Thursday, November 27, 2008

Tesis UIN Suka Jogja


KEBIJAKAN POLITIK PENDIDIKAN HINDIA BELANDA
DAN IMPLIKASINYA BAGI PENDIDIKAN ISLAM (1900-1942)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kebijakan yang terpenting di antara kebijakan-kebijakan politik produk pemerintah Hindia Belanda adalah pada kebijakan politik pendidikannya. Hal ini sebagaimana dikatakan Brugmans bahwa, politik pendidikan bukan hanya suatu bagian dari politik kolonial akan tetapi merupakan inti politik kolonial. Oleh karena itu, diselenggarakannya pendidikan di Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda lebih ditekankan untuk kepentingan penjajah daripada rakyat jajahannya sendiri. Kalaupun pada akhirnya kolonial Belanda membuka kesempatan bagi rakyat pribumi, tujuannya tidak lain “membentuk kelas elit dan menyiapkan tenaga terdidik sebagai buruh rendahan/kasar.”
Kebijakan politik pendidikan kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas umat Islam ini, sesungguhnya didasari oleh rasa takut mereka akan Islam. Di mata kolonial Belanda, Islam dipandang bukan saja sebagai ancaman terhadap “Kebijakan Keamanan dan Ketertiban” (Rust en Orde), melainkan juga terhadap masa depan keberlanjutan pendudukan dan penjajahan mereka di kepulauan Nusantara ini.
Untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan pengaruh Islam dari rakyat jajahannya maka mereka banyak mendirikan sekolah-sekolah. Gagasan Snouck Hurgronje mengenai politik asosiasinya meyakini bahwa pendidikan Barat yang diberikan kepada rakyat jajahan akan mengalahkan Islam. Karena, menurut pandangannya, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi akan relatif jauh dari pengaruh Islam, sedangkan pengaruh yang akan mereka miliki akan lebih mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Pendidikan Barat, dalam analisanya, merupakan sarana yang paling meyakinkan untuk mengurangi dan akhirnya menaklukkan pengaruh Islam di Indonesia.
Pandangan-pandangan Snouck Hurgronje ini, menemukan momentumnya seiring dengan maksud kebijakan kolonial Belanda untuk “menyejahterakan” penduduk pribumi melalui program yang kemudian dikenal dengan Politik Etis (Ethische Politiek), pada tahun 1901.
Namun, selain sasaran transparan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di koloni, pada saat yang sama orang-orang Belanda menyembunyikan kepentingan terselubungnya. Meskipun tak satu aspek dari kebijakan itu yang secara terang-terangan dimaksudkan untuk mempromosikan cita-cita Kristiani, namun fakta menunjukkan bahwa korelasi antara keduanya sangat kuat. Politik Etis adalah tidak lain sebagai kerangka kerja yang di atasnya konsolidasi agama Kristen di Indonesia dimapankan. Berbagai subsidi terhadap sekolah dan lembaga misi, yang semula ditolak karena dikhawatirkan akan memancing reaksi keras kaum Muslim, kini mulai diberikan secara besar-besaran. Akibatnya, pada periode awal diterapannya Politik Etis ini, pemerintah kolonial dikuasai oleh mereka yang sangat mendukung Kristenisasi daerah koloni. Kebijakan inilah akhirnya yang memicu bangkitnya berbagai gerakan politik dan sosial di Indonesia. Salah satunya adalah gerakan Muhammadiyah.
Ketika akan mengembangkan pendidikan bagi masyarakat bumiputra, diperkirakan oleh beberapa ahli Belanda sendiri bahwa pemerintah Hindia Belanda akan memanfaatkan tradisi pendidikan rakyat yang sudah berkembang, yakni pendidikan Islam. Tetapi secara teknis, usulan tersebut sulit dipenuhi karena tradisi pendidikan Islam waktu itu dipandang sebagai memiliki kebiasaan-kebiasaan yang dianggap jelek, baik dari sudut kelembagaan, kurikulum, maupun metode pengajarannya. Akhirnya pemerintah Hindia Belanda memilih bentuk persekolahan sebagaimana yang sudah dikembangkan jauh sebelumnya, khususnya dalam rangka misionaris.
Sejak Politik Etis diterapkan, pendidikan di Indonesia mengalami kemajuan yang lebih pesat dan tidak terbatas hanya ditujukan secara eksklusif bagi kelompok-kelompok terpilih menurut ukuran Belanda. Atas perintah Gubernur Jenderal Van Heutsz sistem pendidikan ini mulai juga diselenggarakan bagi masyarakat yang lebih luas dalam bentuk Sekolah-sekolah Desa.
Perkembangan sekolah yang semakin merakyat itu telah merangsang kalangan Islam untuk memberikan respon. Dalam hal ini mereka memikirkan untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang seluas-luasnya masih sangat tampak dalam politik dan kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Kebanyakan rakyat Indonesia bagaimanapun masih akan tetap bodoh karena tingkat pendidikan bagi mereka hanya terbatas pada sekolah rendah. Dari sudut ini, pendidikan Islam memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kecerdasan mereka atas prinsip persamaan sebagaimana yang menjadi asas ajaran Islam. Namun di sisi lain pendidikan Islam sudah saatnya untuk menawarkan pola pendidikan yang lebih maju, baik dalam hal kelembagaan, struktur materi, maupun metodologinya, sehingga dapat mengimbangi sekolah-sekolah ala Belanda.
Kesadaran untuk memperbaharui pendidikan Islam ini dimiliki oleh sejumlah tokoh, khususnya mereka yang sudah mengenyam sekaligus pendidikan Islam tradisional dan pendidikan sekolah ala Belanda. Dalam pemikiran mereka perlu ditempuh cara kombinasi yaitu mata-mata pelajaran keagamaan tetap diadakan tetapi ditambah dengan mata-mata pelajaran umum seperti membaca, menulis, berhitung, bahasa, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Metode pendidikan pun direkayasa sedemikian rupa sehingga lebih efektif sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat. Secara konkrit di antara mereka adalah KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, mendirikan sekolah “Mulo Met de Qur’an” dan kemudian sekolah-sekolah Islam yang dapat disebut sebagai madrasah menurut istilah teknis pendidikan Islam.
Usaha untuk mendirikan lembaga pendidikan Islam yang sebanding dengan sekolah ala Belanda dalam perkembangannya menjadi agenda dan gerakan Islam di Indonesia. Muhammadiyah, Nahdlatul ‘Ulama, Jami’at Khair, Persatuan Umat Islam, Persatuan Islam, al-Irsyad, al-Washliyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan organisasi Islam lainnya, memiliki bagian atau seksi khusus dalam rangka pendirian madrasah-madrasah di berbagai daerah. Dengan mendirikan madrasah, umat Islam agaknya telah memberikan respon yang cukup tepat terhadap kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda, sehingga pendidikan Islam di satu sisi tidak terlalu tertinggal, dan di sisi lain tetap mempertahankan ciri-ciri keislamannya secara kuat.
Namun, di pihak lain, pemerintah Hindia Belanda agaknya juga tidak tinggal diam dengan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh umat Islam tersebut. Didasari oleh ketakutan akan ancaman umat Islam, ia mengeluarkan kebijakan pendidikan yang bersifat menekan dan memberatkan umat Islam.
Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan Islam adalah penerbitan Ordonansi Guru (Goeroe Ordonantie) dan Ordonansi “Sekolah Liar” (Ordonantie Wildescholen). Kebijakan pemerintah Hindia Belanda juga berlangsung dalam berbagai bentuk ketidakadilan, baik kuantitatif maupun kualitatif. Akibatnya, umat Islam selalu tertinggal dalam percaturan budaya, ekonomi, pendidikan dan politik. Hal ini terlihat dengan pemberian subsidi yang diberikan untuk umat Islam jumlahnya lebih kecil dibanding untuk umat Kristiani.
Memang secara formal Belanda mengklaim bersikap netral terhadap agama dalam arti tidak mencampuri dan tidak memihak kepada salah satu agama, tetapi kenyataannya pemerintah Belanda mengambil sikap diskriminatif dengan memberi kelonggaran kepada kalangan misionaris Kristen lebih banyak, termasuk bantuan uang. Pemerintah Belanda menolak memberikan subsidi kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam. Karena pemberian subsidi kepada sekolah-sekolah itu pada akhirnya hanya berhasil mengembangkan suatu sistem pendidikan yang sebenarnya tidak menguntungkan pengaruh dan kewibawaan Belanda.
Dari gambaran-gambaran ini jelas terlihat bahwa, pemerintah agaknya terus menerus berupaya untuk menggerogoti Islam, terutama melalui kebijakan-kebijakan politik pendidikannya. Peraturan pemerintah Belanda yang sedemikian ketat dan gencar itu mengesankan bahwa pendidikan Islam akan menjadi lumpuh dan porak poranda atau bahkan lenyap dari tanah Indonesia ini. Namun, ternyata sejarah mengatakan lain. Pendidikan Islam, seperti yang sampai saat ini masih dapat disaksikan eksistensinya, tetap tegar tak tergoyahkan. Agaknya tepat Wertheim, seperti dikutip Ridwan Saidi, ketika mengatakan bahwa apa pun politik terhadap Islam yang akan dilancarkan oleh kekuasaan non-Islam, hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang ingin dikejar kekuasaan tersebut. Tekanan demi tekanan sama sekali tidak menggoyahkan mereka.
Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut dan serius mengenai kebijakan-kebijakan politik pendidikan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda perlu untuk dilakukan. Apa dan mengapa mereka mengeluarkan kebijakan-kebijakan seperti itu; serta apa pula implikasinya terhadap eksistensi pendidikan Islam, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang diupayakan terjawab dalam penelitian ini.
Adapun kebijakan pendidikan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah peraturan resmi pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukan untuk lembaga, proses dan produk pendidikannya. Kajian ini hanya mencakup kebijakan pendidikan yang diterbitkan antara kurun waktu 1900 sampai dengan 1942. Alasannya adalah bahwa, pada masa-masa tersebut pemerintah Hindia Belanda telah menggoreskan sejarah yang penting berkaitan dengan sejarah pendidikan di Indonesia dengan mengeluarkan pelbagai kebijakan seperti: Ordonansi Guru dan Ordonansi “Sekolah Liar”. Sementara di sisi lain, umat Islam pada masa-masa itu telah terjadi perubahan yang digambarkan sebagai kebangkitan, pembaharuan bahkan pencerahan (renaissance), yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan yang dinamakan madrasah di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah ini, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa kebijakan politik pendidikan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda?
2. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi munculnya kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda?
3. Apa implikasi kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda bagi pendidikan Islam?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengungkapkan kebijakan politik pendidikan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu
b. Untuk mengetahui latar belakang apa yang menyebabkan kebijakan politik pendidikan itu lahir
c. Untuk mengetahui implikasi-implikasi dari penerapan kebijakan-kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda bagi perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam pada periode antara 1900 sampai dengan 1942.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapakan bermanfaat terutama dalam beberapa hal berikut:
a. Dapat memberikan gambaran secara lebih lengkap mengenai kebijakan-kebijakan politik pendidikan yang dikeluarkan oleh kolonial Belanda dan faktor-faktor yang melatarbelakangi kebijakan tersebut lahir
b. Dapat memberikan landasan historis dalam upaya mengembangkan sistem pendidikan Islam ke depan. Karena disadari bahwa, tanpa melihat peristiwa-peristiwa masa lalu, maka akan sulit – untuk tidak mengatakan mustahil – untuk memperbaiki sistem pendidikan yang eksis saat ini. Masa kini merupakan rangkaian-rangkaian berkesinambungan dari masa-masa lalu. Dengan demikian, untuk memahami masa kini secara lebih baik, perlu dilihat keadaannya di masa lampau
c. Dapat memberikan sumbagan terhadap khazanah keilmuan khususnya dalam masalah pendidikan Islam.

D. Telaah Pustaka
Terdapat beberapa kajian mengenai kebijakan pemerintah mengenai pendidikan. Demikian juga pembahasan tentang perkembangan pendidikan Islam pada masa Hindia Belanda. Kajian-kajian tersebut ada yang berupa tesis, disertasi, ataupun berbentuk buku dan artikel. Di antara karya tersebut yaitu, Noor Haris yang berjudul Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia (1945-1990). Penelitian ini berupa tesis yang diajukan penulisnya pada tahun 2004 di UIN Sunan Kaljaga. Dalam penelitiannya ini Noor Haris menyimpulkan bahwa, kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah kebijakan konvergensi, yaitu kebijakan yang berupaya mengintegrasikan dualisme pendidikan sebagai hasil dari pergumulan antara dualisme kekuatan politik (Islam dan Nasionalisme) sejak awal kemerdekaan. Penerapan kebijakan ini pada akhirnya tercermin pada ketetapan bahwa pendidikan agama tidak lagi merupakan mata pelajaran pilihan, melainkan sudah menjadi mata pelajaran wajib yang harus diikuti oleh semua siswa dan mahasiswa, dan merupakan syarat kelulusan ujian akhir.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Abd. Rahman Assegaf dengan judul Pergeseran Kebijakan Pendidikan Nasional Bidang Agama Islam 1942-1900. Penelitian ini merupakan disertasi penulisnya yang dipertahankan di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2004. Abd. Rahman Assegaf mengemukakan bahwa penelitiannya bertujuan untuk mendeskripsikan dan memberikan analisis pergeseran kebijakan pendidikan nasional bidang agama Islam sejak tahun 1942 sampai 1994. Di akhir penelitiannya, Abd. Rahman menyimpulkan bahwa terdapat beberapa kebijakan pendidikan nasional yang menimbulkan respon sebagian kalangan masyarakat, baik dalam bentuk respon positif dalam artian mendukung kebijakan tersebut, maupun respon negatif yang berarti menolak. Respon positif masyarakat muncul apabila posisi pendidikan Islam proporsional, sesuai dengan keberagamaan umat, dan tidak menghalangi keyakinan mereka. Sebaliknya, respon negatif masyarakat timbul dari peraturan yang mempersempit ruang gerak kebebasan beragama.
Penelitian mengenai kebijakan pendidikan juga telah dilakukan oleh Muh Saerozi yang berjudul Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme: Telaah Historis atas Kebijaksanaan Pendidikan Agama Konfesional di Indonesia. Kajian yang berbentuk disertasi penulisnya ini, membahas tentang kebijaksanaan pendidikan agama yang sedang berlangsung di Indonesia. Dikatakan bahwa kebijaksanaan pendidikan agama itu berpola konfesional, yang berarti bahwa negara memberikan legitimasi pendidikan agama untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan subjek didik pada setiap agama.
Perlu juga disebutkan karya lain yang berhubungan dengan penelitian yang akan penulis lakukan ini. Karya tersebut dihasilkan oleh Muhammad Sirozi dengan Judul Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No.2/1989. Karya ini merupakan terjemahan disertasi penulisnya yang diajukan pada Monash University, Melbourne-Australia pada tahun 1998, dan kemudian menjadi sebuah buku. Sebagaimana judulnya, penelitian ini hanya mempelajari peran para pemimpin Muslim dalam perumusan UUSPN atau UU No. 2, 1989 mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Di dalamnya dikemukakan mengapa para pemimpin Muslim ikut serta dalam perdebatan mengenai Rancangan UU Sistem Pendidikan Nasional, apa sasarannya dan bagaimana mereka mengejar sasaran itu. Dan sebagaimana diakui penulisnya bahwa kajiannya dibatasi pada konteks pembentukan kebijakan dalam masa Orde Baru, 1965-1998.
Sedangkan tulisan-tulisan yang membicarakan pendidikan Islam pada masa pemerintahan Hindia Belanda yaitu: Rasi’in, Pendidikan Islam pada Zaman Belanda, yang memaparkan asal mula kedatangan Belanda yang kemudian mendirikan banyak sekolah dengan maksud menghasilkan pegawai murah. Rasi’in pun secara sekilas membahas tentang kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda dan sikap umat Islam dalam meresponi kebijakan tersebut.
Karya lainnya adalah Jalaluddin, Kapita Selekta Pendidikan: Suatu Telaah Konsep Pembaharuan di Zaman Kolonial Belanda, yang menggambarkan pembaharuan-pembaharuan pendidikan di Indonesia pada permulaan abad ke-20 dengan terlebih dahulu menelusuri secara selintas tentang sistem peralihan Hindu Islam, langgar dan pesantren.
Berdasaran penelusuran dari karya-karya di atas, penelitian yang penulis lakukan ini berbeda dengan karya-karya tersebut. Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan kebijakan-kebijakan pendidikan yang diterbitkan pemerintah Hindia Belanda pada masa penjajahannya, untuk kemudian dilihat bagaimana implikasinya terhadap perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam pada waktu itu. Tulisan yang dihasilkan Rasi’in mengenai perkembangan pendidikan Islam belum menggambarkan implikasi yang ditimbulkan oleh kebijakan-kebijakan politik pendidikan Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam. Kemudian Ras’in juga tidak membahas sama sekali mengapa kebijakan-kebijakan tersebut keluar. Sementara karya Jalaluddin juga hanya mengungkapkan pembaharuan-pembaharuan pendidikan pada masa itu, dengan tidak menyebutkan kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda.

E. Kerangka Teori
Kebijakan berasal dari bahasa Inggris yaitu “policy”. Dalam studi ilmu politik, kata tersebut selalu dirangkai dengan kata lain sehingga membentuk suatu makna lain, misalnya policy studies yang termasuk di dalamnya policy research dan policy evaluation. Dalam studi ilmu ekonomi, kesehatan, pertanian dan pekerjaan sosial dikenal dengan istilah “studies policy”.
Kebijakan (policy) merupakan sekumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang atau sekelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Noeng Muhadjir menjelaskan bahwa kebijakan adalah alternatif yang diambil atas pengkajian terhadap sesuatu masalah. Jadi kebijakan selalu mengandung keputusan-keputusan, di mana keputusan kebijakan merupakan alternatif yang diambil mengenai cita ideal; sedang kriteria yang dipahami mungkin rasionalitas, prioritas atau kaidah konstitusi.
Tahapan kebijakan meliputi penyusunan kebijakan (policy formulation), penerapan kebijakan (policy implementation), dan evaluasi kebijakan (policy evaluation). Adapun yang dimaksud dengan kebijakan dalam penelitian ini adalah difokuskan pada produk kebijakan dalam formulasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda, bukan proses penyusunan kebijakannya.
Sedangkan yang dimaksud sistem politik dapat diartikan sebagai kumpulan-kumpulan pendapat, prinsip yang membentuk suatu kesatuan, yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur hubungan antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok atau negara dengan negara.
Sistem politik dan kebijakan negara, termasuk kebijakan pendidikan saling berkait dan dapat dilihat pada dihasilkannya kebijakan-kebijakan pendidikan tersebut oleh sistem politik. Dengan kata lain, out put sistem politik itu salah satunya adalah kebijakan pendidikan. Dengan demikian, munculnya kebijakan pendidikan dan kebijakan-kebijakan negara yang lain adalah sebagai pertanda adanya sistem politik di negara tersebut, bahkan dapat dijadikan indikator dari eksistensi sistem politik tersebut. Sebab, politik itulah yang memungkinkan terbentuknya badan-badan yang memproduk kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan.
M. Sirozi menambahkan bahwa, pada dataran kebijakan, sangat sulit memisahkan antara kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah di suatu negara dengan persepsi dan kepercayaan politik yang ada pada pemerintah tersebut. Begitu pula sebaliknya, implementasi dari suatu kebijakan pendidikan juga berdampak pada kehidupan politik.
Uraian tersebut menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling memengaruhi. Bahkan, karena kuatnya kaitan antara masalah pendidikan dan politik serta aspek-aspek publik lainnya, setiap kebijakan pemerintah di bidang pendidikan pada umumnya merefleksikan pandangannya tentang masyarakat dan keyakinan politiknya.
Berbagai institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendakinya. Berbagai aspek pembelajaran, terutama kurikulum dan bahan-bahan bacaan, sering kali diarahkan pada kepentingan politik tertentu. Bahkan Elliot mengatakan bahwa salah satu komponen terpenting pendidikan, kurikulum, misalnya, dapat menjadi media sosialisasi politik.
Adapun kebijakan politik pendidikan adalah kebijakan pemerintah untuk mengatur pendidikan di negaranya. Dalam hal ini pemerintah kolonial Hindia Belanda yang mengatur pendidikan semasa kekuasaanya di Hindia Belanda.
Kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda merupakan kelanjutan dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang telah dimulai oleh orang-orang Portugis. Kebijakan pendidikan yang dirumuskannya sangat berhubungan erat dengan politik mereka pada umumnya. Setidaknya terdapat dua ciri pokok yang terkait dengan kebijakan pendidikan yang diselenggarakannya, yakni ekonomi dan penjajahan. Kaitannya dengan ekonomi, kolonial mengeluarkan kebijakannya dengan berorientasi atas keuntungan-keuntungan secara ekonomi yang akan diperolehnya. Jadi bukan berdasarkan kemanusiaan dalam menyelenggarakan sekolah-sekolah tersebut. Sedangkan kaitannya dengan orientasi penjajahan, yakni pemerintah Hindia Belanda dalam mendirikan sekolah-sekolah untuk pribumi sebenarnya dimaksudkan untuk mendidik rakyat agar tidak lebih daripada mampu memahami peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dengan begitu, mereka diharapkan oleh kolonial untuk dapat menaatinya, sehingga penjajahannya atas tanah Indonesia akan menjadi tetap lestari.
Dengan demikian sebagai bangsa penjajah, Belanda telah melakukan diskriminasi terhadap bangsa pribumi, baik secara sosial, rasial, politik maupun agama. Diskriminasi ini tercermin dari hal-hal sebagai berikut:
1. Diskriminasi Sosial
Diskriminasi sosial ini terlihat dari didirikannya sekolah yang membedakan antara sekolah yang dikhususkan untuk kaum bangsawan dengan sekolah untuk rakyat biasa. Untuk kaum bangsawan, didirikan Sekolah Raja (hoofedenschool) pada tahun 1865 dan 1872 di Tondano. Sedangkan untuk rakyat pribumi biasa didirikan Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der Tweede Klasse) atau yang sering dikenal dengan istilah Sekolah Ongko Loro.
2. Diskriminasi Rasial
Diskriminasi ini sangat jelas terlihat pada klasifikasi sekolah di Indonesia. Sebagai contoh, sekolah dasar bagi golongan Eropa adalah ELS (Europeesche Lager School), sedangkan Timur Asing adalah HCS (Hollandsche Chinnese School). Begitu pula untuk golongan pribumi. Kelas Satu atau HIS (Hollandsche Inlandsche School) yang berbahasa pengantar bahasa Belanda diperuntukkan bagi anak-anak para bangawan, dan rakyat jelata hanya kebagian menikmati Sekolah Desa (volksschool).
3. Diskriminasi Anggaran
Anggaran pendidikan, oleh kolonial Belanda, lebih banyak diberikan kepada sekolah-sekolah untuk anak-anak Eropa, padahal jumlah siswa di sekolah-sekolah bumiputera lebib banyak. Pada 1909 di sekolah-sekolah bumiputera tardapat 162.000 siswa, sedangkan di sekolah Eropa hanya 25.000 siswa. Tetapi ironisnya, subsidi yang dialokasikan untuk sekolah bumiputera hanya f. 1.359.000, sementara untuk sekolah Eropa dua kali lebih banyak, yakni f. 2.667.000.

4. Diskriminasi dalam Hal Kepemelukan Agama
Kepemelukan terhadap suatu agama tertentu juga menjadi dasar kebijakan pendidikan Belanda. Program pendidikan pemerintah dikonsentrasikan di wilayah-wilayah di mana terdapat sejumlah besar penduduk yang beragama Kristen, seperti Batak, Manado dan Kalimantan. Pesantren yang menjadi basis pendidikan agama masyarakat muslim tidak mendapatkan perhatian sama sekali, bahkan cenderung dimusuhi. Dalam hal ini Belanda lebih memihak Kristen, kendati secara formal mereka netral terhadap agama.
Kebijakan yang diskriminatif ini sejalan dengan prinsip-prinsip kolonial yang dicanangkan oleh mereka, yaitu:
1. Pemerintah kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu
2. Pendidikan diarahkan agar para tamatannya menjadi pencari kerja, terutama demi kepentingan penjajah
3. Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat
4. Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elit sosial Belanda
5. Dasar pendidikannya adalah Barat dan berorientasi pada pengetahuan dan kebudayaan.
Gambaran di atas sejalan dengan apa yang dikemukana oleh Ki Suratman, sebagaimana dikutip Jalaluddin, yang menyimpulkan bahwa program pendidikan pemerintah kolonial Belanda bersifat heterogen (banyak ragamnya) dan diskriminatif. Sedangkan S. Nasution mengatakan secara lebih lengkap mengenai ciri-ciri kebijakan pendidikan Hindia Belanda, yaitu:
1. Gradualisme yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia
2. Dualisme dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam antara pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi
3. Kontrol sentral yang ketat
4. Keterbatasan tujuan sekolah pribumi, dan peranan sekolah untuk menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan
5. Prinsip konkordansi yang menyebabkan maka sekolah di Indonesia sama dengan di negeri Belanda
6. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan pribumi.
Prinsip politik pendidikan yang pertama yakni gradualisme, merupakan cerminan Belanda akan keengganan mereka menyediakan pendidikan bagi pribumi dan lebih suka membiarkan mereka tidak mengecap pendidikan. Keengganan ini, sebagaimana dikemukakan oleh Robert van Neil, seperti dikutip Alwi Shihab, sejalan dengan keinginan mereka untuk tidak mengubah masyarakat pribumi sehingga mereka dapat lebih mudah lagi dieksploitasi. Hal ini terlihat bahwa pada tahun 1900 hanya seorang dari 35.000-36.000 orang Indonesia yang tamat sekolah rendah pemerintah.
Prinsip gradualisme ini menjamin kedudukan yang menguntungkan bagi orang Belanda, karena pendidikan yang terlampau banyak hanya akan membahayakan bagi pemerintah Belanda. Pernyataan Colijn, seorang politikus Belanda sebelum Perang Dunia II, menganggap bahwa : “… Keinginan yang tak layak di kalangan banyak orang Jawa untuk memperoleh pendidikan lanjutan adalah bahaya besar bagi rencana-rencana pemerintah.”
Alasan-alasan seperti itulah yang menyebabkan perkembangan pendidikan bagi anak di Indonesia sangat lamban. Juga pada masa kemudian, setelah anak Indonesia mendapat kesempatan memasuki sekolah menengah dan perguruan tinggi, jumlah pelajar Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan anak Belanda bahkan anak Cina.
Prinsip dualisme adalah kata lain dari upaya pemerintah kolonial Belanda dalam menciptakan golongan-golongan penduduk berdasarkan pada keturunan, ras dan status. Dualisme ini menjadi ciri dominan dalam sistem pendidikan di Hindia Belanda. Ada sekolah yang berbeda untuk golongan rasial dan sosial. Sistem pendidikan terbagi menjadi dalam dua kategori yang jelas. Sekolah Belanda dan sekolah pribumi, masing-masing dengan inspeksi, kurikulum, bahasa pengantar, dan pembiayaan tersendiri.
Ciri dualisme lain juga tercermin dalam pendidikan bagi anak Belanda dan anak Indonesia. Anak Belanda dari golongan sosial tinggi memasuki ELS (Europeesche Lager School) kelas satu, sedangkan anak-anak bukan Belanda golongan rendah memasuki sekolah Belanda (ELS ) bukan kelas satu. Diferensiasi serupa ini juga terdapat di kalangan pendidikan bagi anak Indonesia. Anak-anak desa memasuki Sekolah Desa (volksschool) dan mereka yang tinggal di kota serta pusat perdagangan dan industri memasuki Sekolah Kelas Dua (Tweede Klasse School).
Sedangkan kontrol sentral yang sangat kuat adalah keterlibatan pemerintah yang terlalu berlebihan. Singkatnya, segala soal mengenai sekolah, jenis sekolah, dan pengangkatan guru ditentukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah memainkan peranan sangat penting dalam segala masalah pendidikan. Tak ada perubahan, betapapun kecilnya, tanpa persetujuan Gubernur Jenderal atau Direktur Pendidikan yang bertindak atas nama atasannya. Orang Indonesia tidak pernah dilibatkan dalam proses pembentukan kebijakan pendidikan selama ini. Aspirasi pendidikan mereka baru diakomodasi untuk pertama kalinya dalam sejarah setelah terbentuknya Volksraad (Dewan Rakyat) pada tahun 1918.
Prinsip keterbatasan tujuan, artinya adalah bahwa pemerintah menyelenggarakan pendidikan bagi pribumi dimaksudkan untuk menciptakan pegawai-pegawai yang dibayar rendah. Semakin tinggi tuntutan akan pegawai yang ahli dalam bidang tertentu,semakin mendorong pemerintah untuk segera menyelenggarakan pendidikan berdasarkan kebutuhan tersebut. Jadi, tujuannya akan selalu diiringi dengan pertimbangan praktis belaka, bukan didorong oleh pertimbangan-pertimbangan moral kemanusiaan.
Sementara prinsip konkordansi adalah refleksi dari pandangan kolonial Belanda akan superioritas budaya yang dimilikinya yaitu Barat. Tidak heran apabila Snouck Hurgronje dengan optimis melihat bahwa persaingan antara kebudayaan Barat dengan kebudayaan Islam di Indonesia pada akhirnya akan dimenangkan oleh kebudayaan Barat, karena Islam adalah agama beku dan penghalang kemajuan.
Dengan demikian tujuan dari prinsip konkordansi adalah menjaga agar sekolah-sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama sebagaimana dengan sekolah-sekolah di negeri Belanda. Dengan lain kata, prinsip konkordansi ini adalah mengupayakan sekolah-sekolah di Hindia Belanda bersifat kebelanda-belandaan.
Prinsip tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis bagi pribumi adalah berdasarkan akan kenyataan sekolah-sekolah yang diperuntukkan bagi pribumi yang banyak ragamnya (heterogen), di mana tidak adanya hubungan organis antara satu dengan lainnya. Sekolah Desa untuk anak-anak di pedesaan, Sekolah Kelas Dua untuk anak-anak orang biasa tetapi berdomisili di daerah perkotaan, dan Sekolah Kelas Satu untuk anak-anak bangsawan dan golongan elit lainnya.
Prinsip-prinsip kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda ini mereka tempuh karena mereka tidak ingin masyarakat pribumi menjadi pintar dan umat Islam menjadi maju. Atas kekhawatiran dan ketakutannya terhadap ancaman umat Islam suatu saat dapat meledak, maka pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijakan guna menghalangi kemajuan dan perkembangan agama Islam. Di antara kebijakan-kebijakan itu adalah:
1. Pada tahun 1882 pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang mereka sebut Priesterraden. Dari nasihat badan inilah pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan baru yang dikenal dengan nama Ordonansi Guru (Goeroe Ordonantie).
2. Pada tahun 1925 pemerintah Belanda mengeluarkan Ordonansi Guru kedua yang isinya mewajibkan bagi setiap guru agama untuk melaporkan diri pada pemerintah secara berkala. Kedua Ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang dan penganjur agama Islam di negeri ini.
3. Pada tahun 1932 pemerintah Belanda mengeluarkan Ordonansi Liar “Sekolah Liar” (Ordonantie Wildescholen). Ordonansi ini berisi kewenangan untuk memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau sekolah yang memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh Belanda.
Pembahasan mengenai ciri kebijakan pendidikan Belanda di atas menunjukkan bahwa pemerintah kolonial Belanda sepenuhnya mengendalikan proses produksi, isi dan penerapan kebijakan pendidikan. Kebijakannya tampaknya bukan hasil dari kesepakatan-kesepakatan antara rakyat jajahannya dengan pemerintah Belanda, melainkan atas kesewenang-wenangan Belanda sendiri.
Dari paparan mengenai kebijakan pendidikan kolonial Belanda beserta ciri-ciri yang terdapat di dalamnya, kemudian akan ditelusuri lebih jauh mengenai kebijakan-kebijakan pendidikan kolonial Belanda ini, untuk pada akhirnya akan dilihat bagaimana implikasinya bagi perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam pada masa itu yang merupakan kajian utama tesis ini.

F. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif dengan pendekatan historis. Pendekatan ini digunakan untuk membangun kembali data-data masa lalu mengenai kebijakan pendidikan yang pernah diterbitkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, sebagai studi historis, penelitian ini menerapkan metode dokumenter, yakni menelaah arsip surat dan dokumen resmi, seperti Undang-undang, Surat Keputusan, dan peraturan-peraturan serta peninggalan lain yang berkaitan dengan kebijakan pendidikan Hindia Belanda. Diperkirakan sumber-sumber dokumenter yang disebutkan ini akan sulit untuk didapatkan dalam bentuknya yang asli (sumber primer). Mungkin di sinilah aspek kelemahan kajian ini. Namun agaknya kelemahan ini menjadi teratasi karena penulis merujuk kepada hasil-hasil karya yang berasal dari disertasi penulisnya, misalnya – untuk menyebut beberapa – oleh Husnul Aqib Suminto, Maksum Mukhtar, Zamakhsari Dhofier, Deliar Noer, Alwi Shihab dan Karel A. Steenbrink.
Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan datanya adalah sebagai berikut:
Pertama, mengumpulkan data-data untuk mendapatkan gambaran umum tentang tema yang diangkat baik data yang berkaitan langsung maupun data yang mendukungnya. Kedua, melakukan pemetaan dan klasifikasi terhadap data yang sudah terkumpul untuk mendapatkan data yang benar-benar relevan dengan tema yang diangkat. Ketiga, menganalisis secara kritis terhadap data yang relevan tersebut untuk diangkat dalam bentuk tulisan yang runtut.
Sedangkan analisis data dalam penelitian ini menerapkan metode deduktif (berpikir dari yang umum ke khusus), induktif (berpikir dari yang khusus ke umum) dan – meminjam istilah Abdur Rahman Assegaf – meta-analisis, yakni suatu bentuk kajian dalam analisis terhadap sejumlah penemuan penelitian yang berkaitan.
Teknik analisis data yang diterapkan dalam penelitian ini meliputi: pertama, reduksi, yaitu menyeleksi data yang terkait dengan jalan mengurangi seminimal mungkin data yang tidak relevan. Kedua, displai, yakni menyajikan hasil analisis data dalam bentuk tampilan bagan atau tabel agar dapat diketahui kecenderungannya. Ketiga, sistematisasi, yakni melakukan analisa secara berurutan menurut periodisasinya, dan bertahap sesuai dengan perubahan yang terjadi. Keempat, kategorisasi, yakni pengelompokan atas bentuk atau pola tertentu.




G. Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan kajian ini adalah sebagai berikut:
Bab Pertama, menjelaskan mengenai Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Telaah Pustaka, Kerangka Teori, Metode Penelitian yang Digunakan dan Sistematika Penulisan.
Bab Kedua, berupaya menggambarkan sistem pendidikan pemerintah Hindia Belanda baik dari aspek perkembangan maupun dari segi unsur-unsur pendidikan yang ada di dalamnya. Di antara hal-hal yang dibahas dalam Bab Kedua ini yaitu: kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda, pelaksanaan kebijakan pendidikan dalam jenis-jenis lembaga persekolahan yang didirikannya, pelaksanaan kebijakan pendidikan dalam kurikulum di lembaga-lembaga tersebut, dan pada metode pengajarannya yang sama sekali berbeda dengan yang ada dalam sistem pendidikan Islam. Kemudian pada bagian ini juga akan diabdikan untuk melihat faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi diterapkannya kebijakan-kebijakan politik pendidikan tersebut. Diharapkan pada pembahasan ini menjawab dari salah satu rumusan pokok permasalahan, yakni mengenai latar belakang munculnya kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda.
Bab Ketiga, secara khusus membahas kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam, yakni Ordonansi Guru dan Ordonansi Sekolah Liar. Bagian ini juga melihat bagaimana reaksi umat Islam terhadap diberlakukannya kebijakan-kebijakan tersebut. Kebijakan-kebijakan yang berkaitan langsung dengan eksistensi pendidikan Islam ini penting diungkapkan, karena diasumsikan akan memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam yang tumbuh pada masa-masa tersebut.
Bab Keempat, mengungkapkan perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam baik pada masa sebelum abad ke-20, terlebih pada awal-awal abad-abad ke-20. Kemudian bagian ini juga menggambarkan lembaga pendidikan Islam baru, yakni madrasah dan jenjang-jenjang pendidikannya, kurikulum pendidikan Islam pada masa-masa pertumbuhannya dan metode mengajar yang diterapkan dalam sistem pendidikan Islam tersebut. Dari penelusuran terhadap perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam masa-masa awal abad ke-20 itu, terlihat sejauhmana pengaruh dari kebijakan-kebijakan politik pendidikan yang dipaparkan pada Bab Ketiga.
Bab Kelima, menganalisa mengenai apa saja implikasi dari kebijakan-kebijakan politik pendidikan kolonial Belanda terhadap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam pada waktu itu. Implikasi-implikasi tersebut terutama terlihat pada aspek-aspek kelembagaan, kurikulum, metode pengajaran dan pendidiknya.
Bab Keenam, berisi kesimpulan-kesimpulan yang mengandung jawaban terhadap rumusan-rumusan masalah pada Bab Pertama serta beberapa saran yang dapat diajukan, yang didasarkan pada hasil pembahasan bab-bab sebelumnya.
BAB II
KEBIJAKAN POLITIK PENDIDIKAN PEMERINTAH HINDIA BELANDA

A. Kebijakan Politik Pendidikan Pemerintah Hindia Belanda
Sebelum mengkaji kebijakan politik pendidikan yang terjadi pada awal-awal abad kedua puluh, yang merupakan fokus utama kajian ini, ada baiknya jika dilihat masa-masa sebelum abad itu. Sebab, diasumsikan bahwa di antara kedua masa itu memiliki korelasi yang signifikan. Kejadian yang berkembang pada abad ke-20 merupakan rentetan panjang dari masa-masa sebelumnya, terutama yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap Hindia Belanda. Sebagaimana Taylor et. al., seperti dikutip M. Sirozi, mengatakan bahwa: “Tidak mungkin memahami suatu kisah secara lepas. … Selalu ada sejarah yang mendahului peristiwa penting… yang bersama-sama memengaruhi bentuk dan waktu kebijakan dan juga evolusi dan hasilnya”. Persoalannya akan mengalami kesulitan yang luar biasa jika pengkajian itu dilepaskan dari konteks sebelumnya.
Politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda sebagai inti politik kolonial, tercermin dalam sistem pendidikan yang diselenggarakannya. Hal ini terlihat jelas dengan tujuan diselenggarakannya pendidikan tidak dimaksudkan sebagai upaya pencerdasan terhadap anak-anak pribumi, melainkan dimaksudkan untuk mencetak tenaga terdidik dengan biaya murah, sebab bila pegawai administrasi pemerintah ataupun pekerja bawahan harus didatangkan dari negeri Belanda, sudah tentu memerlukan biaya yang cukup mahal.
Jauh sebelum abad ke-19, masyarakat Indonesia telah mengalami tekanan dari kekuatan-kekuatan Eropa. Namun, sejauh itu Indonesia tampaknya belum dikuasai dan terkekang secara represif dari pengaruh Barat. Perubahan-perubahan besar justru terjadi pada awal abad ke-19. Setelah perang Napoleon, Belanda berambisi menguasai wilayah Indonesia sebagai daerah kekuasaan kolonialnya. Belanda berusaha mengatur kepulauan Indonesia secara bebas dan tunduk kepada kekuasaannya. Pada masa-masa itu, langkah-langkah restrukturisasi besar dalam struktur dan kebijakan kolonial terjadi. Setelah Belanda dapat merebut kekuasaan VOC (Vereenidge Oost-Indische Compagnie – Perserikatan Maskapai Hindia Timur) pada tahun 1799, Herman Willem Daendels ditunjuk oleh Louis Bonaparte, raja Belanda, sebagai Gubernur Jenderal baru di Hindia Belanda pada tahun 1806. Sistem lama VOC, diambil alih oleh kepemimpinan Daendels. Perpindahan kepemimpinan ini secara efektif menandai awal pemerintahan kolonial Belanda di wilayah Indonesia. Langkah yang dilakukan Daendels adalah menyederhanakan dan merekonstruksi sistem kepemerintahan dan administrasi yang ditinggalkan oleh VOC. Di bawah kepemimpinan Daendels, rakyat pribumi Indonesia semakin dikuras dan tersiksa bila dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Konsekuensi kemenangan Belanda atas usaha perluasannya telah memberikan inspirasi Van Heutsz, Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1904, untuk menghancurkan struktur berbagai kerajaan lokal yang otonom independen. Van Heutsz memaksa para penguasa yang sudah tunduk, dan penguasa-penguasa lokal lain, untuk menandatangani “pernyataan ringkas” (short declaration). Dalam pernyataan itu disebutkan bahwa para penguasa lokal, khususnya yang berada di luar Jawa, mengakui pemerintahan Belanda dan berjanji mentaati segala perintah yang datang dari penguasa kolonial Belanda. Selain itu, penguasa lokal tidak diperkenankan melakukan kesepakatan atau negosiasi apa pun dengan pihak-pihak luar.
Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda menjalankan “Kebijakan Liberal”. Kebijakan ini didasarkan atas seringnya pemberontakan di tingkat lokal, di satu sisi, dan sisi lain tekanan dari kelompok liberal di dalam negeri Belanda sendiri, setelah tahun 1848 yang memperlonggar “sistem kultural” (cultural system) sehingga perusahaan luar bisa masuk. Dengan kebijakan ini, liberalisme ekonomi mulai diperkenalkan di Hindia Belanda. Namun, kebijakan liberal ternyata mengondisikan situasi sosial dan ekonomi rakyat pribumi semakin memburuk. Rakyat diberikan upah yang hanya ditentukan secara sepihak oleh para majikan Belanda dengan tidak mempertimbangkan faktor-faktor kemanusiaan sehingga semakin melemahnya tingkat kesejahteraan rakyat. Di bidang pendidikan, hampir tidak ada sekolah baru yang dibangun di Jawa kecuali sekolah-sekolah yang memang disiapkan untuk mendidik keluarga elit Jawa. Sebagian besar pendidikan dasar bagi rakyat diperoleh di pesantren-pesantren.
Kebijakan liberal semakin mendistorsi nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental bagi masyarakat pribumi sehingga kemudian diganti dengan kebijakan baru yang disebut “Politik Etis” (Etische Politiek). Kebijakan baru ini diterapkan sebagai respon masyarakat Belanda terhadap penderitaan masyarakat jajahannya. Informasi mengenai hal itu dibawa oleh para pejuang kehormatan, seperti Douwes Dekker, ke negeri Belanda.
Sejalan dengan perkembangan kebijakan-kebijakan tersebut, orang kemudian membaginya menjadi dua fase yaitu periode VOC (1600-1800) dan periode pemerintahan Belanda Wilayah Hindia Timur (1800-1942). Selama dua periode itu kebijakan pendidikan Belanda mengalami beberapa kali perubahan. Pemerintah Belanda di Indonesia menerapkan kebijakan yang diskriminatif dan hampir sama sekali tidak memperhatikan aspirasi masyarakat pribumi. Bagaimanapun juga, tulis Yulius K. Nyerere, seperti dikutip Jalaluddin, pendidikan kolonial bukan dimaksudkan untuk mempersiapkan orang muda untuk melayani negaranya, melainkan didorong oleh keinginan memaksa nilai-nilai masyarakat kolonial dan memaksa perorangan untuk melayani negara kolonial.
Kebijakan semacam itu didorong oleh satu keinginan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dari program-program pendidikan yang dikembangkan. Di balik kegiatan-kegiatan pendidikan yang diselenggarakan terdapat satu keinginan untuk mempertahankan status quo, suatu kondisi di mana pihak Belanda selalu menempatkan diri pada tingkat yang lebih tinggi dalam struktur masyarakat dan suatu kondisi yang mampu keberlanjutan rejim kolonial. Oleh karena itu sistem pendidikan yang diterapkan itu ditandai dengan diskriminasi ras dan agama.
Diskriminasi itu sangat jelas terlihat pada klasifikasi sekolah di Indonesia. Misalnya, pada tingkat dasar pemerintah membuka sekolah-sekolah yang dibedakan menurut ras dan keturunan seperti Europeesche Lagere School untuk anak-anak Eropa, Hollandsch Chinese School untuk anak-anak Cina dan keturunan Asia Timur, Hollandsch Inlandsche School yang kemudian disebut Sekolah Bumiputra untuk anak-anak pribumi dari kalangan ningrat dan terakhir adalah Inlandsche School yang disediakan untuk anak-anak pribumi pada umumnya.
Pada tahun 1915, ketika siswa di sekolah bumiputra mencapai 321.000 siswa, anggaran yang disediakan hanya sejumlah f. 1.493.000. sedangkan pada tahun yang sama, di sekolah Eropa yang hanya 32.000 siswa, tetapi uang yang dialokasikan mencapai f. 6.600.000.
Dengan kebijakan diskriminatif semacam itu, maka ketulusan program pendidikan Belanda menjadi dipertanyakan. Pesantren yang menjadi basis pendidikan agama masyarakat Muslim tidak mendapatkan perhatian sama sekali. Pemerintah berargumentasi bahwa hal itu dilakukan untuk menjaga netralitas terhadap agama apapun sebagaimana secara formal tertuang dalam Konstitusi Belanda tahun 1855 dan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1871. Akan tetapi klaim tersebut ternyata tidak benar, karena pada saat yang sama pemerintah membantu pembangunan sekolah teologi Kristen. Di samping itu, pada tahun 1905 pemerintah mengeluarkan Staatsblad No. 550, yang disebut ”Ordonansi Guru Agama” yang membatasi jumlah guru yang beragama Islam dengan mengharuskan mereka untuk mendapatkan ijazah dari pemerintah melalui bupati (bagi mereka yang tinggal di Jawa dan Madura) atau melalui pejabat pemerintah yang lain (bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah lain). Di samping itu, peraturan baru tersebut mengharuskan siswa dari luar daerah melaporkan identitas mereka kepada bupati sebelum mereka memulai program studi mereka. Dapat dipastikan kebijakan semacam ini mempengaruhi perkembangan pesantren, karena para santri umumnya berasal dari luar daerah. Lebih jauh, karena kebijakan ini perkembangan dakwah Islam menjadi terhambat. Ironisnya, kebijakan semacam ini tidak diberlakukan di daerah-daerah di mana para misionaris Kristen menyebarkan agama mereka.
Selain menerapkan kebijakan yang diskriminatif sebagaimana dikemukakan di atas, pemerintah juga mengabaikan nilai-nilai dan adat istiadat lokal. Di balik kebijakan pendidikan yang disebutkan “netral” tersebut pemerintah berusaha menanamkan adat istiadat Eropa pada penduduk lokal. Usulan C. Snouck Hurgronje untuk mengganti hari Jum’at dengan hari Minggu sebagai hari libur merupakan salah satu contoh dari upaya semacam ini. Barangkali memang benar bahwa libur sekolah pada hari Jum’at itu tidak ada alasannya yang kuat dalam ajaran Islam, tetapi argumen semacam ini melupakan satu hal yang amat penting bahwa libur sekolah hari Jum’at merupakan tradisi masyarakat Muslim yang harus dihormati dan seharusnya tidak mendapatkan campur tangan dari pihak luar, termasuk pemerintah. Di sini jelas, bahwa kepentingan kaum kolonial yang beragama Kristen lebih diutamakan daripada kepentingan masyarakat pribumi. Oleh karena itu tepat ungkapan Bradjanegara yang mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan kolonial tidak memberi kesempatan kepada rakyat untuk mengembangkan pandangan hidup mereka dan untuk hidup sebagai orang yang merdeka.
Sebenarnya, setiap kebijakan pemerintah Belanda selalu bergantung pada siapa yang menjabat sebagai Gubernemen saat itu. Di era kepemimpinan Jenderal Van der Capellen, tepatnya tanggal 8 Maret 1819 M, ia telah memprakarsai sebuah proyek penelitian tentang pendidikan masyarakat Jawa. Hal ini dimaksudkan untuk semakin meningkatkan kualitas daya baca dan tulis di kalangan penduduk pribumi. Selain itu, dengan hasil penelitian tersebut diharapkan adanya perbaikan atau revisi pelaksanaan Undang-undang dan peraturan dalam pendidikan. Bahkan perhatian Van der Capellen tidak hanya sebatas mekanisme dan sistem pendidikan saja, tapi sudah mengarah pada perbaikan kualitas guru yang ada pada saat itu agar menyesuaikan dengan sistem yang sama sekali berbeda dan wajib diberi motivasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Pada dekade pasca-Capellen tersebut, babak baru sekolah zending yang dirintis oleh pemerintah Belanda mulai menunjukkan eksklusivismenya. Hal ini dibuktikan dengan adanya politisasi besar-besaran dilakukan dengan subsidi pemerintah, dalam sistem dan pengajaran kurikulum yang hampir 100 persen mempelajari tentang ajaran yang termaktub dalam Bibel. Kurikulum yang diajarkan di sekolah zending tersebut seperti ilmu bumi misalnya, hanya bicara bumi Palestina (Yerusalem) dan cerita sejarah Paulus saja, tidak lebih dari itu. Demikian juga mengenai ilmu sejarah melulu hanya bicara soal sejarah Bibel tentang kisah nabi. Untuk pelajaran musik juga hanya sebatas musik-musik gerejani.
Di sinilah terjadi puncak politisasi pendidikan kolonial membentuk historisitasnya di bumi Nusantara. Sekolah zending, dengan sistem pendidikan Kristen ini banyak berkembang di kawasan Timur Nusantara seperti Minahasa dan Maluku. Dan uniknya, justru sekolah zending paling cepat beradaptasi menyesuaikan pola pendidikan umum yang coba dikembangkan oleh pemerintah. Akhirnya, melalui inspeksi pendidikan kolonial yang dilakukan pemerintah, zending resmi menjadi sekolah umum.
Sampai pada dasawarsa akhir abad ke-19, titik tolak perkembangan pendidikan belum mengarah kepada terbentuknya sistem pendidikan umum, melainkan hanya sekedar memenuhi kebutuhan bagi para pegawai pemerintah Hindia Belanda. Maka sekolah zending yang sejak awal didirikan bertujuan untuk sebesar-besarnya kepentingan pemerintah Belanda jelas merupakan strategi politik yang dipersiapkan jauh hari sebelumnya. Kebijakan politik pendidikan Hindia Belanda terus berjalan seiring dengan semakin kuatnya cengkeraman kolonialisme di tanah air.
Demikianlah, sampai akhir abad ke-19 tersebut hasil dari program-program pendidikan pemerintah jauh dari memuaskan. Hal ini karena program tersebut tidak mendapatkan dukungan dari para ulama yang memang tidak pernah didekati atau terlibat dalam program tersebut. Bahkan pemerintah melakukan langkah-langkah yang diskriminatif terhadap Muslim. Karena alasan itulah maka pendidikan pemerintah menjadi tidak popular bagi sebagian besar masyarakat pribumi. Ini terbukti bahwa pada tahun 1930, 93% dari 60 juta penduduk Indonesia tidak bisa membaca dan menulis huruf Latin. Dari sejumlah kecil anak-anak yang mendaftarkan diri ke sekolah-sekolah pemerintah, sebagian besar tidak menyelesaikan studinya. Sementara mereka yang mampu menyelesaikan sekolahnya pada umumnya didorong oleh suatu keinginan untuk menjadi pegawai pemerintah, bukan karena kecintaannya kepada ilmu.
Sejalan dengan semakin meluasnya kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, maka diperlukan tenaga-tenaga administrasi pemerintahan yang lebih banyak pula. Untuk memenuhinya, maka pada tahun 1817 sekolah pertama didirikan di Jakarta yang diperuntukkan bagi anak-anak Eropa, yaitu Europeesche Lagere School (ELS – Sekolah Rendah Eropa). Sekolah ini mencontoh sekolah yang ada di Nederland. Secara berangsur-angsur, jumlah sekolah ini kian meningkat dari 7 buah pada tahun 1820, 19 buah pada tahun 1833, 25 buah 1845, 57 buah 1858, 159 tahun 1895, dan kemudian pada tahun 1902 telah mencapai 173 buah.
Selanjutnya, sebagai akibat pengaruh dari ide-ide liberal aliran Aufklarung atau Enlightenment (Pencerahan) yang sedang menguat di Nederland sendiri, pemerintah Hindia Belanda mulai menyelenggarakan pendidikan untuk pribumi segera setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Raja No. 95 tanggal 30 September 1848 mengenai pemberian wewenang kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menyediakan dana f. 25.000 (florin=Gulden) setahun bagi pendirian sekolah-sekolah pribumi di Pulau Jawa, dengan tujuan utama untuk mendidik calon pegawai negeri.
Atas dasar wewenang tersebut, sebagai langkah pertama didirikanlah 20 buah sekolah dasar negeri, masing-masing satu buah sekolah di setiap ibukota keresidenan. Pada tahun 1864 sekolah dasar untuk pribumi bertambah menjadi 186, dan pada tahun 1882 jumlahnya telah mencapai 512 tersebar di seluruh Hindia Belanda.
Pada tahun 1893 terjadi reorganisasi pada sekolah dasar pribumi berlandaskan Keputusan Raja tanggal 28 September 1892 dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 125 tahun 1893. Sekolah dasar bumiputra menjadi dua kategori, yaitu:
1. Sekolah Dasar Kelas Satu (De Scholen der Eerste Klasse)
Sekolah ini didirikan di ibukota keresidenan, kabupaten, kewedanan atau yang sederajat, dan di kota-kota yang menjadi pusat perdagangan dan kerajinan, atau di tempat-tempat strategis lainnya. Murid-murid yang diterima di sekolah ini adalah anak-anak golongan masyarakat atas (elit). Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan administrasi pemerintahan, perdagangan dan perusahaan. Lama belajar 3 tahun dengan bahasa pengantar mula-mula bahasa Melayu, tetapi kemudian berbahasa pengantar bahasa Belanda.
2. Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der Tweede Klasse)
Sekolah ini didirikan di distrik-distrik sehingga dinamakan juga Sekolah Distrik. Diperuntukkan untuk masyarakat pribumi pada umumnya. Tujuannya adalah untuk mencetak pegawai-pegawai rendahan dengan lama belajar 5 tahun dan berbahasa pengantar bahasa Melayu.
Sementar itu di Tondano, Bandung, Magelang dan Probolinggo terdapat pula sekolah yang dinamakan Sekolah Raja (Hoofdendchool) – yang tahun 1865-1872 sebagai masa percobaan. Sekolah ini berbahasa pengantar bahasa campuran, di samping bahasa Melayu juga berbahasa pengantar bahasa Belanda dengan tujuan untuk memperoleh tenaga terdidik dari golongan bangsawan pribumi yang akan dilibatkan dalam pekerjaan administrasi pemerintahan. Pada tahun 1900 sekolah ini mengalami reorganisasi dengan nama OSVIA (Opleiding School voor Indische Ambtenaren - Sekolah untuk Pendidikan Pegawai Pribumi).
Sejalan dengan perluasan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda sebelum abad ke-20 tersebut, pemerintah juga mendirikan sekolah-sekolah yang mengeluarkan guru-guru pada sekolah dasar yang dinamakan Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK – Sekolah Pendidikan Guru). Didirikan pertama kali di Surakarta pada tahun 1852 yang kemudian diikuti oleh daerah-daerah lain seperti Bukittinggi (Fort De Kock versi pemerintah Belanda) tahun 1856, Tanah Batu (Tapanuli) 1864, Tondano (1873), Ambon (1874), Probolinggo (1875), Banjarmasin (1875), Makasar (1876), dan Padangsidempuan (1879). Semula berbahasa pengantar di HIK ini adalah bahasa Melayu, namun setelah bahasa Belanda pada tahun 1865 diajarkan, maka sejak tahun 1871 bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar.
Lulusan Sekolah Pendidikan Guru tersebut, mendapat gelar “Menteri Guru” dengan diberi hak untuk menggunakan payung menurut ketentuan pemerintah, tombak, tikar dan kotak sirih. Mereka juga mendapat biaya untuk menggaji empat pembantu untuk membawa keempat lambang kehormatan tersebut.
Demikianlah gambaran kebijakan-kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa-masa liberal di akhir abad ke-19, di mana pendidikan kolonial juga telah dinikmati oleh masyarakat pribumi – terutama golongan atas. Perluasan pendidikan ke pedasaan bagi seluruh lapisan masyarakat baru terlaksana pada permulaan abad ke-20 oleh apa yang disebut “Politik Etis” (Etische Politiek).
Politik Etis merupakan salah satu di antara kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap Indonesia yang dimunculkan pada tahun 1905 dan berakhir pada tahun 1942. Namun ada yang mengatakan berakhir pada tahun 1913, dengan alasan bahwa sesudah tahun tersebut kebijakan pemerintah kolonial bersifat membimbing dan mengontrol, dan ada juga yang berpendapat bahwa berakhirnya politik tersebut pada tahun 1920. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa elemen dinamika Politik Etis dalam usaha memajukan kemakmuran dan standar kehidupan rakyat Hindia Belanda justru berakhir pada saat itu. Perbedaan tersebut tidaklah mengurangi pembahasan ini sebab berdasarkan kenyataan bahwa kebijakan yang berkaitan dengan Politik Etis ini sampai berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia tahun 1942 masih tetap diberlakukan. Oleh karena itu penulis menganggap bahwa berakhirnya Politik Etis itu pada tahun 1942.
Politik Etis merupakan pengganti politik Eksploitasi materialistis yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia sebagai rakyat jajahan. Politik ini berpangkal pada gagasan “kewajiban moral” dan “hutang budi” pemerintah kolonial terhadap tanah jajahannya dengan memerhatikan kepentingan Indonesia dari masa-masa sebelumnya.
Seorang pejuang kemanusiaan, Van Deventer, menulis sebuah artikel pada tahun 1899 yang berjudul “Hutang Kehormatan” (De Eereschuld) dalam majalah “De Gids”. Dalam tulisannya itu Van Deventer antara lain mengatakan bahwa dari hasil panen yang sangat berharga melalui Tanam Paksa (Cultuur Stelsel), negeri Belanda telah memperoleh keuntungan berjuta-juta gulden. Antara tahun 1867 sampai dengan 1878 keuntungan yang telah diperoleh tidak kurang dari 187 juta gulden. Hal ini merupakan hutang Belanda terhadap rakyat Indonesia yang perlu dikembalikan, sekali pun dalam bentuk lain, karena hal itu merupakan hutang kehormatan.
Sebagai bangsa yang “bermoral”, adalah menjadi kewajiban untuk mengembalikan hutang budi itu dengan jalan memajukan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan rakyat jajahan. Anjuran Van Deventer ini kemudian terekenal dengan sebutan: “Trilogi Van Deventer” atau “Trias Etika”, yaitu pendidikan (Educatie), Irigasi (Irigatie), dan Emigrasi (Emigratie). Namun yang menjadi inti dari Politik Etis adalah pendidikan dan emansipasi bangsa Indonesia secara berangsur-angsur.
Titik awal bermulanya Politik Etis ini adalah pidato Ratu Wilhelmina pada tahun 1901 di Staten Generaal. Pidato Ratu Wilhelmina ini merupakan prinsip bagi politik masa depan. Pada tahun 1905, sejumlah 40 juta gulden dikeluarkan bagi kepentingan Hindia Belanda untuk perbaikan ekonomi di Jawa dan Madura.
Berbagai faktor yang telah menyebabkan diambilnya politik baru tersebut, baik dari dalam maupun dari luar Indonesia. “Kebangkitan Asia”, naiknya Jepang sebagai suatu kekuatan yang penting yang mampu menaklukkan Rusia – suatu negara Barat raksasa, proklamasi Republik Cina, lahirnya Partai Sosial Demokrat di Nederland, merupakan tekanan yang tidak langsung terhadap negeri Belanda agar memulai Politik Etis.
Faktor dari dalam Indonesia sendiri di antaranya adalah kenyataan hidup rakyat pribumi di tanah jajahan yang sangat mengenaskan, dan banyak wilayah terutama di luar Jawa baru saja diduduki ataupun baru dalam proses untuk diduduki atau dijajah. Dan oleh sebab itu suatu politik baru diperlukan untuk menenteramkan keadaan.
Pada masa Politik Etis ini kemudian menjadikan arah etis (Etische Koers) sebagai landasan idiil dalam langkah-langkah pendidikan di Hindia Belanda. Berdasarkan pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, maka pemerintah mendasarkan kebijakannya pada pokok-pokok pikiran tersebut:
1. Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk bumiputra, untuk itu bahasa Belanda diharapkan dapat menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah
2. Pemberian pendidikan rendah kepada golongan bumiputra disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Adapun tujuan dari pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial tidak pernah dirumuskan secara eksplisit. Kendati demikian, pada dasarnya tujuan diselenggarakannya pendidikan di Hindia Belanda tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja atau buruh bagi kaum pemilik modal Belanda. Keluaran pendidikan, sebagian diharapkan untuk menjadi tenaga administrasi, tenaga teknik, atau tenaga pertanian, sebagai tenaga kerja kelas dua.
Di bawah terang Politik Etis ini kemudian muncullah istilah-istilah baru, yaitu unifikasi, asimilasi dan asosiasi. Istilah “unifikasi” memiliki konotasi hukum yang mengandung suatu usaha untuk mendirikan suatu sistem legislatif seperti dalam bidang-bidang administrasi kepegawaian, pendidikan, pajak dan sebagainya untuk semua golongan penduduk, baik Eropa maupun Indonesia, dengan didasarkan ukuran yang berlaku bagi golongan Eropa.
Istilah “asimilasi” dan “asosiasi” sangat identik dalam maknanya. Keduanya memiliki konotasi kultural. Perbedaannya: yang pertama berupaya agar semua orang – terlepas dari apapun ras dan asal-usulnya – tunduk pada kondisi dan aturan-aturan yang sama; yang kedua berupaya mengikat orang-orang tertentu menjadi lebih terjalin erat satu sama lain, tanpa adanya unsur paksaan.
Snouck Hurgronje, seorang peletak dasar politik Islam di Indonesia ini, gigih memperjuangkan istilah yang tersebut terakhir, yakni asosiasi. Snouck Hurgronje berkali-kali menyatakan bahwa pondasi kerajaan Belanda diperkukuh oleh asosiasi orang Indonesia dengan kebudayaan Belanda. Oleh karena itu, jalan satu-satunya adalah menyediakan pendidikan Barat. Karena “pendidikan Barat merupakan sarana paling meyakinkan untuk mengurangi dan akhirnya menaklukkan pengaruh Islam di Indonesia”. Pandangan Snouck Hurgronje ini pada akhirnya memengaruhi pemerintah Hindia Belanda dan salah satu alasan disediakannya berbagai fasilitas pendidikan dalam skala besar-besaran.
Sejalan dengan gagasan Snouck Hurgronje tersebut, Van Deventer juga menyarankan untuk mengembangkan pengajaran bahasa Belanda oleh sebab dilihatnya bahwa mereka yang menguasai bahasa Belanda secara kultural lebih maju dan dapat menjadi pelopor bagi yang lain. Namun berbeda dengan Snouck Hurgronje yang mendukung pemberian pendidikan hanya golongan aristokrat bumiputra, maka Van Deventer menganjurkan pemberian pendidikan Barat justru kepada orang-orang golongan bawah.
Dalam rangka merealisasikan gagasan tersebut, oleh Gubernur Jenderal, Van Heutz, pada tahun 1907 antara lain mengambil tindakan penting, yaitu memberikan corak dan sifat kebelanda-belandaan pada Sekolah Kelas Satu.
Pada Sekolah Kelas Satu yang sebelumnya bahasa Belanda setara dengan mata pelajaran-mata pelajaran yang lainnya, namun atas prakarsa Van Heutz tersebut bahasa Belanda mendapat perhatian yang lebih besar. Bahasa ini diberikan sejak kelas 3 sampai dengan kelas 5. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, setelah masa studi diperpanjang menjadi 6 tahun, bahasa Belanda dipergunakan sebagai bahasa pengantar di kelas tersebut.
Gagasan Van Deventer yang menganjurkan pendidikan dengan model Barat untuk golongan bawah pribumi ternyata mendapat sambutan hangat dari Van Heutz. Karena di tahun yang sama (1907), ia memerintahkan untuk segera mendirikan pendidikan bagi golongan bawah yang kemudian dinamakan Sekolah Desa (Volksschool). Sekolah ini secara kualitas jauh di bawah Sekolah Kelas Satu di atas, kendati pun justru dari Sekolah-sekolah Desa ini pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dua tahun menjelang berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda, jumlah siswa Sekolah Desa ini hampir mencapai dua juta orang. Berdasarkan akan kenyataan ini Karel Steenbrink – dengan mengutip Brugmans yang mengatakan bahwa pada tahun 1938 sekitar sepertiga dari anak usia sekolah ini – berkomentar: “Guru-guru lembaga pendidikan Islam kebanyakan berasal dari sekolah desa dan melalui sekolah ini mereka mengenal tujuan dan metode pengajaran Barat.”
Selanjutnya, setahun kemudian (1908) berdiri pula Sekolah Cina Belanda (HCS – Hollandsch Chineese School) yang diperuntukkan bagi bangsa Timur Asing, khususnya bangsa Cina. Kemudian pada tahun 1914, sekolah lanjutan dari Sekolah Desa didirikan (Vervolgschool). Pada tahun yang sama, HIS (Hollandsche Inlandsche School – Sekolah Bumiputra Belanda) juga dibuka sebagai hasil reorganisasi dari Sekolah Kelas Satu.
Sekolah lanjutan dari HIS di atas yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs – Sekolah Menengah Umum) didirikan pada tahun yang sama (1914). Kemudian, sebagai lanjutan dari MULO adalah AMS (Algemeene Middlebaar School) baru dibuka pada tahun 1919. Dua tahun kemudian (1921), berdiri Sekolah Peralihan (Schakelschool). Disebut peralihan, karena memang sekolah ini merupakan jenjang yang harus dilewati bagi lulusan Sekolah Desa yang berbahasa pengantar bahasa daerah ke sekolah dasar yang berbahasa pengantar bahasa Belanda.
Mengenai pendidikan tinggi, di Indonesia hingga tahun 1920 belum ada perguruan tinggi yang sebenarnya. Baru setelah kebutuhan tenaga insinyur semakin dirasakan, maka atas prakarsa lembaga Koninklijk Instituut voor Hoge Technisch Onderwijs in Nederlandsch Indie didirikanlah sekolah teknik tinggi, yaitu Technische Hogeschool di Bandung – ITB sekarang. Sekolah ini sampai tahun 1924 masih di bawah manajemen swasta. Baru kemudian bertepatan dengan didirikannya Rechte Hogeschool (Sekolah Hukum) di Jakarta pada tahun 1924, pemerintah kolonial bersedia mengambil alih manajemennya.
Dari gambaran-gambaran di atas, terkesan pemerintah kolonial sangat ingin memajukan pribumi dengan cara mengenalkan budaya-budaya Barat di lembaga-lembaga tersebut. Namun pada dasarnya, pemerintah kolonial sangat sedikit sekali berbuat bagi pendidikan rakyat biasa. Hal ini terlihat dari statistik Belanda bahwa, 93 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang 60 juta jiwa masih buta huruf. Melihat kenyataan ini, Vastenhouw, seorang penyelidik pendidikan pada masa penjajahan, mengatakan: “Kesimpulan jang harus diambil dalam hal ini menurut pendapat saja, tak lain daripada: pengadjaran rakjat itu pada umumnja tidak menghasilkan orang2 jang melek-huruf seumur hidup.”
Hal tersebut dapat dipahami karena sebagaimana Abdoerrachman berkomentar bahwa: “… Keengganan Belanda untuk memajukan pendidikan orang-orang Indonesia dapat dipahami. Karena bagi Belanda, pendidikan merupakan dinamit yang bisa jadi mendatangkan guncangan besar terhadap kekuasaan mereka.”
Tambahan pula, menurut hasil studi Komisi Pendidikan Indonesia Belanda (Hollandsch-Inlandsch Onderwijs Commissie) yang dibentuk pemerintah pada tahun 1928-1929, menunjukkan bahwa 2 persen dari orang Indonesia yang memperoleh pendidikan Barat dapat berdiri sendiri, lebih dari 83% menjadi pekerja bayaran, dan sisanya menganggur. Di antara 83% tersebut, terdapat 45% bekerja sebagai pegawai negeri, meskipun untuk jenis pekerjaan yang sama, pada umumnya gaji pegawai negeri penduduk pribumi jauh lebih rendah dibandingkan dengan gaji orang Eropa.

B. Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Hindia Belanda dalam Jenis-jenis Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan pada dasarnya dipandang sebagai institusi sosial. Sebagai institusi sosial, maka pertumbuhan, perkembangan dan kemunduran serta keruntuhan lembaga pendidikan sangat berhubungan erat dengan perubahan struktur dan kultur sosial di mana lembaga pendidikan itu berada. Lebih jauh, berhubungan erat dengan masyarakat pendukungnya, yang mungkin sangat berbeda dengan struktur dan kultur masyarakat sekitar lembaga pendidikan itu sendiri.
Pendidikan kolonial Belanda dilangsungkan dalam lembaga pendidikan yang dinamakan sekolah. Sekolah adalah pendidikan formal, prosedur pendidikannya telah diatur sedemikian rupa, ada guru, ada siswa, ada jadwal pelajaran yang berpedoman kepada kurikulum, ada jam-jam tertentu waktu belajar serta dilengkapi dengan sarana dan fasilitas pendidikan, baik perangkat keras maupun perangkat lunak.
Berikut dikemukakan gambaran mengenai jenis-jenis lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda dan masa studi yang dihabiskan oleh setiap siswa pada setiap jenjanganya.
1. Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)
Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs) ini terdiri dari sekolah-sekolah yang berbeda bahasa pengantarnya, yaitu Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda (Westersch Lager Onderwijs) dan bahasa pengantar bahasa Daerah atau Melayu (Inlandsch Lager Onderwijs).
a. Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda
1) Sekolah Rendah Eropa (ELS – Europeesche Lager School)
Sekolah ini merupakan Sekolah Rendah untuk anak-anak keturunan Eropa, anak-anak keturunan Timur Asing, dan anak-anak Bumiputra dari golongan bangsawan (aristokrat). Lama belajar 7 tahun, dan nama “Europeesche Lager School” sendiri sebenarnya baru dipakai pada tahun 1902 yang sebelumnya bernama Lager Onderwijs en Lagere School voor Europeanen, semenjak didirikannya pada tahun 1817 di Batavia – Jakarta sekarang.
2) Sekolah Bumiputra (Inlandsche School) Kelas Satu (Eerste Klasse)
Sekolah ini terbagi atas dua kategori, yaitu:
a) Sekolah Cina Belanda (HCS – Hollandsch Chineesche School) yang diperuntukkan bagi Timur Asing, khususnya bangsa Cina. Lama belajar 7 tahun dan didirikan pada tahun 1908.
b) Sekolah Bumiputra Belanda (HIS – Hollandsch Inlandsche School) yang dimaksudkan bagi keturunan bangsa Indonesia asli dari golongan anak bangsawan, tokoh terkemuka, atau pegawai negeri. Pertama dibuka pada tahun 1914 dengan lama belajar 7 tahun.
b. Sekolah Rendah dengan bahasa Pengantar Bahasa Daerah
1) Sekolah Bumiputra (Inlandsche School) Kelas Dua (Tweede Klasse). Sekolah ini memiliki masa studi 5 tahun yang disediakan bagi masyarakat pribumi golongan menengah.
2) Sekolah Desa (Volksschool). Berdiri pada tahun 1907 dengan lama belajar 3 tahun bagi seluruh lapisan masyarakat.
3) Sekolah Lanjutan (Vervolgschool). Sebagai lanjutan dari Sekolah Desa (Volksschool) dengan lama belajar 3 tahun dan berdiri pada tahun 1914.
4) Sekolah Peralihan (Schakelschool). Merupakan sekolah yang disediakan bagi lulusan Sekolah Desa untuk memasuki Sekolah Rendah yang berbahasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajar 5 tahun dan baru dibuka pada tahun 1921.
2. Pendidikan Lanjutan (Middlebaar Onderwijs)
a. MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)
Pendidikan Menengah atau Pendidikan Lanjutan (Middlebaar Onderwijs), terdapat satu jenis sekolah, yang menurut sistem persekolahan Belanda digolongkan dalam Sekolah Rendah yang diperluas (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs – MULO). Berhubung sekolah ini adalah lanjutan dari sekolah dasar yang berbahasa Belanda, maka MULO termasuk pula dalam jenjang pendidikan lanjutan.
MULO pertama dibuka pada tahun 1914 dan merupakan sekolah umum yang berdiri sendiri (setaraf dengan SMP sekarang) yang terbuka bagi golongan bumiputra dan Timur Asing dengan lama belajar 3 tahun atau 4 tahun apabila masuknya melalui voorklas (kelas persiapan).


b. AMS (Algemeene Middlebaar School)
Merupakan lanjutan dari MULO di atas dan berbahasa pengantar bahasa Belanda yang disediakan bagi golongan pribumi dan Timur Asing. Lama belajar 3 tahun dan pertama dibuka pada tahun 1919 (setaraf SMA sekarang).
AMS ini memiliki dua jurusan atau bagian (afdeling), yaitu:
Bagian A- “Bidang Pengetahuan Kebudayaan” (Cultuurwetenschap)
A1 : Sastra Timur (Oostersch-Letterkunde)
A2 : Sastra Klasik Barat (Westersch-Klassiek)
Bagian B- “Bidang ilmu Pasti dan Alam” (Natuurwetenschap).
c. HBS (Hogere Burger School)
Hogere Burger School – Sekolah Tinggi Warga Negara ini adalah sekolah lanjutan ELS, yang disediakan untuk golongan Eropa, pribumi golongan bangsawan atau tokoh terkemuka. Sekolah yang berorientasi ke Eropa –khususnya Belanda – ini memiliki masa belajar 3 tahun.
Sekolah ini asalnya dari sekolah yang bernama Gymnasium Willem III yang pada tahun 1867 dibagi menjadi dua bagian (afdeling). Bagian A dengan lama belajar 5 tahun kemudian berubah menjadi HBS 5 tahun mempunyai kesempatan untuk meneruskan ke perguruan tinggi di Nederland. Sedangkan bagian B memiliki lama belajar 3 tahun, dan mempunyai kesempatan untuk melanjutkan ke pendidikan perwira, pendidikan pegawai negeri atau akademi perdagangan dan kerajinan di Delf, negeri Belanda.
3. Sekolah Kejuruan
Pendidikan Kejuruan (Vakonderwijs) adalah sekolah menengah yang bertujuan untuk memberikan pendidikan pertukangan, teknik, dagang, pertanian dan kewanitaan.
Jenis-jenis Sekolah Kejuruan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sekolah Pertukangan
Sekolah ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1) Sekolah Pertukangan dengan pengantar bahasa Daerah (Ambachts Leergang) dan 2) Sekolah Pertukangan dengan bahasa Belanda (Ambachtsschool).
Ambachts Leergang menerima lulusan dari Sekolah Bumiputra Kelas Dua dan Sekolah Lanjutan (Vervolgschool). Lama belajar 2 sampai 4 tahun dan baru berdiri pada tahun 1881. Sedangkan Ambachtsschool terbuka untuk HIS, HCS, dan Sekolah Peralihan (Schakelschool) yang bertujuan untuk mendidik dan menghasilkan mandor (Werkbaas) dengan lama belajar 3 tahun.
b. Pendidikan Teknik (Technische Onderwijs)
Sekolah berpengantar dengan bahasa Belanda ini merupakan sekolah lanjutan dari Ambachtsschool di atas. Berdiri pada tahun 1906 dan harus menempuh waktu 3 tahun untuk memperoleh kelulusan.
c. Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs)
Bertujuan untuk menghasilkan tenaga terdidik bagi perusahaan-perusahaan Eropa di Hindia Belanda. Sekolah ini dilaksanakan pada waktu malam untuk pelajaran dagang tingkat dasar dan menengah. Pada tahun 1914, dibuka sekolah yang menerima lulusan HBS 3 tahun di Surabaya. Selain itu, disediakan juga bagi lulusan HIS, HCS dan Schakelschool dengan lama belajar 3 tahun. Baru pada tahun 1935, pemerintah mendirikan Sekolah Dagang Menengah (Middlebaar Handelsschool) yang juga menerima lulusan dari MULO. Sekolah ini membutuhkan waktu 3 tahun untuk menghabiskan program pendidikannya.
d. Pendidikan Pertanian (Landbouw Onderwijs)
Bertujuan untuk memenuhi tenaga pertanian penduduk asli sebagai masyarakat agrarian, dan untuk memenuhi keperluan perusahaan perkebunan Eropa yang mempergunakan pekerja dan pengawasa pribumi. Pada tahun 1903 didirikan sekolah pertanian (Landbouwschool) yang menerima lulusan sekolah dasar berbahasa pengantar Belanda. Pada tahun 1911 dibuka sekolah pertanian (Cultuurschool) dengan lama belajar 3 sampai 4 tahun serta menawarkan dua jurusan, yaitu jurusan pertanian dan kehutanan. Terbuka bagi lulusan sekolah dasar berbahasa pengantar Belanda dan memfokuskan untuk menghasilkan pengawas pertanian dan kehutanan (Landbouw Opzichter).
Di samping itu, didirikan pula sekolah pertanian menengah (Middlebaar Landbouwschool) pada tahun 1920 yang menerima alumni dari MULO atau HBS. Lama belajar 3 tahun. Pada tahun yang sama terdapat pula Sekolah Tani (Landbouw Bedrijfsschool) yang menerima sekolah dasar 5 tahun, berbahasa pengantar bahasa daerah dan lama belajar 2 tahun.
e. Pendidikan Kejuruan (Meisjes Vakonderwijs)
Pendidikan kejuruan termuda ini pendiriannya diilhami oleh gagasan R.A. Kartini. Lama belajar 3 tahun dan menerima lulusan dari HIS, HCS dan Schakelschool. Pertama didirkan pada tahun 1918.
f. Sekolah Keguruan (Kweekschool)
Sekolah yang berambisi ingin mencetak calon-calon guru ini, pada abad ke-20 terdapat tiga jenis sekolah semacam ini, yaitu:
1) Normaalschool adalah sekolah guru yang menggunakan pengantar bahasa daerah dengan masa pendidikan 4 tahun dan menerima lulusan sekolah dasar lima tahun.
2) Kweekschool adalah sekolah guru dengan lama belajar 4 tahun dan terbuka bagi sekolah dasar berbahasa pengantar Belanda.
3) Hollandsch Inlandsche Kweekschool, yaitu sekolah guru yang menggunakan pengantar bahasa Belanda dengan masa pendidikan 6 tahun dan bertujuan menghasilkan guru HIS atau HCS.
4. Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)
a. Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) didirikan pada tahun 1927 di Jakarta yang menerima lulusan AMS atau HBS dan lama belajar 6 tahun.
b. Sekolah Tinggi Hukum (Rechtskundige Hogeschool) dibuka pada tahun 1924 di Jakarta yang menerima lulusan dari AMS dan HBS dengan lama belajar 5 tahun.
c. Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hogeschool) yang didirikan pada tahun 1920 oleh pihak swasta dan pemerintah mengambil alihnya pada tahun 1924. Didirikan di Bandung dengan masa studi 5 tahun dan hanya menerima lulusan AMS dan HBS.
Demikian sistem persekolahan yang diselenggarakan pemeritah Hindia Belanda (lihat Bagan 1.1). Terlihat bahwa Pendidikan Rendah penjenisan sekolah lebih banyak dibandingkan Pendidikan Menengah dan Tinggi. Agaknya pemerintah sengaja membuat rakyat jajahan berkubang dalam kebodohan. Sebagaimana dalam hal ini S. Nasution menulis: “Kesejahteraan rakyat Indonesia tak kunjung tiba. Pendidikan yang baik tetap terbatas pada golongan atas. Untuk rakyat banyak pendidikan dijaga agar sedapat mungkin tetap rendah dan sederhana, hampir tanpa jalan ke luar ke pendidikan lanjutan untuk mendapatkan kedudukan yang lebih baik.”
Namun di sisi lain, sebagian karena penekanan yang lemah terhadap aspek pendidikan ini, penggunaan bahasa Belanda hanya sampai pada puncak piramida sosial, tidak sampai ke lapisan menengah dan bawah. Ini berarti, secara tidak sadar pemerintah kolonial Belanda telah banyak membantu rakyat pribumi dalam memperkuat rasa persatuan nasional mereka melalui bahasa yang mereka gunakan, yakni bahasa Indonesia. Alwi Shihab mengakui akan peran penting bahasa Indonesia ini dalam menumbuhkan semangat nasionalisme. Sebagaimana dikatakannya dalam kutipan berikut ini:
… Sejalan dengan makin luasnya penggunaan bahasa Indonesia saat itu, rasa persatuan di kalangan rakyat Indonesia makin tumbuh. Karena itu, perlahan-lahan posisi penting bahasa Indonesia makin disadari, dan unsur inilah yang justru sangat berhasil dalam menumbuhkan semangat nasionalisme. Akibat kesalahan mereka sendiri, yakni karena kebijakan yang mereka rancang dan jalankan sendiri, pemerintah kolonial Belanda telah menimbulkan rasa patriotisme dan karenanya juga telah melahirkan sebuah Indonesia yang anti-Belanda.





BAGAN 1
Sistem Persekolahan
Zaman Pemerintahan Hindia Belanda

Sumber: Wardiman Djojonegoro, Lima Puluh Perkembangan Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Depdikbud, 1996), hal. 36

C. Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Hindia Belanda dalam Kurikulum
Kurikulum dalam arti sempit adalah sama dengan rencana pelajaran. Sebagaimana pendapat Hilda Taba, yang dikutip S. Nasution, bahwa kurikulum sering diartikan “a plan for learning” yaitu sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari anak-anak. Dengan demikian, yang dimaksud kurikulum dalam uraian ini adalah suatu program pendidikan yang terdiri dari beberapa mata pelajaran yang harus diambil oleh peserta didik pada suatu jenjang sekolah yang disediakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kurikulum dalam pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda tidak lain merupakan pengejawantahan dari tujuan dilaksanakannya pendidikan itu sendiri.
Dalam sejarahnya, kurikulum akan selalu berubah sejalan dengan konteks zamannya yang juga tak mungkin terlepas dari berbagai perubahan sosial yang melingkupinya. Begitulah, sebelum ide-ide liberal Aufklarung meresapi para pengambil kebijakan pendidikan dalam pemerintahan kolonial Belanda, muatan pengajaran yang disajikan hampir 100% terpusat pada pendidikan keagamaan, dalam hal ini agama Kristen Protestan Calvinisme, yang didirikan dan dikelola oleh zending, namun memperoleh subsidi dari pemerintah.
Baru kemudian, pada abad ke-18, hembusan angin Aufklarung yang datang dari Eropa ini, menerpa negeri Belanda yang kemudian pada akhirnya membawa pengaruh juga ke Hindia Belanda. Kurikulum sekolah mengalami perubahan radikal. Dipengaruhi oleh ide aliran liberalisme itu, orang menaruh kepercayaan akan kekuasaan pengetahuan yang diperoleh melalui pengetahuan empiris. Tujuan pendidikan bukan lagi memupuk rasa takut akan Tuhan dan pusat studi bukan lagi Kitab Injil. Pendidikan sekarang ditujukan kepada kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional dan sosial, dan usaha-usaha mencapai tujuan sekuler lainnya.
Lebih jauh lagi, aliran liberalisme ini menjadi pelopor sistem pendidikan dengan nuansa baru, yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh negara yang kemudian menjelma dalam bentuk sekolah-sekolah negeri. Pemisahan secara tegas antara negara dan gereja adalah satu ciri aliran ini. dan oleh karenanya, gereja mau tidak mau harus melepaskan diri dari keterlibatannya dalam kegiatan pendidikan.
Kurikulum yang terdapat dalam sekolah rendah meliputi selain pengajaran tradisional membaca, menulis dan berhitung, juga mata pelajaran-mata pelajaran baru seperti geografi, sejarah dan pelajaran sekuler lainnya. Moralitas tidak dicapai melalui Kitab Injil, akan tetapi melalui peraturan sekolah dan cerita-cerita yang mengandung tema moral agar murid memahami apa yang baik dan mengapa harus berbuat demikian, dengan ukuran-ukuran yang rasional.
Pada tahun 1893 keluarlah peraturan mengenai kurikulum yang harus disajikan bagi Sekolah Kelas Satu (Eerste Klasse School), yang terdiri dari mata pelajaran: 1) membaca dan menulis dalam bahasa daerah dan dalam huruf daerah, 2) membaca dan menulis dalam bahasa Melayu, 3) berhitung, 4) ilmu bumi Indonesia, 5) ilmu alam, 6) sejarah pulau tempat tinggal, 7) menggambar, dan 8) mengukur tanah.
Bahasa daerah sendiri yang sangat beragam itu akhirnya dibatasi pada bahasa Melayu Riau, Sunda, Jawa, Madura, Mandailing, Makassar dan Bugis. Kelas 1-2 mendapat alokasi waktu 18 jam seminggu, sementara kelas 3-5 sebanyak 27 jam.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah Sekolah Kelas Satu diperpanjang menjadi 6 tahun pada tahun 1907, bahasa Belanda diberikan. Kelas 3-5 kebagian 5 jam seminggu, dan di kelas 6 mendapat 12 jam. Bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar setelah direorganisasi menjadi HIS pada tahun 1914, dan lama studi diperpanjang kembali hingga 7 tahun.
Sementara kurikulum yang terdapat pada Sekolah Dua (Tweede Klasse School) tidak jauh berbeda dengan kurikulum Sekolah Kelas Satu. terutama setelah dikeluarkannya peraturan pada tahun 1895 yang menyatakan bahwa kelas 1-3 di kedua jenis sekolah tersebut diberikan mata pelajaran yang sama.
Pelajaran menggambar dan menyanyi diberikan pada tahun 1892. Namun pelajaran yang disebut terakhir dihapuskan pada tahun 1912. Ilmu bumi diberikan di kelas 3, dan ilmu alam yang bermuatan terutama mengenai pengetahuan dasar tentang tanaman, binatang, dan tubuh manusia diberikan di kelas 4 dan kelas 5.
Perbedaan yang sangat tajam mulai kentara ketika Sekolah Kelas Satu telah direorganisasi menjadi HIS sebagaimana telah disinggung di atas. Di HIS ini, di samping menggunakan pengantar berbahasa Belanda dan lama belajar 7 tahun, juga memiliki guru-guru yang kompeten. Sehingga mutu pendidikannya lebih terjamin dan mempunyai kesempatan lebih besar untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah.
Sebaliknya, di Sekolah Kelas Dua masih harus puas menggunakan pengantar berbahasa Daerah atau Melayu dan lama studi tetap 5 tahun, juga kebagian guru yang tidak kompeten. Akibatnya, mutu pendidikannya merosot dan tipis kemungkinan untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah, kecuali disediakan Sekolah Normaal yang dibuka pada tahun 1914, salah satu dari tiga macam Sekolah Guru, yang bersedia menampung lulusannya.
Pendidikan Rendah yang memiliki mutu lebih buruk lagi dibanding Sekolah Kelas Dua di atas adalah Sekolah Desa (Volksschool). Sekolah ini banyak yang memandang pada hakikatnya sebagai memberantasa buta huruf belaka, karena kurikulum yang dimilikinya sangat sederhana. Kurikulum Sekolah Desa ini adalah sebagai berikut:
Kelas I : Membaca dan menulis bahasa Melayu dengan huruf Latin. Latihan bercakap-cakap, berhitung 1-20.
Kelas II : Lanjutan membaca dan menulis dengan huruf Latin dan huruf Arab. Dikte dalam kedua macam huruf tersebut.
Kelas III : Ulangan. Berhitung di atas 100. Pecahan sederhana.
Sekolah yang 180 derajat berlawanan dengan Sekolah Desa tersebut adalah Sekolah Rendah Eropa (ELS). Sekolah inilah yang sangat kentara akan prinsip konkordansi politik pendidikan kolonial Belanda. Kurikulum yang terdapat di sekolah ini diupayakan agar sama seperti kurikulum yang ada di Nederland. Kurikulumnya selain terdiri dari mata pelajaran membaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, sejarah, ilmu bumi, juga terdapat bahasa Perancis, Inggris dan Jerman.
Ilmu bumi dan sejarah adalah materi yang berkenaan dengan ilmu bumi dan sejarah Belanda. Pertanian tidak diajarkan karena merendahkan martabat orang Belanda apabila bertani di Indonesia. Nyanyi-nyanyian hanya dari lagu Belanda. Dan Bahasa Melayu tidak diajarkan karena dikhawatirkan mengikis rasa nasionalisme Belanda.
Sementara itu pada Sekolah Lanjutan (MULO), prinsip konkordansi agak sedikit longgar. Kurikulum yang disediakan untuk sekolah ini seperti terlihat pada tabel berikut:
Tabel 1
Mata Pelajaran di MULO

M a t a P e l a j a r a n K e l a s
I II III
Membaca 3 3 2
Bahasa Belanda 5 4 4
Menulis (Okasional)
Berhitung dan Matematika 8 9 7
M a t a P e l a j a r a n K e l a s
I II III
Sejarah (Belanda dan Jajahan) 1 1 2
Sejarah (Dunia) 1 1 1
Geografi 3 3 3
Ilmu Alam 3 3 3
Bahasa Perancis 2 4 4
Bahasa Inggris 4 4 3
Bahasa Jerman 4 3 4
Menggambar 2 2 2
36 36 36

Terlihat dari kurikulum tersebut, setengah dari alokasi waktu pelajaran dipergunakan untuk mempelajari bahasa, sepertiga untuk Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan sisanya, seperenam untuk Ilmu Pengetahuan Sosial.
Sementara di Sekolah Lanjutan lainnya AMS, di mana ia terbagi menjadi dua jurusan atau bagian (afdeling), yaitu: Bagian A- “Bidang Pengetahuan dan Kebudayaan” (Cultuurwetenschap) yang terdiri atas A1: Sastra Timur (Oostersch-Letterkunde) dan A2: Sastra Klasik Barat (Westersch-Klassiek); dan Bagian B- “Ilmu Pasti dan Alam” (Natuurwetenschap). Masing-masing kurikulumnya adalah sebagai berikut:
Tabel 2
Mata Pelajaran AMS A1 (Oostersch-Letterkunde)
Tahun 1939/1940

M a t a P e l a j a r a n K e l a s
I II III
Bahasa Jawa 4+2 5+3 6+4
Bahasa Melayu 2+4 3+5 4+6
Sej.Kebudayaan Indonesia 2 2 2
Sej. Kesenian Indonesia 1 1 1
Bahasa Belanda 5 4 5
Bahasa Perancis 3 3 3
Bahasa Inggris 2 2 2
Bahasa Jerman 3 2 2
Sejarah 2 3 3
Ilmu Bumi 1 2 2
Tatanegara 2 - -
PKK (Staathuishoudkundige) - 1 2
Matematika 2 2 2
Ilmu Alam 2 1 -
Kimia 1 2 -
M a t a P e l a j a r a n K e l a s
I II III
Ilmu Hayat 1 1 -
Menggambar 1 2 -
Pendidikan Jasmani 2 2 1
42 45 45
Bahasa Jawa – termasuk bahasa Jawa Kuno, memperoleh perhatian lebih banyak dikarenakan MULO tidak mendapatkan mata pelajaran ini.
Tabel 3
Mata Pelajaran AMS A2 (Westersch Klassiek)
Tahun 1939/1940

M a t a P e l a j a r a n K e l a s
I II III
Bahasa Latin 9 9 9
Kebudayaan kuno Barat 1 2 2
Bahasa Belanda 5 4 5
Bahasa Inggris 2 2 2
Bahasa Perancis 4 3 3
Bahasa Jerman 4 3 3
Sejarah 2 3 3
M a t a P e l a j a r a n K e l a s
I II III
Ilmu Bumi 1 2 2
Tatanegara 2 - -
PKK (Staathuishoudkunde) - 1 2
Matematika 2 2 2
Ilmu Alam 2 1 -
Kimia 1 2 -
Ilmu Hayat 1 1 -
Menggambar 1 2 1
Pendidikan Jasmani 2 2 1
39 39 35
Diberikannya mata pelajaran Bahasa Latin dan Kebudayaan Kuno seperti yang terlihat di atas, ialah untuk member corak agar jurusan ini betul-betul Westersch Kalssiek.
Sedangkan di Natuurwetenschap afdeling kurikulumnya adalah sebagai berikut:





Tabel 4
Mata pelajaran AMS B- (Cultuurwetenschap)
Tahun 1939/1940
M a t a P e l a j a r a n K e l a s
I II III
Matematika 6 5 4
Prakarya (Werkeitkunde) - 2 2
Ilmu Alam 3 3 5
Kimia 3 3 5
Ilmu Hayat 2 1 2
Tatanegara 1 1 -
PKK - 1 1
Memegang Buku - 1 (2)
Sejarah 3 2 2
Ilmu Bumi 2 2 1
Bahasa Belanda 4 4 4
Bahasa Inggris 2 2 2
Bahasa Perancis 4 2 2
Menggambar Tangan 2 1 (2)
Menggambar Mistar - 2 (1)
Pendidikan Jasmani 3 3 2
35 35 38
Mata pelajaran Tata Buku dan Menggambar – Tangan dan Mistar merupakan mata pelajaran pilihan bagi murid-murid kelas III.
Mengenai kurikulum yang terdapat di HBS V (baca: HBS lima tahun) dapat dilihat pada susunan mata pelajaran di bawah ini:
Tabel 5
Mata Pelajaran HBS V

M a t a P e l a j a r a n K e l a s
I II III IV V
Berhitung dan Aljabar 5 5 3 2 1
Matematika 4 4 4 4 4
Mekanika - - - 3 2
Fisika - - 4 4 3
Botani 1 1 1 1 1
Biologi 1 1 1 1 1
Kosmografi - - - 1 1
Undang-undang Negara - - 1 1 1
Ekonomi - - 1 1 1
Tata Buku 1 - 1 1 1
M a t a P e l a j a r a n K e l a s
I II III IV V
Sejarah 3 3 3 3 3
Geografi 3 3 2 2 1
Bahasa Belanda 5 4 4 3 3
Bahasa Perancis 4 4 4 3 3
Bahasa Jerman 4 4 4 3 3
Bahasa Inggris 4 4 4 3 3
Menggambar Tangan 2 3 2 2 2
Menggambar Garis - - 2 2 1
36 36 43 43 40
Demikianlah gambaran kurikulum-kurikulum yang disajikan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari gambaran tersebut dapatlah dipahami apabila Vastenhouw menilai bahwa pengajaran yang diselenggarakan oleh pemerintah ini bersifat intelektualistis.
Kurikulum di semua peringkat sekolah itu, pelajaran sejarah bangsa Timur, sama sekali tidak diberikan, apalagi sejarah bangsa pribumi. Para pahlawan Belanda, Eropa, atau Amerika diajarkan begitu mendalam dan luas, memukau, dan mengagumkan, sementara nama-nama Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, tidak pernah disinggung sedikit pun. Bahkan, para pahlawan Indonesia itu disebutnya sebagai pemberontak. Dengan begitu, muncul citra bangsa Barat yang ditaburi para pahlawan, sementara para pahlawan pribumi, ditenggelamkan.
Hal yang sama diberlakukan dalam mata pelajaran geografi. Secara meyakinkan, seorang guru Belanda akan menerangjelaskan berbagai kota di Negeri Kincir itu, berikut asal-usul penduduknya, jalan-jalan, parit, sungai, laut, pabrik-pabrik, pusat pendidikan, pemerintahan, perdagangan, pelabuhan dan bandara, batas-batas negara, serta berbagai hal yang mengungkapkan seluruh isi negeri di bawah laut itu, dengan menggunakan peta berukuran raksasa, dua kali tiga meter. Tetapi, ketika guru berkebangsaan Belanda itu menerangkan pulau-pulau di Indonesia, dia akan menggunakan peta Indonesia berukuran mini, satu kali dua meter. Dengan begitu, pemerintah kolonial ingin mengesankan bahwa negaranya lebih luas dua kali lipat daripada Indonesia, yang pada kenyatannya Nederland itu tidak lebih besar dari luas wilayah salah satu propinsi di Indonesia, Jawa Barat misalnya.
Pengajaran yang diberikan itu kemudian pada gilirannya mengakibatkan ketidakpuasan di kalangan pribumi yang terpelajar. Ketidakpuasan semakin bertambah demi melihat kenyataan akan pengajaran yang diselenggarakan oleh pemerintah, hanya melahirkan manusia-manusia yang bermental buruh, bukan sebagai pelopor. Namun lebih dari itu semua, dan inilah yang sangat mengkhawatirkan, adalah tercerabutnya dari akar dan bahkan melecehkan budaya sendiri, terutama yang dialami oleh golongan elit. Orang-orang seperti ini, tentu saja tidak bisa dijadikan tumpuan harapan sebagai mesin penggerak dalam upaya melepaskan diri dari kuku-kuku cengkeraman penjajah.
Dari sinilah kemudian muncul reaksi-reaksi berupa gerakan-gerakan pendidikan yang dijiwai oleh semangat nasionalisme yang kuat, dengan mendirikan “Sekolah-sekolah Liar” (Wildescholen) – demikian pemerintah Belanda menyebutnya untuk menunjuk sekolah-sekolah yang tidak bersubsidi – sebagai perwujudan atas ketidakpuasannya akan kekurangan-kekurangan yang melekat pada sistem pendidikan kolonial.
Untuk menyebut beberapa dari gerakan-gerakan pendidikan tersebut, di antaranya adalah Ki Hajar Dewantara dengan Perguruan Taman Siswanya yang didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta, dengan maksud “untuk mendidik kader nasionalis yang akan memimpin bangsa untuk mencapai kemerdekaan Tanah Air tercinta, mengerti aspirasi rakyat dan mampu hidup sederhana, bukan kader ambtenar yang feodalistik.”
Gerakan pendidikan lainnya adalah INS (Indonesische Nationaal School) yang didirikan oleh Muhammad Syafei pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kayutanam, Sumatera Barat, yang berupaya “membentuk pemuda-pemuda Indonesia yang berani tegak sendiri, berusaha sendiri, hidup bebas dan tidak tergantung buat seumur hidupnya pada pemerintah.”
Sifat sistem pendidikan sekuler kolonial Belanda yang hampa spiritual juga menjadi salah satu timbulnya reaksi golongan kaum muslimin di Indonesia untuk segera menyelenggarakan pendidikan yang berbasis agama Islam. Tercatat organisasi-organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan Islam tersebut, misalnya Muhammadiyah, Jami’at Khair, Al-Irsyad, Persyarikatan Ulama, Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Ulama dan gerakan-gerakan pendidikan keislaman lainnya, yang berupaya mengimbangi sistem pendidikan sekuler kolonial tersebut.

D. Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Pemerintah Hindia Belanda dalam Metode Pengajaran
Dalam proses belajar mengajar, metode pengajaran merupakan salah satu aspek pengajaran yang penting untuk mentransfer pengetahuan atau kebudayaan dari seorang guru kepada para pelajar. Melalui metode pengajaran terjadi proses internalisasi dan pemilikan ilmu oleh para pelajar, sehingga murid dapat menyerap apa yang telah disampaikan oleh gurunya dan memilikinya. Secara teoritis, “tanpa metode,” demikian H.M. Arifin, “suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara efisien dan efektif dalam kegiatan belajar-mengajar menuju tujuan pendidikan.”
Metode pengajaran yang dipakai dalam proses belajar mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan kolonial Belanda adalah dengan menggunakan metode dengan sistem klasikal atau berkelas-kelas. Dalam pengajaran sistem klasikal ini, murid-murid yang sudah dikumpulkan dalam suatu ruang itu dikelompokkan berdasar umur mereka masing-masing. Satu kelas berarti satu tahun belajar dan kelas satu biasanya dimulai pada umur 6-7 tahun. Sebagai contoh di ELS misalnya, ia tidak menerima anak Indonesia ketika pada waktu mendaftarkan diri umurnya telah melebihi di atas 7 tahun berdarkan peraturan tahun 1894.
Dalam proses belajar mengajar yang dilangsungkan di kelas-kelas tersebut, mereka juga telah menggunakan papan tulis, meja dan bangku serta menggunakan buku-buku pelajaran yang telah ditentukan. Buku pelajaran bahasa Belanda di Sekolah Kelas Satu (Eerste Klasse School) misalnya, ditentukan buku karangannya R.A.H. Thierbach, sebagaimana digambarkan oleh S. Nasution sebagai berikut:
Buku pelajaran bahasa Belanda yang dipakai ialah karangan R.A.H. Thierbach yang mengajarkan bahasa Belanda sebagai bahasa asing. Metodenya didasarkan atas bahasa lisan melalui mendengarkan dan bercakap-cakap. Menurut observasinya, banyak orang belajar bahasa tanpa membaca atau mengarang semata-mata dengan menggunakannya dalam percakapan. Anak Indonesia harus diberanikan untuk mengucapkan pikirannya dalam bahasa Belanda. Isi pelajaran hendaknya menarik bagi anak dan diambil dari kehidupan sehari-hari. Pelajaran didasarkan atas cerita-cerita. Dianjurkannya agar membawa anak ke luar dan mengembangkan pelajaran berdasarkan apa yang diamati. Dasar metodenya ialah “melihat, berpikir dan menyatakannya”. Dalam praktek gurulah yang paling aktif dan murid kebanyakan mengulangi apa yang diucapkan oleh guru. Namun metode ini mengandung unsur-unsur modern. Buku ini diberi ilustrasi yang indah bahkan berwarna.
Dari gambaran di atas, harus diakui bahwa untuk masanya metode pengajaran yang diterapkan di sekolah-sekolah kolonial tersebut jauh lebih modern dan lebih maju, dibanding dengan metode pengajaran yang diselenggarakan oleh umat Islam. Untuk lebih jelasnya, berikut dikemukakan ciri-ciri yang terdapat pada sistem klasikal yang dilaksanakan di sekolah-sekolah tersebut, sebagaimana yang diidentifikasi oleh Soernarwan berikut ini:
1. Seorang atau beberapa orang guru menghadapi kelas yang terdiri atas sejumlah siswa
2. Siswa-siswi itu sebaya dalam usianya
3. Pada waktu yang sama guru memberikan pelajaran yang sama kepada siswa-siswi tersebut, dan mereka mengerjakan tugas-tugas pengajaran bersama-sama pula
4. Pada awal tahun semua siswa dalam satu kelas memulai program pengajaran secara bersama-sama, dan pada akhir tahun mereka naik kelas secara bersama-sama pula, kecuali beberapa siswa yang dianggap “gagal” yang harus tinggal di kelas. Dengan demikian satu kelas berarti satu tahun belajar
5. Ada jadwal pelajaran yang disusun secara teratur.
Demikianlah ciri-ciri dalam sistem klasikal yang diterapkan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda tersebut. Sebagai sebuah metode, tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Bligh menunjukkan bahwa sistem klasikal ini sangat efektif untuk tujuan menyampaikan informasi kepada suatu kelompok besar. Sistem ini juga efisien karena dengan mengutarakan halnya sekali saja, suatu masalah dapat sampai kepada banyak pendengar.
Sedangkan kelemahan yang terdapat pada sistem klasikal tersebut, di antaranya adalah pengabaian akan perbedaan-perbedaan yang ada dalam diri si murid, seperti: perbedaan kecakapan, minat, kebutuhan, dan latar belakang kehidupannya. Di samping itu, murid cenderung pasif dan reseptif, sedangkan guru cenderung dominan.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan sistem klasikal ini, metode pengajaran yang diterapkan di sekolah-sekolah kolonial Belanda ini adalah fenomena baru dan tidak ada preseden sebelumnya dalam tradisi pendidikan di Indonesia.

E. Fakor-faktor yang Melatarbelakangi Kebijakan Politik Pendidikan Hindia Belanda
Suatu kebijakan tentulah lahir bukannya tanpa sebab yang melatarbelakanginya. Banyak faktor yang secara bersamaan menggerakkan pemerintah Hindia Belanda untuk membuat kebijakan-kebijakan pendidikannya di kepulauan Nusantara ini. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dalam mendorong lahirnya berbagai kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Sebagaimana S. Nasution di dalam Kata Pengantar bukunya mengatakan:
Pendidikan tidak berdiri sendiri akan tetapi senantiasa dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik, sosial, ekonomi, kultural. Sering pendidikan dipandang sebagai alat politik untuk mengatur dan menguasai perkembangan suatu bangsa, walaupun politik sendiri tidak lepas dari pengaruh sosial, ekonomi dan budaya.

Namun demikian, tulisan ini hanya akan memfokuskan perhatian pada faktor-faktor utama yang menonjol, yaitu faktor politik, ekonomi, Kristenisasi, rasialisme, situasi dan kondisi di Nederland (Belanda) serta kondisi umat Islam Indonesia sendiri.
1. Faktor Politik
Beberapa kebijakan Belanda dirumuskan dan dijalankan baik untuk memenuhi kebutuhan mendesak di satu waktu maupun untuk mengikuti arah yang sudah digariskan terlebih dahulu oleh Parlemen Belanda. Di negeri Belanda sendiri terdapat berbagai kelompok atau pandangan keagamaan dan politik. Namun, secara garis besar, partai-partai Belanda bisa dikelompokkan pada partai agama dan nonagama. Dalam menghadapi persoalan politik, partai agama tidak hanya menggunakan politik sebagai pemecah masalah, tetapi juga mempertimbangkan agama dan tanggung jawab moral.
Pada akhir abad ke-19 kelompok nonagama memperoleh kemenangan dalam parlemen Belanda. Namun pada peralihan abad ke-20 kemenangan beralih lagi ke tangan partai agama, yang pada tahun 1905 menang kembali; demikin pula pada tahun 1913. Seterusnya sampai selesainya Perang Dunia Kedua, kemenangan berada di tangan partai agama. Situasi perimbangan politik di parlemen Belanda ini sangat berpengaruh bagi kebijaksanaan pemerintah di Hindia Belanda, termasuk di dalamnya kebijaksanaan tentang pendidikan yang diselenggarakannya.
Dengan kemenangan partai agama pada pemilihan tahun 1901 itu, maka berubahlah wajah politik di negeri Belanda. Partai Liberal – yang telah menguasai politik selama lima puluh tahun – kehilangan kekuasaannya; sedangkan golongan agama semakin kuat dan membawa pemerintahan ke prinsip Kristen. Pidato tahunan raja pada bulan September 1901 – yang menggambarkan jiwa Kristen – menyatakan mempunyai kewajiban etis dan tanggung jawab moral kepada rakyat Hindia Belanda, yakni memberikan bantuan lebih banyak kepada penyebaran agama Kristen.
Kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda dalam bidang pendidikan tidak terlepas dari situasi politis semacam itu. Sebelum tahun 1901, politik pemerintah kolonial Belanda hanya mementingkan tuntutan ekonomi, sehingga penghisapan kekayaan Hindia Belanda selama ini dilakukan sama sekali tanpa memperhitungkan kepentingan rakyat Hindia Belanda sendiri. Namun, seperti telah disinggung di muka bahwa, Politik Etis yang dicanangkan pada awal abad ke-20 telah merubah kebijakan-kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan Politik Etis telah menggantikan politik eksploitasi materialistis tersebut.
Pada masa Politik Etis inilah kemudian Etische Koers (arah etis) dijadikan sebagai landasan idiil dalam langkah-langkah pendidikan di Hindia Belanda. Kemudian, di bawah semangat Politik Etis ini pula, pendidikan yang sebelumnya hanya dinikmati oleh segelintir elit pribumi, kini telah banyak dinikmati oleh seluruh lapisan rakyat pribumi. Perubahan strategi pendidikan ini memungkinkan makin berkembangnya pendidikan di Hindia Belanda.
Sebagaimana dikatakan Van der Waal, seperti dikutip Mashuri, bahwa tujuan politik dapat dilihat pada sasaran pendidikan, yakni terbentuknya kelompok baru yang menjadi “Barat” dengan harapan mereka akan lebih dekat dengan negeri induk. Jelaslah bahwa pendidikan-pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial sejauh ini belum terlepas dari kerangka politik kolonialnya secara keseluruhan. Atau dengan kata lain, perkembangan pendidikan berkembang sejalan dengan meningkatnya kebutuhan-kebutuhan kolonial akan tenaga kerja terdidik dan murah di daerah jajahan.
Namun di sisi lain, program pendidikan pemerintah yang terkandung dalam Politik Etis itu telah melahirkan sekelompok elit pribumi. Di bawah kebijakan ini, kehidupan politik di Indonesia juga berkembang. Pemerintah kolonial pada waktu itu tentu saja berharap bahwa bekal pendidikan yang lebih baik dapat meningkatkan loyalitas tokoh-tokoh pribumi. Namun kenyataan berkata lain, tokoh-tokoh tersebut justeru berkembang menjadi figur utama dalam gerakan nasionalis dalam menggugat kolonialisme. Atau dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa timbulnya kesadaran bangsa Indonesia akan kedudukannya yang rendah di bidang sosial, politik, maupun ekonomi merupakan perwujudan dari reaksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda di Indonesia dalam menerapkan politik kolonialnya.
Dari uraian-uraian di atas diperoleh gambaran bahwa, kelahiran kebijakan-kebijakan pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial di Hindia Belanda sangat erat terkait dengan suasana perpolitikan yang terjadi baik di Hindia Belanda sendiri maupun di negeri induknya, Nederland (Belanda).
2. Faktor Ekonomi
Dua ciri pokok, ekonomi dan penjajahan, merupakan unsur pokok yang terkait dalam sistem pendidikan kolonial Belanda. Adanya kepentingan ini, para penyusun konsep pendidikan tak mungkin dapat melepaskan diri dan kondisi sosial, ekonomi dan politik di Nederland dan kaitannya dengan politik di Hindia Belanda. Dapat dipahami apabila orientasi pendidikan akan selalu diarahkan pada kepentingan kelestarian penjajahannya di nusantara ini.
Pada mulanya orang Belanda datang ke Indonesia bukan untuk menjajah tetapi untuk berdagang yang tergabung dalam organisasi yang bernama VOC (Verenidge Oost-Indische Compagnie – Perserikatan Maskapai Hindi Timur).
Mereka dimotivasi oleh hasrat untuk mengeruk keuntungan yang sebesarnya-besarnya, sekalipun pun harus mengarungi laut yang membahayakan sejauh ribuan kilometer dalam kapal layar kecil untuk mengambil rempah-rempah dari Indonesia. Namun pedagang itu memerlukan tempat permanen di daratan daripada berdagang dari kapal yang berlabuh di laut. Kantor dagang itu kemudian mereka perkuat dan persenjatai dan menjadi benteng yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di sekitarnya. Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi basis politik dan teritorial.
Metode kolonisasi Belanda sangat sederhana, yakni mereka masih mempertahankan raja-raja yang berkuasa dan menjalankan pemerintahan akan tetapi melalui raja itu mereka menuntut monopoli hak berdagang dan eksploitasi sumber-sumber alam. Oleh karena Belanda tidak mencampuri kehidupan orang Indonesia secara langsung, maka sangat sedikit mereka berbuat untuk pendidikan kecuali usaha menyebarkan agama mereka di beberapa pulau di bagian timur Indonesia, tetapi baru setelah keadaan komersial dan finansial perusahaannya menurun pada akhir abad ke-18, tokoh VOC mulai memperhatikan bidang pendidikan di daerah kekuasaannya.
Setelah ambruknya VOC tahun 1816 pemerintah Belanda menggantikan kedudukan VOC. Statuta Hindia Belanda tahun 1801 dengan terang-terangan menyatakan “bahwa tanah jajahan harus memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada perdagangan dan kepada kekayaan negeri Belanda”. Pada tahun 1842, Menteri Jajahan, Merkus, memberikan perintah agar Gubernur Jenderal berusaha dengan segenap tenaga agar memperbesar keuntungan bagi negerinya. Walapun setiap Gubernur Jenderal pada penobatannya berjanji dengan khidmat bahwa “ia akan memajukan kesejahteraan Hindia Belanda dengan segenap usaha” prinsip yang dipertahankan pada tahun 1854 ialah bahwa Hindia Belanda sebagai “negeri yang direbut harus terus memberi keuntungan kepada negeri Belanda sebagai tujuan pendudukan itu”.
Dengan demikian, wajar apabila orang menyebut bahwa Indonesia pada masa kolonial (Hindia Belanda) adalah sebagai beambtenstaat, yaitu sebuah negara pegawai di mana jaringan birokrasi yang sangat luas dan rumit. Oleh karena birokrasi di sini merupakan alat instrumen yang sangat rumit bagi pelaksanaan tuntutan-tuntutan kepentingan kolonial, maka hampir bisa dikatakan, bahwa semua kebijakan pemerintah pada kebutuhan kolonial Belanda. Selama abad ke-19, dan terlebih lagi sejak awal abad ke-20, Hindia Belanda telah tumbuh menjadi suatu negara kolonial yang sempurna, sedangkan sebagian besar tenaga pegawainya didukung oleh orang-orang bumiputra.
Agaknya memang benar, bahwa roda pemerintahan yang digerakkan dari Batavia itu senantiasa berputar menggelinding “bagaikan mesin-mesin pabrik yang siap memaksimalkan hasilnya. Dan dengan itu pemerintah kolonial dapat mengharapkan keuntungan bagi negeri induknya.”
Oleh karena itu memerintah terutama berarti menjalankan administrasi, yang dalam arti teknis adalah rasional dan termasuk bidang tulis-menulis beserta perangkat upacaranya, maka yang diperlukan di sini ialah tenaga-tenaga pegawai yang terampil dan terdidik dan sedikit banyak juga harus dapat dipercaya. Pendidikan karenanya merupakan bagian yang amat penting dari rangkaian kebijakan pemerintah kolonial untuk mempertahankan dan memperkuat kekuasaannya.
Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang sangat kentara dari segi aspek ekonomi ini adalah sistem Tanam Paksa. Sistem tanam paksa ini sejak awal dimaksudkan untuk membantu mengatasi krisis finansial pemerintah Belanda di dalam negeri, dengan cara memperkeras eksploitasi mereka dengan para penduduk asli di Hindia Belanda. Sistem ini untuk mengubah Indonesia menjadi sebuah ladang pertanian maha luas yang dikuasai negara, yang pelbagai komoditas pertanian tertentu dipaksakan untuk ditanam. Dalam sistem ini, para pekerja yang dikontrol ketat diharuskan menyerahkan sebagian hasil tanaman mereka kepada negara, sesuai dengan kuota yang ditetapkan secara sepihak oleh Belanda.
Jelaslah bahwa kebijakan itu lebih didorong oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya, dan bukan oleh pertimbangan lainnya, misalnya pendidikan. Bahkan dapat dikatakan, tidak ada satu penguasan kolonial pun yang mendasarkan perkembangan ekonominya pada keuntungan yang didapatkan dari mengeksploitasi koloninya sehebat yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia. Buktinya, sekolah pertama untuk anak Indonesia didirikan oleh pemerintah dengan tujuan mendidik anak-anak aristokrasi di Jawa untuk pegawai di perkebunan pemerintah yang senantiasa berkembang selama masa Tanam Paksa.
Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa faktor ekonomi sangatlah dominan dalam perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan yang didirikannya di Indonesia ini. Karena memang tujuan dari didirikannya lembaga-lembaga pendidikan oleh kolonial Belanda tersebut hanyalah sekedar untuk mendapatkan para pegawai dan pekerja murah untuk kepentingan pemerintahan dan perusahaan Belanda, yang mulai merasakan keuntungan di pasar dunia.
3. Faktor Kristenisasi
Hubungan antara pemerintah kolonial dengan agama tidaklah bisa dilepaskan dari hubungan antarsesama umat beragama, yakni antara umat Islam dan Kristen (Protestan dan Katolik). Hal ini terlihat jelas pada hubungan Islam – Kristen yang melatarbelakangi hubungan Belanda-Indonesia, dan pada hubungan para penguasa Belanda – yang umumnya beragama Kristen dengan pribumi yang umumnya beragama Islam. Dalam hal ini keinginan untuk tetap menjajah, betapapun mengakibatkan pemerintah kolonial tidak akan mampu memperlakukan agama pribumi sama dengan agamanya sendiri. Juga tidak akan mampu memperlakukan pribumi dengan agama lain sama dengan pribumi yang seagama dengannya. Latar belakang ini bisa menjelaskan mengapa sering terjadi diskriminasi dalam kebijaksanaan yang berhubungan dengan agama, meskipun dinyatakan bahwa pemerintah kolonial bersikap netral agama.
Kebijakan pendidikan Belanda ini sebenarnya merupakan kelanjutan saja dari kebijakan yang dimulai oleh orang-orang Portugis, tetapi terutama berdasarkan pada agama Kristen Protestan. Memang secara formal Belanda mengklaim bersikap netral terhadap agama dalam arti tidak mencampuri dan tidak memihak kepada salah satu agama, tetapi kenyataannya pemerintah Belanda mengambil sikap diskriminatif dengan memberi kelonggaran kepada kalangan misionaris Kristen lebih banyak, termasuk bantuan uang. Pemerintah pun melarang dakwah Islam di daerah animisme, sedangkan misi Kristen masuk secara leluasa. Para pejabat pemerintah Belanda membiarkan saja segala macam penghinaan yang dilontarkan pada Islam, sedangkan tulisan umat Islam yang dirasakan menyinggung perasaan orang Belanda atau Kristen segera dibungkam.
Yang dimaksud pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, bahkan sampai menjelang berakhirnya kekuasaannya di Indonesia, yakni untuk kepentingan Barat dan Kristen. Hal ini jelas terlihat, misalnya ketika Van Den Bosch menjadi gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, dikeluarkan kebijakan pendidikan yang mengatur bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlakukan sebagai sekolah pemerintah. Adapun departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu, sementara di setiap keresidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.
Pada tahun 1870, pemerintah Belanda menerapkan undang-undang kolonial yang mengatur masyarakat banyak, termasuk kehidupan keagamaan mereka. Dalam kebijakan ini, muatan yang dikembangkan adalah menitikberatkan kepada kepentingan agama, yakni misi Kristen. Dalam kurun waktu itu, agama Kristen mengalami kemajuan yang pesat. Inventarisasi anggota masyarakat, lembaga, dan kelompok minoritas mulai bermunculan sehingga abad ke-19 ini dikenal dengan sebutan age of mission (era misi).
Karena kebijakan-kebijakan itu dan perilaku-perilaku yang diterapkan oleh pemerintah kolonial dan kepentingan minoritas Kristen yang kontraproduktif dengan kenyataan masyarakat pribumi yang beragama Islam, muncullah beberapa usaha perlawanan dalam bentuk perang. Di antara perang itu adalah perang Jawa (1825-1830) dipimpin Diponegoro, perang Paderi (1821-1838) di Minangkabau. Perang ini kemudian mendorong Belanda untuk mengadakan invasi dan memperluas kontrol wilayah kepulauan Nusantara, seperti menduduki Bali (1846-1854), Sulawesi (1858-1860), Sumatera (1870) dan Pulau Lombok (1894).
Perlawanan rakyat yang paling penting adalah perang Paderi dan perang Aceh. Pada perang pertama, para penguasa pribumi yang mempunyai otoritas atas hukum-hukum adat tradisional, meminta bantuan kepada pemerintah Belanda untuk mempertahankan mereka dari ‘agresi’ pembaru muslim yang disebut kaum Paderi. Perang itu sungguh melelahkan dan melibatkan pemerintah kolonial Belanda yang menyokong kaum adat. Sedangkan pada perang Aceh, pemerintah kolonial Belanda terpaksa melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh dengan segala kekuatan militernya. Dua peperangan ini menandai awal perluasan wilayah kekuasaan kolonial atas seluruh daerah Nusantara.
Pandangan Belanda terhadap Islam di Indonesia, sebenarnya berubah-ubah. Pada awal kedatangannya, umat Islam dipandang sebagai kafir yang terhormat. Ini akibat kompetisi dagang yang terjadi saat itu, di mana kehadiran Belanda masih lemah. Lalu, ketika pengaruh teologi Kristen masuk pada abad ke-17, Islam tidak dipandang sebagai iman yang benar melainkan kafir bahkan identik dengan tahayyul. Di sini Belanda tidak menghargai lagi Islam. Tahap selanjutnya, Islam dipandang sebagai musuh alami bagi Kristen. Pada akhirnya, antara tahun 1850 hingga 1940, Belanda menganggap dirinya sebagai “soko guru” dan “pengawas” Muslim pribumi Indonesia yang dipandangnya tidak berbudaya. Pandangan dan sikap Belanda pola terakhir ini diperjelas oleh Snouck Hurgronje melalui tiga kebijakan utama bagi Islam di Indonesia.
Dalam hubungannya dengan Islam di Indonesia, pemerintah kolonial Belanda menerapkan tiga kebijakan strategis, yakni: Pertama, memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya yang berkaitan dengan bidang agama murni atau ibadah. Shalat, puasa, zakat, haji, tradisi slametan, tahlil serta lainnya, dipandang sebagai praktik agama murni, dan karenanya diberi keleluasaan untuk mengamalkannya. Agar mendapat simpati rakyat, pemerintah tidak mencampuri bahkan mendorong ritual tersebut. Kedua, dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku. Bila terjadi benturan antara adat dengan agama, yang dimenangkan adalah adat. Di saat yang sama, pendidikan golongan terpelajar diasosiasikan versi kultur Barat atau Belanda. Akibatnya, cara berpikir dan pola hidup sehari-harinya menjadi Barat, tidak kenal dengan jiwa dan budaya bangsanya. Di lingkungan keluarga, mereka menggunakan bahasa Belanda. Ada anggapan bahwa dengan bahasa Belanda, nasib mereka menjadi baik. Padahal, tragisnya, sungguh pun mereka lulus dan memiliki ijazah Perguruan Tinggi, belum dianggap volwaardig seperti orang Belanda yang menjajah. Di mata Belanda, mereka masih inferior. Dengan pendidikan Barat dimaksudkan agar orang-orang Indonesia menjadi jauh dari Islam dan membuat seorang Muslim menjadi asing terhadap ajaran agamanya. Ketiga, setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan pan-Islam, serta gerakan di bidang politik dan ketatanegaraan, maka pemerintah harus mencegahnya. Sekolah dijauhkan dari masalah politik, dan untuk alasan yang terakhir ini pula pemerintah kolonial melakukan pengawasan ketat, pemberlakuan izin berbelit-belit, biaya yang mahal, proses yang lama dan pembatasan jama’ah Indonesia yang hendak menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Lebih jauh, pemerintah Hindia Belanda yang tidak begitu aktif memerhatikan kepentingan zending, sering mendapat tekanan kuat dari partai Kristen di parlemen. Diharapkan agar pemerintah menyadari tanggung jawab lebih luas terhadap tanah jajahannya. Sementara itu undang-undang Belanda memungkinkan zending Protestan dan missi Katolik untuk beroperasi di Indonesia. Maka berlomba-lombalah berbagai organisasi zending maupun missi yang didukung oleh dana swasta untuk beroperasi di tanah jajahan ini. Dari titik ini dapat dipahami apabila ada yang mengatakan bahwa: “kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan.” Dan “zending Kristen merupakan rekan sepersekutuan bagi pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.”
Akibatnya, pengawasan terhadap pengajaran dilakukan oleh para pendeta, dan guru-gurunya adalah pejabat gereja. Perlu dicatat bahwa sampai saat tersebut, yang berkesempatan memasuki sekolah-sekolah itu masih terbatas pada anak-anak bangsawan, sedang anak rakyat jelata tidak diperkenankan.
Kepemelukan terhadap suatu agama tertentu juga menjadi dasar kebijakan pendidikan Belanda. Program pendidikan pemerintah dikonsentrasikan di wilayah-wilayah di mana terdapat sejumlah besar penduduk yang beragama Kristen, seperti Batak, Manado dan Kalimantan. Pemerintah juga membangun sekolah-sekolah di beberapa daerah lain, tetapi jumlahnya tidak memadai. Di samping itu banyak di antara sekolah-sekolah yang pada akhirnya tidak dapat berjalan karena kekurangan dana, sementara pada saat yang sama pemerintah memberikan dana yang melimpah kepada sekolah-sekolah Kristen. Lebih buruk lagi, VOC membuat sebuah aturan yang mengharuskan guru untuk memiliki lisensi mengajar dari persekutuan dagang tersebut, sementara ujian untuk mendapatkan lisensi itu dilakukan Gereja Reformasi Belanda. Kebijakan semacam ini menyulitkan orang-orang pribumi Muslim untuk mendapatkan lisensi dan sebaliknya hanya memfasilitasi proses penerimaan menjadi guru bagi mereka yang menjadi anggota gereja tersebut.
Dalam catatan Ricklefs, pada tahun 1930 perbandingan orang Indonesia usia dewasa di seluruh kepulauan yang sudah melek huruf hanya 7,4%: di Sumatera 13,1%, di Jawa dan Madura 6%, dan di Bali dan Lombok 4%. Tingkat penduduk yang melek huruf yang tertinggi (50%) terdapat di daerah-daerah Maluku Selatan yang beragama Kristen, di mana misi-misi Kristen aktif di bidang pendidikan. Jumlah orang yang sudah melek dalam bahasa Belanda di antara penduduk Indonesia pada tahun 1930 hanyalah 0,32%, akan tetapi di kota Ambon mencapai 13%.
Dari data tersebut diketahui bahwa, akses anak-anak Muslim ke pendidikan sangat terbatas. Bahkan sesudah kolonisasi selama dua abad, anak-anak dari keluarga non-Kristen jarang bisa sekolah. Penerapan kebijakan pendidikan yang diskriminatif terhadap kaum Muslim di koloni ini tidak semata terjadi karena alasan keuangan, melainka memang bagian dari upaya pemerintah kolonial Belanda untuk membiarkan Muslim, yang merupakan mayoritas penduduk koloni ini tetap bodoh.
Dengan demikian, faktor Kristenisasi ini juga telah memainkan peran yang besar dalam upaya pemerintah Hindia Belanda dalam mendirikan sekolah-sekolah di seluruh kepulauan Nusantara ini. Atau dalam kata-kata partai-partai sosialis Belanda, kebijakan kolonial Belanda dalam bidang pendidikan adalah kebijakan yang dicirikan oleh “Kristenisasi yang dipaksakan”, dan dipandang merupakan pemanfaatan berbagai fasilitas pemerintah untuk mengkristenkan kaum pribumi dengan diserahkannya pengelolaan bidang ini kepada sekolah-sekolah misi Kristen.
4. Faktor Rasialisme
Pemerintah Hindia Belanda sengaja menciptakan keadaan sosial budaya supaya terbagi dalam golongan-golongan atau masyarakat yang terkotak-kotak. Pembagian sosial ini berdasarkan pada keturunan, bangsa dan status. Dilakukan dalam undang-undang 1848 yang membagi penduduk sebagai berikut:
a. Golongan Eropa
b. Golongan yang dipersamakan dengan Eropa
c. Golongan Bumiputra
d. Golongan yang dipersamakan dengan golongan Bumiputra
Menurut Wertheim, diskriminasi atas dasar ras ini hampir di semua bidang keadilan dan kehidupan sosial, termasuk bidang pendidikan. Pada tahun 1920, stratifikasi sosial ini tercermin kembali menjadi:
a. Golongan Eropa dan golongan Indo-Belanda
b. Golongan Timur Asing
c. Golongan Pribumi.
Strata pertama masyarakat kolonial adalah orang-orang Belanda atau ras kulit putih lainnya dari bangsa-bangsa Eropa, dan orang-orang Indo-Belanda. Meskipun mereka termasuk minoritas, tetapi memegang kekuasaan politik dan sekaligus menguasai sumber-sumber daya ekonomi dalam skala besar, seperti industri, pertambangan, dan perkebunan.
Golongan kedua yakni Timur Asing terdiri atas orang Cina dan orang Arab dan India yang juga termasuk kelompok minoritas. Mereka pada umumnya bermata pencaharian sebagai pedagang perantara, tetapi tidak atau kurang memiliki akses dan kontrol pada kekuasaan politik. Di Jawa, mereka yang disebut terakhir membentuk suatu kelas menengah besar yang terdiri atas para pedagang dan para pekerja ahli yang independen.
Meskipun orang-orang Cina adalah pedagang profesional, tetapi dipandang kurang hormat oleh kelas bangsawan Indonesia dan kelas petani pribumi. Penguasa kolonial sebaliknya tidak peduli dengan penilaian bangsawan itu. Sebagaimana dikatakan Wertheim kembali bahwa, mereka ini menduduki posisi antara orang Eropa dengan orang Indonesia. Lebih lanjut ia mengatakan: “… Dalam estimasi kolonial, dalam batas-batas tertentu mereka sangat bermanfaat dan biasanya merupakan perantara yang paling setia antara golongan kulit putih dengan Indonesia, dengan kedekatan yang lebih besar terhadap golongan kulit putih dibandingkan dengan penduduk Indonesia.”
Strata ketiga adalah golongan pribumi yang disebut – dengan nada melecehkan inlanders, yaitu orang-orang Indonesia yang pada umumnya secara horizontal ditandai oleh perbedaan-perbedaan suku bangsa, bahasa, agama dan kedaerahan. Sumber nafkah kaum pribumi sebagian besar bertumpu pada sektor pertanian, sedangkan lapisan atas masyarakatnya bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda. Hubungan mereka dengan kepentingan produksi dan distribusi ekonomi ke jalur pasar yang lebih luas diperantarai oleh strata kedua.
Kemudian, terhadap golongan bumiputra sendiri pemerintah kolonial membagi kembali status-status sosial seperti dikemukakan di bawah ini:
a. Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat
b. Pemimpin agama (ulama)
c. Rakyat biasa/jelata.
Meskipun garis warna kulit menjadi dasar struktur sosial masyarakat kolonial seperti juga terjadi pada imperium Inggris, namun di Hindia Belanda – ungkap Wertheim – menunjukkan karakteristik yang berbeda. Mereka yang beragama sama dengan penguasa atau paling tidak bukan penganut Islam, diposisikan istimewa atau diberi kepercayaan tertentu. Atas dasar faktor agama itu pula keadilan dan kehidupan sosial didiskriminasikan dalam tingkatannya yang relatif.
Berdasarkan penggolongan yang dilakukan kolonial Belanda inilah kemudian terrefleksi dengan sangat jelas dalam penyelenggaraan pendidikan yang disediakannya. Untuk mengambil contoh, sekolah dasar bagi golongan Eropa adalah ELS, sedangkan Timur Asing adalah HCS. Begitu pula untuk golongan pribumi. Kelas Satu atau HIS adalah bagi golongan bangsawan, Sekolah Desa (Voklsschool) diberikan bagi rakyat biasa atau jelata.
Dengan demikian, faktor rasialisme dalam kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda sangat kental mewarnai berbagai sekolah-sekolah yang diselenggarakannya. Sekolah-sekolah tersebut merupakan arena ketaksamaan dengan berbagai cara antara pribumi dan non-pribumi. Pemuda Indonesia mengalami kesulitan untuk membuat dirinya dilihat sebagai kelompok sosial yang sama dengan teman sekelasnya. Mereka menghadapi sikap rasialis yang sudah tertanam melalui konsep konservatif tentang hubungan kolonial, konsepsi tentang potensi sosial dan politik golongan pribumi, dan apa yang dianggap patut dan tidak patut oleh budaya kolonial. Semua konsepsi ini memperkokoh polarisasi rasial dan menghambat pertumbuhan masyarakat terpadu dalam koloni ini. S. Nasution menggambarkan hakikat keseharian polarisasi rasial ini:
Dalam dunia kolonial ini orang Belanda dan orang Indonesia hidup seperti dalam dunia yang terpisah dengan kontak sosial yang minimal dan tiap orang Belanda dipengaruhi oleh kesadaran rasialnya betapapun ia berusaha menaruh simpati kepada bangsa Indonesia. Superioritas rasial merupakan alat untuk mengamankan orang Belanda terhadap orang Indonesia yang terdidik yang kian hari kian bertambah jumlahnya yang menjadi ancaman terhadap kedudukan mereka yang istimewa itu.

5. Faktor Situasi dan Kondisi di Nederland (Belanda)
Faktor situasi dan kondisi yang terjadi di negeri Belanda pada akhirnya memengaruhi berbagai kebijakan-kebijakan pendidikan di Hindia Belanda.
Di Eropa, pada abad ke-18 telah dilanda apa yang disebut Aufklarung yang di Belanda sendiri diterapkan pada pembentukan partai liberal. Partai ini memegang peranan penting dan mendominasikan kehidupan ketatanegaraan dan politik praktis menjelang pertengahan abad ke-19 sampai dasawarsa kedua abad ke-20 di negeri Belanda.
Di bawah pimpinan Thorbecke, yang pernah menjadi perdana menteri sampai tiga kali (1849-1853, 1862-1866, dan 1871-1872), partai ini telah banyak merealisir ide-ide pokok paham liberalisme.
Ciri-ciri ide liberalisme antara lain:
a. Percaya pada nalar
b. Percaya pada sifat-sifat baik daripada manusia dan kesempurnaannya
c. Menuju ke arah perikemanusiaan
d. Menjunjung tinggi akal sehat
e. Toleransi beragama
f. Kebebasan memilih sendiri agama yang akan dianutnya sesuai dengan batin dan hati nuraninya
g. Kemerdekaan dan kebebasan pribadi, sehingga paham ini memperjuangkan dengan gigih mengenai hak-hak asasi manusia terhadap absolutism negara atau pemerintah.
Paham liberalisme ini sangat berpengaruh terhadap pendidikan di Hindia Belanda sejak pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1855 ada instruksi kepada Gubernur Jenderal agar mengambil tindakan supaya “sejauh mungkin memperbaiki dan memperluas pendidikan bagi penduduk golongan Eropa dan Bumiputera, serta meningkatkan dan memperbaiki kesenian dan ilmu pengetahuan di antara mereka.”
Khusus untuk golongan bumiputra terdapat juga ketentuan yang berbunyi: “Gubernur Jenderal harus mengatur sedemikian rupa sehingga di tiap-tiap kabupaten dapat didirikan sebanyak mungkin sekolah, sehingga remaja Bumiputra mendapat kesempatan belajar.”
Dari sinilah kemudian mulai berkembang pada tahun 1848 pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah mulai didirikan dan berkembang bagi golongan bumiputra. Pada tahun 1867, dibentuk departemen yang mengurus masalah Pendidikan, Agama dan Kerajinan. Berangsur-angsur penduduk golongan bumiputra dan Cina dan golongan lainnya diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan Barat dan merupakan dasar untuk mendapatkan pendidikan dari sekolah dasar hingga pendidikan tinggi secara Barat, sebagaimana diuraikan di atas.
6. Faktor Kondisi Umat Islam Indonesia
Demi mempertahankan kekuasaannya, pemerintah kolonial selalu berusaha memahami hal ihwal penduduk pribumi yang dikuasainya. Situasi medan di Hindia Belanda menunjukkan bahwa hampir seluruh penduduk pribumi memeluk agama Islam. Pemerintah Hindia Belanda dan umat Islam Indonesia, masing-masing mempunyai kepentingan berbeda. Satu pihak dengan segala daya upaya memperkuat dan mempertahankan kekuasaannya, sedang di pihak lain berdaya upaya pula untuk melepaskan diri dari cengkeraman kekuasaan tersebut.
Sejumlah fenomena yang tidak kurang monumental telah terjadi di tengah masyarakat Indonesia pada pertengahan kedua abad ke-19. Satu di antaranya yang sangat penting adalah kebangkitan Islam. Peristiwa ini salah satunya disebabkan oleh dibukanya Terusan Suez tahun 1869 yang setiap tahun ribuan kaum muslimin Indonesia pulah dari Mekkah. Tidak sedikit dari mereka yang membawa ajaran ortodoks setelah sekian lama mereka bermukim di tanah suci itu. Lambat laun ajaran ini berhasil menggantikan kedudukan mistik dan sinkretisme yang selama ini menguasai Indonesia. Pemerintah Belanda tidak melupakan kenyataan bahwa pelbagai perlawanan umat Islam, banyak dimotori oleh para haji dan ulama. Hal ini tentu saja turut memengaruhi berbagai kebijakan kolonial, termasuk dalam bidang pendidikan.
Pengalaman-pengalaman Belanda terhadap Perang Padri dan Perang Jawa yang berlangsung di bawah bendera Islam menjadi alasan utamanya diambilnya beberapa langkah untuk memotong pengaruh haji itu. Sehubungan dengan itu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan bermacam-macam peraturan dengan maksud membatasi dan mempersulit ibadah haji tersebut. Diharuskannya jamaah haji untuk membeli surat izin haji yang harganya sangat mahal, semahal ongkos haji itu sendiri, merupakan upaya nyata untuk menghalangi banyak orang untuk berangkat ke Mekkah. Jika seorang calon jemaah tidak memperoleh surat ini sebelum berangkat ke Mekkah, maka dia harus membayar dua kali lipat lebih besar sekembalinya ke tanah air. Lebih dari itu, seseorang yang baru kembali dari haji harus dinyatakan lulus dari ujian tertentu sebelum dia berhak menggunakan gelar haji di depan namanya.
Semua faktor di atas turut meningkatkan kesan bahwa pemerintah kolonial Belanda melakukan diskriminasi terhadap komunitas Muslim. Yang paling penting di antara semuanya adalah keyakinan pemerintah kolonial Belanda bahwa rakyat Indonesia hanya dapat dijauhkan dari Islam dengan menyebarluaskan agama Kristen.
Pemerintah kolonial memandang bahwa “Islam” pada masa itu sama dengan “kepribumian” (indigeneous). Bahkan di kalangan rakyat Batak, yang sebagian besar penganut “paganisme”, mereka yang berpindah agama dari animisme ke Islam di sebut sebagai orang-orang Melayu. Hal yang sama juga diberlakukan terhadap orang-orang Cina di Sumatera yang memeluk Islam. Sebaliknya, Barat atau Belanda disamakan dengan Kristen. Posisi penting Islam dalam kehidupan masyarakat itu, dan identifikasinya dengan kepribumian, berfungsi sebagai ekspresi paling kuat untuk menyatakan loyalitas kepada tanah air dalam menentang penjajah asing. Karena itu, wajar saja jika pemerintah kolonial Belanda sangat curiga terhadap kaum Muslim di Indonesia dan memperlakukan mereka secara khusus. Islam dipandang bukan saja sebagai ancaman terhadap “Kebijakan dan Keamanan” (Rust en Orde), melainkan juga terhadap masa depan keberlanjutan pendudukan dan penjajahan mereka di kepulauan nusantara.
Para pembesar pemerintah kolonial Belanda baru memedulikan pentingnya pendidikan di tingkat seluruh rakyat ketika mereka menyadari bahaya kebangkitan Islam di atas. Dalam hal ini, mereka tidak membiarkan guru-guru pesantren secara leluasa mendominasi bidang pendidikan. Karena itu, mereka mulai lebih serius memperluas program pendidikan bagi rakyat dengan tujuan mengimbangi pendidikan yang berorientasi Islam.
Dari paparan di atas dapat terlihat bahwa kebijakan-kebijakan pendidikan yang ditelorkan pemerintah kolonial Belanda di tanah jajahannya ini ternyata juga tidak terlepas dari adanya faktor kondisi umat Islam Indonesia pada masa itu.
BAB III
KEBIJAKAN PENDIDIKAN PEMERINTAH HINDA BELANDA
TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM

Sejarah kolonial membuktikan bahwa Belanda sangat berkepentingan untuk menghambat pendidikan Islam di Indonesia. Semua yang menguntungkan Islam di kepulauan ini dinilainya akan merugikan kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Umat Islam pernah merasakan kebijakan Perburuan Guru Agama sebagai reaksi dari pemberontakan Banten 1888. Mereka juga pernah merasakan pahit getirnya Ordonansi Guru (1905 diperbaharui 1925), yang mewajibkan setiap guru agama Islam untuk memperoleh izin Bupati bagi kelaikan mengajar, walaupun hanya sekedar mengajarkan membaca al-Qur’an. Kebijakan semacam ini betapapun sangat besar pengaruhnya bagi derap langkah pendidikan Islam.
Oleh sebab itu, Bab ini berupaya membahas mengenai kebijakan-kebijakan pendidikan kolonial pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam tersebut, mengingat pentingnya kebijakan ini terhadap perkembangan pendidikan Islam masa periode pertumbuhannya. Adapun kebijakan-kebijakan pendidikan yang diberlakukan itu disebut dengan Ordonansi Guru dan Ordonansi Sekolah Liar.

A. Ordonansi Guru
Pada pertengahan kedua abad ke-19, pengaruh Islam dari Mekkah semakin terasa menguat setelah banyaknya umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji. Hal ini dibuktikan dengan semakin bermunculannya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dipelopori oleh orang-orang yang kembali dari Mekkah. Jika pada awal abad ke-19, jumlah lembaga pendidikan (pesantren) hanya sebanyak 1.853 buah baik besar maupun kecil, maka pada tahun 1885 jumlah lembaga pendidikan Islam tradisional tercatat berjumlah 14.929 buah di seluruh Jawa dan Madura (kecuali kesultanan Yogyakarta).
Oleh sebab itu, untuk menghentikan makin kuatnya pengaruh ini, pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 menetapkan peraturan mengenai guru-guru agama. Peraturan ini dibuat untuk melakukan kontrol atas lembaga pendidikan, yang dilihat Belanda sebagai ancaman potensial terhadap rezim mereka. Terlebih, pemerintah Belanda tidak melupakan kenyataan bahwa pelbagai perlawanan umat Islam, banyak dimotori oleh para haji dan ulama. Di dalam Ordonansi Guru ini ditetapkan bahwa, sebelum pelajaran agama diberikan, penyelenggaranya harus memiliki izin tertulis dari para pejabat bersangkutan. Selain itu, daftar murid-murid yang terlibat juga harus dilampirkan dalam permohonan izin tersebut.
Ordonansi ini adalah puncak dari sejumlah peristiwa yang terjadi dua dekade sebelumnya. Pada mulanya peraturan ini merupakan reaksi terhadap pemberontakan Petani di Cilegon, Banten, melawan Belanda pada tahun 1888. Akibat pemberontakan tersebut, yang konon dihasut oleh guru-guru agama, maka K.F. Holle (w. 1896), Penasihat Pemerintah Belanda untuk urusan Pribumi, menyarankan agar para guru agama diawasi secara ketat. Atas saran K.F. Holle ini, dibentuklah badan usaha yang mengawasi kehidupan keagamaan dan pendidikan yang disebut priesterraden.
Terhadap masalah Ordonansi Guru, Snouck Hurgronje pada 1904 mengusulkan kepada pemerintah agar membentuk satu komite khusus yang bertugas membatasi kegiatan para guru agama. Hurgronje lebih jauh juga mengusulkan agar, sebelum beroperasi, semua sekolah agama diharuskan memiliki izin khusus. Ini tentu saja merupakan sesuatu yang sulit karena izin itu hanya akan diberikan jika sekolah agama yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan tertentu, termasuk menyerahkan nama semua guru dan murid serta kurikulum yang akan dijalankan. Setahun kemudian, pada tanggal 2 November 1905, Ordonansi Guru resmi diberlakukan.
Ordonansi Guru ini dinilai oleh umat Islam sebagai kebijakan yang tidak sekedar membatasi perkembangan pendidikan Islam saja, tetapi sekaligus menghapus peran penting Islam di Indonesia. Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru agama dipersalahkan ketika menghadapi gerakan Kristenisasi dengan alasan ketertiban dan keamanan. Dalam peristiwa di Tanah Batak misalnya, pemerintah setempat menggunakan Ordonansi Guru itu untuk menyingkirkan guru-guru agama Islam dari persaingan dengan penganjur (missionaris/zending) Kristen. Meskipun keputusan itu akhirnya dipersalahkan oleh pemerintah Hindia Belanda, tetapi hal itu merupakan contoh dari efek negatif pemberlakuan Ordonansi Guru.
Peraturan ini tertuang dalam Staatblad, 1905, No. 550 yang berisi ketentuan-ketentuan antara lain:
1. Seorang guru agama Islam baru boleh mengajar setelah memperoleh izin dari bupati.
2. Izin tersebut baru bisa diberikan bila guru agama tersebut jelas-jelas bisa dinilai sebagai orang baik, dan pelajaran yang diberikannya tidak bertentangan dengan kemanan dan ketertiban umum.
3. Guru agama Islam tesebut harus mengisi daftar murid, di samping harus menjelaskan mata pelajaran yang diajarkan.
4. Bupati atau instansi yang berwenang boleh memeriksa daftar itu sewaktu-waktu.
5. Guru agama Islam bisa dihukum kurung maksimum delapan hari atau denda maksimum duapuluh lima rupiah, bila ternyata mengajar tanpa izin atau lalai mengisi/mengirimkan daftar tersebut, atau enggan memperlihatkan daftar itu kepada yang berwenang, berkeberatan memberikan keterangan atau enggan diperiksa oleh yang berwenang.
6. Izin itu bisa dicabut bila ternyata berkali-kali guru agama tersebut melanggar peraturan, atau dinilai berkelakuan kurang baik.
Dalam perkembangannya, Ordonansi Guru itu sendiri mengalami perubahan dari keharusan guru agama mendapatkan surat izin menjadi keharusan guru agama itu cukup melapor dan memberitahu saja. Ordonansi Guru yang diperbaharui ini diberlakukan secara lebih luas di berbagai wilayah, baik di Jawa maupun luar Jawa. Namun demikian, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya, Ordonansi Guru ini pun seringkali disalahgunakan oleh pemerintah lokal untuk menghambat gerakan umat Islam. Peristiwa yang dialami Muhammadiyah pada tahun 1926 di Sekayu Palembang membuktikan adanya maksud negatif di balik Ordonansi Guru tersebut. Pada waktu itu, Pengurus Pusat meresmikan Sekolah Muhammadiyah setempat tetapi tiba-tiba dilarang padahal sebelumnya sudah memberitahukan rencana kegiatan itu kepada Residen Palembang.
Melalui Ordonansi ini diharapkan pemerintah Belanda dapat melakukan pengawasan terhadap aneka kegiatan guru dan murid di sekolah-sekolah agama. Ordonansi ini memang dimaksudkan khususnya untuk membatasi guru-guru agama, dan umumnya untuk menghambat kemajuan Islam. Persyaratan yang harus dipenuhi seperti ditetapkan ordonansi ini telah menimbulkan kekecewaan besar kalangan guru agama. Kurang tertatanya administrasi sekolah tradisional untuk memenuhi prosedur perizinan yang memang rumit, menjadikan ordonansi ini momok yang sangat membebani guru-guru Muslim. Bahkan sekolah-sekolah agama yang telah menempuh semua prosedur yang ditetapkan masih harus menghadapi risiko tidak diberi izin beroperasi karena alasan-alasan yang subjektif dan sepele.
Peraturan ini memang mudah dijalankan oleh suatu sekolah yang mempunyai organisasi yang baik, tetapi tidak demikian halnya dengan guru-guru agama itu, oleh sebab mereka memang tidak menyelenggarakan administrasi yang baik dalam mengatur sekolah pengajiannya. Lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren tidak mengadakan administrasi semacam itu, tidak mencatat nama dari seluruh santri mereka ataupun staf pengajar mereka. Banyak dari para guru agama itu tidak dapat membaca dan menulis huruf Latin, umumnya tidak pula ada yang mempunyai mesin tulis untuk dapat membuat lembaran-lembaran daftar yang diperlukan untuk dikirimkan kepada para pejabat pemerintah yang bersangkutan.
Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan guru-guru agama Islam, untuk minta izin itu, kemudian dinilai kurang efisien, karena laporan tentang guru agama dan aktivitasnya – yang secara periodik disampaikan bupati – ternyata kurang meyakinkan, di samping situasi politik waktu itu dinilai sudah tidak lagi memerlukan perburuan agama dan atas desakan umat Islam. Maka pada tahun 1925 keluarlah Ordonansi Guru yang baru sebagai penggantinya sebagaimana tertuang dalam Staatblad, 1925, No. 219. yang berisi tentang kewajiban guru agama hanya untuk memberi tahu bukan untuk meminta izin. Ordonansi ini dikenal dengan Ordonansi Guru kedua yang berlaku mulai tanggal 1 Juni 1925 untuk Jawa dan Madura kecuali Solo dan Yogya. Dan mulai tanggal 1 Januari 1927 berlaku pua untuk daerah Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado dan Lombok. Pada tahun 1930-an berlaku pula untuk daerah Bengkulu.
Adapun secara lebih lengkap bunyi Ordonansi Guru yang kedua ini adalah sebagai berikut:
1. Setiap guru agama harus mampu menunjukkan bukti tanda terima pemberitahuannya.
2. Ia harus mengisi daftar murid dan daftar pelajaran yang sewaktu-waktu bisa diperiksa oleh pejabat yang berwenang.
3. Pengawasan dinilai perlu, untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum.
4. Bukti kelayakan bisa dicabut, bila guru yang bersangkutan aktif memperbanyak murid dengan maksud yang bisa dinilai sebagai mencari uang.
5. Guru agama Islam bisa dihukum maksimum delapan hari kurungan atau denda maksimum f. 25,- bila mengajar tanpa surat tanda terima laporan, atau tidak benar dalam memberikan keterangan, atau lupa dalam mengisi daftar murid.
6. Bila haknya sudah dicabut, namun masih tetap mengajar, maka dapat dihukum maksimum satu bulan kurungan atau denda masimum f. 200,-
7. Ordonansi Guru ini berlaku mulai tanggal 1 Juni 1925, dan Ordonansi Guru yang berlaku sejak 2 November 1905 dinyatakan dicabut.
Walaupun peraturan yang baru ini terkesan lebih lunak, dalam kenyataannya tidak mengurangi kesulitan umat Islam dalam menyelenggarakan pendidikan Islamnya. Alfian dalam hal ini berkomentar bahwa, walaupun Ordonansi Guru 1925 ini tidak mengharuskan umat Islam memperoleh izin resmi dari yang berwenang, dengan keharusan member tahu atau melapor – kemudian berdasarkan laporan itu yang berwenang mengeluarkan surat tanda terima laporan – pada dasarnya, pemerintah memiliki kewenangan yang sama dengan ketentuan yang ditetapkan sebelumnya. Namanya boleh saja berbeda tetapi esensinya kurang lebih sama.
Ordonansi ini dipergunakan untuk menekan umat Islam dan pelaksanaannya lebih banyak diserahkan kepada anak negeri, sesama bangsa Indonesia. Dengan dalih menjaga keamanan dan ketertiban, maka para pejabat yang berwenang sulit untuk mengeluarkan surat pemberian izin yang diperlukan. Pelaksanaan yang demikian dimaksudkan agar umat Islam tidak benci kepada pemerintah kolonial namun justru kepada sesama bangsa sendiri karena tidak terlihat adanya penekanan dari pihak pemerintah kolonial, tetapi dari sesama bangsa sendiri.
Hal ini dapat dilihat ketika terjadi persaingan ketat antara Islam dan Kristen di Tanah Batak pada awal abad ke-20. Lulofs selaku penasehat urusan luar Jawa menetapkan adanya suatu garis perbatasan antara Islam dan Kristen. Orang Islam tidak dibenarkan tinggal di daerah Kristen lebih dari 24 jam. Adanya peraturan tersebut maka terjadilah pengusiran umat Islam dari wilayah ini oleh bangsanya sendiri yang beragama Kristen. Terjadinya pengusiran umat Islam dari wilayah ini merupakan penyalahgunaan Ordonandi Guru. Karena, menurut Huzen, Ordonansi Guru dibuat bukan untuk mengusir, menghambat atau menekan umat Islam, tetapi untuk mengawasi pendidikan Islam.
Walaupun Ordonansi Guru tahun 1925 ini antara lain berisi hanya sekedar memberi tahu, akan tetapi untuk dapat memperoleh surat pemberitahuan tidaklah kalah sulitnya jika dibandingkan dengan meminta izin. Sebab dalam praktiknya, Ordonansi Guru yang kedua ini juga dapat dipergunakan untuk menekan umat Islam serta untuk menghambat perkembangan agamanya, meskipun bukan itu tujuan yang tercantum dalam ketentuan Ordonansi.
Dengan demikian, lahirnya Ordonansi Guru 1905 yang kemudian diperbaharui dengan Ordonansi Guru 1925 secara jelas memperlihatkann bahwa, ordonansi tersebut lebih sebagai upaya mengantisipasi potensi-potensi umat Islam yang dianggap membahayakan kedaulatan kolonial Belanda.

B. Ordonansi Sekolah Liar
Selain Ordonansi Guru tersebut di atas, pemerintah Hindia Belanda juga menerbitkan Toezicht Ordonantie Particulier Onderwijs (Ordonansi Pengawasan Terhadap Sekolah-sekolah Swasta) atau yang kemudian dikenal dengan Ordonansi Sekolah Liar (Ordonantie Wildeschoolen). Ordonansi ini mulai dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Oktober 1932. Ordonansi ini menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari pemerintah. Izin ini harus memenuhi beberapa syarat, antara lain bahwa yang memintanya hendaknya dipercayai oleh pemerintah, bahwa ia tidak akan melanggar “Keamanan dan Ketertiban” (Rust en Orde), dan bahwa ia lulusan sekolah pemerintah atau sekolah swasta yang bersubsidi.
Oleh karena hanya sejumlah kecil saja dari lembaga-lembaga pendidikan swasta di Indonesia dibantu oleh pemerintah, maka banyak sekolah yang terkena oleh peraturan tadi. Di pulau Jawa semua sekolah Taman Siswa terkena oleh peraturan ini, demikian juga banyak sekolah Muhammadiyah.
Memang, dipandang dari sudut kebangsaan, dan ini juga mencakup perasaan kebangsaan umat Islam, peraturan itu merupakan suatu usaha dari pemerintah untuk menghambat perkembangan pendidikan pada umumnya dan perkembangan pendidian nasional pada khususnya. Syarat-syarat yang harus dipenuhi di dalam peraturan ini tampaknya sengaja ditujukan pada lembaga-lembaga yang bersifat kebangsaan. Maka orang Indonesia pun berpendapat bahwa peraturan tersebut merupakan usaha untuk mematikan semangat nasional.
Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan nasionalisme-Islamisme pada tahun 1928, berupa Sumpah Pemuda. Selain dari pada itu, untuk lingkungan kehidupan agama Kristen di Indonesia yang selalu menghadapi reaksi dari rakyat, dan untuk menjaga dan menghalangi masuknya pelajaran agama di sekolah umum yang kebanyakan muridnya beragama Islam, maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang disebut netral agama.
Kemudian, faktor merosotnya ekonomi dunia juga memaksa pemerintah kolonial untuk melakukan penghematan yang berakibat memperendah aktivitasnya termasuk dalam bidang pendidikan. Sementara itu keinginan orang-orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat juga semakin berkembang. Ketidakmampuan pemerintah kolonial dalam mengatasi arus yang justru sejalan dengan apa yang digalakkannya selama ini, yang kemudian dikenal dengan “sekolah liar”. Tetapi karena pengelola dan kurikulum sekolah ini yang dinilai tidak memenuhi syarat yang ditentukan pemerintah, maka ijazah sekolah tersebut tidak diakui di kantor-kantor resmi. Sekolah liar ini selalu didirikan oleh orang-orang Indonesia dan dimasuki oleh anak-anak Indonesia.
Secara sekilas ordonansi ini tidak ada pengaruhnya terhadap pendidikan Islam, karena ordonansi ini tidak diperuntukkan secara khusus untuk menekan perkembangan pendidikan Islam. Tetapi ordonansi ini tetap terasa, karena penyelenggaraan pendidikan Islam yang masih sangat sederhana baik dalam kurikulum, sistem pendidikan, organisasi dan administrasinya belum dianggap memenuhi syarat yang telah ditentukan pemerintah Hindia Belanda. Akibatnya, ketidaklengkapan laporan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan Islam yang masih belum tertata, ordonansi itu dengan sendirinya menjadi faktor penghambat.
Adapun isi Ordonansi Sekolah Liar ini antara lain:
1. Sekolah yang tidak dibiayai oleh pemerintah tidak dibenarkan memulai aktivitasnya
2. Seseorang yang berhak mengajar, hanyalah lulusan sekolah yang memiliki izin tertulis dari pemerintah serta dari lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah atau sekolah-sekolah swasta bersubsidi yang dinilai baik oleh pemerintah serta harus ada jaminan untuk tidak melanggar ketertiban, ketentraman dan dapat dipercaya oleh pemerintah kolonial.
3. Ordonansi ini tidak berlaku bagi lembaga pendidikan agama.
Melihat isi Ordonansi sebenarnya sengaja ditujukan kepada lembaga pendidikan yang bersifat kebangsaan, namun akibat yang timbul secara tidak langsung juga menghambat pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pada umumnya lembaga pendidikan Islam dikategorikan sebagai sekolah liar. Di tambah lagi pemerintah Hindia Belanda bersikap berat sebelah terhadap agama, maka langkah pendidikan Islam Indonesia semakin terpuruk. Hal ini sebetulnya sangat bertentangan dengan semangat “liberal” Regeeringsreglement 1854, yang menyatakan bahwa pemerintah tidak memihak terhadap berbagai macam agama di Indonesia. Dalam kenyataannya sikap netral terhadap agama hanyalah teori. Sedangkan pada prakteknya gereja dan misi menikmati sejumlah kemudahan melalui peraturan-peraturan pemerintah, termasuk kebebasan dari berbagai macam pajak dan bea, serta subsidi untuk pembangunan gereja, biaya bagi misionaris untuk pergi ke dan kembali pulang ke Indonesia dan pembayaran gaji bagi para pendeta di samping subsidi untuk sekolah, rumah sakit dan yatim piatu.
Kemenangan partai agama di negeri Belanda yang berarti kekalahan Liberal dalam parlemen, semenjak awal abad ke-20 sangat berpengaruh terhadap kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Golongan agama semakin kuat dan membawa prinsip Kristen. Oleh karena itu sikap netral agama seperti pernyataan di atas, sebagai teori belaka yang jauh dari kenyataan. Di samping itu orang-orang Belanda adalah Kristen Calvinis puritan yang sadar akan agamanya, fanatik, dan menganggap agamanya adalah yang paling benar, serta menentang agama-agama lain, sehingga sangat mendukung usaha penyebaran agama Kristen di Indonesia yang sudah berlangsung sejak tahun 1602.
Masalah penyebaran Kristen di Indonesia erat kaitannya dengan masalah menghadapi Islam sebagai agama yang banyak dianut oleh penduduk pribumi, karena itu jika dapat menguasai Islam berarti dapat menguasai Indonesia. Anggapan yang demikian menuntut pemerintah untuk mendukung Kristen agar Kristen dapat maju sehingga dapat menguasai Islam dengan mudah dan akhirnya dapat menguasai Indonesia. Semua yang menguntungkan Islam di kepulauan ini dinilainya akan merugikan kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dukungan terhadap Kristen terlihat jelas terutama dalam pemberian dana. Sebagai contoh, pada tahun 1917 sumbangan pemerintah Belanda terhadap Islam sebesar f. 127.029, sedangkan sumbangan untuk Kristen f. 1.235.500. Sumbangan yang diberikan sejumlah itu sudah termasuk besar jika dibandingkan dengan bantuan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1928 yang hanya sebesar f. 3.950, sedangkan sumbangan untuk Kristen sebesar f. 1.600.300. Bantuan pemerintah Hindia Belanda kepada Kristen dengan jumlah perbedaan yang demikian besar dan lagi bantuan bagi pemeliharaan rumah sakit, poliklinik serta bantuan yang berbentuk personil yang tiap bulannya menerima gaji dari pemerintah. Perbedaan bantuan yang kian menyolok ini tetap berlanjut sampai tahun terakhir masa kekuasannya di Indonesia.
Berbagai rintangan, tekanan dan sikap berat sebelah pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam, menyebabkan umat Islam dan pendidikannya bersifat isolatif dan anti Belanda. Sikap yang demikian membawa pendidikan Islam terutama dalam pendidikan umum tertinggal jauh oleh pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan Kristen yang di samping memperoleh dukungan kuat dari luar negeri juga masih menerima banyak bantuan dari pemerintah kolonial Belanda.

C. Reaksi Umat Islam Terhadap Ordonansi Guru dan Ordonansi Sekolah Liar
Reaksi terhadap Ordonansi Guru dan Ordonansi Sekolah Liar banyak dilancarkan oleh berbagai pihak, baik oleh pribumi sendiri maupun pihak Belanda sendiri. Dari pihak Belanda ketika Schrieke – selaku Direktur Pendidikan – diperintahkan oleh Sekretaris Negara untuk meninjau kemungkinan ditindaknya Sekolah Liar, dia menolak. Menurutnya, pemerintah belum perlu mengambil tindakan terhadap sekolah liar, namun ia berpendapat bahwa syarat tentang pengetahuan bagi guru harus tetap ada, tetapi untuk sementara jangan terlalu berat, sehingga tidak perlu ada.
Sebagaimana diuraikan di atas, tujuan Ordonansi Guru adalah untuk mengawasi atau mengontrol pendidikan agama Islam; dan untuk itu adanya data guru yang dipaksakan itu sama sekali tiada gunanya. Dalam hal ini Van der Plas pada tahun 1934 berpendapat bahwa, untuk mencapai tujuan tersebut daftar guru yang dipaksakan itu sama sekali tiada gunanya. Dia pun melihat akibat sampingan Ordonansi ini dan memandangnya sebagai “rintangan paling besar bagi karya produktif di Hindia Belanda.” Dia juga berpendapat bahwa demi penyederhanaan dan efisiensi, hendaknya pemerintah kolonial menghapuskan Ordonansi Guru yang dinilainya hanya akan menghabiskan kertas ini.
Dari pihak pribumi sendiri, pada tahun 1917, Partai Syarikat Islam menuntut pemerintah agar semua peraturan yang menghambat penyebaran Islam dicabut, meskipun tidak menyebutkan secara khusus Ordonansi 1905. Baru pada tahun 1922, melalui Kongres al-Islamnya menganggap bahwa Ordonansi tahun 1905 menghambat kegiatan guru agama Islam, terutama disebabkan oleh tindakan pejabat pemerintah.
Kemudian Kongres al-Islam tahun 1926 di Bogor yang diadakan pada tanggal 1-5 Desember 1926, juga menolak cara pengawasan terhadap pendidikan agama Islam ini. Sebab kewajiban memberitahukan kurikulum, guru dan murid secara periodik ini, dinilainya memberatkan. Karena lembaga pendidikan Islam pada umumnya tidak memiliki administrasi dan sarana yang memadai. Begitu pula keharusan mengisi formulir berbahasa Belanda dirasakan sebagai beban yang sangat berat. Karena hampir semua guru agama Islam tidak mengerti bahasa yang ditulis dengan huruf Latin ini, dan paling-paling mereka hanya bisa bahasa Arab. Muhammadiyah, dalam Kongresnya yang ke-17 tahun 1928 (12-20 Februari 1928), juga menolak keras Ordonansi Guru itu dan menuntut pemerintah agar menarik kembali peraturan tersebut.
Di Jawa, ketika peraturan itu dikeluarkan, tidak ada protes yang timbul dari umat Islam. Namun, hal ini tidak berarti bahwa mereka menyetujui peraturan tersebut. Hal tersebut semata-mata disebabkan oleh kesadaran yang rendah tentang akibat dari peraturan ini serta ketidak-tahuan guru agama untuk mengorganisir diri pada waktu berhadapan dengan pemerintah.
Reaksi yang hebat justru terjadi di Sumatera Barat (Minangkabau), yang memiliki banyak lembaga pendidikan agama ketika pemerintah bermaksud menerapkan Ordonansi Guru ini di daerah tersebut. Segera setelah timbulnya komunis pada tahun 1927, tiba-tiba di beberapa tempat diberlakukan peraturan bahwa untuk mengajarkan agama seseorang harus meminta izin, bukan hanya cukup memberi tahu.
Tidak mengherankan jika di kalangan masyarakat setempat banyak timbul pendapat bahwa andaikata Ordonansi Guru itu diterapkana, berarti orang Minangkabau kehilangan kebebasan dalam melaksanakan aktivitas agamanya. Maka pada tanggal 19 Agustus 1928 di Bukittinggi dengan dihadiri 800 orang ulama dan wakil-wakil dari 115 organisasi. Para ulama mengadakan rapat untuk membahas masalah Ordonansi itu. Rapat mengambil keputusan berbentuk mosi yang menolak diberlakukannya Ordonansi 1925 di Minangkabau. Rapat juga mengambil keputusan agar mosi itu disampaikan secara langsung kepada Gubernur Jenderal secara pribadi, dan juga kepada Parlemen Belanda serta kepada Penasihat pemerintah tentang masalah-masalah bumiputra.
Mosi itu berpendapat bahwa Ordonansi Guru itu merupakan penghambat bagi orang Islam untuk untuk melaksanakan kewajiban agama mereka. Mosi juga menekankan bahwa adalah juga merupakan kewajiban bagi orang Islam untuk memberikan pelajaran agama. Dikatakan pula bahwa peraturan tadi tidak akan mendekatkan pemerintah kepada rakyat Islam. Dikemukakan pula tentang pengakuan terhadap kebebasan beragama untuk segenap penduduk di Indonesia, kecuali bila ketentraman umum terganggu, dan untuk menjaga hal ini telah terdapat berbagai peraturan lain. Mosi tersebut menekankan selanjutnya bahwa peraturan tahun 1925 itu sangat jelas melanggar kemerdekaan Islam, dan menambahkan bahwa bila peraturan itu akan diberlakukan juga, maka ketertiban dan ketentraman tidak akan dipelihara lagi.
Menanggapi pelbagai keinginan dihapuskannya Ordonansi Guru ini, Snouck Hurgronje dalam suratnya kepada Menteri Jajahan tahun 1935 berpendapat bahwa Ordonansi ini masih diperlukan dengan beberapa usul perubahan yakni dengan mengadakan penyederhanaan izin yang diperlukan, dan guru agama Islam tidak perlu diburu lagi karena bahaya gerakan tarekat maupun Pan Islam tidak perlu dikhawatirkan. Meskipun demikian Ordonansi Guru ini sudah kehilangan urgensinya dan terpaksa menghilang dari peredaran.
Demikian juga reaksi yang timbul dari kalangan umat Islam dan nasionalis atas diterbitkannya Ordonansi Sekolah Liar. Walaupun Ordonansi 1932 itu tidak bermaksud menjangkau lembaga-lembaga agama, orang-orang di Minangkabau merasa bahwa Ordonansi itu cukup luwes untuk dikenakan juga terhadap sekolah-sekolah Diniyah atau Thawalib, apalagi karena sekolah-sekolah ini bukan sekolah agama semata-mata. Dipandang dari sudut ini, mereka pun memandang Ordonansi tersebut sama, kalaupun tidak lebih jelek, dari Ordonansi Guru tahun 1925, dalam pengertinan bahwa ia juga melanggar kemerdekaan Islam. Masalah utama yang menyangkut di sini, kata mereka, ialah masalah sejauhmana pemerintah dapat campur tangan dalam usaha yang diselenggarakan rakyat.
Mereka juga menegaskan bahwa pendidikan swasta ini seharusnya ditolerir oleh pemerintah karena merupakan inisiatif sendiri di tengah ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan fasilitas yang cukup. Namun yang diterima oleh masyarakat justru sebaliknya, yakni masyarakat tidak diberi kebebasan untuk melaksanakan aktivitasnya, terbukti dengan dikeluarkannya peraturan pengawasan (Ordonansi Sekolah Liar). Keadaan yang demikian inilah yang sebetulnya menimbulkan reaksi yang hebat. Organisasi-organisasi seperti PSII, Budi Utomo, PNI, Partindo, Isteri Sedar, Permi, Taman Siswa, dan Muhammadiyah bahu membahu untuk menentang keras Ordonansi ini.
Sebuah majalah resmi dari Permi, Medan Rakyat, mengemukakan bahwa Ordonansi tahun 1932 itu lebih menekan daripada Ordonansi 1925. Kemudian Permi juga menyelenggarakan rapat-rapat umum untuk menjelaskan kepada masyarakat ramai betapa buruk akibat yang ditimbulkan Ordonansi itu. Akhirnya, dewan pendidikan dari Permi dalam konferensinya tanggal 26/27 Desember 1932 memutuskan bahwa Ordonansi dimaksud melanggar dasar-dasar Islam dan dasar-dasar umum, serta juga merupakan pukulan terhadap sekolah-sekolah Thawalib, sedangkan kebebasan bangsa Indonesia untuk mengatur dan membangun pendidikan menurut harapan-harapannya sendiri dikurangi karenanya. Maka bergabunglah Permi dengan Taman Siswa dalam perlawanan pasifnya menolak Ordonansi tersebut.
Dengan perlawanan pasifnya tersebut, Taman Siswa – yang seluruh sekolahnya terkena ketentuan ini – melalui Ki Hadjar Dewantara mengirim surat dan mengemukakan secara lisan kepada Gubernur Jenderal Kiewiet de Jonge – selaku kuasa pemerintah – ketika berkunjung ke rumahnya. Demikian juga yang dilakukan oleh Sarikat Islam (SI) yang sejak tahun 1932 telah menjelma menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) mengumumkan suatu manifesto penentangan terhadap Ordonansi tersebut.
Sekolah-sekolah Diniyah membuat resolusi tentang Odonansi tersebut. Resolusi tersebut mengemukakan bahwa Ordonansi menghambat masyarakat yang kekurangan pendidikan, menghambat orang-orang Indonesia dalam perjuangan mereka untuk memperoleh pendidikan yang sesuai dengan kemauan mereka sendiri. Dengan pandangan seperti inilah maka pada bulan Desember 1932 didirikanlah di Minangkabau sebuah panitia khusus dengan maksud untuk dan menggagalkan Ordonansi. Panitia ini diketuai oleh Haji Rasul dan diberi nama Comite Pelucutan Guru Ordonantie dan Ordonantie Toezicht Particulier Onderwijs. Mereka beranggapan bahwa Ordonansi ini merupakan percobaan pembunuhan sekolah-sekolah Islam dan menuduh pemerintah kolonial Belanda bertindak menguntungkan Kristen. Dengan anggapan ini, mereka bertekad akan berjuang hidup atau mati demi Islam.
Panitia tersebut kemudian membuat resolusi dan dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Kiewiet De Jonge, yang isinya adalah sebagai berikut:
1. Telah seratus tahun sejak orang-orang Islam Minangkabau kehilangan kemerdekaannya di negeri sendiri dan pada tahun-tahun terakhir mereka pun dihadapkan pada aneka kekerasan yang sebagian besar berasal dari pemerintah.
2. Sebagaimana Gubernur Jenderal ketahui orang-orang Islam Minangkabau yang kuat memegang teguh agama Islam, rela mati demi memenuhi panggilan Allah.
3. Islam adalah agama Allah, tiada satu pun manusia di dunia ini yang mengawasi dan mengontrolnya, kecuali Allah sendiri.
4. Orang-orang Islam berada di bawah perintah undang-undang Allah sebagaimana terdengar dalam al-Qur’an. Mereka wajib mempertahankan agama Allah dari setiap pengaruh luar. Mereka rela mengorbankan segalanya – kebahagiaan duniawinya, kekayaannya, bahkan kalau perlu nyawanya – untuk mempertahankan agamanya.
5. Mati dalam membela agama Islam adalah suatu kebahagiaan karena merupakan syahid di sisi Allah. Orang-orang Islam diwajibkan Allah mempertahankan agamanya dari rongrongan apapun.
Organisasi Budi Utomo, yang dianggap paling loyal terhadap pemerintah juga, ikut menentang keras diberlakukannya Ordonansi ini. Perkumpulan ini bertekad akan menarik anggota-anggotanya dari aneka lembaga perwakilan, jika sampai tanggal 31 Maret 1933 pemerintah kolonial belum juga menariknya. Bahkan lebih jauh mengancam akan menutup sekolah-sekolahnya serta memberikan bantuan keuangan kepada para korban perlawanan pasif, seperti Taman Siswa.
Bahkan Dewan Rakyat yang biasanya bersifat kooperatif sekali dengan pemerintah tidak menyetujui langkah yang diambil pemerintah ini dan untuk pertama kali menolak rencana anggaran biaya pendidikan tahun 1932.
Reaksi umat Islam terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua corak, yaitu:
1. Defensif
Corak defensif ini ditunjukkan dengan menghindari sejauh mungkin pengaruh politik Hindia Belanda. Sikap ini amat kentara terlihat dalam sistem pendidikan Islam tradisional pesantren yang sepenuhnya mengambil jarak dengan pemerintahan penjajah. Di samping mengambil di lokasi-lokasi di daerah-daerah terpencil, pesantren juga menyusun kurikulum tersendiri yang hampir seluruhnya berorientasi pada pembinaan mental keagamaan. Pesantren dalam hal ini memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang menjadi benteng pertahanan umat atas penetrasi penjajah, khususnya dalam bidang pendidikan. Dengan posisi defensif ini, pesantren pada kenyataannya memang bebas dari campur tangan pemerintah Hindia Belanda, meskipun dengan resiko harus terasing dari perkembangan masyarakat modern. Para ulama dari pesantren tradisional ini melarang meniru gaya Belanda seperti memangkas rambut, memakai dasi, dan lain-lain. Bahkan mengeluarkan fatwa yang berbunyi: “Barang siapa yang menulis dengan memakai aksara Latin, tangannya akan dipotong kelak di akhirat; Barangsiapa yang menjadi pengikut Belanda menjadi kafir.”
2. Progresif
Corak responsi umat Islam juga bersifat progresif yang memandang bahwa tekanan pemerintah Hindia Belanda itu merupakan kebijakan diskriminatif. Usaha umat Islam dalam bidang pendidikan dengan demikian adalah bagaimana mencapai kesetaraan dan kesejajaran, baik dari sudut kelembagaan maupun kurikulum. Ketergantungan pada tekanan penjajah justru akan semakin melemahkan posisi umat Islam sendiri. Begitu pun sebaliknya, membiarkan sikap defensif terus menerus, akan memberikan ruang yang lapang bagi gerakan pendidikan Hindia Belanda. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini diperlukan upaya mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan secara mandiri yang produknya sama dengan sekolah ala Belanda, tetapi tidak tercerabut dari akar keagamaannya. Wujud konkrit dari upaya ini adalah tumbuh dan berkembangnya sekolah Islam atau madrasah di berbagai wilayah, baik di Jawa maupun luar Jawa.
Melihat banyaknya reaksi keras yang datang dari berbagai pihak, maka memaksa pemerintah kolonial untuk meninjau Ordonansi yang belum berumur setengah tahun itu. Akhirnya, pada pertengahan bulan Februari 1933 Ordonansi ini dinyatakan ditarik kembali, dan pada pertengahan Oktober 1933 Ordonansi ini dipertegas dengan keluarnya peraturan baru yang isinya antara lain: “Bahwa orang Indonesia yang berminat menyelenggarakan pendidikan hanya diwajibkan memberitahukan secara tertulis, tidak perlu minta izin serta meniadakan syarat ijazah bagi pengajar.” Sejak itulah pelbagai sekolah yang selama ini dinilai sebagai sekolah liar, disebut sebagai “sekolah swasta tak bersubsidi”.
Kelestarian penjajahan, betapapun merupakan impian politik pemerintah kolonial. Sejalan dengan pola ini maka kebijakan di bidang pendidikan menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat dalam hal ini diformulasikan sebagai faktor yang akan menghacurkan kekuatan Islam di Indonesia. Pada akhir abad ke-19, Snouck Hurgronje begitu optimis, bahwa Islam tidak sanggup bersaing dengan pendidikan Barat. Agama ini dinilai beku dan menghalangi kemajuan, sehingga harus diimbangi dengan meningkatkan taraf kemajuan pribumi.
Ramalan dan optimisme Snouck Hurgronje agaknya tidak memperhitungkan kemampuan umat Islam untuk mempertahankan diri di negeri ini yang sudah terbiasa hidup sederhana dan tahan banting, juga tidak memperhitungkan faktor kesanggupan Islam untuk menyerap kekuatan dari luar untuk meningkatkan diri. Memang cukup beralasan untuk merasa optimis. Kondisi objektif pendidikan Islam pada waktu itu memang sedemikian rupa dan tidak sebanding dengan kemauan yang dialami oleh Kristen (Barat), sehingga diperkirakan tidak akan mampu menghadapi superioritas Barat, tidak sanggup melawan pendidikan Kristen yang lebih maju dalam segala bidang, dan tidak akan bisa berhadapan dengan sikap diskriminatif kolonial. Tetapi ternyata Islam berkembang sedemikian rupa sehingga optimisme dan ramalan bahwa Islam akan sirna, tidak dapat dibuktikan.
BAB IV
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
PADA MASA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

Pendidikan di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang. Dalam pengertian seluas-luasnya, pendidikan Islam di Indonesia telah dikenal seiring dengan kedatangan agama Islam itu sendiri. Sesuai dengan proses penyebarannya yang dilakukan oleh para pedagang, maka proses pendidikan pun dilaksanakan secara informal, sambil berdagang, mereka menyebarkan agama Islam di setiap ada kesempatan.
Sejauh menyangkut kedatangan Islam di kepulauan Nusantara ini, terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok: tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya dan waktu kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok ini masih belum tuntas, tidak hanya karena kurangnya data yang mendukung suatu teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada.
Menurut Ricklefs, secara umum ada dua proses yang mungkin telah terjadi. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Proses kedua, orang-orang asing (Arab, India, Cina dan lain-lain) yang telah memeluk agama Islam tinggal secara tetap di suatu wilayah Indonesia, kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi orang Jawa, Melayu dan suku lainnya. Namun dapat dipastikan, lanjut Ricklefs, bahwa Islam sudah ada di nusantara sejal awal zaman Islam. Dari masa Khalifah ketiga, Usman bin Affan (644-656), utusan-utusan muslim dari tanah Arab mulai tiba di istana Cina. Setidaknya pada abad ke-9 sudah ada ribuan pedagang muslim di Kanton. Kontak-kontak antara Cina dan dunia Islam itu terpelihara terutama lewat jalur laut melalui Indonesia.
Para sarjana yang mendalami sejarah Islam di Indonesia menyatakan bahwa Islam dibawa masuk ke wilayah ini oleh para pedagang di Arab, Persia dan India. Mereka juga menunjukkan bahwa hubungan perdagangan antara kepulauan Indonesia dan Arab sudah mulai berlangsung bahkan sebelum kedatangan Islam. Pada abad kedelapan dan kesembilan, terutama pada puncak masa kerajaan Sriwijaya, beberapa pelabuhan di wilayah ini sudah amat dikenal oleh para pedagang. Wilayah ini sudah hampir merupakan wilayah tempat bercampur kebudayaan Arab, India, Persia dan Cina.
Kebanyakan sarjana Belanda, seperti Pijnapel dari Universitas Leiden, Moquette, dan Snouck Hurgonje, berpendapat bahwa abad ke-12 adalah periode yang paling mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Indonesia.
Namun setidaknya terdapat tiga teori tentang masuknya Islam di Indonesia, yaitu teori Gujarat, teori Arab dan teori Persia.
Teori Gujarat yang didukung oleh Moquette mengatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat dengan alasan bahwa relief nisan yang pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik al-Saleh yang wafat pada 1297 mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat. Namun kesimpulan ini ditentang oleh Fatimi yang berargumen bahwa keliru mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai dengan batu nisan di Gujarat. Menurut penelitiannya, bentuk dan gaya batu nisan Malik as-Saleh berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lain yang terdapat di Nusantara.
Teori Arab berpendapat bahwa Gujarat hanyalah sebagai tempat persinggahan semata, sementara Mekkah atau Mesir tetap merupakan pusat pengambilan ajaran Islam. Jauh sebelum abad ke-12 atau ke-13, bangsa Arab telah berperan dalam membawa agama Islam ini ke Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya perkampungan perdagangan Arab Islam pada 674 di pantai Barat Laut Sumatera, yaitu Barus. Informasi ini bersumber dari berita Cina bahwa di masa Dinasti Tang (abad ke-9-10) orang-orang Ta-Shih sudah ada di Kanton (Kan-fu) dan Sumatera. Ta-Shih adalah sebutan untuk orang-orang Arab dan Persia, yang ketika itu jelas sudah menjadi Muslim.
Teori Arab ini juga didukung oleh sebagian ahli Indonesia. Dalam seminar yang diselenggarakan pada 1969 dan 1978 tentang kedatangan Islam ke Indonesia mereka menyimpulkan, Islam datang langsung dari Arabia, tidak dari India; tidak pada pada abad ke-12 atau ke-13 melainkan dalam abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi.
Teori Persia yang dikemukakan oleh Hossein Djajadiningrat lebih menitik- beratkan pada kebudayaan yang hidup di kalangan Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai kesamaan dengan Persia. Kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Indonesia, antara lain:
1. Peringatan 10 Muharram atau al-Syuro sebagai peringatan Syiah atas kematian syahidnya Husein.
2. Adanya persamaan ajaran Syaikh Siti Jenar dengan ajaran sufi Iran al-Hallaj.
3. Sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harkat dalam pengajian al-Qur’an tingkat awal: jabar-zabar untuk harkat fathah, jer-zerr untuk harkat kasrah, dan p’es-py’es untuk harkat dhammah.
Huruf sin yang tidak bergigi berasal dari Persia, sedangkan sin yang bergigi berasal dari Arab.
Namun K.H. Saifuddin Zuhri menolak pendapat teori Persia ini. Menurutnya, bila berpedoman pada masuknya agama Islam ke Indonesia pada abad ke-7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umayah. Pada saat itu, kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan ada di tangan Arab, sedangkan pusat perkembangan Islam berkisar di Mekkah, Madinah dan Damaskus serta Bagdad. Jadi, menurutnya lebih lanjut, tidak mungkin Persia menduduki kepemimpinan dunia Islam.
Namun agaknya kenyataan yang sulit dipungkiri adalah bahwa proses Islamisasi di berbagai daerah di Indonesia tidaklah bersamaan. Ada daerah yang lebih awal didatangi Islam, seperti Peureulak dan Pase di Sumatera Utara, dan ada daerah yang lebih akhir seperti Jawa dan sekitarnya.
Implikasi dari proses Islamisasi yang gradual ini adalah munculnya pelaksanaan ajaran-ajaran Islam yang bertingkat-tingkat, sangat bervariasi dari satu kelompok ke kelompok yang lain atau dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Ada yang menerima dan menjalankan secara taat prasyarat mutlak yang dituntut dalam keimanan Islam dan ada pula mereka yang, sementara terus menegaskan diri sebagai penganut Islam, tidak menjalankan praktik-praktik keislaman sepenuhnya. Pada satu sisi, terdapat mereka yang berusaha, jika memungkinkan, membangun masyarakat mereka sejalan dengan citra Islam yang paling ekstrim dan mendirikan negara Islam; sedangkan pada sisi yang lain terdapat kelompok yang masih sangat tertarik kepada kebudayaan-kebudayaan masa lalu, dan tidak lebih dari kaum muslim nominal.
Di Jawa, tempat Islam sudah hampir enam abad berusaha memengaruhi seluruh aspek kehidupan sosial, pelaksanaan ajaran-ajaran Islam berlangsung kurang ketat jika dibandingkan dengan di pusat-pusat Islam lain yang utama seperti Aceh, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Situasi ini semakin diperparah oleh kedatangan Belanda pada masa-masa dua abad pertama kedatangannya. Penjajah Belanda membatasi kontak-kontak antara Islam di Jawa dan negara-negara Islam yang lain. Hal inilah yang ikut menyebabkan pertumbuhan kelompok-kelompok masyarakat yang kuat keislamannya menjadi tersendat-sendat. Pada akhir abad ke-19, Poensen mengamati mayoritas orang Jawa sebenarnya tidak mengenal Islam kecuali dalam hal sunatan (circumcision), puasa dan larangan makan daging babi.
Pada masa-masa perkembangan awal Islam di Indonesia ini, pendidikan Islam dilaksanakan dalam bentuk yang sangat sederhana. Istilah pendidikan Islam dapat dipahami sebagai pendidikan (dalam) Islam berdasarkan sudut pandang bahwa Islam adalah ajaran-ajaran, sistem budaya dan peradaban yang tumbuh dan berkembang serta didukung oleh umat Islam sepanjang sejarah. Berdasarkan sudut pandang ini, pendidikan Islam dapat dipahami sebagai proses dan praktek penyelenggaraan pendidikan di kalangan umat Islam, yang berlangsung secara berkesinambungan dari generasi ke generasi sepanjang sejarah.

A. Pendidikan Islam Sebelum Abad Ke-20
Fenomena pendidikan Islam, meskipun diyakini sudah ada dan masih sangat sederhana, tidak banyak diketahui, karena pendidikan masa-masa awal ini seringkali diidentikkan dengan penyebaran Islam itu sendiri. Di samping itu, sarana dan prasarana, metode dan sistem pendidikan Islam pada masa itu tidak banyak terungkap dalam sejarah.
Sebagaimana telah disinggung pada awal Bab ini, pada awal berkembangnya agama Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Para penganjur Islam menyiarkan agama Islam kapan saja, di mana saja dan siapa saja di setiap ada kesempatan. Di situlah agama Islam diajarkan kepada mereka dengan cara yang memudahkan pemahaman sehingga Islam dengan cepat diterima oleh khalayak luas.
Setelah komunitas umat Islam terbentuk, maka didirikanlah masjid pada setiap desa untuk mengerjakan shalat Jum’at, dan surau atau langgar untuk mengaji al-Qur’an dan tempat mengerjakan shalat lima waktu. Pada tempat tersebut yang terakhir inilah pendidikan agama Islam diberikan walaupun masih bersifat elementer dimulai dengan mempelajari abjad huruf Arab (Hijaiyah) atau kadang langsung mengikuti guru sambil menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci al-Qur’an.
Metode penyampaian materi pada pendidikan langgar ini memakai sistem sorogan, di mana dengan sistem ini anak secara perorangan belajar dengan guru/kyai, dan sistem halaqah yakni seorang guru/kyai dalam memberikan pengajarannya duduk dikelilingi murid-muridnya. Kutipan berikut ini menggambarkan lebih jelas mengenai proses belajar mengajar yang dilaksanakan di tempat tersebut:
Pengajian Al-Qur’an ini diberikan secara individual kepada murid. Biasanya mereka berkumpul di salah satu langgar atau di serambi rumah sang guru. Mereka membaca dan melagukan ayat-ayat suci di hadapan guru satu persatu di bawah bimbingannya selama ¼ atau ½ jam. Ketika salah seorang murid menghadap guru, murid lainnya dengan suara keras mengulang kaji kemarin atau lanjutan pelajaran yang telah diperbaiki gurunya. Jadi dalam langgar atau rumah semacam itu, orang dapat mendengar bermacam-macam suara yang bercampur aduk menjadi satu. Tetapi karena semenjak kanak-kanak terbiasa hanya mendengar suara mereka sendiri, para murid tersebut tidak terganggu suara murid lainnya.

Dalam sistem ini, tujuan pengajaran (pendidikan), metode dan kurikulum tidak dirumuskan secara eksplisit. Pengajian berjalan secara konvensional, dan satu-satunya ciri bahwa guru ngaji atau ustadz tersebut berhasil dalam mengajarnya, adalah apabila murid-muridnya sudah mahir melafalkan ayat-ayat al-Qur’an yang sudah diajarkannya secara fasih dan lancar. Dalam sistem ini juga, tidak ada batasan usia murid dan lamanya proses pendidikan, meskipun pada umumnya pengajian diikuti (hanya) oleh sebagian besar anak-anak usia enam tahunan.
Tempat belajar juga tidak menetap dan bisa berpindah-pindah. Selain di langgar, kadang-kadang pengajian dilakukan di serambi rumah guru ngaji, dan tak jarang pula guru ngaji diundang ke rumah orang tua murid – semacam privat – jika orang tua murid menginginkan.
Pendidikan di langgar dikelola oleh seorang petugas yang disebut ‘amil, modin¸ atau lebai (di Sumatera) yang mempunyai tugas ganda, di samping memberikan doa pada waktu upacara keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai guru. Pelajaran biasanya diberikan pada pagi atau petang hari, satu sampai dua jam.
Pengajian al-Qur’an di langgar ini dibedakan kepada dua macam, yaitu:
1. Tingkatan rendah. Merupakan tingkatan pemula, yaitu mulainya mengenal huruf al-Qur’an sampai bisa membacanya, diadakan pada tiap-tiap kampong, dan anak-anak hanya belajar pada malam hari dan pagi hari sesudah shalat subuh.
2. Tingkatan atas. Yaitu pelajaran selain al-Qur’an tersebut di atas, ditambah lagi dengan pelajaran lagu, qasidah, barjanzi, tajiwid serta mengaji kitab perukunan.
Pada penyelenggaraan pendidikan langgar, murid tidak dipungut biaya, akan tetapi bergantung kepada kesadaran dan kerelaan orang tua murid yang boleh memberikan tanda mata berupa benda “in natura” atau uang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Hubungan antara murid dan guru pada pendidikan langgar ini berlangsung terus walaupun kelak murid melanjutkan pelajarannya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Pendidikan yang dilaksanakan secara perorangan ini umumnya menekankan pada pelajaran praktis, seperti membaca al-Qur’an, masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadah, seperti berwudlu, sembahyang, dan masalah keimanan dan akhlak, dan lain-lain. Pemisahan pelajaran tertentu belum ada dan pelajaran yang diberikannya pun belum dilaksanakan secara sistematis. Sedangkan pendidikan yang dilaksanakan secara berkelompok pada umumnya mengkaji kitab-kitab atau yang dikenal dengan kitab kuning.
Laporan resmi pemerintah Hindia Belanda yang dipublikasikan pada tahun 1901, mencatat perkembangan pendidikan Islam semacam pengajian al-Qur’an ini untuk tahun 1893 saja telah berjumlah sedikitnya 22.748 dengan murid sebanyak 339.232 anak di Nusantara kecuali Yogyakarta, Aceh dan Sulawesi.
Setelah menamatkan pengajian al-Qur’an ini, sebagai kelanjutannya adalah pengajian kitab. Pengajian kitab ini biasanya dilaksanakan di pondok pesantren di Jawa, Surau di Sumatera Barat dan rangkang/dayah/meunasah di Aceh. Menurut Steenbrink, setidaknya terdapat tiga segi yang membedakan pengajian kitab ini dengan pengajian al-Qur’an di atas, yaitu:
1. Para murid pengajian kitab ini pada umumnya masuk ke dalam lingkungan lembaga pendidikan agama Islam yang disebut pesantren.
2. Mata pelajaran yang diberikan meliputi mata pelajaran lebih banyak daripada pengajian al-Qur’an. Fase pertama pendidikannya pada umumnya dimulai dengan pendidikan bahasa.
3. Pendidikan diberikan tidak hanya secara individual tetapi juga secara berkelompok.
Dari penjelasan Steenbrink tersebut, tampak bahwa tempat penyelenggaraan pengajian kitab telah lebih baik dan lebih terorganisasi dalam suatu lembaga yang biasanya dinamakan pesantren.
Perkataan “pesantren” berasal dari kata “santri” dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri. Soegarda Poerbakawatja juga menjelaskan pesantren berasal dari kata santri, yaitu seorang yang belajar agama Islam. Dengan demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Manfred Zamiek menyebutkan bahwa asal etimologi dari pesantren adalah pe-santri-an, yakni “tempat santri”. Santri atau murid mendapat pelajaran dari pimpinan pesantren (kiai) dan oleh para guru (ulama atau ustadz). Pelajaran mencakup berbagai bidang.
Profesor John berpendapat bahwa istilah “santri” berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah shashtri berasal dari shastra yang berarti buku suci, buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
Adanya kaitan istilah santri yang dipergunakan setelah datangnya agama Islam, dengan istilah yang dipergunakan sebelum datangnya Islam adalah suatu hal yang lumrah terjadi. Sebab, sebelum Islam datang pun, masyarakat di Indonesia telah menganut beraneka ragam agama dan kepercayaan, termasuk di antaranya agama Hindu. Dengan demikian, mungkin saja terjadi istilah santri itu telah dikenal luas di masyarakat Indonesia sebelum Islam masuk. Sebagian ada juga yang menyamakan tempat pendidikan itu dengan Budha dari segi bentuk asrama.
Namun Mahmud Yunus mengatakan bahwa asal-usul pendidikan individual yang dipergunakan dalam pesantren serta pendidikan yang dimulai dengan pelajaran bahasa Arab, ternyata dapat diketemukan di Baghdad ketika menjadi pusat dan ibu kota wilayah Islam. Jadi, sistem pendidikan pesantren berasal dari Hindu dan bukan dari Islam, ternyata adalah keliru, sebab sistem tersebut juga dapat ditemukan dalam tradisi Islam.
Terlepas apakah pesantren berasal dari India atau Islam sendiri, namun agaknya yang para ahli sepakat bahwa pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bertujuan untuk mendalami ilmu agama Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, atau disebut tafaqquh fi ad-din dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat. Atau dalam kata-kata Taufik Abdullah, pesantren adalah tempat mengaji dan mempelajari kitab-kitab dan juga merupakan tempat di mana intensifikasi peribadatan bisa dilakukan.
Dalam pesantren, setidaknya terdapat lima elemen sebagaimana diidentifikasi oleh Dhofier, yakni: kiai, pondok, masjid, santri dan pengajian kitab-kitab klasik. Sementara H.A. Timur Djaelani hanya menyebut tiga elemen pondok, yaitu: kiai, masjid, dan pondok. Namun nampaknya dari berbagai elemen tersebut, kiai memegang peranan sentral. Kekuasaan kiai bersifat mutlak atas para santrinya; santri merasa terikat dengan kiai sepanjang hidupnya, setidak-tidaknya sebagai sumber ilham dan bantuan moral bagi perorangan. Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid melihat bahwa maju mundurnya sebuah pesantren ditentukan oleh besarnya kharisma yang dimilikinya. Lebih jauh ia mengatakan:
Akan tetapi, kharisma yang demikian itu justru menjadi kelemahan pesantren dalam menjaga kelangsungan hidupnya. Kesetiaan yang bersifat pribadi sukar diterjemahkan menjadi kesetiaan pada suatu lembaga; ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pesantren yang mengalami kemunduran, bahkan kehancuran, setelah wafatnya pendiri pesantren itu.

Unsur-unsur lainnya, seperti masjid, asrama, santri dan kitab kuning, bersifat subsider yang keberadaannya di bawah kontrol dan pengawasan kiai. Karakteristik fisik yang membedakan lembaga pondok pesantren dengan lembaga di luar pondok pesantren terletak pada unsur tersebut. Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa unsur-unsur tersebut berfungsi sebagai sarana pendidikan dalam membentuk perilaku sosial budaya santri.
Pelaksanaan pengajian kitab ini secara bertahap, dari pelajaran tingkat dasar, kemudian hafalan, sorogan, weton/bandongan. Metode hafalan yaitu santri diharuskan membaca dan menghafal teks-teks berbahasa Arab yang biasanya digunakan untuk teks nadhom (sajak), seperti Aqidatul Awam (akidah), Awamil, Imrithi, Alfiyah (nahwu), dan Hidayat al-Shibyan (tajwid).
Metode hafalan tersebut, menurut Husein Muhammad, telah menjadi ciri dan cap yang melekat pada sistem pendidikan Islam tradisional ini. Sementara weton dan bandongan; disebut weton karena berlangsungnya pengajian itu merupakan inisiatif kiai sendiri baik dalam menentukan waktu, tempat, terutama kitabnya. Dan disebut bandongan, karena pengajian diberikan secara kelompok yang diikuti oleh seluruh santri. Kelompok santri yang mengerumuni kiai itu disebut halaqah.
Menurut Haidar Putra Daulay, sistem pendidikan tradisonal di atas belum mengenal ruang kelas dan alat-alat lainnya seperti yang ada sekarang. Para siswa atau santri diukur dari jumlah buku-buku yang telah pernah dipelajarinya dan kepada ‘ulama’ mana ia berguru.
Namun ternyata sistem pemberian ijazah telah dikenal pula pada tradisi sistem pendidikan tradisional, walaupun berbeda dengan bentuk yang kita kenal dalam sistem modern. Ijazah tersebut berbentuk pencantuman nama dalam suatu daftar rantai transmisi pengetahuan yang telah menyelenggarakan pelajarannya tentang suatu buku tertentu sehingga si murid tersebut dianggap menguasai dan mengajarkannya pada orang lain. Tradisi ijazah ini hanya dikeluarkan untuk murid-murid tingkat tinggi dan hanya mengenai kitab-kitab besar dan masyhur.
Dengan sistem pendidikan seperti itu, pesantren kerap tidak luput dari sasaran kritik menurut kaca mata kaum modernis. Dalam salah satu studinya, Ahmad Syafi’i Maarif menulis:
… Pesantren tidak lebih dari suatu halaqah, yaitu tempat para santri mengerumuni seorang kiai tertentu, tetapi antara mereka dan pemahaman langsung al-Qur’an ada jarak tertentu. Artinya, al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam tidak didekati sebagai satu kesatuan ajaran hingga berhasil membentuk suatu pandangan hidup Qur’ani yang bulat, jelas dan padu. Di sinilah barangkali terletak salah satu kelemahan dari sistem pendidikan tradisional. Dari sudut penglihatan ini, maka hampir-hampir tidak mungkin untuk mengharapkan dari sistem pengajaran model ini akan mampu dikembangkan suatu sikap mental kreatif dari muslim yang dengan positif, konstruktif disertai tanggung jawab untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan di bawah sorotan al-Qur’an.

Lebih jauh, pesantren juga kerap dilihat sebagai suatu sistem pendidikan yang bersifat “isolasionis”. Sistem pesantren, kadang-kadang juga dianggap “konservatif”, dalam arti bahwa pesantren kurang peka terhadap perubahan tuntutan zaman dan masyarakat. Namun agaknya kelahiran sosok pesantren yang menampakkan wajah-wajah yang isolatif terhadap dunia luar ini, ternyata adalah sebagai akibat kebijakan politik kolonial Hindia Belanda terhadap Islam. Dengan politik deislamisasi dan sekularisasi, peran kiai disisihkan dari percaturan proses pengambilan keputusan, baik di bidang keagamaan maupun dalam memutuskan kebijakan nasional.
Karena kebijakan politik keagamaan yang diputuskan kolonial Belanda dirasakan sangat merugikan kepentingan umat Islam, maka perlawanan kelompok yang tidak memiliki kekuatan senjata adalah dengan membangun institusi-institusi pesantren yang akhirnya memiliki karakter berbeda dengan dunia luar. Sebagaimana dikemukakan Hadimulyo bahwa pondok pesantren dilahirkan sebagai counter culture terhadap budaya yang pada waktu itu mendominasi oleh budaya Belanda.
Terlepas dari berbagai kelemahan yang melekat dalam pesantren tersebut, namun ia telah memegang peranan yang sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perang-perang pemberontakan yang dilakukan umat muslim melawan kolonial Belanda di Indonesia pada abad ke-19, seperti Perang Padri (1821-1837) di Sumatera Barat, Perang Diponegoro (1825-1930) di Jawa Tengah, dan Perang Aceh (1873-1912) di Sumatera Utara, sampai perlawanan-perlawanan rakyat yang bersifat lokal yang tersebar di mana-mana, tokoh-tokoh pesantren atau alumni-alumninya memegang peranan utama.
Dari statistik resmi pemerintah Hindia Belanda sebagaimana dilaporkan Van der Chijs, jumlah lembaga pendidikan Islam sebanyak 1.853 dengan murid 16.556 orang pada tahun 1831. Jumlah ini melonjak drastis pada tahun 1885 ketika Van den Berg melaporkan bahwa terdapat 14.929 di seluruh Jawa dan Madura (kecuali Kesultanan Yogyakarta) dengan jumlah murid kurang lebih berjumlah 222.663.
Van der Berg secara kritis data statistik pada tahun 1885 tersebut. Berg melihat bahwa terdapat perbedaan atau tingkatan dalam sistem pendidikan Islam tradisional di atas. Berdasarkan analisanya, ia berpendapat bahwa 4/5 dari jumlah lembaga tersebut meruapakan lembaga pengajian dasar yang mengajarkan al-Qur’an, kemudian 3000 dari jumlah tersebut merupakan pendidikan menengah yang mengajarkan dasar-dasar bahasa Arab dan kitab-kitab pengetahuan agama dasar, antara lain kitab Safinah al-Najah, Sullam al-Taufiq dan Syarah al-Sittin. Kemudian 300 adalah dari jumlah tersebut adalah lembaga pendidikan Islam yang dinamakan pesantren. Pesantren-pesantren ini mengajarkan pendidikan tingkat tinggi mengenai kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning). Untuk lembaga-lembaga tingkat dasar dan menengah banyak terdapat murid-murid perempuan, sedangkan lembaga-lembaga pesantren menyediakan pendidikan hanya untuk murid laki-laki.
Dari gambaran yang dikemukakan di atas, nampak sekali bahwa terjadi lonjakan jumlah lembaga pendidikan Islam ini, memang cukup signifikan. Data ini – walaupun terbatas di Jawa – juga menjelaskan bahwa kondisi pendidikan Islam pada abad ke-19, terus berkembang dan tumbuh secara positif.
Terjadinya lonjakan jumlah lembaga-lembaga pendidikan Islam ini dikarenakan jumlah jamaah haji meningkat dengan sangat signifikan segera setelah Belanda mencabut resolusi-resolusi haji tahun 1825, 1831 dan Ordonansi 1859, dan dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869 yang memperlancar hubungan antara kota suci Mekkah dengan Indonesia.
Perkembangan lain, sebagai akibat dari bertambahnya jumlah haji, guru-guru ngaji dan murid-murid pesantren, di akhir abad ke-19 ini, adalah tumbuh pula kesadaran bahwa Islam dapat pula memberikan sumbangan terhadap tumbuhnya rasa kebangsaan. Keadaan sosial ekonomi, kebudayaan dan politik di Jawa Sebagai akibat politik Belanda menumbuhkan kesadaran kebangunan Islam. Menurunnya peran pemimpin pribumi sebagai akibat dari konsolidasi kekuasaan Belanda – di mana dapat dikatakan bahwa para pemimpin pribumi ini akhirnya hanya sekedar menjadi alat Belanda – telah memperdalam jurang antara rakyat dan pemimpin pribumi.
Di samping itu akibat kemajuan di bidang transportasi, hubungan umat Islam dengan dunia luar, terutama Mekkah menjadi leluasa, dan hal ini semakin memperlancar proses penyebaran Islam. Pada akhir-akhir abad ke-19 ini, intensitas kehidupan beragama umat Islam di Jawa mengalami peningkatan. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya orang yang melakukan sembahyang lima waktu, jemaah haji dan yang mengikuti pendidikan agama Islam. Demikian pula jumlah organisasi-organisasi tarekat, buku-buku agama dan selebaran-selebaran yang berisi khutbah Jum’at.
Perkembangan yang cukup penting lainnya ialah sejak pertengahan abad ke-19 banyak sekali anak-anak muda Nusantara yang tinggal menetap beberapa tahun di Mekkah dan Madinah untuk memperdalam pengetahuan mereka. Bahkan banyak di antara mereka yang menjadi ulama terkenal dan mengajar di Mekkah dan Madinah. Karena para ulama ini akhirnya turut aktif dalam alam intelektualisme dan spiritualisme Islam yang berpusat di Mekkah. Mereka juga ikut memengaruhi perubahan watak Islam di tanah air mereka.
Perkembangan ini tidak terlepas dari kemajuan transportasi pada waktu itu, pada satu sisi, dan perubahan kebijakan-kebijakan kolonial Belanda terhadap Islam, pada sisi yang lain. Dua kenyataan ini seolah telah membuka jalan bagi Islam di Indonesia untuk memasuki babak baru pada awal abad ke-20.
B. Pendidikan Islam Awal Abad Ke-20
Pada permulaan abad ke-20 (1900), semangat nasionalisme muncul di berbagai wilayah di Nusantara. Pergerakan-pergerakan baik melalui individu dan kelompok yang terhimpun dalam organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga mulai menggema, baik yang bercorak kebangsaan maupun keagamaan. Demikian pula tokoh-tokoh pendidikan Islam pada masa itu merasa bertanggung jawab untuk memperbaharui sistem pendidikan Islam yang telah ada. Steebrink menggambarkan bahwa pada awal abad ke-20 tersebut telah terjadi apa yang disebutnya sebagai kebangkitan, pembaharuan (renaissance) atau bahkan pencerahan.
Sebelum abad ke-20, lembaga pendidikan Islam formal yang disebut madrasah belumlah dikenal di kepulauan Nusantara sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Madrasah dalam tradisi pendidikan Islam Indonesia adalah fenomena baru yang baru muncul seiring dengan menjamurnya organisasi-organisasi sosial keagamaan yang bergerak dalam bidang pendidikan pada awal-awal abad ke-20. Padahal dalam catatan sejarahnya, lembaga pendidikan Islam yang bernama madrasah ini di Timur Tengah telah dikenal setidaknya pada abad ke-11 Masehi atau abad ke-4 Hijriyah yang dipopulerkan oleh seorang wazir (perdana menteri) dinasti Saljuq, Nizham al-Mulk (w. 485/1092). Tradisi keilmuan di madrasah ini adalah ilmu-ilmu agama, dengan penekanan khusus pada bidang fiqh, tafsir dan hadis.
Sadar akan kenyataan di atas, tidak heran apabila Maksum berasumsi bahwa madrasah di Indonesia bukanlah madrasah dalam tradisi Islam pada abad ke-11 seperti di Timur Tengah tersebut. Bahkan lebih jauh ia menduga, jangan-jangan pesantren di Indonesia merupakan nama lain madrasah tersebut. Karena, menurutnya lebih jauh, kehadiran madrasah pada awal abad ke-20 di Indonesia sangat dimungkinkan terpengaruh oleh para pembaharu di Timur Tengah masa modern.
Memang sulit untuk disangkal bahwa para pembaharu di Indonesia pada kenyataannya justeru terpengaruh oleh gagasan-gagasan pembaharuan dari Timur Tengah, terutama gagasan-gagasannya Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Dalam banyak ulasan disebutkan bahwa sejumlah tokoh pembaharu di Indonesia pada awal abad ke-20 membaca secara rutin majalah al-Manar yang sekaligus merangsang mereka untuk melaksanakan pembaharuan melalui perkumpulan-perkumpulan di tanah air. Penyebaran pembaharuan tersebut berjalan lebih intensif lagi setelah muncul majalah berbahasa Melayu, al-Imam di Singapura antara 1906-1917, dan al-Munir di Padang antara 1911-1916.
Munculnya gerakan-gerakan pembaharuan yang memunculkan lembaga pendidikan Islam yang baru ini, menurut Azyumardi Azra, adalah untuk menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen. Di mata umat Islam, pemerintah kolonial sering dituduh sebagai pemerintahan Kristen. Sekolah-sekolah Kristen yang umumnya diberi subsidi oleh pemerintah kolonial, sering mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi murid-murid Islam. Sekolah negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda suatu aliran gereja. Semua ini ikut merangsang para pembaharu untuk mereformasi sistem pendidikan tradisional yang ada dengan maksud untuk menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen tersebut.
Kelahiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam ini juga berlandaskan pada beberapa alasan berikut:
1. Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam.
2. Usaha penyempurnaan sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah.
3. Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau dengan Barat sebagai sistem pendidikan mereka.
4. Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.
Sedangkan Maksum, yang secara khusus meneliti mengenai lembaga pendidikan madrasah ini, berpendapat bahwa kelahiran madrasah di Indonesia dapat dikembalikan pada dua situasi, yaitu: a) adanya gerakan pembaruan dalam Islam di Indonesia, dan b) adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda.
Situasi yang pertama, yakni adanya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia yang muncul pada awal abad ke-20 tersebut, dilatarbelakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks. Steenbrink mengidentifikasi adanya empat faktor yang mendorong gerakan pembaharuan di Indonesia, antara lain: a) faktor keinginan untuk kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis; b) faktor semangat nasionalisme dalam melawan penjajah; c) faktor memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik; d) faktor pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Selanjutnya Steenbrink menjelaskan bahwa kaum pembaharu dan gerakan pembaharuan ini dipengaruhi oleh salah satu dari empat faktor tadi. Ia mengaku bahwa sepanjang penelitiannya tidak ada contoh yang sempurna di Indonesia dalam arti gerakan pembaharuan yang menerima empat dorongan sekaligus.
Bagi tokoh-tokoh pembaharu, pendidikan kiranya senantiasa dianggap sebagai aspek yang strategis untuk membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat. Dari pandangan seperti inilah kemudian pada gilirannya mendorong mereka untuk memperbaharui sistem pendidikan Islam tradisional yang ada sehingga menghasilkan bentuk-bentuk lembaga pendidikan Islam baru, yaitu madrasah. Sebagaimana dikatakan oleh Maksum dengan mengambil kasus Minangkabau, Sumatera Barat: ”Untuk mempertahankan pendirian masing-masing kelompok, lembaga-lembaga pendidikan dijadikan sebagai alat sosialisasi ide dan bahkan mobilisasi massa. Dalam hal ini, Kaum Muda menjadikan madrasah sebagai pusat konsolidasi ide dan mobilisasi massa, sedangkan Kaum Tua menjadikan surau sebagai pusat kepentingan yang sama.”
Situasi yang kedua, yaitu adanya respons terhadap politik pendidikan Hindia Belanda, adalah kenyataan akan sekolah-sekolah sekuler kolonial Belanda yang semakin merakyat dan adanya sikap diskriminatif dari pemerintah terhadap rakyat pribumi dengan membiarkan mereka terbatas untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi, dan untuk menjaga mereka agar tetap tenggelam dalam kebodohan.
Dari sudut ini, pendidikan Islam memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kecerdasan mereka atas prinsip persamaan sebagaimana yang menjadi asas ajaran Islam. Namun di pihak lain, pendidikan Islam sudah saatnya menawarkan pola pendidikan yang lebih maju, baik dalam hal kelembagaan, struktur materi, maupun metodologinya, sehingga dapat mengimbangi sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Tercatat dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia, tokoh-tokoh dan organsasi-organisasi yang telah berjasa dalam mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia pada beberapa dekade awal abad ke-20, di antaranya adalah Abdullah Ahmad, salah seorang lokomotif pembaharuan di Minangkabau. Menurut Mahmud Yunus, dialah yang pertama kali menerapkan sistem klasikal, dan menggunakan bangku, meja dan papan tulis di lembaganya, yaitu Sekolah Adabiyah (Adabiyah School) yang didirikan pada tahun 1907.
Untuk menandingi sekolah-sekolah umum terutama HIS yang didirikan pemerintah, Adabiyah dihidupkan dengan mengadopsi secara mutlak sistem dan metode pendidikan Belanda. Bedanya hanyalah di sekolah ini diajarkan agama Islam sebagai mata pelajaran wajib. Lebih jauh lagi, namanya pun pada tahun 1915 diubah menjadi Hollandsch Maleische School atau Hollandsch Inlandsche School Adabiyah (HMS atau HIS Adabiyah). Oleh karena itu tidak heran apabila salah seornag muridnya, KH. Zarkasyi – juga pendiri Pondok Modern Gontor Ponorogo – berkomentar: “Abdullah Ahmad bukanlah seorang modernisator, melainkan seorang Hollandisator.” Sebenarnya, perubahan menjadi HIS Adabiyah ini lebih disebabkan pertimbangan politis untuk mengurangi kecurigaan pemerintah colonial Hindia Belanda.
Menurut Stoddard, sebagaimana dikutip Muhaimin, lembaga pendidikan HIS Adabiyah ini merupakan starting point adab baru dalam pembaharuan pendidikan yang memengaruhi berdirinya lembaga pendidikan Islam modern yang tidak hanya terbatas pada tingkat sekolah dasar, tetapi juga sekolah menengah pertama dan atas, sampai tingkat tinggi dengan berbagai nama.
Seorang pembaharu lainnya adalah Syekh Muhammad Thaib Umar yang mendirikan Madras School di Sungayang, Batu Sangkar Sumatera Barat, pada tahun 1910. Sekolah ini hanya terdiri dari satu kelas saja, dan bahkan pada tahun 1913 sekolah ini tutup karena kekurangan guru. Namun Mahmud Yunus menghidupkan kembali sekolah tersebut pada tahun 1918 dengan nama Diniyah School, selanjutnya tahun 1931 diubah lagi namanya dengan al-Jami’ah al-Islamiyah.
Pada tahun 1915, berdiri pula Diniyah School yang didirikan oleh Zaenuddin Labai el-Yunusi. Sekolah ini adalah kebalikan dari Sekolah Adabiyah dalam penekanannya pada mata pelajaran. Yang pertama, sebagai lembaga pendidikan agama plus umum, sedangkan yang disebut terakhir, yakni Adabiyah School, sebagai lembaga “pendidikan umum” plus agama. Sambutan masyarakat umumnya baik terhadap usaha Zaenudin Labai ini, seperti tampak pada tahun 1922, telah ada 22 sekolah dengan nama yang sama berdiri di Minangkabau.
Diniyah Putri kemudian berdiri pula di Padang Panjang pada tahun 1923 oleh Rahmah el-Yunusiyah yang merupakan madrasah putri pertama di Indonesia, yang bertujuan untuk memberi kesempatan yang lebih luas kepada pelajar putri yang akan menyiapkan mereka menjadi warga yang produktif dan muslim yang baik.
Organisasi pendidikan Islam Sumatera Thawalib semakin mewarnai perkembangan pendidikan Islam modern di Minangkabau, ketika ia membuka madrasah pada tahun 1920 di Padang Panjang di bawah pimpinan Syekh Abdul Karim Amrullah. Semula Sumatera Thawalib merupakan surau dengan nama Sumatera Thuwailib, kemudian terjadi penggabungan dengan surau di Bukittinggi Syekh Ibrahim Musa Parabek, dan sekaligus mengubah nama menjadi Sumatera Thawalib. Selanjutnya, berdiri pula Sumatera Thawalib di Padang Japang, Sungayang/Batu Sangkar dan Maninjau, sehingga Sumatera Thawalib terdapat di lima lokasi.
Gagasan untuk membentuk organisasi ini bermula dilontarkan oleh Bagindo Djamaluddin Rasyad pada tahun 1915 dalam sebuah rapat umum (tabligh) di Padang Panjang. Ia berbicara tentang manfaat yang dapat diperoleh apabila para pelajar membuat organisasi. Meskipun sosok Bagindo ini yang baru kembali dari Eropa tidak diterima para pelajar Surau Jembatan Besi, karena tidak memakai peci (sebagai lambing orang Islam), akan tetapi gagasannya itu membuat para pelajar Surau Jembatan Besi – yang didirikan oleh Syekh Haji Rasul (Abdul Karim Amrullah) – berpikir tentang usaha mendirikan sebuah organisasi yang kemudian ditindaklanjuti oleh inisiatif Haji Habib.
Perkembangan pendidikan Islam modern di Minangkabau jumlahnya semakin banyak setelah organisasi Muhammadiyah berdiri di Minangkabau pada tahun 1925. Bahkan Muhammadiyah pada akhirnya mengungguli jumlah-jumlah yang dimiliki oleh organisasi-organisasi keagamaan di Minangkabau, seperti terlihat pada jumlah di tahun 1933 berikut ini: Muhammadiyah (122), Persatuan Muslimin Indonesia (4), Diniyah (120), Thawalib (44), Pendidikan Islam Indonesia (45) dan sekolah yang tidak berafiliasi (878).
Di daerah Jawa, gema pembaharuan pendidikan Islam juga tidak kalah nyaringnya dengan di Minangkabau, atau bahkan mungkin lebih gencar, karena ia merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda yang diasumsikan bahwa perubahan akan lebih cepat terjadi di daerah ini. Hal ini terbukti dengan berdirinya organisasi al-Jami’at al-Khairiyah – lebih dikenal dengan Jami’at Khair – yang berdiri pada tanggal 17 Juli 1905, di Jakarta, yang memulai organisasi dengan bentuk modern dan mendirikan sekolah dengan cara-cara modern (sistem klasikal, kurikulum, bangku-bangku dan papan tulis).
Tampilnya Jami’at Khair dalam gerakan pendidikan Islam ini terasa penting karena organisasi ini termasuk modern dalam masyarakat waktu itu. komodernan organisasi ini terlihat dalam anggaran dasar, daftar anggota yang tercatat, dan juga mengadakan rapat-rapat. Organisasi ini juga merupakan organisasi yang pertama yang didirikan oleh orang bukan Belanda yang seluruh kegiatannya diselenggarakan berdasarkan sistem Barat. Dengan demikian, organisasi ini memenuhi persyaratan untuk mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah.
Perpecahan di tubuh Jami’at Khair melahirkan organisasi baru yaitu al-Irsyad – lengkapnya Jami’ah al-Islam wa al-Irsyad al-Arabiyah – yang menjuruskan perhatiannya pada bidang pendidikan. Al-Irsyad didirikan pada tahun 1913 dan baru mendapatkan pengesahan dari pemerintah pada tanggal 11 Agustus 1915.
Pada tahun 1913 al-Irsyad mendirikan sebuah perguruan modern di Jakarta, dengan sistem kelas, dan materi pelajarannya adalah pelajaran umum dan pelajaran agama. Di samping itu juga, ia mendirikan sekolah guru dan kursus yang bersifat khusus. Semua sekolah ini memiliki kurikulum yang tidak berbeda dengan kurikulum sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah, namun ada tambahan pelajaran bahasa Arab.
Kemudian, al-Irsyad juga melakukan pemberian beasiswa pada tahun 1930-an kepada beberapa lulusannya untuk belajar di luar negeri terutama di Mesir. Meskipun mereka pada akhirnya tidak banyak memberikan kontribusi setelah mereka pulang. Namun upaya pemberian beasiswa itu merupakan langkah yang maju pada waktu itu.
Guru-guru yang terkenal dari al-Irsyad, selain Syekh Ahmad Surkati, juga terdapat Syekh Ahmad al-Aqib al-Anshari lulusan al-Azhar Kairo, Abdul Fadlil al-Anshari lulusan College Gordon Sudan, Muhammad al-Hasyimi lulusan al-Zaitun Tunisia, Muhammad al-Attas lulusan Kuliah Teknik Turki, Syaikh Abdurrahim lulusan hakim agama Kairo dan lain-lain.
Di Majalengka, Jawa Barat, berdiri organisasi Perserikatan Ulama, didirikan oleh K.H.A. Halim pada 1911. Halim lahir di Ciberelang, Majalengka pada tahun 1887, orang tuanya berasal dari keluarga yang taat beragama. Halim pergi ke Mekkah untuk memperdalam pelajarannya pada usia 22 tahun.
Kegiatan yang paling menonjol di bidang adalah mendirikan lembaga pendidikan yang bernama Santi Asrama pada tahun 1932, di samping sekolah-sekolah seperti yang didirikan oleh al-Irsyad.
Didirikannya Santi Asrama oleh K.H.A. Halim ini, dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk memberikan bekal keterampilan kepada murid-muridnya. Dengan begitu, di samping kurikulum biasa, seperti terdapat pada sekolah-sekolah lain dari Perserikatan Ulama – pelajaran umum dan agama – pelajar-pelajar Santi Asrama dilatih pertanian, pekerjaan tangan (kayu dan besi), menenun dan mengolah berbagai bahan, seperti membuat sabun. Pendidikan di Santi Asrama ini terdiri dari 3 bagian: tingkat permulaan, dasar dan lanjutan. Murid-murid Santi Asrama ini harus tinggal di asrama dengan disiplin yang ketat.
Yang menarik dari K.H.A. Halim yaitu bahwa ide-ide pembaharuannya tidak merubah sikapnya dari keterikatan terhadap madzhab Syafi’i. Dia mendapatkan pendidikannya di Mekkah, membaca kitab-kitab Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani, teapi dia mengaku bukan itu yang mengilhami gagasan-gagasan pembaharuannya. Dia lebih melihat lembaga pendidikan di Bab al-salam dekat Mekkah dan sebuah lagi di Jeddah, yang telah menghapuskan sistem halaqah dan menggunakan sistem klasikal dengan bangku dan meja, sebagai yang mengilhami gagasan pembaharuannya di bidang pendidikan.
Di Sumatera Barat pada tahun 1928, berdiri PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), dipelopori oleh Sulaiman ar-Rasuli, pemiliki surau di Candung. Pada tahun 1942, sudah terdapat 300 sekolah PERTI dengan 45.000 murid.
Akan tetapi, kendati telah menggunakan sistem klasikal, madrasah PERTI ini isi pendidikan belum dilakukan perubahan. Sampai pada tahun 1947 sekolah PERTI yang memasukkan mata pelajaran umum belum begitu banyak. Organisasi ini juga bergerak di luar bidang pendidikan, khususnya membangun masjid dan sejumlah tempat yatim piatu.
Di Sumatera Utara, khususnya di kota Medan, atas prakarsa guru-guru dan pelajar Maktab Islamiyah Tapanuli pada tahun 1930 didirikanlah organisasi al-Jami’ah Washliyah. Organisasi ini juga banyak bergerak dalam bidang pendidikan. Tiga orang yang merupakan pendorong paling penting dalam perkumpulan ini, yaitu: Abdurrahman Syihab, Udin Syamsuddin dan Arsyad Thalib Lubis.
Pada permulaan tahun 1933, dibentuk sebuah komisi yang bertugas mengadakan inspeksi ke semua madrasah Jami’atul Washliyah setiap enam bulan sekali, dan pada tahun 1934 disusun peraturan umum untuk inspeksi madrasah.
Organisasi ini mendirikan dua sistem pendidikan. Di satu pihak mendirikan sekolah-sekolah yang memakai sistem pendidikan gubernemen, di samping mengajarkan mata pelajaran umum juga mengajarkan mata pelajaran agama. Selain itu, didirikan juga madrasah yang khusus menitikberatkan mata pelajaran agama.
Organisasi berikutnya yang juga besar peranannya dalam bidang pendidikan Islam di Sumatera Utara ialah al-Ittihadiyah. Organisasi ini didirikan pada tahun 1932, mengasuh sejumlah sekolah, mulau dari tingkat dasar, menengah pertama dan atas, banyak tersebar di Kotamadya Medan, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten lainnya di Sumatera Utara.
Nahdatul Ulama yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 bertepatan dengan 16 Rajab 1444 Hijriyah oleh kalangan ulama penganut madzhab yang seringkali menyebut dirinya sebagai golongan ahlussunnah Waljama’ah yang dipelopori oleh K.H. Hasrim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah.
Berdirinya gerakan NU tersebut adalah sebagai reaksi terhadap gerakan reformasi dalam kalangan umat Islam Indonesia, dan berusaha mempertahankan salah satu dari empat madzhab dalam masalah yang berhubungan dengan fiqh, yakni madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan dalam hal i’tiqad, NU berpegang pada aliran Ahlussunah Waljama’ah. Dalam konteks ini, NU memahami hakikat Ahlussunnah Waljama’ah sebagai ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya.
Organisasi sosial keagamaan ini memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan, khususnya pendidikan tradisional yang harus dipertahankan keberadaannya. Pendidikan yang diselenggarakannya adalah pesantren, madrasah dan sekolah.
Pesantren yang pertama kali berada di bawah naungan NU adalah pesantren Tebuireng yang didirikan pada tahun 1899, sebab pemilik dan pengasuh pesantren ini adalah salah seorang pendiri NU tersebut, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Pada tahun 1919, di lingkungan pesantren Tebuireng dibuka Madrasah Salafiyah atau Madrasah Diniyah degan sistem klasikal, walaupun materi pelajarannya masih 100% pengetahuan agama. K.H. Mohammad Ilyas, salah seorang keponakan K.H. Hasyim Asy’ari, berusaha keras untuk memasukkan pengetahuan umum ke dalam kurikulum madrasah di samping memasukkan surat kabar dan majalah untuk dibaca oleh para santri. Dia juga mengintensifkan pengajaran bahasa Arab dengan sasaran mampu membaca, berbicara dan menulis.
Kemudian, organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia adalah Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan pada 18 November 1912 oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan beserta teman-temannya. Organisasi ini bermaksud menyebarkan pengajaran kanjeng nabi Muhammad kepada penduduk bumiputra dan memajukan hal agama Islam kepada anggotanya. Untuk kepentingan itu, maka didirikanlah lembaga-lembaga pendidikan.
Tujuan pendidikan Muhammadiyah ini adalah terwujudnya manusia muslim, berakhlak, cakap, percaya kepada diri sendiri, berguna bagi masyarakat dan negara.
Ada dua jenis sekolah yang diasuh Muhammadiyah. Pertama, sekolah-sekolah umum berbasis mata pelajaran umum dengan menambah mata pelajaran agama (met de Qur’an) sebagai ciri khas yang wajib diberikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Kedua, sekolah-sekolah agama yang berbasis ilmu-ilmu keagamaan, yang kemudian digolongkan dalam kelompok madrasah. Madrasah Muhammadiyah ini dibagi kepada tingkat dasar, menengah pertama dan menengah atas.
Sekolah yang berbasis mata pelajaran umum, misalnya Taman Kanak-kanak (Bustanul Athfal), Vervolgschool 2 tahun, Schakelschool 4 tahun, HIS 7 tahun, Mulo 3 tahun, AMS 3 tahun dan HIK 3 tahun. Sedangkan sekolah-sekolah yang berbasis ilmu-ilmu keagamaan, yaitu Madrasah Ibtidaiyah 3 tahun, tsanawiyah 3 tahun, Muallimin/Muallimat 5 tahun dan Kulliyatul Muballighin (SPG Islam) 5 tahun.
Pada tahun 1925, organisasi ini telah mempunyai 29 cabang dengan beranggotakan 4000 orang. Sedangkan kegiatan-kegiatannya dalam pendidikan meliputi delapan Hollands Inlansche School, sebuah sekolah guru di Yogyakarta, 32 buah sekolah dasar lima tahun, sebuah Schakelschool, 14 madrasah, yang seluruhnya memerlukan 119 guru dengan 4000 murid. Pada tahun 1938 terdapat 852 cabang-cabang serta 898 kelompok (yang belum berstatus cabang), seluruhnya dengan 250.000 anggota. Ia pun memiliki 834 masjid dan langgar, 31 perpustakaan umum dan 1.774 sekolah.
Di Bandung, Jawa Barat, juga dirikan Persatuan Islam (Persis) pada permulaan tahun 1920. Tokoh paling masyhur dari organisasi ini adalah Ahmad Hassan yang lahir di Singapura pada tahun 1887, berasal dari keluarga campuran Indonesia dan India. Tokoh lainnya adalah Muhammad Natsir, lahir di Alahan Panjang (Sumatera Barat) pada tanggal 17 Juli 1908. Atas upaya Natsir didirikan sebuah lembaga pendidikan yang mengasuh Sekolah Taman Kanak-kanak, HIS, MULO dan sebuah Sekolah Guru. Di samping sekolah-sekolah tersebut, Persis juga mendirikan sebuah pesantren di Bandung pada bulan Maret 1936. Kemudian pesantren ini dipindahkan ke Bangil (Jawa Timur), ketika Hassan pindah ke sana dengan membawa 25 siswa dari 40 siswa dari Bandung.
Pembaharuan-pembaharuan pendidikan Islam pada awal-awal abad ke-20 juga terlihat di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Tetapi secara umum memiliki pola dan format yang tidak jauh berbeda, baik di luar Jawa maupun di Jawa. Dalam konteks ini, Azyumardi Azra mengatakan bahwa pembaharuan pendidikan Islam tersebut telah memunculkan dua bentuk kelembagaan pendidikan modern Islam, yaitu: Pertama, sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam; kedua, madrasah-madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda. Contoh dari bentuk pertama misalnya, Sekolah Adabiyah dan sekolah-sekolah umum (tetapi met de Qur’an); sedangkan contoh yang kedua adalah Sekolah Zainuddin Labay el-Yunusi, Sumatera Thawalib, atau madrasah-madrasah al-Jami’at al-Khairiyah dan kemudian juga madrasah al-Irsyad.
1. Dasar dan Tujuan
Dasar-dasar pendidikan Islam, secara prinsipil diletakkan pada dasar-dasar ajaran Islam dan seluruh kebudayaannya. Dasar-dasar pembentukan dan pengembangan pendidikan Islam yang pertama dan utama tentu saja adalah al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an misalnya memberikan prinsip yang sangat penting bagi pendidikan, yaitu penghormatan kepada akal manusia, bimbingan ilmiah, tidak menentang fitrah manusia, serta memelihara kebudayaan sosial.
Dasar pendidikan Islam selanjutnya adalah nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah atas prinsip mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudharatan bagi manusia. dengan dasar ini, maka pendidikan Islam dapat diletakkan dalam kerangka sosiologis, selain menjadi sarana transmisi pewarisan kekayaan sosial budaya yang positif bagi kehidupan manusia.
Kemudian, warisan pemikiran Islam juga merupakan dasar penting dalam pendidikan Islam. Dalam hal ini, hasil pemikiran para ulama, filosof, cendekiawan muslim, khususnya dalam pendidikan menjadi rujukan penting. Walaupun pemikiran-pemikiran mereka tidak lain merupakan refleksi terhadap ajaran-ajaran pokok Islam.
Adapun tujuan utama pendidikan Islam adalah melahirkan jenis manusia tertentu yang tertanam dalam dirinya kepedulian spiritual, moral, dan sosial – yakni orang-orang yang digerakkan semangat Islam. Dhofier dalam hal ini mengatakan:
Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap murid diajar agar menerima etik agama di atas etik-etik lain.

Tujuan tersebut sangatlah berlawanan dengan tujuan pendidikan colonial Belanda yang hanya menekankan aspek keduniawian belaka dengan mengabaikan aspek-aspek moralitas dan spiritualitas. Tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah upaya menyeimbangkan antara aspek keduniawian dengan aspek keakhiratan, sebagaimana kurang-lebih dikatakan Azyumardi Azra dalam kutipan berikut ini:
… Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam; yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat. Dalam konteks sosial – masyarakat, bangsa dan negara – maka pribadi yang bertaqwa ini menjadi rahmatan lil’alamin, baik dalam skala kecil maupun skala besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.

Dengan demikian, dapatlah dipahami apabila para pembaharu pendidikan Islam di Indonesia pada awal-awal abad ke-20 tersebut, berupaya untuk mengkombinasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu agama di dalam lembaga-lembaga pendidikan mereka. Hal tersebut tiada lain adalah untuk melahirkan manusia-manusia, yang di satu sisi tidak tertinggal dalam masalah keduniawian, dan di sisi lain juga tidak melepaskan keimanan mereka.
2. Murid-murid
Dalam sejarahnya, pendidikan Islam tidak mengenal adanya diskriminasi-diskriminasi sebagaimana dipraktekkan oleh sistem pendidikan colonial Belanda. Pandangan kesetaraan ini tercermin dari ungkapan Syaikh Ahmad Soorkati – yang dikutip Deliar Noer – yang mengemukakan bahwa Islam memperjuangkan persamaan sesama muslim dan tidak mengakui kedudukan yang mendiskriminasikan berbagai kalangan, disebabkan oleh darah keturunan, harta ataupun pangkat.
Ketika Ahmad Soorkati mendirikan al-Irsyad, murid-murid pada tingkat dasar bahkan terdapat seorang anak muda yang berumur 18 atau 19 tahun duduk berdampingan dengan seorang anak yang berumur 8 atau 9 tahun dalam satu kelas. Walaupun kemudian pada tahun 1924 keluar peraturan bahwa hanya anak-anak yang berumur di bawah 10 tahun yang diterima pada kelas satu sekolah dasar. Deliar Noer menggambarkan keadaan murid-murid di salah satu lembaga pendidikan Islam ini sebagai berikut:
Murid-murid al-Irsyad, pada tahun-tahun pertama ia dirikan, terdiri dari anak-anak kalangan Arab dan sebagian juga (walau dalam jumlah yang lebih kecil) anak-anak Indonesia asli dari Sumatera dan Kalimantan. Kemudian lebih banyak lagi anak-anak Indonesia yang masuk sekolah itu. dalam cabang-cabang di luar Jakarta dan Surabaya, murid-muridnya terdiri dari anak-anak keluarga setempat saja. Mereka banyak terdiri dari anak-anak penghulu. Pedagang dan guru-guru dan beberapa di antaranya anak-anak pegawai pemerintah.

Gambaran di atas agaknya cukup untuk membuktikan bahwa sistem pendidikan Islam tidak mengenal adanya diskriminasi-diskriminasi baik alasan ras, keturunan maupun status sosial.

C. Lembaga Pendidikan Islam Masa Pembaharuan Awal Abad ke-20
Sebelum gema pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia menemukan momentumnya pada awal abad ke-20, lembaga-lembaga pendidikan Islam masih bersifat non-formal yang berbentuk seperti langgar/surau/rangkang, dan pondok pesantren. Di antara ciri lembaga pendidikan non-formal ini ialah tidak tersusunnya kurikulum secara sistematis dan tidak adanya perencanaan yang teratur.
Baru setelah pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia mulai gencar dilakukan, maka lahirlah bentuk-bentuk lembaga pendidikan Islam formal, yakni madrasah. Kendati pada awal-awal abad ke-20 nama-nama lembaga pendidikan Islam itu berbeda-beda, namun agaknya para penulis sejarah pendidikan Islam di Indonesia sepakat untuk menyebutnya madrasah yang tumbuh pada periode pertumbuhannya. Memang hal ini dapat kita pahami, karena eksistensi madrasah-madrasah periode pertumbuhan antara satu sama lain masih terpisah-pisah.
Maksum yang secara khusus mengkaji lembaga pendidikan Islam yang satu ini, dalam disertasinya mengatakan:
Tidak diketahui secara pasti sejak kapan madrasah sebagai istilah – sebutan – untuk satu jenis pendidikan Islam digunakan di Indonesia. Untuk menelusuri hal ini agaknya diperlukan penelitian dan studi khusus yang serius. Namun demikian, madrasah sebagai satu sistem pendidikan Islam berkelas dan mengajarkan sekaligus ilmu-ilmu keagamaan dan non-keagamaan sudah tampak sejak awal abad ke-20. Meskipun sebagian di antara lembaga-lembaga pendidikan itu menggunakan istilah school (sekolah), tetapi dilihat dari sistem pendidikannya yang terpadu, lembaga pendidikan yang seperti itu biasa dikategorikan dalam bentuk madrasah.

Berdasarkan argumen di atas, maka kajian lembaga pendidikan Islam ini hanya akan mengambil salah satu contoh dari lembaga pendidikan Islam yang ada di Sumatera Barat dari segi jenjang pendidikan dan masa studi yang dihabiskan oleh setiap siswa pada setiap jenjangnya. Alasan diambilnya contoh dari daerah ini, selain kenyataan obyektif akan besarnya peran mereka dalam menumbuhkan sistem pendidikan Islam; juga alasan kebutuhan praktis akan penulisan ini.
Jenjang-jenjang dan masa belajar yang dihabiskan pada lembaga pendidikan Islam modern ini, dapat dilihat pada gambaran berikut ini:
1. Madrasah Awaliyah
Madrasah ini setingkat dengan sekolah dasar dengan lama belajar tiga tahun dan menerima murid yang berumur enam tahun.
2. Madrasah Ibtidaiyah
Madrasah ini setingkat dengan Schakelschool (Sekolah Peralihan) dengan lama belajar empat tahun dan menerima lulusan dari Madrasah Awaliah.
3. Madrasah Tsanawiyah
Madrasah yang sejajar dengan MULO ini memiliki masa studi tiga tahun dan merupakan pendidikan lanjutan dari Madrasah Ibtidaiyah.
4. Madrasah Mu’allimin (Guru Islam)
Contoh dari Madrasah ini misalnya Normal Islam, merupakan pendidikan lanjutan dari Madrasah Tsanawiyah dengan lama belajar 3 atau 4 tahun, dan sejajar dengan HIK (Hollandsch Indlandsche Kweekschool – Sekolah Pendidikan Guru).
5. Madrasah Islam Tinggi (Al-Jami’ah Islamiyah)
Setingkat dengan universitas ini, baru berdiri pada tanggal 9 Desember 1940, yang terdiri dari dua fakultas:
a. Fakultas Syari’at (Agama)
b. Fakuktas Pendidikan dan Bahasa Arab.
Lama belajar empat tahun dan merupakan kelanjutan bagi lulusan madrasah-madrasah Guru Islam.
Demikian gambaran tentang tingkatan-tingkatan pendidikan Islam pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Terlihat bahwa lembaga-lembaga pendidikan ini telah diatur secara sistematis yang dimulai dari tingkatan yang paling rendah (Madrasah Awaliyah) sampai tingkatan yang paling tinggi (Madrasah Islam Tinggi). Madrasah inipun telah menerapkan batasan-batasan umur dalam menerima siswa-siswanya, seperti terlihat pada jenjang pendidikan dasar Madrasah Awaliyah, yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam tradisional yang tidak mengenal batasan umur tersebut.

D. Kurikulum Madrasah Periode Pertumbuhan
Umumnya para penulis sejarah pendidikan Islam di Indonesia mengakui bahwa kurikulum yang dipakai madrasah-madrasah pada periode pertumbuhan juga tidak menunjukkan keseragaman. Dalam perbandingan antara bobot mata pelajaran agama dan umum menunjukkan perbedaan-perbedaan antara satu madrasah dengan madrasah lainnya. Mulyanto Sumardi menunjukkan perbandingan antara mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum yang dibuatnya dalam persentase berikut ini: 30:70, 40:50, 50:50 dan 70:30.
Namun demikian, di bawah dikemukakan rekapitulasi kurikulum untuk menggambarkan mata pelajaran-mata pelajaran yang terdapat dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam, dari tingkat Madrasah Awaliyah sampai tingkat Madrasah Mu’allimin, berikut ini:



Tabel 6
Mata Pelajaran Madrasah Awaliyah (1936)

M a t a P e l a j a r a n Kelas
I II III
Bahasa Indonesia 6 6 5
Bahasa Arab - 2 2
Agama 5 4 4
Berhitung 5 5 5
Ilmu Bumi - - 1
M e n u l i s 3 2 2
M e l a g u 1 1 1
Menggambar 1 1 1
Permainan (Gerak Badan) 2 2 2
23 23 23

Bahasa pengantar dalam Madrasah ini adalah bahasa Melayu kecuali dalam mata pelajaran bahasa Arab. Mata pelajaran diberikan 4 mata pelajaran setiap hari, kecuali hari Jum’at hanya 3 jam pelajaran dengan alokasi waktu @ 40 menit.
Tabel 7
Mata Pelajaran Madrasah Ibtidaiyah (1936)

M a t a P e l a j a r a n K e l a s
I II III IV
Bahasa Indonesia 2 2 2 2
Bahasa Belanda (Inggris) 5 5 5 5
Bahasa Arab:
1. Bercakap-cakap 3 3 2 2
2. Membaca 3 2 2 2
3. Dikte 2 1 1 1
4. Mahfuzhat 1 1 1 1
5. Sharaf dan Nahwu - 2 2 2
Agama:
1. Al-Qur’an 2 1 - -
M a t a P e l a j a r a n K e l a s
I II III IV
2. Tauhid 1 1 1 1
3. Fiqh-Ushul Fiqh 3 3 3 3
4. Tafsir dan Hadis - - 2 2
5. Tafsir dan Hadis - - 2 2
Berhitung 3 3 3 2
Ilmu Bumi 2 2 2 2
Sejarah - 1 2 2
Ilmu Alam 1 1 2 2
Menulis Arab dan Latin 2 2 1 1
Menggambar 1 1 1 1
Budi Pekerti (Akhlak) 1 1 - -
Memegang Buku - - - 1
34 34 34 34

Tabel 8
Mata Pelajaran Madrasah Tsanawiyah (1931)
M a t a P e l a j a r a n K e l a s
I II III IV
Agama:
1. Tafsir 2 2 2 2
2. Hadis/Musthalaah 1 1 1 1
3. Tauhid 1 1 1 1
4. Fiqh/Hikmah Tasyri 4 4 4 4
5. Ushul Fiqh 1 1 1 1
Bahasa Arab:
1. Membaca 2 2 2 2
2. Bercakap-cakap 1 1 1 1
3. Hafalan 1 1 1 1
4. Qawa’id/nahwu Sharaf 3 3 3 3
Tarikh Islam - 1 1 1
Sejarah Islam/Dunia 2 2 2 2
Ilmu Bumi/Falak 2 2 1 1
Ilmu Alam 2 2 2 2
Ilmu Tumbuh-tumbuhan 1 1 - -
Ilmu Hewan - - 1 1
Ilmu Berhitung 2 2 2 2
M a t a P e l a j a r a n K e l a s
I II III IV
Gerak Badan 1 1 1 1
29 29 29 29

Tabel 9
Mata Pelajaran Normal Islam (1931)
M a t a P e l a j a r a n K e l a s
I II III IV
Ilmu-ilmu Agama 6 6 5 4
Bahasa Arab:
1. Mengarang/Pidato 2 2 2 2
2. Muthalaah 2 2 2 2
3. Qawaid 2 2 2 2
4. Mahfuzhat 1 1 1 1
5. Adabul Lughah 2 2 2 2
Aljabar 2 2 2 2
Ilmu Ukur 1 1 1 1
Ilmu Alam/Kimia 2 2 2 2
Ilmu Hayat/Geologi 1 1 1 1
Ekonomi - - 1 1
Tarikh Islam 1 1 1 1
Sejarah Indonesia/Dunia 2 2 2 2
Ilmu Bumi/Falak 2 2 2 2
Tata Negara 1 1 - -
Bahasa Inggris/Belanda 3 3 3 3
Gerak Badan 1 1 1 1
Ilmu Pendidikan 2 2 3 4
Ilmu Jiwa - - 1 1
Ilmu Kesehatan 1 1 - -
Khat/Menggambar 1 1 1 1
34 34 34 34

Demikian kurikulum yang terdapat pada lembaga-lembaga pendidikan Islam pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Terlihat dengan jelas dari susunan di atas akan lebih mendominasinya mata pelajaran-mata pelajaran umum yang disajikan. Dari titik ini agaknya dapat dipahami komentar Taufik Abdullah mengenai pembaharuan di Minangkabau ini mewakili kecenderungan “sekularisasi”di dalam sistem pendidikan Islam, karena mata pelajaran-mata pelajaran umum (sekuler) terus menerus membengkak dalam komposisi kurikulum.

E. Metode Pengajaran dalam Sistem Pendidikan Islam
Proses belajar mengajar di lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional menggunakan metode pengajaran terutama hafalan, badongan/halaqah dan sorogan/individual. Metode-metode pengajaran ini terus bertahan, bahkan sampai saat ini, terutama yang sering terlihat di pesantren-pesantren salafiyah.
Berbeda dengan metode-metode pengajaran pada sistem pendidikan Islam tradisional tersebut, metode pengajaran pada sistem klasikal atau berkelas-kelas dan menggunakan fasilitas-fasilitas seperti bangku, meja dan papan tulis. Deliar Noer mengomentari penggunaan sistem dan fisilitas seperti itu bahwa, untuk masa-masa awal pembaharuan pendidikan Islam, bukanlah sesuatu yang mudah. Di samping setidaknya telah diketahui terlebih dahulu mengenai kegunaan sistem dan fasilitas seperti itu, juga harus mempunyai keberanian untuk mengesampingkan perasaan puas dengan sistem pendidikan yang terbiasa sebelumnya, untuk mencontoh sistem pendidikan Belanda yang orang Kristen itu.
Selanjutnya, di lembaga-lembaga pendidikan Islam modern juga telah mengganti kitab-kitab klasik yang dipakai di sistem pendidikan tradisional dengan kitab-kitab mutakhir. Sebagaimana dilakukan madrasah-madrasah diniyah di Minangkabau yang mengganti kitab al-Jurumiyah dalam bidang bahasa Arab dengan kitab Durus al-Nahwiyah dan Qawaid al-Lughah ‘Arabiyah, karya Mahmud Yunus yang disajikan dalam sistem modern. Pada kelas-kelas yang lebih tinggi, untuk hampir semua mata pelajaran digunakan kitab-kitab modern terbitan Mesir atau Beirut.
Demikian pula ukuran kemampuan murid tidak lagi diukur atas dasar kitab tingkatan kitab yang telah dibacanya, akan tetapi didasarkan atas ukuran kelas berapa ia duduk di salah satu jenjang pendidikan. Dengan kata lain, sementara di pendidikan Islam tradisional seseorang dapat mendudukkan derajat keilmuan orang lain berdasarkan tingginya nilai kitab klasik – atau kitab kuning – yang telah ia kuasai, di pendidikan Islam modern seseorang dinilai kemampuannya dengan melihat jenjang pendidikan yang telah dilewatinya.
BAB V
IMPLIKASI KEBIJAKAN POLITIK PENDIDIKAN HINDIA BELANDA BAGI PENDIDIKAN ISLAM
Setelah menelusuri berbagai kebijakan politik pendidikan kolonial Belanda dan perkembangan pendidikan Islam pada masa Hindia Belanda, maka pada Bab ini akan dilihat implikasi-implikasi kebijakan tersebut bagi pendidikan Islam di Indonesia. Implikasi-implikasi tersebut akan dilihat dari unsur-unsur dalam sistem pendidikan Islam, yakni: aspek kelembagaan, aspek kurikulum, aspek metode pengajaran dan aspek pendidik (guru agama Islam).

A. Implikasi pada Kelembagaan
Kebijakan politik pendidikan Hindia Belanda menimbulkan implikasi terhadap eksistensi lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia, baik dari sisi positif maupun negatif. Lembaga pendidikan Islam terus berkembang dan tumbuh sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Sebelum abad ke-20, lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti langgar, masjid, surau, dayah/meunasah dan pesantren, merupakan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang mengisi catatan lembaran-lembaran sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut, mendapatkan tantangannya dengan kehadiran lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh kolonial Belanda yang berbeda yang kemudian dikenal dengan nama sekolah.
Sebagai lembaga pendidikan, sekolah-sekolah itu pada umumnya mencerminkan kekuatan dan kepentingan pemerintah kolonial. Pendidikan mulai dari tingkat bawah sampai yang tertinggi tidaklah dimaksudkan untuk mencerdaskan orang-orang (murid) Indonesia, melainkan tak lebih daripada sekedar memberi kesempatan kepada keluarga golongan tertentu yang dipercaya untuk ikut serta mempertahankan kelangsungan kekuasaan kolonial. Sebab itu, walaupun sistem pendidikan yang dikembangkan sedikit banyak telah memberi peluang bagi anak-anak bumiputra – tentu saja sebagai hasil interaksi antara penguasa kolonial dan penduduk setempat – sekolah-sekolah yang didirikan terutama berfungsi untuk tujuan memenuhi kepentingan kolonial. Yang terpenting dalam hubungan ini ialah untuk mengisi kekurangan tenaga pegawai dalam birokrasi kolonial di tingkat bawah (lokal), atau menjadi pegawai pada perusahaan-perusahaan industri dan perdagangan swasta yang erat hubungannya dengan pemerintah.
Implikasi lebih jauh dari kebijakan seperti itu, telah melahirkan tambahan kondisi sosial-budaya baru yang juga harus diperhitungkan. Kebijakan menjalankan kolonial secara tidak langsung (dengan menggunakan kelas elit tradisional setempat sebagai perantara) telah mengakibatkan susunan kemasyarakatan yang semakin diskriminatif. Pembagian kelas atas-bawah tradisional (antara lain sebagai sisa sistem kasta) semakin dipertajam dengan adanya kesenjangan yang semakin lebar oleh introduksi pendidikan dan keahlian modern kepada kelas atas. Wilayah Nusantara dibagi menjadi beberapa kawasan, dan setiap kawasan itu ditetapkan kerucut sosial tertentu setempat. Mereka ini diberi prioritas dalam memperoleh pendidikan modern (Barat, Belanda), dan disiapkan untuk mengisi susunan piramidal pemerintahan kolonial.
Terciptanya pemisahan sosial dan kesenjangan budaya antara minoritas kecil pemuda Indonesia dengan latar belakang keluarga papan atas dan sebagian besar pemuda Indonesia dengan latar belakang keluarga biasa. Pembagian ini tercipta oleh penerapan “dualisme yang bertentangan antara pendidikan bagi orang Belanda dan pendidikan bagi orang Indonesia.” Di satu sisi anak-anak dari keluarga berpendidikan Eropa dan pemuda pribumi dari keluarga papan atas mendapat akses ke sekolah modern model Eropa. Para pemuda priyayi ini diperkenalkan kepada pendidikan, cara berpikir, dan gaya hidup Barat, sehingga menjadi terasing dari temannya, bangsanya dan budayanya. Dalam hal ini Bradjanegara mengatakan:
Susunan pendidikan dan pengadjaran, jang diuraikan di atas, mengandung tendens atau maksud, untuk memetjah belah masyarakat pemuda kita. Pemuda-pemuda lapisan atas dididik dan diberi pengadjaran secara barat, didekatkan dengan djiwa Barat, mulai umur 5 tahun sampai umur 25 tahun. Dapat dimengerti dengan mudah, bahwa kaum terpeladjar dari masyarakat kita berdjiwa kebaratan. Tjara berpikir mereka juga secara Barat, dan kehidupan sehari-hari djuga secara barat, dalam ujud kemauannja. Dengan sistim ini, lapisan atas ini tidak mengenal lagi kedjiwaan bangsanja, dan pula tidak mengenal kebudjajaan bangsanya. Kehidupan mereka terpisah dari masyarakat bangsanya.

Perbedaan pendidikan antara pendidikan Islam tradisional dengan pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda, tidak hanya dari segi isi kurikulum yang diberikan, tetapi juga metode dan tujuan pendidikan yang diterapkan di masing-masing kedua lembaga-lembaga pendidikan tersebut. Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial ini khususnya berpusat pada pengetahuan dan keterampilan duniawi yaitu pendidikan umum. Sedangkan lembaga pendidikan Islam lebih ditekankan pada pengetahuan dan ketrampilan berguna pada penghayatan agama.
Sebenarnya, ketika Belanda akan mengembangkan pendidikan bagi masyarakat bumiputra, diperkirakan oleh beberapa ahli Belanda sendiri bahwa pemerintah Hindia Belanda akan memanfaatkan tradisi pendidikan rakyat yang sudah berkembang, yakni pendidikan Islam. Tetapi secara teknis, usulan itu sulit dipenuhi karena tradisi pendidikan Islam waktu itu dipandang memiliki kebiasaan-kebiasaan yang dianggap jelek, baik dari sudut kelembagaan, kurikulum maupun metode pengajarannya. Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda memilih bentuk persekolahan sebagaimana yang telah dikembangkan, khususnya dalam rangka misionaris. Dengan demikian, jika pada masa-masa awal penjajahan, sekolah merupakan pendidikan yang eksklusif bagi kelompok-kelompok terpilih menurut ukuran pemerintah Hindia Belanda, maka mulai abad ke-20 atas perintah Gubernur Jenderal, van Heutz, sistem bagi masyarakat itu mulai diselenggarakan bagi masyarakat yang lebih luas dalam bentuk sekolah-sekolah desa.
Perkembangan sekolah yang semakin merakyat dalam batas yang cukup jauh telah merangsang kalangan Islam untuk memberikan respon. Dalam hal ini mereka memikirkan bahwa diskriminasi untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang seluas-luasnya masih sangat tampak dalam politik dan kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Kebanyakan rakyat Indonesia bagaimana pun masih akan tetap bodoh karena tingkat pendidikan yang diperkenankan bagi mereka hanya terbatas pada sekolah rendah. Dari sudut ini, pendidikan Islam memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kecerdasan mereka atas prinsip persamaan sebagaimana yang menjadi asas Islam. Namun di sisi lain, pendidikan Islam sudah saatnya untuk menawarkan pola pendidikan yang lebih maju, baik dalam hal kelembagaan, struktur materi, maupun metodologinya, sehingga dapat mengimbangi sekolah ala Belanda.
Kesadaran untuk memperbaharui pendidikan Islam ini dimiliki oleh sejumlah tokoh, khususnya mereka yang sudah mengenyam sekaligus pendidikan Islam tradisional dan pendidikan sekolah ala Belanda.
Usaha untuk mendirikan lembaga pendidikan Islam yang sebanding dengan sekolah ala Belanda dalam perkembangannya menjadi agenda bagi hampir semua organisasi dan gerakan Islam di Indonesia. Muhammadiyah, Persatuan Islam, al-Irsyad, Nahdlatul Ulama, Jami’at Khair, Perserikatan Ulama, al-Washliyah dan organisasi Islam lainnya memiliki bagian atau seksi khusus dalam rangka pendirian madrasah-madrasah di berbagai daerah. Dengan corak yang masing-masing berbeda, madrasah-madrasah itu menandai satu perkembangan Islam yang tidak lagi terbatas pada pengajaran ilmu-ilmu agama. Meskipun madrasah-madrasah dalam organisasi-organisasi Islam itu dijadikan wahana percetakan kader-kader yang mendukung masing-masing organisasi, tetapi perkembangannya cukup memberi warna dan corak keberagaman, wawasan ilmu pengetahuan, dan keterampilan umat Islam Indonesia yang lebih progresif. Dengan mendirikan madrasah, langkah yang dilakukan oleh umat Islam dalam meresponi kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda agaknya tidaklah keliru. Mereka memperbaharui pendidikan Islam yang di satu sisi tidak terlalu tertinggal, dan sisi lain tetap mempertahankan ciri-ciri keislamannya.
Dengan demikian, implikasi positif terhadap perkembangan dan pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam salah satunya yaitu munculnya lembaga pendidikan Islam baru dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia yang bernama madrasah. Pada titik ini, dapatlah dikatakan bahwa madrasah merupakan penyesuaian atas tradisi persekolahan yang dikembangkan oleh pemerintah Belanda. Hal ini berdasarkan alasan bahwa, struktur dan mekanisme yang terdapat di madrasah ini nyaris sama, yang sekilas dapat diduga bahwa madrasah merupakan bentuk lain dari sekolah – yang hanya diberi muatan dan corak keislaman (lihat Bagan 1.2).
Madrasah dalam perkembangannya memiliki struktur dan penjenjangan baik secara vertikal seperti Raudhatul Athfal, Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah maupun secara horizontal dalam bentuk sekolah-sekolah kejuruan seperti: PGA, PHIN, Mua’allimin, Kulliyatul Muballighin, dan lain-lain. Dengan demikian, madrasah bukanlah lembaga pada kejuruan agama, melainkan bentuk sekolah umum yang menjadi jenjang persekolahan bagi peserta didik yang hendak melanjutkan sekolahnya dengan disertai keinginan untuk mendalami agama lebih banyak.
Dalam surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri tanggal 24 Maret 1975, No. 6 tahun 1975, No. 037/U/1975 dan no. 36 Tahun 1975 dicantumkan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% di samping pelajaran umum. SKB 2 Menteri berisi tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah yang bertujuan agar mata pelajaran umum dari madrasah mencapai tingkat yang sama dengan mata pelajaran di sekolah-sekolah umum. Hasil yang diharapkan adalah:
1. Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat
2. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat
3. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah yang setingkat.
Dengan demikian berarti:
1. Eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam menjadi lebih mantap dan kuat
2. Pengetahuan umum pada madrasah akan lebih kuat
3. Fasilitas fisik dan peralatan akan semakin disempurnakan
4. Adanya civil effect terhadap ijazah madrasah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pendidikan dalam bentuk lembaga pendidikan formal seperti madrasah pada dasarnya merupakan total sistem yang disebut dengan sistem pendidikan nasional. Usaha menyelenggarakan dan mengatur penyelenggaraannya sangat tergantung tanggung jawab pengelola pendidikan tersebut.
Dari segi kelembagaan dalam penyelenggaraan madrasah diharapkan dapat menunjukkan cirinya yang khas sebagai suatu lembaga pendidikan Islami.
Di sisi lain, kesadaran bahwa pemerintah kolonial merupakan pemerintahan kafir”, semakin mendalam tertanam di benak para santri. Pesantren yang merupakan pusat pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti Belanda. Hal ini kemudian membawa akibat negatif terhadap lembaga pendidikan Islam tradisional tersebut, dengan ditandai oleh sikap semacam “eskapisme dan pengunduran diri” dari sebagian umat Islam dari daerah urban ke pedalaman. Karena gerakan pengunduran diri ini dimulai oleh ulama, dampaknya semakin efektif dan luas. Di daerah pedalaman, mereka mendirikan kubu-kubu pendidikan baru. Di sinilah mereka melancarkan perlawanan kultural keagamaan terhadap nilai-nilai dan gagasan-gagasan yang asing. Barangkali dengan latar belakang inilah, sejak sekitar terakhir abad ke-19, kaum ulama bersama para santrinya memusatkan kegiatan belajar tradisionalnya pada berbagai pesantren. Sikap konfrontasi kaum santri dengan pemerintah kolonial ini, terlihat pada letak pesantren di Jawa pada waktu itu, yang pada umumnya tidak terletak di tengah kota atau desa, tapi di pinggiran atau bahkan di luar keduanya. Padahal pada perkembangan awal-awal sistem pondok pesantren ini, umumnya berlokasi di sekitar kawasan kraton dan berada dalam kewenangan sultan.
Dalam lembaga-lembaga pendidikan itu terasa sekali semangat pengucilan diri dari sistem kolonial pada umumnya. Secara simbolik semangat itu dicerminkan dalam sikap para ulama yang mengharamkan apa saja yang datang dari Belanda, sejak dari yang cukup prinsipil seperti ilmu pengetahuan modern (dan huruf Latin) sampai hal-hal yang sederhana seperti celana dan dasi.
Sebagai akibat pengalaman pahit yang dialami para ulama dengan aparat-aparat kolonial Belanda di masa lampau, menurut Abdurrahman Wahid mengandung dua macam sosiologis, yaitu: sifat tertutup pesantren dan berkembangnya tingkat solidaritas tinggi di kalangan berbagai pesantren, terutama yang di bawah pengaruh ulama tradisional.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa kebijakan politik pendidikan Hindia Belanda telah menimbulkan implikasi bagi perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam. Implikasi positif dari kebijakan tersebut adalah bermuculannya lembaga-lembaga pendidikan Islam modern yakni madrasah di Indonesia. Sedangkan implikasi negatif dari kebijakan politik pendidikan Hindia Belanda itu adalah munculnya sikap resistensi dan isolatif pesantren terhadap dunia luar yang mengakibatkan ia semakin meneguhkan konservativisme yang diidap oleh warga pesantren itu sendiri. Sikap ini pada gilirannya kemudian akan melahirkan alumni-alumni pesantren yang gagap dengan realitas sekitarnya yang jauh dari selama ini dibayangkannya.



Bagan 2
Sistem Madrasah dan Persekolahan
Zaman Pemerintahan Hindia Belanda

Perguruan
Tinggi
Islam




AMS Sekolah guru
Islam
3 3-4 tahun
tahun


MULO Tsanawiyah
3 thn 3 tahun


Schakel
5 thn Ibtidaiyah
4 tahun
Awaliyah
3 tahun
Sekolah Desa (SR)
3 tahun

Sumber: Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), hal. 112
B. Implikasi pada Kurikulum Pendidikan Islam
Pemerintah kolonial Belanda yang sejak semula ingin mengeksploitasi pendidikan hanya demi kepentingan kolonialnya, maka kurikulum dan seleksi masuk sekolah merupakan alat yang paling diperhatikan dalam kebijakan pendidikan Hindia Belanda. Kontrol kurikulum sekolah semata-mata ditentukan atas dasar kepentingan kolonial karena penguasa hanya memberikan beberapa macam mata pelajaran yang dibutuhkan bagi mendukung pelaksanaan tugas administrasinya. Pemerintah sangat berhati-hati sekali dalam memilih mata pelajaran yang akan diajarkan di sekolah-sekolah.
Selama tiga tahun masa belajar di sekolah rakyat ini, mata pelajaran yang diberikan pada prinsipnya disesuaikan dengan tujuan sekolah sebagai institusi kolonial, yaitu mempersiapkan calon pegawai yang terampil dan terdidik secara berat, tetapi sekaligus juga membentuk suatu warga kolonial yang “baik”, penyangga kekuatan kolonial di tingkat bawah. Dalam hal ini Bradjanegara mengatakan:
Sebalikjnya pemuda2 kita, murid2 Sekolah Kelas II, Vervolgschool dan sekolah desa, pengetahuannya masih sederhana sekali, dan sesudah tamat sekolah hanja memiliki ketjakapan membatja bahasa daerah dan bahasa Melaju, dan berhitung jang bersifat elementair. Mereka tidak mempunyai ketjakapan untuk mempergunakan tangannja, untuk bekerdja jang berharga guna kemadjuan hidupnja. Mereka tidak dapat melandjutkan pendidikan dan pengadjarannja, sedang djiwanja tidak hidup, untuk berani hidup secara bebas/merdeka. Mereka di hinggapi oleh rasa kurang harga diri lebih2 kalau mereka berhadapan dengan kaum terpeladjar, jang mendapat pendidikan setjara barat, sedang pemuda2 dari sekolah barat menganggap dirinya lebih mulia dan lebih tinggi dari pada temannja, jang asal dari sekolah kelas II.

Dapat dilihat pada Bab II ketika membicarakan kurikulum, bahwa untuk sebagian besar kurikulum pada prinsipnya berhubungan dengan bidang-bidang di luar lapangan pekerjaan yang biasanya terdapat dalam lingkungan tradisional, seperti pertanian, industri rumah tangga, kerajinan dan sebagainya. Kurikulum di sekolah-sekolah kolonial, meskipun menawarkan subjek yang hampir mirip dengan yang diperkenalkan di negeri penjajah, tetapi isi materinya berbeda secara mencolok. Di sekolah-sekolah Eropa (atau di negeri asal penjajah) misalnya, murid-murid perlu mempelajari sejarah negeri mereka sendiri. Ini mulai diperkenalkan dari tingkat sekolah dasar. Akan tetapi di sekolah-sekolah kolonial di negeri jajahan jarang sekali mata pelajaran sejarah diajarkan, dan jika ada hanya tersedia waktu yang relatif sangat sedikit (setengah jam seminggu); itu pun tidak pernah dimasukkan sebagai salah satu mata pelajaran wajib.
Lagi pula apa yang diajarkan dalam mata pelajaran sejarah misalnya, tidak lebih daripada uraian tentang keterbelakangan atau kemerosotan kondisi (kebudayaan) bumiputra dengan menekankan peristiwa-peristiwa tak terpuji, seperti perang saudara, konflik antarsuku, atau perilaku-perilaku buruk yang dicirikan sebagai tradisi khas rakyat jajahan. Literatur sejarah kolonial abad ke-19 penuh dengan kata-kata celaan terhadap bumiputra, seperti wild (liar), lui (pemalas), bijgelovig (takhayul), ruw (kasar), wreed (kejam), barbaar (biadab), dom (bodoh), bloeddorstig (haus darah), dan seterusnya. Sementara itu sejarah kedatangan bangsa Eropa (Belanda) merupakan mainstream yang sangat menentukan dan identik dengan sejarah kemajuan bagi penduduk bumiputra.
Implikasi lebih jauh dari kurikulum semacam itu ialah meniadakan masa lampau bumiputra sendiri, sedangkan kedatangan Belanda dianggap sebagai pembawa berkah kemajuan sesuai dengan prasangka kolonialisme Barat yang mengelu-elukan misi sucinya (mission-sacre), bahwa kedatangan mereka bermaksud untuk memikul beban kulit putih (whiteman-burden) guna “memajukan” negeri jajahan yang terkebelakang. Hal yang sama juga berlaku dalam mata pelajaran lain ketika pemerintah memperkenalkan pengetahuan dan keterampilan teknis yang pada gilirannya semakin memperjauh murid-murid dari lingkungan tradisionalnya.
Mengenai implikasi kebijakan pendidikan kolonial Belanda terhadap pendidikan Islam yaitu telah terjadinya kombinasi antara ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu umum.
Sebelum hembusan angin pembaharuan pendidikan Islam menerpa lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional seperti pesantren, surau dan rangkang, pada awal abad ke-20, pendidikan hanya berpusat pada pengetahuan-pengetahuan keagamaaan belaka. Baru setelah lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional tersebut mentransformasikan diri ke bentuk lembaga pendidikan baru, muatan pengajaran dikombinasikan dengan ilmu-ilmu pengetahuan umum.
Dimasukkannya pengetahuan-pengetahuan umum di lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut, dimaksudkan untuk mengimbangi sistem pendidikan sekuler kolonial Belanda yang melulu memusatkan diri pada ilmu-ilmu pengetahuan umum, kebalikan dari sistem pendidikan Islam tradisional di atas. Upaya-upaya ini dilalui dengan jalan mengadopsi secara langsung susunan-susunan kurikulum dan mata-mata pelajaran yang disajikan dalam sistem pendidikan kolonial Belanda.
Hal demikian dengan mudah terlihat pada susunan rencana pelajaran Madrasah Awaliyah dan Ibtidaiyah, terdapat kesamaan-kesamaan dengan mata-mata pelajaran yang terdapat di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda, seperti Sekolah Desa (Volksschool) dan HIS (Hollandsch Inlandsche School). Mata pelajaran agama dan bahasa Arab saja yang tidak terdapat di HIS, sedangkan di Sekolah Desa juga mengajarkan bahasa Arab, walau mungkin tidak seintensif dibanding di kedua lembaga pendidikan Islam tersebut. mata-mata pelajaran umum semisal Bahasa Indonesia, Berhitung, Ilmu Bumi, Sejarah, Ilmu Alam, Melagu, Menggambar dan Bahasa Belanda (Inggris), merupakan mata-mata pelajaran yang secara langsung mencontoh dari komposisi kurikulum sistem pendidikan kolonial Belanda.
Sedangkan pada tingkat Madrasah Tsanawiyah, mata-mata pelajaran seperti, Sejarah Islam/Dunia, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Ilmu Tumbuh-tumbuhan, Ilmu Hewan, Ilmu Tubuh Manusia, Bahasa Inggris dan Gerak Badan (Pendidikan Jasmani), dapat ditemukan pula pada MULO, AMS A1 dan AMS A2.
Pada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu Madrasah Mu’allimin seperti Normal Islam, mata-mata pelajaran umum seperti Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Alam/Kimia, Ilmu Hayat/Geologi, Ekonomi, Sejarah Indonesia/Dunia, Ilmu Bumi/Falak, Tata Negara, Bahasa Inggris dan Gerak Badan (Pendidikan Jasmani), adalah mata-mata pelajaran umum yang dicontoh dari AMS A1 dan A2, AMS B,dan HBS V.
Pengadopsian mata-mata pelajaran umum dari sistem pemerintah kolonial Belanda ini, pada gilirannya lebih lanjut mengakibatkan mereka juga menggunakan buku-buku pegangan yang dipakai dalam lembaga-lembaga kolonial, sebagaimana yang dilakukan di Madrasah Awaliyah yang memakai buku-buku pegangan yang dipakai Sekolah Desa (Volksschool) untuk semua mata-mata pelajaran umum.
Dengan demikian, implikasi kebijakan pendidikan kolonial Belanda ternyata juga ikut memengaruhi perkembangan susunan-susunan kurikulum dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam itu. Kurikulum ini juga telah diatur dan direncanakan sehingga lebih sistematis. Di samping itu, pandangan terhadap ilmu-ilmu umum juga telah mendapatkan perhatian dalam kurikulum pendidikan Islam. Hal ini mungkin berdasarkan harapan bahwa anak-anak didik kelak dapat menyesuaikan diri dalam alam modern sembari tidak tercerabut dari akar keislamannya. Dengan cara ini, diharapkan kelak akan lahir pribadi-pribadi muslim yang utuh, yaitu semacam kombinasi antara seorang alim dan seorang intelektual; atau yang dalam istilah Hamka adalah ulama intelek, yaitu mereka yang ahli di bidang agama dan memenuhi kriteria intelek menurut ukuran sekolah.

C. Implikasi pada Metode Pengajaran
Terlihat bahwa implikasi yang ditimbulkan terhadap baik lembaga maupun kurikulum pendidikan Islam, sangat signifikan. Asumsinya tentu saja tidak terkecuali terhadap metode pengajarannya.
Metode pengajaran yang sebelumnya menggunakan sistem hafalan, bandongan/halaqah dan sorogan/individual, diganti dengan metode pengajaran yang menekankan pada pemahaman siswa dan diterapkannya sistem klasikal atau berkelas-kelas.
Metode-metode pengajaran yang sebelumnya tidak ditemukan dalam tradisi pendidikan Islam Indonesia ini, adalah implikasi dari kebijakan pendidikan Hindia Belanda dalam wujud lembaga-lembaga pendidikan sekolah yang telah menerapkan sistem tersebut sebelumnya. Dalam hal ini, Ruswan menggambarkan sistem pengajaran yang diterapkan dalam sistem pendidikan Islam – dengan mengambil kasus Muhammadiyah – berikut ini:
Muhammadiyah schools applied the pedagogical technique of instruction used in government schools. The one-on-one teaching method of the pesantren was replaced by class teaching. Teaching objectives emphasized a student’s understanding of the subject as opposed to his learning it by rote, which had become the ‘trademark’ of traditional learning. … As in government schools, the students’ achievement was measured with regular exams, which also determined their promotion to the next grade. It should be noted also that regular exams were not a feature of traditional education. (Sekolah Muhammadiyah menerapkan teknik mengajar yang digunakan di sekolah pemerintah. Metode individual yang digunakan di pesantren digantikan dengan pengajaran klasikal. Tujuan pengajaran menekankan pada pemahaman siswa akan materi yang bertentangan dengan hafalan, yang telah menjadi ‘cap’ dari pembelajaran tradisional. … Seperti di sekolah-sekolah pemerintah, prestasi siswa diukur dengan ujian teratur, yang juga menentukan untuk naik ke tingkat berikutnya. Perlu pula dicatat bahwa ujian teratur tersebut tidaklah terdapat pada pendidikan tradisional).

Demikianlah sistem klasikal mulai diterapkan, bangku, meja, papan tulis mulai digunakan dalam melaksanakan pendidikan dan pengajaran agama Islam. Sebagai contoh, surau Jembatan Besi di Minangkabau diubah menjadi Madrasah Thawalib, yang lambat laun disempurnakan dengan pemakaian bangku, meja dan kurikulum yang lebih diperbaiki dan ada uang sekolah bagi anak-anak.
Pembagian kelas juga mulai diadakan. Misalnya di Madrasah Thawalib tersebut, jenjang kelas dibagi menjadi kelas rendah, menengah dan tinggi, yang dalam perkembangannya pembagian jenjang kelas ini diubah yakni untuk kelas rendah dibagi menjadi 4 jenjang masing-masing satu tahun, sedang untuk kelas menengah dan tinggi dijadikan kelas 5, kelas 6 dan kelas 7.
Demikianlah sistem pendidikan formal, sekolah dan madrasah, mulai tersebar di mana-mana, bahkan di kalangan pondok pesantren sudah diterapkan pula sistem sekolah atau madrasah ini, di samping sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren yang sudah ada.
Pujian sekaligus kritik terhadap sistem pondok pesantren adalah kaya materi, tapi miskin metodologi. Kaya materi dapat dimaknai bahwa sistem pendidikan pesantren terlalu banyak mengajarkan disiplin ilmu agama, tapi dalam makna yang lain seorang santri tidak akan pernah kehabisan menimba ilmu kyai di pesantren. Beberapa pesantren memiliki kekhasan yang menjadi identitasnya yang dalam hal ini biasanya terletak pada spesialisasi keilmuan yang dikuasai kyainya. Keahlian ini diturunkan kepada para santrinya yang dikemudian hari mereka menjadi badal atau ustad-ustad yang mengajar untuk santri-santri baru. Disayangkan kalau keahlian dalam disiplin ilmu agama tidak disertai kemampuan dalam hal didaktik dan metodik. Kritik atas kelemahan metodologi dalam sistem pengajaran pesantren yang terbatas dalam metode sorogan dan bandongan menggugah banyak pesantren untuk mengembangkan sistem sekolah meski akibat yang ditimbulkan dapat mengurangi bobot pengetahuan agama para santrinya.
Terlebih lagi, proses belajar mengajar yang dikembangkan masih saja berorientasi pada bahan atau materi, dan bukan pada tujuan. Proses pembelajaran dianggap telah berhasil bila para santri sudah menguasai betul materi-materi yang ditransfernya dari kitab kuning dengan hafalan yang baik. Padahal yang diperlukan dalam pengembangan wawasan berpikir adalah memperkaya basis metodologi keilmuan (manhaj al-fikr), selain basis materi (maddah) yang selama ini digelutinya. Inilah yang agaknya salah satu kekurangan dunia pesantren yakni kurangnya pengembangan pemikiran analitis (nazhariyah) dalam tradisi membaca kitab kuning. Padahal, sesungguhnya sebuah komunitas bisa mengembangkan kemandirian berpikirnya bila tradisi membaca yang dikembangkannya membuka seluas-luasnya dinamisasi penalaran.

D. Implikasi pada Pendidik (Guru Agama Islam)
Pendidik adalah salah satu komponen manusiawi dalam dunia pendidikan, yang ikut berperan dalam upaya pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Oleh karena itu guru sebagai unsur di bidang pendidikan memegang peranan secara aktif dan menempatkan posisinya sebagai tenaga professional, sesuai dengan tuntutan pembangunan masyarakat yang semakin berkembang.
Sehubungan dengan itu, maka pendidik pada dasarnya memiliki peranan yang unik dan sangat kompleks di dalam proses belajar mengajar, dalam usahanya untuk mengantarkan anak didik ke taraf yang dicita-citakan. Oleh karena itu setiap rencana kegiatan pendidik harus dapat mengacu semata-mata untuk kepentingan peserta didik, sesuai dengan profesi dan tanggung jawabnya.
Steenbrink mencatat bahwa pada permulaan abad ke-20, di Indonesia ada dua golongan elit masyarakat yang keduanya masing-masing menjadi pemimpin umat Islam. Pertama, para pegawai yang pada umumnya berkedudukan sebagai anggota pengadilan agama, sambil merangkap sebagai penasehat agama pada pengadilan umum. Kedua, para guru agama. Kalau mereka pemimpin pesantren, mereka disebut kyai, ulama, atau syaikh. Atau mereka disebut ajengan di Jawa Barat dan tuan guru di Lombok.
Guru dalam pendidikan Islam adalah figur sentral yang harus dapat diteladani akhlaknya di samping kemampuan keilmuan dan akademiknya. Selain itu, guru mempunyai tanggung jawab moral dan keagamaan untuk membentuk anak didiknya menjadi orang yang berilmu dan berakhlak. Secara demikian, guru dalam konsep pendidikan Islam adalah sumber ilmu dan moral.
Dalam sejarahnya, guru agama hanya didominasi oleh para kyai, tetapi perkembangan berikutnya peran ini terbagi dengan guru agama modern. Kyai dapat memainkan banyak peran pada sebuah masyarakat yang masih tradisional. Seorang kyai karena kharismanya diyakini oleh masyarakat dapat memancarkan barokah kepada umat yang dipimpinnya, yaitu karena dianggap memiliki karomah (kelebihan yang bersifat supranatural) dari Allah. Kyai dapat memerankan dirinya sebagai tabib di kalangan masyarakat santri manakala belum ada ahli pengobatan yang lain, seperti dokter atau mantra kesehatan.
Kuntowijoyo dalam kata pengantar untuk buku yang ditulis Munir Mulkhan mengatakan: “Seperti diketahui pada waktu itu kedudukan ulama dalam masyarakat sangat tinggi. Mereka adalah mediator antara manusia dengan Tuhan, elit agama dalam masyarakat, dan guru yang menyampaikan agama. Kalau kedudukan mereka sebagai elit dan guru adalah konsekuensi sosial, maka kedudukan sebagai mediator itulah yang terancam oleh kegiatan tabligh.”

Steenbrink mengidentifikasi beberapa perubahan dari guru agama tradisional dan modern. Pada guru agama modern terjadi perubahan sikap yang berhubungan dengan kesediaan dalam meluangkan waktunya. Kalau mereka mengajar di tempat lain adalah disebabkan gaji guru yang agak rendah, sehingga jabatan rangkap syarat mutlak untuk mencapai gaji minimum.
Mengenai pengamalan doa, puasa sunnat dan membaca al-Qur’an masih tetap dihargai khususnya di madrasah/sekolah yang berada di lingkungan pesantren. Tetapi di luar itu contoh kehidupan sehari-hari para guru tidak begitu penting untuk pendidikan para muridnya, karena pergaulan antara guru dengan murid tidak begitu akrab bahkan cenderung bersifat kontraktual. Pribadi yang utuh seperti guru agama tradisional tidak terlalu dipentingkan lagi, bahkan syarat-syarat kesalehan adalah kelebihan kalau dituntut ada pada guru agama modern. Yang dipentingkan adalah intelektualitas dan syarat-syarat yang berhubungan dengan pengajaran dan apa yang diperbuat oleh guru agama modern di luar kelas adalah kurang relevan untuk pengajaran dan pendidikan.
Dalam hal orientasi, guru agama tradisional lebih menekankan pada pengabdian secara ikhlas seperti ditunjukan dalam sikapnya yang total dalam kedudukannya sebagai kyai. Guru agama modern pengabdian secara ikhlas tetap dipentingkan, karena tuntutan-tuntutan hidup yang tidak dapat diabaikan begitu saja menyebabkan mereka menuntut upahnya secara terang-terangan. Bahkan guru modern bisa menolak tugas-tugas di luar tanggung jawabnya dalam pengajaran. Kalau pun tugas itu diterima konsekuensinya harus sesuai dengan beban yang diberikan. Oleh karena itu, dalam hal orientasi dan kedudukannya dalam pengajaran guru agama modern sama dengan guru bidang-bidang studi yang lain.
Untuk memudahkan pemahaman, berikut digambarkan dalam bentuk diagram mengenai beberapa perbedaan antara guru agama tradisional dengan guru agama modern:






Tabel 10
Perbandingan Kualifikasi
antara Guru Agama Tradisional dan Guru Agama Modern

Dimensi-dimensinya G u r u A g a m a
Tradisional Modern
1. Syarat formal Tidak dipentingkan Mutlak dipentingkan
2. Syarat non-formal Relatif dibutuhkan Kurang diperhatikan
3. Keshalehan Sangat dipentingkan Dipentingkan, tetapi bergeser ke kualifikasi intelektual
4. Organisasi Lokal/terbatas Luas dan saling tergantung
5. Kurikulum Disusun sendiri dan berlaku dalam lingkup terbatas Disusun institusi yang dibentuk negara dan berlaku secara luas
6. Hubungan guru dan murid Murid taat secara absolut kepada kyai Bersifat kontraktual dan saklek
7. Otoritas dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama Relatif berkurang, karena diambil alih lembaga-lembaga keagamaan Membuka peluang kepada murid untuk mengakses sumber-sumber informasi keagamaan.

Demikianlah antara lain implikasi-implikasi yang timbul terhadap sistem pendidikan Islam sebagai akibat kebijakan politik pendidikan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian yang dikemukakan pada Bab-bab yang lalu, maka bagian ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai jawaban terhadap pokok-pokok permasalahan yang dikemukakan pada Bab I. Kesimpulan-kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan politik pendidikan kolonial Belanda, mulai dari pendidikan tingkat bawah sampai yang tertinggi tidaklah dimaksudkan untuk mencerdaskan orang-orang Indonesia, melainkan tak lebih daripada sekedar memberi kesempatan kepada keluarga golongan tertentu yang dipercaya untuk ikut serta mempertahankan kelangsungan kolonialnya. Hal ini terlihat jelas pada penyelenggaraan sekolah-sekolah yang tak lain dimaksudkan untuk mencetak tenaga menengah ke bawah untuk mengisi posisi-posisi pekerjaan di berbagai perkebunan dan pabrik-pabrik.
2. Faktor-faktor utama yang melatarbelakangi kebijakan-kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda yaitu:
a. Faktor politik, yakni suasana perpolitikan baik yang terjadi di Parlemen Belanda maupun di Hindia Belanda sendiri turut memengaruhi produk kebijakan pendidikan pemerintah kolonial;
b. Faktor ekonomi, yakni pendirian sekolah-sekolah selalu didorong pertimbangan untung-rugi secara ekonomis bagi pemerintah Hindia Belanda;
c. Faktor Kristenisasi, yaitu pendirian sekolah-sekolah berkait-kelindan dengan upaya-upaya Kristenisasi terhadap pribumi dan berusaha menyisihkan kekuatan Islam sebagai sebuah ideologi yang telah mengakar kuat dalam diri sebagian besar penduduk pribumi;
d. Faktor rasialisme, adalah struktur sosial yang dibuat oleh kolonial dengan meletakkan bangsanya sendiri (Belanda) dan kulit putih lainnya, sebagai kelas yang tertinggi di dalam hierarki itu. Di bawahnya, masyarakat Indo-Belanda. Lalu berturut-turut ke bawahnya, masyarakat Timur Asing (Arab, Cina dan India), golongan priyayi dan terakhir berada dalam posisi terbawah adalah bumiputra yang disebut inlanders; dan
e. Faktor situasi dan kondisi di Nederland (Belanda) sendiri, yaitu keadaan di negeri induknya, yakni Belanda, baik dari segi ekonomi maupun politik yang terjadi pada waktu itu, akan memengaruhi berbagai kebijakan pendidikan yang diterapkan di Hindia Belanda, sebagai negeri jajahannya;
f. Faktor kondisi umat Islam Indonesia, yaitu fenomena umat Islam yang pada paruh kedua abad ke-19 sedang mengalami kebangkitan juga ikut menjadi pemicu pemerintah kolonial Belanda untuk menyainginya dengan banyak mendirikan sekolah-sekolah.
3. Implikasi-implikasi yang ditimbulkan bagi pendidikan Islam dari kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda di antaranya yaitu:
a. Aspek kelembagaan. Secara kelembagaan, dalam pendidikan Islam muncul lembaga pendidikan Islam baru yaitu madrasah. Padahal sebelum kedatangan kolonial Belanda, madrasah ini belum dikenal hingga pemerintah Hindia Belanda mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang bernama sekolah. Namun, lembaga pendidikan Islam tradisional pesantren, justru mendirikan lembaga-lembaga pendidikannya di daerah-daerah pinggiran sebagai cermin dari sikap politik non-kooperatif ulama dengan Belanda, bahkan isolatif.
b. Aspek kurikulum. Semula Pendidikan Islam tidak mempunyai kurikulum yang terperinci dan teratur. Namun setelah umat Islam mengenal sistem pendidikan kolonial Belanda – sebagai wujud kebijakan pendidikannya, maka dalam sistem pendidikan Islam pun kurikulum disusun sedemikian rupa sehingga menjadi teratur dan rinci serta memiliki alokasi waktu yang jelas. Implikasi selanjutnya yaitu, adanya upaya penyatuan atau kombinasi antara ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu umum yang tersedia di sekolah-sekolah kolonial Belanda. Terintegrasinya dua “rumpun” keilmuan ini dimaksudkan untuk mengimbangi kurikulum sekuler kolonial yang semata-mata menyediakan ilmu-ilmu umum.
c. Aspek metode pengajaran. Metode pengajaran yang sebelumnya menggunakan sistem hafalan, bandongan/halaqah dan sorogan/individual, diganti dengan metode pengajaran yang menekankan pada pemahaman siswa dan diterapkannya sistem klasikal atau berkelas-kelas. Batasan umur dalam suatu jenjang pendidikan juga digunakan, yang sebelumnya tidak mengenal batasan umur dalam suatu lembaga pendidikan Islam tradisional.
d. Aspek pendidik. Implikasi kebijakan pendidikan kolonial Belanda pada aspek pendidik yakni guru agama Islam ini, telah mengalami pergeseran pandangan di dalam masyarakat muslim Indonesia terhadap kualifikasi yang melekat pada sosok pendidik ini. Unsur-unsur keshalehan, keturunan bergeser ke penekanan intelektual. Sedangkan hubungan guru murid yang dulu bersifat taat absolut kemudian menjadi kontraktual dan saklek.

B. Saran-saran
Dari penelusuran kebijakan-kebijakan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda, terdapat beberapa hikmah yang bisa dipetik untuk dijadikan cerminan bagi pendidikan Islam di Indonesia ke depan. Adapun saran-saran yang dapat diajukan dapat dirumuskan dalam beberapa butir berikut ini:
1. Bagi pemerintah, hendaknya terus menerus berupaya memberikan kesempatan bagi seluruh segala lapisan masyarakat untuk menikmati pendidikan yang bermutu. Sebab, bukan rahasia lagi bahwa warisan pendidikan kolonial agaknya masih tetap mewarnai persepsi dan realitas dunia pendidikan kita. Lembaga-lembaga pendidikan yang bermutu selalu dimenangkan oleh kelas “menengah-atas”, yang karena kekuatan ekonomi mereka relatif baik, telah memberi peluang utama bagi kompetisi tersebut. kesempatan pendidikan tetap didominasi oleh kelompok orang-orang yang kategorinya kurang lebih sama dengan masa kolonial. Bedanya yang paling utama hanyalah, bahwa jika pada masa kolonial kriteria terletak pada faktor ketentuan peraturan (politik) pemerintah kolonial, maka pada masa Indonesia sekarang, faktor kekuatan ekonomi dan barangkali juga “kemampuan” (prestasi) yang menjadi kriterianya.
2. Bagi para penyelenggara pendidikan Islam, hendaknya bersedia membuka diri dan mau menata kembali lembaga pendidikannya, sehingga mampu menangkap nilai-nilai Islam secara utuh ke dalam rumusan yang mampu berdialog dengan perubahan sosial.
3. Di dalam aspek kurikulum, hendak semua disiplin keilmuan diletakkan ke dalam suatu integrasi yang benar-benar kukuh, sehingga antara satu dengan yang lainnya terjadi hubungan interdependensi yang kukuh di bawah cahaya nilai-nilai Islam.
4. Dalam metode pengajaran, hendaknya para pendidik menggunakan pendekatan yang merangsang aspek penalaran peserta didik untuk menggantikan pendekatan pengajaran yang bersifat dogmatis atau doktriner – yang masih dominan di lembaga-lembaga pendidikan Islam saat ini, sehingga diharapkan dapat membuka eksplorasi cakrawala pemikirannya dan pada gilirannya lebih lanjut, diharapkan dapat melahirkan manusia-manusia kreatif-kritis-inovatif yang digerakkan oleh semangat nilai-nilai Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Abaza, Mona, Pendidikan Islam dalam Pergeseran Orientasi: Suatu Kasus Alumni al-Azhar, Jakarta: LP3ES, 1999.

Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987.

_______, School and Poltics: The Kaum Muda Movement in West Sumatera (1927-1933), Ithaca: Cornel Indonesia Project, 1971.

Alfian, Ibrahim, Perang di Jalan Allah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.

Alfian, Muhammdiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization under Dutch Colonialism, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989.

Ali-Fauzi, Ihsan, “Pola-pola Persepsi Belanda terhadap Islam di Indonesia”, dalam Studia Islamika: Journal for Islamic Studies, Vol. 3, No. 3, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1996.

Amin, M. Masyhur, Dinamika Islam (Sejarah Transformasi dan Kebangkitan), Yogyakarta: LKPSM, 1995.

Anam, Chairul, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Solo: Penerbitan Jatayu, 1985.

Anis, Ibrahim dkk., Al-Mu’jam al-Wasit, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972.

Arifin, H.M., Ilmu Pendidikan Islam, Cet.IV, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Asrahah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Assegaf, Abdur Rahman, “Pergeseran Kebijakan Pendidikan Nasional Bidang Agama Islam 1942-1900”, Disertasi, Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga, 2004.

Atjeh, Abu Bakar, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Semarang: Ramadhani, 1971.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Cet.III, Bandung: Mizan, 1995.

Azra, Azyumardi, “The Surau and the Early Reform Movement in Minangkabau,” Majalah Mizan¸ Vol.III, No.2 Tahun 1990, 64-85.

_______, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.

_______, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Barnadib, Imam, Arti dan Metode Sejarah Pendidikan, Yogyakarta: FIP-IKIP, 1982.

Barnadib, Sutari Imam, Sejarah Pendidikan, Yogyakarta: Andi Offset, 1983.

Benda, Harry J., “Christiaan Snouck Hurgronje dan Landasan Kebijakan Belanda Terhadap Islam di Indonesia”, dalam Ahmad Ibrahim dkk., Islam Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, Alih bahasa A. Setiawan Abadi, Jakarta: LP3ES, 1989.

Bradjanegara, Sutedjo, Sedjarah Pendidikan Indonesia, Yogyakarta: t.t.t., 1956.

Dahm, Bernard, History of Indonesia in the Twentieth Century, New York: Praeger Publisher, 1971.

Daulay, Haidar Putra, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001.

Dawam, Ainurrafiq dan Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, Cet.II, Yogyakarta: Listafariska, 2005.

Daya, Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

_______, Pendidikan di Indonesia 1900-1974, Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

_______, Education in Indonesia Throughout the Centuries, Jakarta: Balai Pustaka, 1983.

Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982.

Djaelani, H.A. Timur, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Tinggi, Jakarta: Darmaga, 1983.

Djojonegoro, Wardiman, Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1996.

Djumhur, I. dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan, Bandung: CV Ilmu, 1976.

Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1981.

Ekadjati, Edi S. dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, Jakarta: Depdikbud, 1998.

Elliot, Thomas H., “Toward an Understanding of Public School Politics”, dalam American Political Science Review, Vo. 53, No. 4, December 1959, 1047

Faisal, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Gibb, H.A.R. dan H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden: E.J. Brill, 1981.

Gunawan, Ary H., Kebijakan-kebijakan Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1995.

Hadimulyo, “Dua Pesantren Dua Wajah Budaya”, dalam Dawam Rahardjo (Ed.), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, Jakarta: P3M, 1985.

Hak, Nurul, “Sistem Pendidikan Islam di Indonesia Awal Abad Ke-20: (Kajian Historis terhadap Perkembangan Sistem Pendidikan)”, dalam Abdurrahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Suka Press, 2007.

Haris, Noor, “Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia (1945-1990)”, Tesis, Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga, 2004.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Cet.III, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.

Hasymi, A. (Peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: Al-Ma’arif, 1989.

Hornby A.P. Cowic, A.S. (ed.), Oxford Advanced Dictionary ofr Current English, London: Oxfrod University Press, 1996.

Hurgronje, C. Snouck, “Pengajaran selain Pengajaran Mohammadan”, dalam Gobee dan Adriansee, Nasihat-nasihat Hurgronje semasa Kepegawaiannya kepada Pemerinta Hindia Belanda, 7:1187, Jakarta: INIS, 1992.
Husein, Machnun, Pendidikan dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983.

Imron, Ali, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk dan Masa Depannya, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

IsmaIl, Taufik, “Pencucian Citra SDM Warisan Kolonial, Peletakan Paradigma SDM Baru: Mungkinkah?”, Jurnal Studi Agama Millah, Vol.V, No. 1, Agustus, 2005, 1-22.

Jalaluddin, Kapita Selekta Pendidikan: Suatu Telaah Konsep Pembaharuan di Zaman Kolonial Belanda, Jakarta: Kalam Mulia, 1990.

_______, “Kata Pengantar”, dalam M. Sirozi, Politik Pendidikan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.

Kartodirdjo, Sartono, “Pemberontakan Petani Banten Tahun 1888: Kebangkitan Kembali Agama”, dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique dan Yasmin Hussain, (Ed.), Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, Alih bahasa A. Setiawan Abadi, Jakarta: LP3ES, 1989.

_______, Sejarah Nasional Indonesia, Yogyakarta: Balai Pustaka, 1977.

Khalid, Idham, Gerakan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Awal Abad XX: (Seri Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia), Bandarlampung: IAIN Raden Intan, 1997.

_______, “Pendidikan Agama dan Politik Islam Hindia Belanda (Pendidikan Islam Zaman Kolonial Belanda: Sebuah Tinjauan Historis), Jurnal Pendidikan Islam Fakta, Edisi 11, Bandarlampung: IAIN Raden Intan, 1996, 35-43.

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.

Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1980.

Latief, Hilman, “The Reinvigoration of Pesantren: The Social and Political Role of Kyai and Ulama in the Dutch Kolonial Era”, Jurnal Studi Agama Millah, Vol. III, No. 1, Agustus, 2003, 66-75.

Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985.

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Cet. IV, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000.

Makmur, Djohan (Ed.), Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993.

Mashuri, “Pola Pemikiran Baru dan Pengaruhnya: Prolog Kebangkitan Nasional”, dalam Lembaga Research Kebudayaan Nasional, Penelitian Perkembangan Pemikiran Sosial Politik (Periode 1908-1928), Jakarta Selatan: Widya Graha, 1985.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994.

Mochtar, Affandi, “Tradisi Kitab Kuning: Sebuah Observasi Umum”, dalam Sa’id Aqiel Siradj dkk., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Mohammad AR., “The Curriculum of Islamic Studies in Traditional and Modern Dayahs in Aceh: a Comparative Study”, Journal Islamic Studies Al-Jami’ah, Vol. 39, No. 1, Januari-Juni 2001, 62-96.

Muhadjir, Noeng, Metodologi Kebijakan, Yogyakarta: Rake Sarasen, 1998.

_______, Perencanaan dan Kebijakan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992.

Muhaimin dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangkan Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya, 1993.

Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Muhammad, Husein, “Kontekstualisasi Kitab Kuning: Tradisi Kajian dan Metode Pengajaran”, dalam Sa’id Aqiel Siradj, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Mukhtar, Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.

Mulkhan, Abdul Munir, Islam Murni dalam Masyarakat Petani, Yogyakarta: Bentang, 2000.

Munawaroh, Djunaidatul, “Pembelajaran Kitab Kuning di Pesantren”, dalam Abudin Nata (Ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001.

Mustafa, H.A. dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 1998.

Nagazumi, Akira, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia Budi Utomo 1908-1918, Jakarta: Grafiti Press, 1989.

Nasution, S., Sejarah Pendidikan Indonesia, Cet.II, Bandung: Jemmars, 1987.

_______, Asas-asas Kurikulum, Bandung: Jemmars, 1990.

Navis, AA, “Tiga Ragam Pendidikan yang Terlupakan”, Kompas, 1 Januari 2000.

Neil, Robert van, Munculnya Elit Modern Indonesia, Alih bahasa Zahara Deliar Noer, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.

Nizar, Samsul, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam: Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005.

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Cet.VIII, Jakarta: LP3ES, 1996.

Poerbakawatja, Soegarda, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, Jakarta: Gunung Agung, 1960.

_______, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1976.

Poerdawarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1983

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Prijono, “Riwayat Penjajahan Barat dan Perlawanan Umat Islam”, dalam Beberapa Peninggalan dari Sejarah Perjuangan Islam, Jakarta: t.p., 1945.

Rasi’in, “Pendidikan Islam di Indonesia pada Zaman Belanda”, dalam Abuddin Nata (Ed.), Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa Bandung, 2003.

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Cet.II, Alih bahasa Satrio Wahono dkk., Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.

Rooijakkers, Ad., Mengajar dengan Sukses: Petunjuk untuk Merencanakan dan Menyampaikan Pengajaran, Jakarta: Grasindo, 1991.

Rukiati, Enung K. dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2006.

Ruswan, “Kolonial Experience and Muslim Educational Reforms: A Comparison of the Aligarh and the Muhammadiyah Movements”, Tesis M.A., Canada: Institut of Islamic Studies McGill University Montreal, 1997.

Saerozi, Muh, “Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme: Telaah Hostoris atas Kebijaksanaan Pendidikan Agama Konfesional di Indonesia”, Disertasi, Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga, 2003.

Said, M., Pendidikan Abad Keduapuluh dengan Latar Belakang Kebudayaannya, Jakarta: Mutiara, 1981.

Saidi, Ridwan, Pemuda Islam dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-1984, Jakarta: Rajawali, 1984.

Sanusi, Supandi dan Ahmad, Kebijaksanaan dan Keputusan Pendidikan, Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti P2LPTK, 1988.

Shadiliy, Hassan, Ensiklopedi Indonesia, Jil. 3 dan 5, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1982.

Shihab, Alwi, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998.

Sirozi, Muhammad, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No.2/1989, Alih bahasa Lillian D. Tedjasudhana, Jakarta: INIS, 2004.

_______, M., Politik Pendidikan, Cet. II, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.

Soenarwan, Pengajaran Individual dan Klasikal, Surabaya: Usaha Nasional, 1982.

Steenbrink, Karel A., “Religion and Education in a Changing Indonesia”, The Indonesian Journal for Muslim Culture, Vol.1, No.2, 2001, 9-28.

_______, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Cet.II, Jakarta: LP3ES, 1994.

Suharto, Edi, et.al. (Ed.), Rekonstruksi dan Modernisasi Lembaga Pendidikan Islam, Yogyakarta: Global Pustaka Utama bekerjasama dengan Corpus, 2005.

Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1999.

Sumardi, Mulyanto, Sejarah Singkat Pendidkan Islam di Indonesia (1945-1975), Jakarta: Dharma Bhakti, 1978.

Suminto, Husnul Aqib, “Kata Pengantar Panitia”, dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution Bekerjasama dengan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989.

_______, “Politik Islam Hindia Belanda Het Kantoor Voor Inlandsche Zaken (1899-1942)”, dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution Bekerjasama dengan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989.

_______, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta:LP3ES, 1985.

Supartono, A dan L Rahman, “Studi Indonesia di Rusia: Sebuah Rumah Sejarah yang Alpa Disinggahi”, Kompas, 6 Juli 2001

Suryanegara, Ahmad Mansur, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1996.

Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.

Tarmi, “Kebangkitan dan Perkembangan Madrasah di Indonesia”, dalam Abudin Nata (Ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001.

Tauhid, Moch., Masalah Pendidikan Rakyat, Bogor: Partai-partai Sosialis Indonesia Bagian Pendidikan dan Penerangan, 1954.
Thoyyib, Ruswan, “Kolonialisme dan Pembaharuan Pendidikan Islam di India dan Indonesia”, dalam Dody S. Truna dan Ismatu Ropi (Ed.), Pranata Islam di Indonesia: Pergulatan Sosial, Politik, Hukum dan Pendidikan, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002.

Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang, Dasar-dasar Kependidikan Islam, Surabaya: Karya Abditama, 1996.

Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Jilid 4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1983.

_______, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi pertama Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

¬¬¬¬¬_______, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jil. 3 dan 7, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1989.

Truna, Dody S. dan Ismatu Ropi (Ed.), Pranata Islam di Indonesia (Pergulatan Sosial, Politik Hukum dan Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press, 2002.

Vastenhouw, M., Sejarah Pendidikan Indonesia, Bandung: Jemmars, 1977.

Vlekke, Bernard, Nusantara: A History of Indonesia, Chicago: Quadrangle Books, 1960.

Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan Tradisi: Esei-esei Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Walidain, Warul, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam di Madrasah, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1988.

Webster, Noah, Webster’s New Twentieth Century Dictionary, USA: William Collin Publisher, 1980

Wertheim, W.F., Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Kajian Perubahan Sosial, Alih bahasa A.F. Husein, Yogyakrta: Tiara Wacana Yogya, 1999.

Whalley, Lucy A., “Meletakkan Islam ke dalam Praktik: Perkembangan Islam dalam Perspektif Gender di Minangkabau”, dalam Mark R. Woodward (Ed.), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Alih bahasa Ihsan Ali-Fauzi, Bandung: Mizan, 1998.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Cet.16, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Cet.IV, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995.

Zamiek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Alih bahasa Butche B. Soendjono, Jakarta: LP3ES.
Zed, Mestika, “Pendidikan Kolonial dan Masalah Distribusi Ilmu Pengetahuan: Suatu Perspektif Sejarah”, Jurnal Sejarah Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi, No. 1, Jakarta: PT Gramedia, 1991, 17-31.

Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986.

_______, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Zuhri, Saefuddin “Pendidikan Pesantren di Persimpangan Jalan”, dalam Sa’id Aqiel Siradj dkk., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Zuhri, Saifudin, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya, Bandung: Al-Ma’arif, 1978.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Identitas Diri
N a m a : Maftuh, S.Pd.I
Tempat/tgl. Lahir : Serang, 25 Desember 1978
NIP : 150 344 101
Pangkat/Golongan : Penata Muda Tk.I/IIIb
Jabatan : Guru Madya pada MTs Al-Khairiyah Macute Mancak Kab.
Serang Banten
Alamat Rumah : Jl. Sunan Bonang, Link. Keracak RT/RW. 016/004, Kel. Banjarnegara, Kec. Ciwandan Kota Cilegon Banten
Email : maftuh_krck@yahoo.co.id
HP : 08569005235
Alamat Kantor : Jl. Raya Panenjoan KM. 01 Mancak Kab. Serang
Nama Ayah : Ajma’in, A.Ma.
Nama Ibu : Bahriyah
Nama Istri : Rohmah Fikriyah, SEI
Nama Anak : Aulia Nazwa Maftuh

Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. SDN Keracak lulus tahun 1990
b. MTs Al-Hidayah Kubang Welut lulus tahun 1993
c. MAN Cilegon lulus tahun 1996
d. Strata Satu (S1) IAIN Raden Intan Bandarlampung lulus tahun 2002
e. Strata Dua (S2) MSI UII Yogyakarta lulus tahun 2008
f. Strata Dua (S2) PPs UIN Sunan Kalijaga tahun 2007 sampai dengan sekarang.
2. Pendidikan Non-Formal
a. Madrasah Diniyah Al-Khairiyah Banjarnegara I lulus tahun 1991
b. KIM College English Course tahun 1995
c. Lembaga Bahasa LIA Afiliasi Bandarlampung tahun 1997
d. Short Course “Metodologi Penelitian Sosial, Budaya dan Agama” Dialogue Centre PPs UIN Sunan Kalijaga tanggal 1-2 Mei 2008
e. Kursus Internet pada e-Fac tahun 2008
f. Kursus Bahasa Jerman pada Pusat Bahasa dan Budaya UIN Sunan Kalijaga tahun 2008
g. Pelatihan Bahasa Arab Pusat Bahasa dan Budaya UIN Sunan Kalijaga tanggal 17-25 Juni 2008
h. Pelatihan Bahasa Inggris Pusat Bahasa dan Budaya UIN Sunan Kalijaga tanggal 26 Juni-4 Juli 2008.
i. Mahasantri Ma’had Aly Pondok Pesantren Ali Maksum Krapyak dari tahun 2008.


Riwayat Pekerjaan
1. Guru pada MTs Al-Khairiyah Kracak dari tahun 1997 sampai sekarang
2. Guru pada MD Al-Khairiyah Banjarnegara I dari tahun 1997 sampai sekarang
3. Wakil Kepala Madrasah Bidang Kurikulum dari tahun 2002-2007
4. Kepala Sekolah SMA Al-Khairiyah 4 Cilegon dari tahun 2003-2004
5. Instruktur Bahasa Inggris LPK Global Cilegon dari tahun 2005 sampai 2007
6. Calon Pegawai Negeri Sipil tahun 2005
7. Pegawai Negeri Sipil dari tahun 2006 sampai sekarang.

Riwayat Organisasi
1. Ketua Remaja Islam Masjid (RISMA) Nurul Falah dari tahun 2002 sampai dengan 2005
2. Sekretaris Komite SDN Keracak dari tahun 2002 sampai dengan 2007
3. Anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) dari tahun 2002 sampai dengan 2007
Karya Ilmiah
1. “Pengaruh Sistem Pendidikan Kolonial Belanda terhadap Sistem Pendidikan Islam di Indonesia 1900-1942 (Suatu Tinjauan Historis)”, Skripsi, tahun 2002
2. “Menata Ulang Konsep dan Praktik Pendidikan Islam: Upaya Membangun Paradigma Pendidikan Islam Berwawasan Semesta”, Majalah Dinamika Umat, Edisi 43/V, (Juni, 2006)
3. “Menyiasati Kekurangan Jam Pelajaran Pendidikan Agama di Sekolah”, Majalah Dinamika Umat, Edisi 50/VI, (Januari, 2007)
4. “Problematika Dikotomi Pendidikan Islam dalam Pandangan Isma’il Raji al-Faruqi”, Tesis, tahun 2008
5. “Guru di Tengah Arus Era Reformasi”, Majalah Dinamika Umat, Edisi 69/VII, (Agustus, 2008).
Yogyakarta, November 2008

Maftuh, S.Pd.I
NIM. 07.223.784

No comments: