafsir yang bercorak hukum.
Kendati al-Qurthubi menampilkan semua ayat dan selalu membawa kepada diskusi-diskusi fiqh, tidak berarti ia menganggap semua ayat al-Qur’an adalah ayat hukum. Karena sejak awal ia memang sudah berniat akan menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an dengan lebih menekankan kepada pembahasan-pembahasan hukum. Namun bila dalam sebuah ayat tidak menyangkut persoalan hukum tertentu, ia tetap akan menguraikannya secara mendetil.

E. Kritik Terhadap Model Tafsir Ahkam
Persoalan lain yang perlu dicermati adalah adanya sejumlah keberatan dari berbagai pihak mengenai keberadaan tafsir corak hukum. Bila al-Qur’an ini selalu dipandang sebagai kitab suci yang berisi ketentuan-ketentuan perundang-undangan maka akan melahirkan suatu pemisahan yang mekanis antara ayat-ayat yang berisi hukum dan yang tidak. Ayat-ayat hukum selalu didekati secara atomistis dan harfiah, yang pada gilirannya akan timbul sejumlah kebingungan dalam melihat sebuah proses tahapan ajaran al-Qur’an. Keadaan ini menyebabkan timbulnya konsep-konsep nasikh-mansukh, am-khas dan dikotomi-dikotomi lainnya. Contoh dari keadaan ini umpamanya ketika ahli hukum menafsirkan ayat 282 surat al-Baqarah:
                •    
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” (QS al-Baqarah [2]: 282)
Ayat ini oleh kalangan ahli hukum dijadikan dasar hukum persaksian serta diterapkan secara ketat, tanpa mau menengok gagasan lain al-Qur’an seperti keadilan dan persamaan manusia, serta pemahaman seperti itu telah keluar konteks kesejarahannya.
Akhirnya, pendekatan fiqhiyah yang bersifat atomistis dan harfiah dalam kenyataannya telah menimbulkan kesulitan besar bila dihubungkan dengan doktrin bahwa al-Qur’an sebagai petunjuk dan pengatur seluruh aspek kehidupan manusia.

F. Penutup
Dari uraian-uraian di atas dapatlah dipahami bahwa, al-Qur’an sebagai sumber hukum akan selalu menarik perhatian para ulama fiqh untuk menafsirkannya dengan pendekatan fiqhiyah. Dengan pendekatan seperti ini akan lahir status dari suatu persoalan, apakah wajib, sunah, haram, makruh atau mubah (boleh). Dari berperspektif inilah kemudian lahir tafsir-tafsir al-Qur’an yang kemudin dikenal dengan tafsir ahkam.
Namun, model pendekatan seperti itu bukannya sepi dari kritik. Hal ini – menurut para pengkritik – dikarenakan para ahli hukum terlalu bersifat atomistis dan harfiah, sehingga sering mengaburkan program besar al-Qur’an sebagai petunjuk dan pengatur seluruh aspek kehidupan ini. Wallahu a’lam.



























DAFTAR PUSTAKA
Abrar, Indal, “Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wal Mubayyin Lima Tadammanah min al-Sunnah wa Ayil Furqan Karya al-Qurthubi”, dalam Muhammmad Yusuf dkk., Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras, 2004.

Al-Jurzani, Ahmad, Kitab al-Ta’rifat, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1965.

Al-Qatthan, Manna’ Khalil, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, ttp.: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, tt.

Al-Suyuthi, Syaikh a-Islam Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz I, Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1951.

Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, ttp.: Dar al-Kutub, tt.

Al-Zarqani, Muhammad al-Adzim, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz II, Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby wa Syurakauh, tt.

Amal, Taufik Adnan dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1989.

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Cet.II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Khallaf, Syekh Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Rineka Cipta, 1995.

Mahfudz, Mahsun, “Sejarah Perkembangan Pemikiran Al-Qur’an (Memotret Wajah al-Qur’an sejak Masa Nabi hingga Kontemporer)”, dalam Jurnal Citra Ilmu, Edisi 5, Vol.III, April, 2007: 19-32

Mansur, Muhammad, “Ma’ani al-Qur’an Karya al-Farra”, dalam Muhammmad Yusuf dkk., Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras, 2004.

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Cet.IX, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.

Shihab, H.M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Cet.II, Bandung: Mizan, 1992.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jil.I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Umar, Muin dkk., Ushul Fiqh I, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1985.
Wehr, Hans, A Dictionary of Written Arabic, Beirut: Librairie Du Liban & London: Mc Donald & Evand Ltd., 1974.

Silahkan baca selanjutnya.....

nuansa sufistik


TAWADHU’ DAN URGENSINYA BAGI DUNIA PENDIDIKAN:
Perspektif Tasawuf
Oleh : Maftuh, S.Pd.I

A. Pendahuluan
Salah satu sifat terpuji yang harus dimiliki oleh seorang yang bertakwa adalah sifat tawadhu’ (rendah hati). Tawadhu’ adalah salah satu akhlak mulia yang menggambarkan keagungan jiwa, kebersihan hati dan ketinggian derajat pemiliknya. Tidaklah seseorang dapat dikatakan berakhlak mulia apabila belum terpatri sifat tawadhu’ ini di dalam dirinya. Sebab, sifat ini akan meningkatkan martabat sosialnya dan menambah kecintaan orang kepadanya.
Bahkan, menurut Imam al-Ghazali, tawadhu’ adalah seutama-utamanya sikap yang dianjurkan agama untuk diterapkan dalam kehidupan orang yang beriman. Lebih lanjut beliau mengatakan: “Sikap tawadhu’ ibarat batang pohon yang mempunyai beberapa ranting dan dahan. Tawadhu’ adalah pokok pangkal akhlak mulia. Di mana akhlak-akhlak lainnya bercabang dan sumbernya dari tawadhu’.”
Rasulullah telah memberikan contoh teladan mengenai sifat ini. Dikatakan bahwa rasulullah Saw. selama hidupnya senantiasa rendah hati (tawadhu’), tidak ada sedikit pun sifat takabur baik terhadap kawan maupun lawan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sifat tawadhu’ ini merupakan barometer dalam mengukur kemuliaan hidup seseorang. Semakin ia tawadhu’, maka semakin mulia kehidupannya. Sebaliknya, semakin ia tidak bersikap tawadhu’ alias takabur, maka semakin hina kehidupannya. Atau dengan lain kata, seseorang belum dikatakan tawadhu’ kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Hal ini sebagaimana bunyi hadis Nabi Saw. berikut ini:
من تواضع رفعه الله و من تكبر وضعه الله
“Barang siapa yang tawadhu’ (merendahkan hati), maka diangkat derajatnya oleh Allah, dan sebaliknya barang siapa yang congkak, pasti dijatuhkan kedudukannya oleh Allah.” (Al-Hadis)
Kemudian Imam Ali juga berkata: “Barangsiapa bersikap tawadhu’ maka Allah akan besarkan dan tinggikan dia.” Imam Musa al-Khazim mengibaratkan tawadhu’ dengan mengatakan,“sesungguhnya tanaman tumbuh di atas tanah yang datar, dan tidak tumbuh di atas batu karang. Demikian juga dengan hikmah, dia akan berkembang di hati orang yang tawadhu’ dan tidak akan berkembang di hati orang yang sombong. Karena, Allah Swt. telah menjadikan tawadhu’ sebagai alat bagi akal.”
Demikian juga Maulana Sulthanul Auliya’ Syaikh ‘Abdullah Faiz ad-Daghestani, yang mengemukakan alasan mengapa rasulullah sedemikian mulia hidupnya, seperti dikatakannya berikut ini: “Mengapakah Nabi Muhammad SAW., menjadi seseorang yang paling terpuji dan terhormat di Hadirat Ilahi? Karena beliau-lah yang paling rendah hati di antara seluruh ciptaan (makhluk) Allah.” Beliau selalu duduk seakan bagai seorang hamba di hadapan tuan pemiliknya, dan selalu pula makan sebagai seorang hamba atau pekerja yang makan di hadapan tuan pemiliknya. Beliau tak pernah duduk di atas meja.
Tulisan ini akan coba membahas konsep tawadhu’ tersebut dari perspektif tasawuf, yang kemudian dikaitkan dengan dunia pendidikan; di mana ketawadhu’an akan semakin membawa seorang guru dan murid untuk berhubungan satu sama lain secara lebih hangat dan akrab dalam proses belajar mengajarnya.

B. Pengertian Tawadhu’
Dalam Kamus al-Munawwir disebutkan bahwa tawadhu’ berasal dari kata wadha’a yang berarti “merendahkan”. Ada juga yang berpendapat bahwa tawadhu’ berasal dari lafadz adl-dla’ah yang berarti kerelaan manusia terhadap kedudukan yang lebih rendah, atau rendah hati terhadap orang lain, atau mau menerima kebenaran, apapun bentuknya dan dari siapa pun asalnya.
Sedangkan Ibnu Athaillah as-Sukandari menerjemahkan tawadhu’ dengan “merendahkan hati”. Dengan kata lain, tawadhu’ adalah bersikap tenang, sederhana, dan sungguh-sungguh, serta menjauhi perbuatan sombong (menolak kebenaran).
Asal mula sikap tawadhu’ adalah merasa hina, rendah hati dan mengaitkan diri hanya kepada yang Haq. Haq tersebut mutlak kepada Allah dan segala perintah-Nya.
Untuk memperjelas secara lebih baik, berikut dikutipkan beberapa pendapat dari para ahli sufi – sebagaimana dipaparkan Ibnu Athaillah as-Sukandari:
Fudhail bin Iyad mengatakan bahwa, tawadhu’ ialah orang yang tunduk dan taat melaksanakan yang hak serta mau menerima kebenaran dari siapa saja.
Al-Junaid juga mengatakan bahwa tawadhu’ ialah tidak membusungkan dada tapi lemah lembut tanda hormat.
Al-Harawi mengatakan bahwa tawadhu’ ialah bersungguh-sungguh mencapai yang hak.
Sementara Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa tawadhu’ ialah menunaikan segala hak dengan sungguh-sungguh, taat menghambakan diri kepada Allah sehingga benar-benar mengabdi kepada Allah dan tanpa menganggap dirinya tinggi.

Dari berbagai pendapat tersebut dapatlah disimpulkan bahwa tawadhu’ pada hakikatnya merupakan suatu sikap rendah hati menerima kebenaran dari siapa pun asalnya dan dari mana pun kebenaran itu datangnya.
Lawan dari sifat tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah mendefinisikan sombong dengan sabdanya:
الكبر بطر الحق وغمط الناس
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim)
Namun perlu dibedakan antara kerendahan hati dan penghinaan diri. Kerendahan hati merupakan perwujudan suatu perangai mulia dan karakter kepercayaan diri, sedangkan penghinaan diri timbul dari kerendahan moral dan tidak adanya percaya diri.
Tawadhu’ adalah ketundukan kepada kebenaran dan menerimanya dari siapapun datangnya baik ketika suka atau dalam keadaan marah. Artinya, kita tidak memandang diri kita berada di atas semua orang. Atau kita menganggap semua orang membutuhkan diri kita. Jika kita mengangkat kepala di hadapan kebenaran dalam rangka menolak atau mengingkarinya, berarti kita belum memiliki sikap tawadhu’ dan bahkan secara tak disadari kita sedang menanamkan benih-benih kesombongan dalam jiwa.
Ahmad al-Anthaki berkata : “Tawadhu’ yang paling bermanfaat adalah yang dapat mengikis kesombongan dari dirimu dan yang dapat memadamkan api (menahan) amarahmu”. Yang dimaksud amarah di situ adalah amarah karena kepentingan pribadi yang merasa berhak mendapatkan lebih dari apa yang semestinya diperoleh, sehingga membuatnya tertipu dan membanggakan diri.
Rasulullah Saw. adalah contoh yang sangat baik bagi kita dalam hal tawadhu’ ini. beliau adalah makhluk pilihan dan rahmat untuk seluruh alam, tidak pernah berbesar mulut, sopan, beradab mulia dan lemah lembut terhadap sesama muslim.
Sekarang ini kesombongan seolah menjadi “pakaian” yang dikenakan banyak orang. Suka membanggakan diri. Merasa tinggi melebihi orang di sekitarnya. Merasa orang lain membutuhkannya. Suka memamerkan apa yang dimilikinya. Tidak mau menyapa lebih dahulu, menjadi fenomena yang mudah dilihat dimana-mana. Padahal kesombongan menghalangi seseorang untuk masuk surga. Rasulullah saw bersabda :
لا يدخلون الجنة من في قلبه مثقال ذرة من كبر
Artinya: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan, walaupun seberat biji sawi.” (HR. Muslim)
Para ulama membagi tawadhu’ menjadi tiga hal, yaitu:
1. Tawadhu’ kepada agama, yaitu sikap tidak menentang keterangan-keterangan yang dinukil dari Allah dan rasul-Nya serta tidak mencela
2. Tawadhu’ kepada sesama muslim, yaitu sikap rela menjadikan sesama muslim sebagai saudaranya
3. Tawadhu’ kepada yang hak yang datang dari Allah semata serta tunduk, taat dan patuh kepada hukum-hukum-Nya dan tidak membangkang sama sekali.

C. Perintah Tawadhu’
Terdapat banyak ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw. yang memerintahkan agar kita memiliki sifat tawadhu’. Berikut akan dikemukakan beberapa ayat dan hadis tersebut di antaranya, yaitu:

Q.S. Al-A’raf ayat 7:
           •                    •      

Artinya: “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.” (QS Al-A’raf: 146).

QS. An-Nisa’ ayat 36:
•       • 
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. An-Nisa’: 36)

QS.Al-Furqan ayat 63:
            
Artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al-Furqan: 63)

QS Al-Isra ayat 37-38:
 •   •  •                
Artinya: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung (37). Semua kejahatannya itu amat dibenci di sisi Tuhanmu (38) (QS Al-Isra: 37-38)

QS. Al-Mu’min ayat 35:
        
Artinya: “Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (QS. Al-Mu’min: 35)

QS. Luqman ayat 18:
   ••  •   •  •    •   
Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18)

QS. Asy-Syu’ara ayat 215:
   •   
Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara: 215)


Rasulullah Saw. bersabda:
إن الله تعالى أوحى إلي أن تواضعوا حتى لا يبغي أحد على أحد ولايفخر أحد على أحد
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian saling bersikap tawadhu’ (rendah hati) sehingga salah seorang tidak akan melanggar hak salah seorang lainnya dan salah seorang (dari kalian) tidak akan menyombongkan diri terhadap salah seorang lainnya.”

D. Ukuran Ketawadhu’an
Abdullah bin Jarullah dalam kitabnya Fadhlu At-Tawadhu wa Dzamu Al-Kibr memberikan gambaran tentang tanda-tanda orang yang tawadhu’ sebagai berikut:
1. Engkau menonjolkan diri terhadap sesamamu, maka engkau sombong. Dan apabila engkau menyatu dalam kebersamaan dengan mereka maka engkau tawadhu’
2. Apabila engkau berdiri dari tempat dudukmu dan mempersilahkan orang berilmu dan berakhlaq duduk di tempatmu, maka engkau tawadhu’
3. Apabila engkau menyambut orang biasa dengan ramah dan wajah yang menyenangkan, dengan kata-kata yang akrab, memenuhi undangannya, maka engkau tawadhu’
4. Apabila engkau mengunjungi orang yang lebih rendah setatus sosialnya atau yang sederajat denganmu, atau membawakan barang-barang bawaan yang ada ditangannya, maka engkau tawadhu’
5. Apabila engkau mau duduk bersama fakir miskin, menjenguk yang sakit, orang-orang yang cacat, memenuhi undangan mereka, makan bersama mereka, maka engkau orang yang tawadhu’
6. Apabila engkau makan dan minum secara tidak berlebihan dan tidak untuk demi gengsi, sekali lagi engkau tawadhu’.
Sedangkan menurut Sa’id Hawa, dalam bukunya Al Mustakhlash fi Tazkiyatun Nafs, menyebutkan ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengukur apakah di dalam jiwa seseorang terdapat kesombongan atau ketawadhu’an. Di antaranya yaitu:
1. Hendaknya ia berdiskusi dengan orang lain dalam suatu masalah. Apabila ia keberatan mengakui kebenaran dari perkataan lawan diskusinya dan tidak berterima kasih atas bantuan lawannya untuk mengetahui hal tersebut, maka di dalam hatinya masih terdapat kesombongan. Sebaliknya, bila ia mengakui dan menerima kebenaran lawannya tersebut, berterima kasih kepadanya dan lisannya mengakui kelemahan dirinya dengan tulus, berarti ia telah memiliki sifat tawadhu’ dan terbebas dari kesombongan. Dalam suatu riwayat disebutkan tatkala Umar bin Khattab ra selesai menyampaikan pidato untuk membatasi mahar wanita, seorang wanita berdiri seraya berkata: “Wahai Umar, apa urusanmu dengan mahar kami, padahal Allah Swt. berfirman, “…sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak…” (QS. 4 : 20). Menanggapi hal itu Umar berkata: “Benarlah wanita itu dan salahlah Umar.”
2. Hendaklah berkumpul bersama teman-teman sebaya dalam berbagai pertemuan, lalu mendahulukan mereka atas dirinya, tidak menonjolkan diri di tengah-tengah mereka. Dalam konteks ini Imam al-Ghazali mengatakan:
“Pastilah orang takabur dalam setiap berbicara dengan orang lain, selalu diselipkan sesuatu yang bertujuan menceritakan kelebihannya. Ia selipkan kelebihan hartanya jika ia kaya. Jika ia tekun beribadah, ia selipkan pembicaraan mengenai ibadahnya. Jika ia ulama, ia tonjol-tonjolkan ilmunya agamanya. Bila ia berasal dari keturunan terhormat, ia singgung bapak moyangnya.”

3. Hendaklah memenuhi undangan orang miskin atau yang lebih rendah statusnya dari dirinya. Apabila ia merasa berat melakukannya berati masih ada kesombongan dalam hatinya. Dalam suatu riwayat dikisahkan, Rasulullah saw melihat ada orang kaya yang duduk di sebelah orang miskin lantas ia menjauh dari si miskin dan melipat pakaiannya, maka Rasulullah berkata kepadanya, “Apakah kamu takut kefakirannya menular padamu?” (HR. Ahmad).
4. Hendaklah membawa barang-barangnya atau barang yang dibutuhkan keluarganya sendiri, tanpa dibawakan orang lain. Rasulullah berbelanja sendiri ke pasar dan membawa barang belanjaannya sendiri pula.
5. Hendaklah memakai pakaian yang sederhana, dalam artian tidak berlebih-lebihan yang mungkin tujuannya hanya untuk memamerkan diri di hadapan orang lain. Zaid bin Wahab berkata: “Saya melihat Umar bin Khatab ra menuju pasar dengan membawa susu dan mengenakan pakaian yang padanya terdapat empat belas tambalan, sebagiannya tertambal dengan kulit binatang.”

E. Cara Memperoleh Tawadhu’
Sifat tawadhu’ tidak dapat diperoleh secara spontan, tetapi harus diupayakan secara bertahap, serius dan berkesinambungan. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh sifat tawadhu’ adalah :
1. Mengenal Allah Swt. Dalam sebuah kata mutiara disebutkan, “Setiap manusia akan bersikap tawadhu’ seukuran dengan pengenalannya kepada Tuhannya”. Orang yang mengenal Allah dengan sebenar-benarnya pengenalan akan menyadari bahwa Allah Yang Maha Kuasa, Maha Kaya dan Maha Perkasa tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Karenanya, bila mendapatkan kebaikan maka ia memuji Allah Swt. dan bersyukur kepada-Nya. Sebab, pada hakekatnya ia tidak mampu mendatangkan kebaikan kepada dirinya kecuali atas izin-Nya. Orang yang mengenal Allah akan mengakui dirinya kecil dan lemah, sehingga ia akan tawadhu’ dan merasa tidak pantas untuk berlaku sombong.
2. Mengenal diri. Dilihat dari asal usulnya, manusia berasal dari sperma yang hina yang selalu dibasuh jika terkena pakaian atau badan. Kemudian manusia lahir ke dunia dalam keadaan tanpa daya dan tidak mengetahui apapun.
    •            
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78)

Karenanya, manusia tidak berhak sombong. Ia harus bersikap tawadhu’, sebab ia lemah dan tidak mempunyai banyak pengetahuan. Bahkan ia tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk menyelamatkan makanan yang telah direbut oleh seekor lalat.
3. Mengenal aib diri. Seseorang dapat terjebak kepada kesombongan bila ia tidak menyadari kekurangan dan aib yang ada pada dirinya. Boleh jadi seseorang mengira bahwa dirinya telah banyak melakukan kebaikan padahal ia justru melakukan kerusakan dan kezaliman.
Oleh karena itu, setiap muslim harus selalu melakukan instropeksi diri sebelum melakukan, saat melakukan dan setelah melakukan sesuatu, sebelum ia dihisab oleh Allah Swt. kelak. Hal itu juga agar ia menyadari kekurangan dan aib dirinya sejak dini, sehingga ia akan bersikap tawadhu’ dan tidak akan sombong kepada orang lain.
4. Merenungi nikmat Allah. Pada hakikatnya, seluruh nikmat yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya adalah ujian untuk mengetahui siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur. Namun banyak di antara manusia yang tidak menyadari hal tersebut, sehingga membanggakan, bahkan menyombongkan nikmat yang Allah berikan kepadanya. Sebagian ulama berkata; “Kekaguman pada diri sendiri (ujub) adalah pangkal kesombongan”. Karena itu, agar dapat menghilangkan sifat sombong dan memiliki akhlak tawadhu’, setiap muslim harus sering merenungkan nikmat yang Allah berikan kepadanya.
Sebenarnya, selain yang telah disebutkan di atas, ada banyak lagi cara untuk menumbuhkan akhlak tawadhu’, antara lain dengan merenungkan manfaat tawadhu’ dan kerugian sombong, mencontoh akhlak orang-orang shaleh terdahulu yang tawadhu’, banyak berteman dengan orang-orang yang tawadhu’, dan lain-lain.
Sedangkan secara praksis operasional, latihan-latihan berikut ini boleh diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka untuk meningkatkan ketawadhu’an. Adapun latihan-latihan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Jangan peduli akan keridhaan atau kebencian seseorang. Selama kita telah berbuat dengan semaksimal atau seoptimal mungkin, maka jangan peduli kepada orang lain. Yang kita cari bukanlah keridhaan orang, dan yang kita hindari bukanlah kebencian orang. Yang kita cari adalah ridha Allah dan kecintaan-Nya kepada kita. Dan yang kita hindari adalah kebencian dan kemurkaan-Nya kepada kita.
2. Jangan peduli terhadap penilaian orang akan kedudukan kita. Kedudukan tinggi itu meliputi: kemuliaan, kecerdasan, kekayaan, kekuasaan, dan sebagainya. Kedudukan rendah itu meliputi: kehinaan, kebodohan, kemiskinan, kelemahan, dan sebagainya. Jika orang menganggap kita mulia, maka janganlah kita merasa bahwa kemuliaan itu dari diri kita. Sungguh tiada daya dan upaya dari diri kita melainkan dari Allah. Jika orang menganggap kita ini rendah, maka sadarilah bahwa kita memang rendah.
3. Diam terhadap komentar. Komentar itu meliputi pujian, cemoohan, kritik, dan sebagainya. Jika kita dipuji seseorang, maka diamlah, jangan menyangkal pujian itu dengan menyebutkan kerendahan kita, dan jangan pula mendukung pujian itu dengan menyebutkan ketinggian kita. Sikap yang terbaik dalam hal ini adalah diam. Dan jika kita dicemooh atau direndahkan, maka sadarlah kita bahwa tiada daya upaya kecuali dari Allah. Jadi jangan menyangkal cemoohan dengan menyebutkan ketinggian kita, dan jangan pula mendukungnya dengan menyebutkan kerendahan kita. Diam adalah lebih baik. Dan renungkanlah mengenai kelemahan diri kita di sisi Allah. Dan berhati-hatilah akan pujian terhadap diri kita yang datang dari dalam diri kita sendiri.
4. Hilangkan rasa dengki. Rasa iri dan dengki dapat menimbulkan persaingan tidak sehat. Kita akan berusaha untuk menyamai seseorang hanya karena mengharapkan pujian dan apa-apa yang didapat orang lain dengan ketinggiannya. Bahkan sifat dengki akan menyebabkan kita merendahkan orang lain untuk menghibur diri kita dan merusak kedudukan seseorang di hadapan orang.
5. Akuilah kebenaran yang datang. Terkadang kebenaran itu datang melalui orang-orang yang kita benci. Tetapi selama itu adalah kebenaran, maka akuilah dan berlapang dadalah.
6. Ingatlah bahwa tiada daya dan upaya kecuali dari Allah. Jadi segala yang ada itu ada dari Allah, bukan dengan daya upaya kita. Bukan pula dengan kehebatan kita. Bukan pula dengan kecerdasan kita. Ingatlah, Qarun mendapatkan kecelakaan besar disebabkan ia merasa bahwa apa yang ia miliki, berupa harta kekayaan yang melimpah, adalah hasil dari kecerdasan dan usahanya. Disebabkan ia merasa demikian maka Allah menenggelamkan dia di muka bumi. 
Jika keenam hal tersebut telah kita latih, insya Allah ketenangan akan mengisi hati kita. Semakin sempurna latihan kita, semakin tenanglah hati ini. Semakin tenang hati ini, maka semakin sehat pula hati kita. Jika hati kita sehat maka perbaikilah segala amal kita.

F. Tawadhu’ dalam Tinjauan Ahli Sufi: Perpektif Imam al-Ghazali
Dalam pandangan seorang ahli sufi, dalam hal ini adalah Imam al-Ghazali, memandang bahwa tujuan tawadhu’ yaitu terciptanya rasa tidak hina manakala dipuji, dan tidak sakit hati manakalah dicaci. Sebab, ia mengerti semuanya itu mengandung hikmah Allah Swt. dan ia menyatu dengan af’al (perbuatan) Allah. Ibarat seorang hamba tidak ada rasa hina bila berada di sisi tuannya. Menurutnya, inilah thariqat orang-orang yang menyatukan diri (muwahhidun) kepada-Nya.
Bagi orang yang tawadhu’ sebenarnya masih melihat adanya kemampuan dalam dirinya, namun kemampuan itu ia rendahkan. Sedang seorang muwahhid sama sekali tidak melihat kemampuan dirinya, sehingga ia merendahkan diri.
Sementara para auliya mendapatkan ridha dan kelezatan, karena ia berjalan sesuai dengan takdir, ilmu dan kehendak Allah Swt. Sama sekali, mereka tidak merasa hina yang disebabkan sempitnya pandangan terhadap hukum Allah Swt. dan keindahan pekerjaan-Nya. Perasaan hina justru muncul bagi yang berlaku takabur, bodoh dan alpa terhadap pandangannya sendiri atas perbuatan demi perbuatan.
Para imam mengisyaratkan bahwa, sesungguhnya ma’rifat itu tidak dapat diraih, kecuali oleh orang-orang yang tawadhu’. Orang-orang yang memiliki sifat rendah hati sebagai substansi sifatnya, dengan menyerahkan sepenuhnya kepada takdir Allah. Baginya tidak ada kata sempurna dalam jiwanya. Sementara ketika merendahkan diri sampai ke pangkal kerendahan, mereka pun tidak menemukan kekurangan dalam jiwanya. Sebab mereka selalu disirnakan oleh iradat dan ikhtiar, bahwa keparipurnaan absolut hanya ada dalam hukum Allah dan kehendak-Nya terhadap mereka. Apabila Allah menambahkan karunia kepada mereka, berarti menaikkan tahap muqarrabin. Bagi orang-orang shaleh, mekanisme tawadhu’ mereka menurut kemampuan ma’rifatnya terhadap diri dan Tuhannya.
Tanda-tanda tawadhu’ yaitu, apabila seorang hamba tidak pernah membangkan terhadap kebenaran, manakala kebenaran itu diperintahkan kepadanya. Sebaliknya jika masih ada sifat membangkang, ini tergolong orang yang takabur dalam menerima kebenaran.

G. Nuansa Tawadhu’ dalam Dunia Pendidikan
Takabur atau kesombongan sebagai lawan tawadhu’ dapat menghinggapi siapa saja, termasuk bagi para ulama atau para pendidik. Menurut Imam al-Ghazali, salah satu ciri dari pendidik yang takabur ialah ia enggan ditegur atau diperingatkan orang lain hanya demi menjaga diri dan kharismanya. Padahal ia adalah manusia biasa yang tentu tidak terlepas dari kekhilafan. Ia tidak suka dikritik oleh muridnya. Secara lebih lengkap, komentar al-Ghazali adalah sebagai berikut:
“Wahai saudaraku! Sungguh nyata perbedaan ulama yang tawadhu’ dan yang takabbur. Jangan dikira, semua ulama itu tawadhu’. Tapi, ulama itu pun manusia yang juga mempunyai kelemahan, bisa saja karena ilmunya ia berbangga diri dalam hatinya maupun dalam lahirnya. Ulama yang takabbur, kemana saja ia akan menampak-nampakkan ilmunya. Sekilas, memang orang seringkali menganggap baik. Tapi di hatinya ada tujuan ingin dikagumi atas ilmunya yang banyak.
Tapi bagi ulama yang terbiasa tawadhu’, tentu ia tak akan menonjolkan ilmu yang dimilikinya. Ia sadar, kalau ilmu yang ada dalam dirinya semata-mata adalah kenikmatan yang diterima dari Allah. Dan ilmu itu hanyalah sedikit sekali dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki Allah. Maka jika ia mengajar, hatinya diisi dengan niat ikhlas untuk menanamkan ilmu yang bermanfaat dan hanya mengharap ridha Allah saja.”

Pada masa-masa sekarang ini, mungkin masih banyak sosok guru atau kyai yang menanamkan ajaran bahwa seorang murid harus taat kepada sang guru atau kyai tersebut, apapun bentuk nasihat yang diberikan. Sang guru menanamkan keyakinan kepada muridnya, jika murid berani membantah atau protes terhadap gurunya maka ilmunya tidak akan bermanfaat selamanya, dan malahan akan semakin banyak menambah dosa belaka. Ajaran seperti ini muncul dari guru yang minim tawadhu’, demi menjaga kehormatan dan kharismanya, ia tanamkan kebiasaan kepada murid-muridnya untuk tidak boleh mengkritiknya.
Demikian pula murid yang dalam jiwanya minus dari sifat tawadhu. Ia mencari ilmu bukan untuk mengharapkan keridhaan Allah Swt. Namun tujuan utamanya agar ia menjadi tersohor dan disegani orang. Dalam kata-kata Imam al-Ghazali: “Sesungguhnya manfaat dan tidaknya suatu ilmu itu bergantung dari niat orang yang bersangkutan. Ilmu akan bermanfaat di dunia dan di akhirat jika niat kita ikhlas mencari keridhaan Allah. Namun ilmu akan bermanfaat di dunia saja dan membahayakan akhirat jika niatnya tidak ikhlas, semata-mata hanya mencari keuntungan dunia belaka.”
Dampak dari sifat tawadhu’ bukan hanya dirasakan oleh seorang guru, tetapi juga akan dirasakan oleh para murid. Sifat ini akan memberikan berdampak yang positif bagi diri mereka. Sifat tawadhu’ dapat menghancurkan batas yang menghalangi antara seorang guru dengan murid.
Dengan demikian, hendaknya apabila seseorang yang semakin tinggi ilmu yang dimilikinya maka semakin tawadhu’lah hidupnya, seperti yang dialami oleh Imam Syafi’i dengan mengatakan:
كلما زادنى علما زادنى فهما بجهلى
“Setiap kali bertambah ilmuku, bertambah pula aku akan kebodohanku”.
Dalam materi pendidikan, M. Abdullah Darraz juga mengatakan bahwa materi pendidikan akhlak – yang di dalamnya terdapat tawadhu’ – merupakan bagian dari hal-hal yang harus dipelajari dan dilaksanakan, hingga terbentuk kecenderungan sikap yang menjadi ciri kepribadian muslim.
Al-Zarnuji dalam kitabnya Ta’limul Muta’allim menempatkan tawadhu’ – sifat sederhana, tidak sombong dan tidak pula rendah diri – sebagai sifat yang utama bagi penuntut ilmu (thalabul ‘ilmi), ketika ia membicarakan sifat-sifat seorang yang menjadi penuntut ilmu dengan sifat moral yang mulia.
Dari uraian-uraian tersebut terlihat bahwa sifat tawadhu’ merupakan sifat terpuji yang harus dimiliki oleh baik pendidik maupun murid-muridnya. Sebab, sifat sombong seorang guru dapat menyebabkan para murid menjauhi guru mereka yang pada akhirnya mengakibakan mereka akan menolak menerima ilmu darinya. Sebaliknya, jika seorang murid dekat dengan gurunya, maka menjadi lebih memungkinkan ia akan menyerap ilmu dengan baik, karena ia murid menyukai gurunya tersebut. Sifat tawadhu’lah yang dapat mewujudkan kedekatan tersebut.

H. Penutup
Demikian uraian singkat mengenai tawadhu’. Orang yang tawadhu’ (rendah hati) justru akan bertambah mulia hidupnya. Sebaliknya, orang yang anggapannya bahwa dia pantas dimuliakan oleh manusia sehingga perbuatan-perbuatannya seolah dibuat-buat dengan penuh kepura-puraan agar mendapat perhatian manusia, justru hidupnya akan menjadi hina.
Sejatinya, orang yang tawadhu’ adalah orang yang selalu bersikap terbuka terhadap kebenaran terlepas dari mana ia berasal dan dari siapa ia datang. Sebagai lawan tawadhu’ adalah sikap sombong yang mengakibatkan ia menutup diri terhadap kebenaran yang datang dari luar dirinya.
Dalam dunia pendidikan, seorang guru yang tawadhu’ tentu akan mendatangkan kekaguman dari murid-muridnya yang kemudian mengidolakannya, dan sangat boleh jadi akan meneladani gurunya itu. Namun apabila seorang guru bersikap angkuh kepada murid-muridnya maka mereka akan menjadi antipati dan kemungkinan besar pada akhirnya mereka akan membangkang terhadap apa-apa yang mungkin dianjurkan oleh guru angkuh tersebut.
Dengan demikian pula halnya bagi seorang murid. Sikap tawadhu’ justru merupakan prasyarat utama sebelum ia menimba ilmu dari seorang guru. Sebab dengan sikap seperti itu ia menyadari bahwa ia begitu banyak kekurangan sehingga perlu membukakan dirinya dengan berbagai pengetahuan yang diberikan gurunya itu.
Apabila sikap ini dimiliki baik oleh guru maupun murid, maka diniscayakan akan terjadi proses belajar yang menyenangkan dan pada giliriannya akan lebih dimungkinkan dapat berhasil dengan optimal, karena jauhnya sikap saling menutup diri akan kebenaran-kebenaran yang datang. Wallahu a’lam.

















DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Imam, Raudhah; Taman Jiwa Kaum Sufi, Penerj. Moh. Luqman Hakim, Cet.II, Surabaya: Risalah Gusti, 1995.

_______, Tentang Bahaya Takabur, Peny. Ny. Kholilah Marhijanto, Surabaya: Tiga Dua, 1994.

¬¬¬¬_______, Ihya ‘Ulumiddin,Penerj. M. Jufri, dkk., Semarang: asy-Syifa’, 1994.

Al-Musawi, Khalil, Bagaimana Menjadi Orang yang Bijaksana; Resep-resep Mudah dan Sederhana Meraih Hikmah dalam Kehidupan, Penerj. Ahmad Subandi, Cet.II, Jakarta: Lentera Hati, 1998.

Antonio, M. Syafii, Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager, Cet.IV, Jakarta: Tazkia Multimedia & ProLM Centre.

Athaillah, Syekh Ahmad Ibnu, Mempertajam Mata Hati (dalam Melihat Allah), Penerj. Abu Jihaduddin Rifq alhanif, Lamongan: Bintang Pelajar, 1990.

http://abujihad.hadithuna.com, akses 15 oktober 2008
Lari, Sayid Mujtaba Musawa, Menumpas Penyakit Hati, Penerj. M. Hashem, Cet.IV, Jakarta: Lentera, 1998.

Madjidi, Busyairi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: al-Amin Press, 1997.

Majid, Muhaimin dan Abdul, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung: Trigenda Karya, 1993.

Masyhur, Kahar, Membina Moral dan Akhlak, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Cet.XXV, Surabaya: Pustaka Progresif, 2002.

Ramadlan, Abu H.F., Tarjamah Duratun Nasihin, Surabaya: Mahkota, t.t.

Said, Jalaluddin dan Usman, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikiran, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.
www.asysyariah.com, akses 15 oktober 2008
www.oaseislam.com, akses 15 Oktober 2008
www.taushiyah-online.com, akses 15 Oktober 2008

Silahkan baca selanjutnya.....