Monday, December 1, 2008

nuansa sufistik


TAWADHU’ DAN URGENSINYA BAGI DUNIA PENDIDIKAN:
Perspektif Tasawuf
Oleh : Maftuh, S.Pd.I

A. Pendahuluan
Salah satu sifat terpuji yang harus dimiliki oleh seorang yang bertakwa adalah sifat tawadhu’ (rendah hati). Tawadhu’ adalah salah satu akhlak mulia yang menggambarkan keagungan jiwa, kebersihan hati dan ketinggian derajat pemiliknya. Tidaklah seseorang dapat dikatakan berakhlak mulia apabila belum terpatri sifat tawadhu’ ini di dalam dirinya. Sebab, sifat ini akan meningkatkan martabat sosialnya dan menambah kecintaan orang kepadanya.
Bahkan, menurut Imam al-Ghazali, tawadhu’ adalah seutama-utamanya sikap yang dianjurkan agama untuk diterapkan dalam kehidupan orang yang beriman. Lebih lanjut beliau mengatakan: “Sikap tawadhu’ ibarat batang pohon yang mempunyai beberapa ranting dan dahan. Tawadhu’ adalah pokok pangkal akhlak mulia. Di mana akhlak-akhlak lainnya bercabang dan sumbernya dari tawadhu’.”
Rasulullah telah memberikan contoh teladan mengenai sifat ini. Dikatakan bahwa rasulullah Saw. selama hidupnya senantiasa rendah hati (tawadhu’), tidak ada sedikit pun sifat takabur baik terhadap kawan maupun lawan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sifat tawadhu’ ini merupakan barometer dalam mengukur kemuliaan hidup seseorang. Semakin ia tawadhu’, maka semakin mulia kehidupannya. Sebaliknya, semakin ia tidak bersikap tawadhu’ alias takabur, maka semakin hina kehidupannya. Atau dengan lain kata, seseorang belum dikatakan tawadhu’ kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Hal ini sebagaimana bunyi hadis Nabi Saw. berikut ini:
من تواضع رفعه الله و من تكبر وضعه الله
“Barang siapa yang tawadhu’ (merendahkan hati), maka diangkat derajatnya oleh Allah, dan sebaliknya barang siapa yang congkak, pasti dijatuhkan kedudukannya oleh Allah.” (Al-Hadis)
Kemudian Imam Ali juga berkata: “Barangsiapa bersikap tawadhu’ maka Allah akan besarkan dan tinggikan dia.” Imam Musa al-Khazim mengibaratkan tawadhu’ dengan mengatakan,“sesungguhnya tanaman tumbuh di atas tanah yang datar, dan tidak tumbuh di atas batu karang. Demikian juga dengan hikmah, dia akan berkembang di hati orang yang tawadhu’ dan tidak akan berkembang di hati orang yang sombong. Karena, Allah Swt. telah menjadikan tawadhu’ sebagai alat bagi akal.”
Demikian juga Maulana Sulthanul Auliya’ Syaikh ‘Abdullah Faiz ad-Daghestani, yang mengemukakan alasan mengapa rasulullah sedemikian mulia hidupnya, seperti dikatakannya berikut ini: “Mengapakah Nabi Muhammad SAW., menjadi seseorang yang paling terpuji dan terhormat di Hadirat Ilahi? Karena beliau-lah yang paling rendah hati di antara seluruh ciptaan (makhluk) Allah.” Beliau selalu duduk seakan bagai seorang hamba di hadapan tuan pemiliknya, dan selalu pula makan sebagai seorang hamba atau pekerja yang makan di hadapan tuan pemiliknya. Beliau tak pernah duduk di atas meja.
Tulisan ini akan coba membahas konsep tawadhu’ tersebut dari perspektif tasawuf, yang kemudian dikaitkan dengan dunia pendidikan; di mana ketawadhu’an akan semakin membawa seorang guru dan murid untuk berhubungan satu sama lain secara lebih hangat dan akrab dalam proses belajar mengajarnya.

B. Pengertian Tawadhu’
Dalam Kamus al-Munawwir disebutkan bahwa tawadhu’ berasal dari kata wadha’a yang berarti “merendahkan”. Ada juga yang berpendapat bahwa tawadhu’ berasal dari lafadz adl-dla’ah yang berarti kerelaan manusia terhadap kedudukan yang lebih rendah, atau rendah hati terhadap orang lain, atau mau menerima kebenaran, apapun bentuknya dan dari siapa pun asalnya.
Sedangkan Ibnu Athaillah as-Sukandari menerjemahkan tawadhu’ dengan “merendahkan hati”. Dengan kata lain, tawadhu’ adalah bersikap tenang, sederhana, dan sungguh-sungguh, serta menjauhi perbuatan sombong (menolak kebenaran).
Asal mula sikap tawadhu’ adalah merasa hina, rendah hati dan mengaitkan diri hanya kepada yang Haq. Haq tersebut mutlak kepada Allah dan segala perintah-Nya.
Untuk memperjelas secara lebih baik, berikut dikutipkan beberapa pendapat dari para ahli sufi – sebagaimana dipaparkan Ibnu Athaillah as-Sukandari:
Fudhail bin Iyad mengatakan bahwa, tawadhu’ ialah orang yang tunduk dan taat melaksanakan yang hak serta mau menerima kebenaran dari siapa saja.
Al-Junaid juga mengatakan bahwa tawadhu’ ialah tidak membusungkan dada tapi lemah lembut tanda hormat.
Al-Harawi mengatakan bahwa tawadhu’ ialah bersungguh-sungguh mencapai yang hak.
Sementara Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa tawadhu’ ialah menunaikan segala hak dengan sungguh-sungguh, taat menghambakan diri kepada Allah sehingga benar-benar mengabdi kepada Allah dan tanpa menganggap dirinya tinggi.

Dari berbagai pendapat tersebut dapatlah disimpulkan bahwa tawadhu’ pada hakikatnya merupakan suatu sikap rendah hati menerima kebenaran dari siapa pun asalnya dan dari mana pun kebenaran itu datangnya.
Lawan dari sifat tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah mendefinisikan sombong dengan sabdanya:
الكبر بطر الحق وغمط الناس
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim)
Namun perlu dibedakan antara kerendahan hati dan penghinaan diri. Kerendahan hati merupakan perwujudan suatu perangai mulia dan karakter kepercayaan diri, sedangkan penghinaan diri timbul dari kerendahan moral dan tidak adanya percaya diri.
Tawadhu’ adalah ketundukan kepada kebenaran dan menerimanya dari siapapun datangnya baik ketika suka atau dalam keadaan marah. Artinya, kita tidak memandang diri kita berada di atas semua orang. Atau kita menganggap semua orang membutuhkan diri kita. Jika kita mengangkat kepala di hadapan kebenaran dalam rangka menolak atau mengingkarinya, berarti kita belum memiliki sikap tawadhu’ dan bahkan secara tak disadari kita sedang menanamkan benih-benih kesombongan dalam jiwa.
Ahmad al-Anthaki berkata : “Tawadhu’ yang paling bermanfaat adalah yang dapat mengikis kesombongan dari dirimu dan yang dapat memadamkan api (menahan) amarahmu”. Yang dimaksud amarah di situ adalah amarah karena kepentingan pribadi yang merasa berhak mendapatkan lebih dari apa yang semestinya diperoleh, sehingga membuatnya tertipu dan membanggakan diri.
Rasulullah Saw. adalah contoh yang sangat baik bagi kita dalam hal tawadhu’ ini. beliau adalah makhluk pilihan dan rahmat untuk seluruh alam, tidak pernah berbesar mulut, sopan, beradab mulia dan lemah lembut terhadap sesama muslim.
Sekarang ini kesombongan seolah menjadi “pakaian” yang dikenakan banyak orang. Suka membanggakan diri. Merasa tinggi melebihi orang di sekitarnya. Merasa orang lain membutuhkannya. Suka memamerkan apa yang dimilikinya. Tidak mau menyapa lebih dahulu, menjadi fenomena yang mudah dilihat dimana-mana. Padahal kesombongan menghalangi seseorang untuk masuk surga. Rasulullah saw bersabda :
لا يدخلون الجنة من في قلبه مثقال ذرة من كبر
Artinya: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan, walaupun seberat biji sawi.” (HR. Muslim)
Para ulama membagi tawadhu’ menjadi tiga hal, yaitu:
1. Tawadhu’ kepada agama, yaitu sikap tidak menentang keterangan-keterangan yang dinukil dari Allah dan rasul-Nya serta tidak mencela
2. Tawadhu’ kepada sesama muslim, yaitu sikap rela menjadikan sesama muslim sebagai saudaranya
3. Tawadhu’ kepada yang hak yang datang dari Allah semata serta tunduk, taat dan patuh kepada hukum-hukum-Nya dan tidak membangkang sama sekali.

C. Perintah Tawadhu’
Terdapat banyak ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw. yang memerintahkan agar kita memiliki sifat tawadhu’. Berikut akan dikemukakan beberapa ayat dan hadis tersebut di antaranya, yaitu:

Q.S. Al-A’raf ayat 7:
           •                    •      

Artinya: “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.” (QS Al-A’raf: 146).

QS. An-Nisa’ ayat 36:
•       • 
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. An-Nisa’: 36)

QS.Al-Furqan ayat 63:
            
Artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al-Furqan: 63)

QS Al-Isra ayat 37-38:
 •   •  •                
Artinya: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung (37). Semua kejahatannya itu amat dibenci di sisi Tuhanmu (38) (QS Al-Isra: 37-38)

QS. Al-Mu’min ayat 35:
        
Artinya: “Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (QS. Al-Mu’min: 35)

QS. Luqman ayat 18:
   ••  •   •  •    •   
Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18)

QS. Asy-Syu’ara ayat 215:
   •   
Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara: 215)


Rasulullah Saw. bersabda:
إن الله تعالى أوحى إلي أن تواضعوا حتى لا يبغي أحد على أحد ولايفخر أحد على أحد
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian saling bersikap tawadhu’ (rendah hati) sehingga salah seorang tidak akan melanggar hak salah seorang lainnya dan salah seorang (dari kalian) tidak akan menyombongkan diri terhadap salah seorang lainnya.”

D. Ukuran Ketawadhu’an
Abdullah bin Jarullah dalam kitabnya Fadhlu At-Tawadhu wa Dzamu Al-Kibr memberikan gambaran tentang tanda-tanda orang yang tawadhu’ sebagai berikut:
1. Engkau menonjolkan diri terhadap sesamamu, maka engkau sombong. Dan apabila engkau menyatu dalam kebersamaan dengan mereka maka engkau tawadhu’
2. Apabila engkau berdiri dari tempat dudukmu dan mempersilahkan orang berilmu dan berakhlaq duduk di tempatmu, maka engkau tawadhu’
3. Apabila engkau menyambut orang biasa dengan ramah dan wajah yang menyenangkan, dengan kata-kata yang akrab, memenuhi undangannya, maka engkau tawadhu’
4. Apabila engkau mengunjungi orang yang lebih rendah setatus sosialnya atau yang sederajat denganmu, atau membawakan barang-barang bawaan yang ada ditangannya, maka engkau tawadhu’
5. Apabila engkau mau duduk bersama fakir miskin, menjenguk yang sakit, orang-orang yang cacat, memenuhi undangan mereka, makan bersama mereka, maka engkau orang yang tawadhu’
6. Apabila engkau makan dan minum secara tidak berlebihan dan tidak untuk demi gengsi, sekali lagi engkau tawadhu’.
Sedangkan menurut Sa’id Hawa, dalam bukunya Al Mustakhlash fi Tazkiyatun Nafs, menyebutkan ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengukur apakah di dalam jiwa seseorang terdapat kesombongan atau ketawadhu’an. Di antaranya yaitu:
1. Hendaknya ia berdiskusi dengan orang lain dalam suatu masalah. Apabila ia keberatan mengakui kebenaran dari perkataan lawan diskusinya dan tidak berterima kasih atas bantuan lawannya untuk mengetahui hal tersebut, maka di dalam hatinya masih terdapat kesombongan. Sebaliknya, bila ia mengakui dan menerima kebenaran lawannya tersebut, berterima kasih kepadanya dan lisannya mengakui kelemahan dirinya dengan tulus, berarti ia telah memiliki sifat tawadhu’ dan terbebas dari kesombongan. Dalam suatu riwayat disebutkan tatkala Umar bin Khattab ra selesai menyampaikan pidato untuk membatasi mahar wanita, seorang wanita berdiri seraya berkata: “Wahai Umar, apa urusanmu dengan mahar kami, padahal Allah Swt. berfirman, “…sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak…” (QS. 4 : 20). Menanggapi hal itu Umar berkata: “Benarlah wanita itu dan salahlah Umar.”
2. Hendaklah berkumpul bersama teman-teman sebaya dalam berbagai pertemuan, lalu mendahulukan mereka atas dirinya, tidak menonjolkan diri di tengah-tengah mereka. Dalam konteks ini Imam al-Ghazali mengatakan:
“Pastilah orang takabur dalam setiap berbicara dengan orang lain, selalu diselipkan sesuatu yang bertujuan menceritakan kelebihannya. Ia selipkan kelebihan hartanya jika ia kaya. Jika ia tekun beribadah, ia selipkan pembicaraan mengenai ibadahnya. Jika ia ulama, ia tonjol-tonjolkan ilmunya agamanya. Bila ia berasal dari keturunan terhormat, ia singgung bapak moyangnya.”

3. Hendaklah memenuhi undangan orang miskin atau yang lebih rendah statusnya dari dirinya. Apabila ia merasa berat melakukannya berati masih ada kesombongan dalam hatinya. Dalam suatu riwayat dikisahkan, Rasulullah saw melihat ada orang kaya yang duduk di sebelah orang miskin lantas ia menjauh dari si miskin dan melipat pakaiannya, maka Rasulullah berkata kepadanya, “Apakah kamu takut kefakirannya menular padamu?” (HR. Ahmad).
4. Hendaklah membawa barang-barangnya atau barang yang dibutuhkan keluarganya sendiri, tanpa dibawakan orang lain. Rasulullah berbelanja sendiri ke pasar dan membawa barang belanjaannya sendiri pula.
5. Hendaklah memakai pakaian yang sederhana, dalam artian tidak berlebih-lebihan yang mungkin tujuannya hanya untuk memamerkan diri di hadapan orang lain. Zaid bin Wahab berkata: “Saya melihat Umar bin Khatab ra menuju pasar dengan membawa susu dan mengenakan pakaian yang padanya terdapat empat belas tambalan, sebagiannya tertambal dengan kulit binatang.”

E. Cara Memperoleh Tawadhu’
Sifat tawadhu’ tidak dapat diperoleh secara spontan, tetapi harus diupayakan secara bertahap, serius dan berkesinambungan. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh sifat tawadhu’ adalah :
1. Mengenal Allah Swt. Dalam sebuah kata mutiara disebutkan, “Setiap manusia akan bersikap tawadhu’ seukuran dengan pengenalannya kepada Tuhannya”. Orang yang mengenal Allah dengan sebenar-benarnya pengenalan akan menyadari bahwa Allah Yang Maha Kuasa, Maha Kaya dan Maha Perkasa tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Karenanya, bila mendapatkan kebaikan maka ia memuji Allah Swt. dan bersyukur kepada-Nya. Sebab, pada hakekatnya ia tidak mampu mendatangkan kebaikan kepada dirinya kecuali atas izin-Nya. Orang yang mengenal Allah akan mengakui dirinya kecil dan lemah, sehingga ia akan tawadhu’ dan merasa tidak pantas untuk berlaku sombong.
2. Mengenal diri. Dilihat dari asal usulnya, manusia berasal dari sperma yang hina yang selalu dibasuh jika terkena pakaian atau badan. Kemudian manusia lahir ke dunia dalam keadaan tanpa daya dan tidak mengetahui apapun.
    •            
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78)

Karenanya, manusia tidak berhak sombong. Ia harus bersikap tawadhu’, sebab ia lemah dan tidak mempunyai banyak pengetahuan. Bahkan ia tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk menyelamatkan makanan yang telah direbut oleh seekor lalat.
3. Mengenal aib diri. Seseorang dapat terjebak kepada kesombongan bila ia tidak menyadari kekurangan dan aib yang ada pada dirinya. Boleh jadi seseorang mengira bahwa dirinya telah banyak melakukan kebaikan padahal ia justru melakukan kerusakan dan kezaliman.
Oleh karena itu, setiap muslim harus selalu melakukan instropeksi diri sebelum melakukan, saat melakukan dan setelah melakukan sesuatu, sebelum ia dihisab oleh Allah Swt. kelak. Hal itu juga agar ia menyadari kekurangan dan aib dirinya sejak dini, sehingga ia akan bersikap tawadhu’ dan tidak akan sombong kepada orang lain.
4. Merenungi nikmat Allah. Pada hakikatnya, seluruh nikmat yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya adalah ujian untuk mengetahui siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur. Namun banyak di antara manusia yang tidak menyadari hal tersebut, sehingga membanggakan, bahkan menyombongkan nikmat yang Allah berikan kepadanya. Sebagian ulama berkata; “Kekaguman pada diri sendiri (ujub) adalah pangkal kesombongan”. Karena itu, agar dapat menghilangkan sifat sombong dan memiliki akhlak tawadhu’, setiap muslim harus sering merenungkan nikmat yang Allah berikan kepadanya.
Sebenarnya, selain yang telah disebutkan di atas, ada banyak lagi cara untuk menumbuhkan akhlak tawadhu’, antara lain dengan merenungkan manfaat tawadhu’ dan kerugian sombong, mencontoh akhlak orang-orang shaleh terdahulu yang tawadhu’, banyak berteman dengan orang-orang yang tawadhu’, dan lain-lain.
Sedangkan secara praksis operasional, latihan-latihan berikut ini boleh diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka untuk meningkatkan ketawadhu’an. Adapun latihan-latihan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Jangan peduli akan keridhaan atau kebencian seseorang. Selama kita telah berbuat dengan semaksimal atau seoptimal mungkin, maka jangan peduli kepada orang lain. Yang kita cari bukanlah keridhaan orang, dan yang kita hindari bukanlah kebencian orang. Yang kita cari adalah ridha Allah dan kecintaan-Nya kepada kita. Dan yang kita hindari adalah kebencian dan kemurkaan-Nya kepada kita.
2. Jangan peduli terhadap penilaian orang akan kedudukan kita. Kedudukan tinggi itu meliputi: kemuliaan, kecerdasan, kekayaan, kekuasaan, dan sebagainya. Kedudukan rendah itu meliputi: kehinaan, kebodohan, kemiskinan, kelemahan, dan sebagainya. Jika orang menganggap kita mulia, maka janganlah kita merasa bahwa kemuliaan itu dari diri kita. Sungguh tiada daya dan upaya dari diri kita melainkan dari Allah. Jika orang menganggap kita ini rendah, maka sadarilah bahwa kita memang rendah.
3. Diam terhadap komentar. Komentar itu meliputi pujian, cemoohan, kritik, dan sebagainya. Jika kita dipuji seseorang, maka diamlah, jangan menyangkal pujian itu dengan menyebutkan kerendahan kita, dan jangan pula mendukung pujian itu dengan menyebutkan ketinggian kita. Sikap yang terbaik dalam hal ini adalah diam. Dan jika kita dicemooh atau direndahkan, maka sadarlah kita bahwa tiada daya upaya kecuali dari Allah. Jadi jangan menyangkal cemoohan dengan menyebutkan ketinggian kita, dan jangan pula mendukungnya dengan menyebutkan kerendahan kita. Diam adalah lebih baik. Dan renungkanlah mengenai kelemahan diri kita di sisi Allah. Dan berhati-hatilah akan pujian terhadap diri kita yang datang dari dalam diri kita sendiri.
4. Hilangkan rasa dengki. Rasa iri dan dengki dapat menimbulkan persaingan tidak sehat. Kita akan berusaha untuk menyamai seseorang hanya karena mengharapkan pujian dan apa-apa yang didapat orang lain dengan ketinggiannya. Bahkan sifat dengki akan menyebabkan kita merendahkan orang lain untuk menghibur diri kita dan merusak kedudukan seseorang di hadapan orang.
5. Akuilah kebenaran yang datang. Terkadang kebenaran itu datang melalui orang-orang yang kita benci. Tetapi selama itu adalah kebenaran, maka akuilah dan berlapang dadalah.
6. Ingatlah bahwa tiada daya dan upaya kecuali dari Allah. Jadi segala yang ada itu ada dari Allah, bukan dengan daya upaya kita. Bukan pula dengan kehebatan kita. Bukan pula dengan kecerdasan kita. Ingatlah, Qarun mendapatkan kecelakaan besar disebabkan ia merasa bahwa apa yang ia miliki, berupa harta kekayaan yang melimpah, adalah hasil dari kecerdasan dan usahanya. Disebabkan ia merasa demikian maka Allah menenggelamkan dia di muka bumi. 
Jika keenam hal tersebut telah kita latih, insya Allah ketenangan akan mengisi hati kita. Semakin sempurna latihan kita, semakin tenanglah hati ini. Semakin tenang hati ini, maka semakin sehat pula hati kita. Jika hati kita sehat maka perbaikilah segala amal kita.

F. Tawadhu’ dalam Tinjauan Ahli Sufi: Perpektif Imam al-Ghazali
Dalam pandangan seorang ahli sufi, dalam hal ini adalah Imam al-Ghazali, memandang bahwa tujuan tawadhu’ yaitu terciptanya rasa tidak hina manakala dipuji, dan tidak sakit hati manakalah dicaci. Sebab, ia mengerti semuanya itu mengandung hikmah Allah Swt. dan ia menyatu dengan af’al (perbuatan) Allah. Ibarat seorang hamba tidak ada rasa hina bila berada di sisi tuannya. Menurutnya, inilah thariqat orang-orang yang menyatukan diri (muwahhidun) kepada-Nya.
Bagi orang yang tawadhu’ sebenarnya masih melihat adanya kemampuan dalam dirinya, namun kemampuan itu ia rendahkan. Sedang seorang muwahhid sama sekali tidak melihat kemampuan dirinya, sehingga ia merendahkan diri.
Sementara para auliya mendapatkan ridha dan kelezatan, karena ia berjalan sesuai dengan takdir, ilmu dan kehendak Allah Swt. Sama sekali, mereka tidak merasa hina yang disebabkan sempitnya pandangan terhadap hukum Allah Swt. dan keindahan pekerjaan-Nya. Perasaan hina justru muncul bagi yang berlaku takabur, bodoh dan alpa terhadap pandangannya sendiri atas perbuatan demi perbuatan.
Para imam mengisyaratkan bahwa, sesungguhnya ma’rifat itu tidak dapat diraih, kecuali oleh orang-orang yang tawadhu’. Orang-orang yang memiliki sifat rendah hati sebagai substansi sifatnya, dengan menyerahkan sepenuhnya kepada takdir Allah. Baginya tidak ada kata sempurna dalam jiwanya. Sementara ketika merendahkan diri sampai ke pangkal kerendahan, mereka pun tidak menemukan kekurangan dalam jiwanya. Sebab mereka selalu disirnakan oleh iradat dan ikhtiar, bahwa keparipurnaan absolut hanya ada dalam hukum Allah dan kehendak-Nya terhadap mereka. Apabila Allah menambahkan karunia kepada mereka, berarti menaikkan tahap muqarrabin. Bagi orang-orang shaleh, mekanisme tawadhu’ mereka menurut kemampuan ma’rifatnya terhadap diri dan Tuhannya.
Tanda-tanda tawadhu’ yaitu, apabila seorang hamba tidak pernah membangkan terhadap kebenaran, manakala kebenaran itu diperintahkan kepadanya. Sebaliknya jika masih ada sifat membangkang, ini tergolong orang yang takabur dalam menerima kebenaran.

G. Nuansa Tawadhu’ dalam Dunia Pendidikan
Takabur atau kesombongan sebagai lawan tawadhu’ dapat menghinggapi siapa saja, termasuk bagi para ulama atau para pendidik. Menurut Imam al-Ghazali, salah satu ciri dari pendidik yang takabur ialah ia enggan ditegur atau diperingatkan orang lain hanya demi menjaga diri dan kharismanya. Padahal ia adalah manusia biasa yang tentu tidak terlepas dari kekhilafan. Ia tidak suka dikritik oleh muridnya. Secara lebih lengkap, komentar al-Ghazali adalah sebagai berikut:
“Wahai saudaraku! Sungguh nyata perbedaan ulama yang tawadhu’ dan yang takabbur. Jangan dikira, semua ulama itu tawadhu’. Tapi, ulama itu pun manusia yang juga mempunyai kelemahan, bisa saja karena ilmunya ia berbangga diri dalam hatinya maupun dalam lahirnya. Ulama yang takabbur, kemana saja ia akan menampak-nampakkan ilmunya. Sekilas, memang orang seringkali menganggap baik. Tapi di hatinya ada tujuan ingin dikagumi atas ilmunya yang banyak.
Tapi bagi ulama yang terbiasa tawadhu’, tentu ia tak akan menonjolkan ilmu yang dimilikinya. Ia sadar, kalau ilmu yang ada dalam dirinya semata-mata adalah kenikmatan yang diterima dari Allah. Dan ilmu itu hanyalah sedikit sekali dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki Allah. Maka jika ia mengajar, hatinya diisi dengan niat ikhlas untuk menanamkan ilmu yang bermanfaat dan hanya mengharap ridha Allah saja.”

Pada masa-masa sekarang ini, mungkin masih banyak sosok guru atau kyai yang menanamkan ajaran bahwa seorang murid harus taat kepada sang guru atau kyai tersebut, apapun bentuk nasihat yang diberikan. Sang guru menanamkan keyakinan kepada muridnya, jika murid berani membantah atau protes terhadap gurunya maka ilmunya tidak akan bermanfaat selamanya, dan malahan akan semakin banyak menambah dosa belaka. Ajaran seperti ini muncul dari guru yang minim tawadhu’, demi menjaga kehormatan dan kharismanya, ia tanamkan kebiasaan kepada murid-muridnya untuk tidak boleh mengkritiknya.
Demikian pula murid yang dalam jiwanya minus dari sifat tawadhu. Ia mencari ilmu bukan untuk mengharapkan keridhaan Allah Swt. Namun tujuan utamanya agar ia menjadi tersohor dan disegani orang. Dalam kata-kata Imam al-Ghazali: “Sesungguhnya manfaat dan tidaknya suatu ilmu itu bergantung dari niat orang yang bersangkutan. Ilmu akan bermanfaat di dunia dan di akhirat jika niat kita ikhlas mencari keridhaan Allah. Namun ilmu akan bermanfaat di dunia saja dan membahayakan akhirat jika niatnya tidak ikhlas, semata-mata hanya mencari keuntungan dunia belaka.”
Dampak dari sifat tawadhu’ bukan hanya dirasakan oleh seorang guru, tetapi juga akan dirasakan oleh para murid. Sifat ini akan memberikan berdampak yang positif bagi diri mereka. Sifat tawadhu’ dapat menghancurkan batas yang menghalangi antara seorang guru dengan murid.
Dengan demikian, hendaknya apabila seseorang yang semakin tinggi ilmu yang dimilikinya maka semakin tawadhu’lah hidupnya, seperti yang dialami oleh Imam Syafi’i dengan mengatakan:
كلما زادنى علما زادنى فهما بجهلى
“Setiap kali bertambah ilmuku, bertambah pula aku akan kebodohanku”.
Dalam materi pendidikan, M. Abdullah Darraz juga mengatakan bahwa materi pendidikan akhlak – yang di dalamnya terdapat tawadhu’ – merupakan bagian dari hal-hal yang harus dipelajari dan dilaksanakan, hingga terbentuk kecenderungan sikap yang menjadi ciri kepribadian muslim.
Al-Zarnuji dalam kitabnya Ta’limul Muta’allim menempatkan tawadhu’ – sifat sederhana, tidak sombong dan tidak pula rendah diri – sebagai sifat yang utama bagi penuntut ilmu (thalabul ‘ilmi), ketika ia membicarakan sifat-sifat seorang yang menjadi penuntut ilmu dengan sifat moral yang mulia.
Dari uraian-uraian tersebut terlihat bahwa sifat tawadhu’ merupakan sifat terpuji yang harus dimiliki oleh baik pendidik maupun murid-muridnya. Sebab, sifat sombong seorang guru dapat menyebabkan para murid menjauhi guru mereka yang pada akhirnya mengakibakan mereka akan menolak menerima ilmu darinya. Sebaliknya, jika seorang murid dekat dengan gurunya, maka menjadi lebih memungkinkan ia akan menyerap ilmu dengan baik, karena ia murid menyukai gurunya tersebut. Sifat tawadhu’lah yang dapat mewujudkan kedekatan tersebut.

H. Penutup
Demikian uraian singkat mengenai tawadhu’. Orang yang tawadhu’ (rendah hati) justru akan bertambah mulia hidupnya. Sebaliknya, orang yang anggapannya bahwa dia pantas dimuliakan oleh manusia sehingga perbuatan-perbuatannya seolah dibuat-buat dengan penuh kepura-puraan agar mendapat perhatian manusia, justru hidupnya akan menjadi hina.
Sejatinya, orang yang tawadhu’ adalah orang yang selalu bersikap terbuka terhadap kebenaran terlepas dari mana ia berasal dan dari siapa ia datang. Sebagai lawan tawadhu’ adalah sikap sombong yang mengakibatkan ia menutup diri terhadap kebenaran yang datang dari luar dirinya.
Dalam dunia pendidikan, seorang guru yang tawadhu’ tentu akan mendatangkan kekaguman dari murid-muridnya yang kemudian mengidolakannya, dan sangat boleh jadi akan meneladani gurunya itu. Namun apabila seorang guru bersikap angkuh kepada murid-muridnya maka mereka akan menjadi antipati dan kemungkinan besar pada akhirnya mereka akan membangkang terhadap apa-apa yang mungkin dianjurkan oleh guru angkuh tersebut.
Dengan demikian pula halnya bagi seorang murid. Sikap tawadhu’ justru merupakan prasyarat utama sebelum ia menimba ilmu dari seorang guru. Sebab dengan sikap seperti itu ia menyadari bahwa ia begitu banyak kekurangan sehingga perlu membukakan dirinya dengan berbagai pengetahuan yang diberikan gurunya itu.
Apabila sikap ini dimiliki baik oleh guru maupun murid, maka diniscayakan akan terjadi proses belajar yang menyenangkan dan pada giliriannya akan lebih dimungkinkan dapat berhasil dengan optimal, karena jauhnya sikap saling menutup diri akan kebenaran-kebenaran yang datang. Wallahu a’lam.

















DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Imam, Raudhah; Taman Jiwa Kaum Sufi, Penerj. Moh. Luqman Hakim, Cet.II, Surabaya: Risalah Gusti, 1995.

_______, Tentang Bahaya Takabur, Peny. Ny. Kholilah Marhijanto, Surabaya: Tiga Dua, 1994.

¬¬¬¬_______, Ihya ‘Ulumiddin,Penerj. M. Jufri, dkk., Semarang: asy-Syifa’, 1994.

Al-Musawi, Khalil, Bagaimana Menjadi Orang yang Bijaksana; Resep-resep Mudah dan Sederhana Meraih Hikmah dalam Kehidupan, Penerj. Ahmad Subandi, Cet.II, Jakarta: Lentera Hati, 1998.

Antonio, M. Syafii, Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager, Cet.IV, Jakarta: Tazkia Multimedia & ProLM Centre.

Athaillah, Syekh Ahmad Ibnu, Mempertajam Mata Hati (dalam Melihat Allah), Penerj. Abu Jihaduddin Rifq alhanif, Lamongan: Bintang Pelajar, 1990.

http://abujihad.hadithuna.com, akses 15 oktober 2008
Lari, Sayid Mujtaba Musawa, Menumpas Penyakit Hati, Penerj. M. Hashem, Cet.IV, Jakarta: Lentera, 1998.

Madjidi, Busyairi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: al-Amin Press, 1997.

Majid, Muhaimin dan Abdul, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung: Trigenda Karya, 1993.

Masyhur, Kahar, Membina Moral dan Akhlak, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Cet.XXV, Surabaya: Pustaka Progresif, 2002.

Ramadlan, Abu H.F., Tarjamah Duratun Nasihin, Surabaya: Mahkota, t.t.

Said, Jalaluddin dan Usman, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikiran, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.
www.asysyariah.com, akses 15 oktober 2008
www.oaseislam.com, akses 15 Oktober 2008
www.taushiyah-online.com, akses 15 Oktober 2008

No comments: