PENDIDIKAN ISLAM KONSERVATIF : TOKOH DAN AJARANNYA
(Studi Atas Pemikiran Imam Al-Ghazali)
Oleh: MAFTUH, S.Pd.I
A. Pendahuluan
Perbincangan seputar pemikiran pendidikan Islam seolah tidak pernah ada habisnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh watak dinamis pendidikan Islam itu sendiri ketika dihadapkan pada kondisi lingkungan yang mengitarinya, yang tentu saja tidak mungkin terlepas sama sekali darinya. Pendidikan jelas diyakini mempunyai peranan penting dalam peanngkatan sumber daya manusia. Dikatakan juga bahwa fungsi pendidikan Islam yang ideal sebenarnya tidak lain dalam penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi yang mampu membina dan menyiapkan anak didik yang berilmu, dan sekaligus beriman serta beramal shaleh.[1]
Inilah sebenarnya yang “merisaukan” para ahli pikir pendidikan Islam dalam upayanya menemukan bentuk ideal bagi pengembangan sistem pendidkan Islam. Dari sini pulalah pada akhirnya lahir tokoh-tokoh pendidikan Islam yang menandakan tingginya intensitas kepedulian mereka pada pendidikan Islam itu. Untuk menyebut beberapa pemikir pendidikan Islam pada masa kejayaannya di antaranya adalah: al-Ghazali, al-Thusi,[2] Ibn Jama’ah,[3] Ibnu Khaldun,[4] al-Qabisi,[5] Ibnu Sahnun,[6] Ibnu Hajar al-Haitami[7] dan lain-lain.
Tulisan ini akan berupaya mengungkap salah satu tokoh yang disebutkan di atas yakni al-Ghazali, agar diperoleh gambaran yang lebih jelas tentang corak pemikiran pendidikan Islam yang dianut tokoh tersebut.. Terlebih, sebagaimana dikatakan Fathiyah Hasan Sulaiman,[8] kajian tentang pendidikan Islam pada masa-masa kejayaannya dapat dikatakan kurang.
Mengikuti tipologi yang dilakukan M. Jawwad Ridla[9] bahwa al-Ghazali termasuk dalam aliran pendidikan Islam konservatif (al-Muhafidz). Satu “gerbong” dengan al-Ghazali yaitu al-Thusi, Ibnu Sahnun, Ibn Jama’ah, Ibnu Hajar al-Haitami serta al-Qabisi. Disebut aliran pemikiran pendidikan Islam yang konservatif, dikarenakan mereka memandang pendidikan yang berkecenderungan murni keagamaan. Mereka memaknai ilmu yang dibutuhkan di dunia itu hanya yang telah jelas-jelas membawa manfaat di akhirat kelak. Penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan kitabullah al-Qur’an. Ia berusaha menghafalkannya dan mampu menafsirkannya kemudian dilanjutkan dengan belajar al-hadits, nahwu dan sharaf.[10]
B. Biografi Imam al-Ghazali: Sebuah Sketsa
Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Namanya kadang diucapkan dengan Ghazzali (dua z), artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayahnya ialah tukang pintal benang wol. Sedangkan yang lazim ialah Ghazali (satu z) diambil dari kata Ghazalah nama kampung kelahirannya.[11]
Ia lahir pada tahun 450 H bertepatan dengan 1059 M di desa Thus wilayah Khurasan.[12] Dia mulai pendidikannya di wilayah kelahirannya, Thus, dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nishapur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota itu menjadi pusat terpenting ilmu pengetahuan di dunia Islam. Di kota Nishapur inilah al-Ghazali berguru kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma’ali al-Juwainy, seorang ulama yang pada saat itu menjadi guru besar di Nishapur.[13]
Pada al-Juwainy, ia belajar ilmu kalam, ilmu ushul dan ilmu-ilmu agama lainnya. Ia taampil dengan kecerdasan dan kemampuan berdebat yang sangat menonjol. Al-Juwainy sendiri menyebutnya sebagai “Laut yang Menenggelamkan”[14] Selagi ia berguru pada al-Juwainy tersebut, ia juga telah mulai mengajar.[15]
Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan. Betapa pun kesulitan yang dialaminya, bagaimana pun hambatan yang merintangi, dan bagaimana pun kesusahan yang dirasakannya, semangatnya tak pernah kendor untuk mencari ilmu pengetahuan. Dalam al-Munqid min ad-Dhalal, ia menggambarkan tentang dirinya: “Rasa haus untuk mengetahui hakikat-hakikat berbagai persoalan adat-adat dan ini kebiasaanku sejak masa kecil dan masa dewasaku, sebagai suatu insting dan sifat dasar yang diberi Allah ta’ala dalam diriku, bukan atas keinginan dan usaha saya….”[16]
Setalah al-Juwainy meninggal pada 478/1085 M, al-Ghazali menuju Baghdad dan bergabuang dengan perdana menteri dinasti Saljuq, Nizham al-Mulk. Di sini ia banyak berdiskusi dengan para pakar dan ulama, sehingga berhasil menarik hati sang perdana menteri. Akhirnya, al-Ghazali diangkat sebagai guru besar di Universitas Nizhamiyah pada tahun 4848 H, sebagai bentuk pertahanan akidah ahlussunah wal jama’ah dari serangan paham batiniah. Banyak mahasiswa yang berdatangan untuk berguru padanya dari berbagai daerah. Hal inilah yanaga membuat nama al-Ghazali mencuat dan terkenal, bahkan hingga ia mendapat gelar imam Irak.[17]
Al-Ghazali selama bertugas sebagai guru pada Nizhamiyah tersebut, berhasil menuyusun sejumlah karya tulis, seperti: al-Basith, al-Wasith, al-Wajiz dan al-Khulashat dalam ilmu fikih. Selain itu, ada lagi al-Munqal fi ‘ilm al-Jadal, Ma’khadz al-Khilaf, Lubab an-Nazhr, Tqahsin al-Ma’akhadz serta al-Mabadi al-Ghayat wa Fann al-Khalaf.[18] Kendati pun ia menulis sejumlah buku, hal itu tidak mengganggunya untuk selalu berfikir dan merenung serta mencari hakikat kebenaran. Ia juga mempelajari beberapa cabang ilmu dan filsafat, seperti falsafat Yunani. Hal ini ia lakukan, dengan harapan semua itu akan membantunya untuk menuju pengenalan dan penyerahan diri kepada Allah.
Setelah empat tahun mengajar, ia bertekad untuk meninggalkan Baghdad. Tekad itu ia laksanakan dan ia pergi untuk ibadah haji, untuk selanjutnya menuju Syam (Syiria), Bait al-Maqdis, Makam Ibrahim, Mesir lalu ke Maroko untuk menemui Abu Yusuf Ibn Tasyfin. Sayangnya, Ibn Tsyfin keburu telah meninggal dunia sebelum al-Ghazali sempat menemuinya.
Pada waktu di Syam, ia tinggal di masjid Jami’ al-Umawi. Ia banyak melakukan perjalanan di gurun-gurun pasir guna melatih diri dengan kehidupan zuhud, membuang pola hidup berkecukupan sambil memahami secara mendalam arti dari kezuhudan serta menenggelamkan diri dalam kehidupan ruhani dan renungan agama.
Setelah melanglang buana selama kurang lebih sepuluh tahun pada tahun 499/1106 M al-Ghazali kembali ke Nisyhapur untuk melanjutkan kegiatannya mengajar di Universitas Nizhamiyah. Kali ini ia tampil sebagai tokoh pendidikan yang betul-betul mewarisi dan mengarifi ajaran rasulullah Saw.
Kitab pertama yang ditulis al-Ghazali sekembalinya ke Baghdad adalah al-Munqid min al-Dhalal. Kitab ini dikatakan sebagai rujukan terpenting yang pernah didapat para sejarawan tentang kehidupan al-Ghazali. Dalam kitab ini termuat gambaran tentang kehidupannya., khususnya tentang periode peralihan pandangannya kepada makna hidup dan nilai-nilai mulia yanag terkandung di dalamnya. Di dalam kitab ini juga al-Ghazali menjelaskan bagaimana iman di dalam jiwa berkembang dan bagaimana manusia menemukan hakikat-hakikat ilahiyat. Dan bagaimana manusia dapat sampai kepada ilmu pengetahuan yang meyakinkan (ma’rifat al-yaqin), bukan melalui jalan fikir dan logika, tetapi jalan ilham dan penemuan sufi.
Memang sejarah telah mencatat al-Ghazali sempat ragu terhadap berbagai ilmu, baik ilmu yang dicapai oleh indera maupun akal pikiran. Ia misalnya ragu terhadap ilmu kalam yang telah dipelajarinya dari al-Juwaini[19] Ia juga meragukan filsafat yang tidak saja jauh dari ortodoksi Islam dalam ajaran-ajarannya, tapi bahkan juga tidak mempunyai kepastian dalam pembuktian-pembuktiannya. Ia berkeyakinan bahwa hanya sufisme yang dapat membawa dia ke ilmu yang sebenarnya.[20]
Dari sini pula kemudian membawanya kembali kepada konsep-konsep al-Qur’an dalam meninjau konsep-konsep rumusan kalam Asy’ariyah. Ia berhasil merumuskan kalam dari rumusan yang dogmatis dan formal ke ortodoks agama yang hidup. Dalam kata-kata Fazlur Rahman: “… Ia ditakdirkan untuk menjadi pembaharu sufisme yang pertama dan terbesar, dan pada waktu yang sama juga memperoleh tempat dalam struktur ortodoksi Islam.”[21]
Al-Ghazali, oleh karenanya, diakui sebagai Hujjatul Islam (Pembela Islam), dan Zainuddin (Hiasan Agama). Gelar ini menandakan akan pengakuan orang atas kedalaman dan keluasan ilmunya.
Sepuluh tahun sesudah kembalinya al-Ghazali ke Baghdad, ia pergi ke Nishapur. Di sana ia mengajar dan mendirikan madrasah di samping rumahnya. Pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahuan 505 H/18 Desember 1111 M, al-Ghazali pulang ke rahmatullah dalam usia 55 tahun, dan dimakamkan di tempat khalwat (khanaqah)-nya.[22]
Percikan-percikan pikirannya dalam bidang pendidikan ia tuangkan dalam buku berjudul Ihya Ulumuddin, Fatihat al-Ulum dan Ayyuhal Walad. Ia sangat besar perhatiannya terhadap penyebaran ilmu dan pengajaran. Karena baginya, ilmu dan pengajaran itu adalah sarta penanaman dari sfat-sifat mulia, memperhalus jiwa dan mendekatkan manusia kepada Allah Swt.
C. Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali
Al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan. Karena pendidikanlah yang dipandang akan menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya.[23] Pembicaraan al-Ghazali mengenai pendidikan berkisar pada tiga pokok seperti yang dijelaska dalam kitab Ihya-nya:
1. Penjelasan tentang keutamaan ilmu pengetahuan atas kebodohan
2. Pengklasifikasian ilmu-ilmu termasuk ke dalam program kurikulum
3. Kode etik bagi peandidik dan peserta didik.[24]
- Pandangan al-Ghazali Tentang Keutamaan dan Klasifikasi Ilmu
Al-Ghazali memandang bahwa dalam imu terdapat nilai manfaat yang bersifat internal maupun eksternal. Sesuatu yang dicari karena manfaat internalnya itu akan lebih berharga dibanding sesuatu yang dicari karena manfaat eksternalnya. Contoh sesuatu yang dicari karena manfaat eksternalnya adalah uang. Ia merupakan logam yang secara substansial tidak ada manfaatnya, sekiranya tidak berfungsi sebagai alat tukar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Adapun sesuatu yanag dicari karea manfaat internalnya adalah kebahagiaan di akhirat dan nikmatnya bertemu dengan Allah.[25]
Dalam kerangka pikir semacam itu, sewaktu melihat ilmu pengetahuan, dipandanganya ada nilai manfat yang bersifat internal. Sehingga dicari karena manfaat internalnya adalah sarana untuk menggapai kebahagiaan di akhirat. Selain itu, ia juga jalan utama yang mengantarkan seseorang dekat dengan Allah. Semulia-mulianya segala sesuatu adalah yanga bisa mengantarkan seseorang dekat dengan Allah. Untuk bisa dekat dengan Allah seseorang perlu beramal, dan seseoranga tidak beramal dengan baik dan benar kecuali dengan ilmu pengetahuan mengenai cara bagaimana beramal. Jadi pangkal kebahagiaan di dunia dan di akhirat adalah ilmu, sehingga merupakan amal yang terbaik. Sesuatu dapat diketahui kadar keutamaannya melalui akibat (manfaat) yang ditimbulkannya. Sementara sudah dimaklumi bahwa manfaat ilmu adalah kedekatan diri dengan Allah, para malaikat dan kalangan orang-orang mulia lainnya. Adapun di dunia dengan ilmu, adalah kemuliaan, kehormatan dan kewibawaan.[26]
Ada perbedaan dan hierarki keilmuan yang berimplikasi pada variasi keutamaan masing-masing. Bila ilmu merupakan hal yang paling mulia, maka mempelajari ilmu berarti menuntut sesuatu yang mulia. Dan bila mengajarkannya berarti memberi sesuatu yang utama.
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan pada yang terlarang dan wajib dipelajari menjadi tiga kelompok, yaitu:[27]
a. Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tidak ada manfaatnya pada manusa baik di dunia ini terlebih di akhirat. Misalnya ilmu sihir, nujum dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudarat dan akan meragukan terhadap kebenaran adanya Tuhan. Oleh karenanya ilmu ini harus dijauhi.
b. Ilmu yang terpuji, sedikit atau banyak. Mislanya ilmu tauhid atau ilmu agama. Ilmu ini apabila dipelajari akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah.
c. Ilmu yang terpuji pada taraf-taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu ini akan membawa kepada kegoncangan dan ilhad (meniadakan Tuhan) seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga ilmu tersebut, al-Ghazali membagi lagi ilmu tersebut menjadi dua kelompok jika dilihat dari seg kepentingannya, yaitu:
a. Ilmu wajib (fardlu ‘ain), yakni ilmu-ilmu yang dbutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas akhirat yang baik. Ilmu ini terdirti atas: ilmu tauhid, ilmu syari’at dan ilmu syirri.
b. Ilmu fardlu kifayah, yaknia ilmu-ilmu yang berkaitan dengan keduniaan, yang perlu diketahui manusia. Oleh karena itu, tidak semua setiap manusia dituntut memiliki semua jenis ilmu yang ada, tetapi cukup dikembangkan melalui orang-orang tertentu yang telah memiliki kemampuan-kemampuan khusus untuk mewujudkan kehidupan dunia ini.
Al-Ghazali berkata:
“Ilmu yang termasuk jenis fardlu kifayah ialah, semua jenis ilmu yang dibutuhkan demi tegaknya urusan keduniaan, seperti ilmu kedokteran dan aritmatik. Ilmu kedokteran dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Sedangkan aritmatika dibuthkan untuk urusan muamalah, pembagian wasiat, harta warisan dan lain-lain. Jika di antara pendudukan negeri tidak ada seorangpun yang mempelajari ilmu-ilmu tersebut, maka seluruh penduduk negeri itu berdosa. Tetapi jika ada seoraag di antara mereka, maka kewajiban tidak ada lagi padanya.”[28]
Selanjutnya, al-Ghazali juga telah menyusun kurikulum yang dianjurkan dipelajarti di madrasah. Ilmu-ilmu tersebut adalah:
a. Ilmu al-Qur’an, ilmu-ilmu agama seperti fikih, sunah Rasul, tafsir, tauhid dan akhlak
b. Ilmu-ilmu bahasa Arab, nahwu, makhraj dan ;lafadz-lafadznya, karena ilmu ini berfungsi membantu ilmu agama
c. Ilmu-ilmu yang termasuk fardlu kifayah, yaitu ilmu kedokteran, matematika dan berbagai keahlian termasuk ilmu fisika.
d. Ilmu-ilmu budaya, seperti sya’ir, sejarah dan beberapa cabag filsafat seperti logika.
Dalam menyusun kurikulum tersebhut, al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika. Oleh karenanya, ia kurang menekankan pentingnya keterampilan. Hal ini dapat dimengerti, karena ia didominasi oleh kehidupannya yang sufistik.
2. Pendidik
Pandangan al-Ghazali mengenai ciri-ciri pendidik dapat dirumuskan dalam beberapa butir berikut:[29]
a. Guru harus mencintai dan menyayangi muridnya, seperti mencintai dan menyayangi anak kandungya sendiri.
b. Guru bersedia sungguh-sungguh mengikuti tuntunan Rasullah Saw. Sehingga ia tidak mengajar untuk mencari upah atau untuk mendapatkan penghargaan dan tanda jasa. Akan tetapi mengajar semata-mata untuk mencari keridlaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Sedangkan upahnya terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
c. Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah, bukan mencari kedudukan, kekayaan dan popularitas. Sedapat mungkin guru menanamkan sikap benci dalam diri peserta didik terhadap tujuan-tujuan duniawi semacam itu.
d. Guru harus mendorong murid-muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu yang membawa kebahagiaaan dunia dan akhirat.
e. Guru harus mengamalkan ilmunya, sehingga yang ada adalah menyatukan ucapan dan tindakan. Hal ini penting sebab bagaimana pun ilmu hanya diketahui mata hati (basha’ir), sedangkan perbuatan diketahui dengan mata kepala (abshar). Pemilik abshar jauh lebih banyak dibanding pemilik basha’ir, sehingga terjadi kontradiksi antara ilmu dan amal, tentu akan menghambat keteladanan.
f. Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap anak didik.
g. Guru harus memaham minat, bakat dan jiwa anak didiknya. Sehingga di samping tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab antara guru dan anak didiknya.
h. Guru harus menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanannya.
i. Kepakaraan guru dalam spesialisasi keilmuan tertentu tidak menyebabkannya memandang remeh disiplin keilmuan lainnya, semisal guru yang pakar dalam ilmu bahasa, tidak menganggap remeh ilmu fikih. Karena sikap ini adalah akhlak tercela bagi guru. Degan demikian guru memberi kelonggaran kepada anak didiknya untuk menekuni ilmu lain yang tidak ia ajarkan. Selain itu, guru juga harus menuntun proses pembelajaran anak didiknya dalam bidang keilmuan yang ia ajarkan secara gradual dan sistematis.
Terlihat bahwa al-Ghazali memandang guru sebagai profesi yang diarahkan pada aspek moral dan kepribadian guru. Sedangkan aspek keahlian, penguasaan terhadap materi yang diajarkan dan metode yang dikuasainya nampak kurang diperhatikan. Ini sebenarnya dapat dimaklumi mengingat al-Ghazali memandang guru tersebut dari paradigma tasawuf yang menempatkan guru sebagai figure sentral, idola bahkan mempunyai kekuatan spiritual di mana sang murid sangat tergantung kepadanya.
Dalam konteks sekarang, paradigma itu kurang sejalan. Posisi guru dalam pendidikan modern saat ini bukan merupakan satu-satunya agen ilmu pengetahuan dan informasi. Guru pada masa sekarang lebih dilihat sebagai fasilitator, pemandu atau nara sumber yang mengarahkan jalannya proses belajar-mengajar.
- Peserta Didik
Sejalan dengan prinsip bahwa menuntut ilmu pengetahuan itu sebagai ibadah adan upaya mendekatkan diri kepada Allah, maka bagi peserta didik hendaknya memiliki sikap-sikap sebagai berikut:[30]
a. Memprioritaskan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat buruk. Karena ilmu itu bentuk peribadatan hati yang mempersyaratkan kebersihan jiwa. Layaknya shalat yang tidak sah kecuali dengan thaharah terlebih dahulu, demikian pulalah ibadah hati yang tidak sah kecuali setelah dilakukan penyucian diri dari noda-noda akhlak.
b. Peserta didik menjaga diri dari kesibukan-kesibukan duniawi dan seyogyanya berkelana jauh dari tempat tinggalnya. Sebab bergelut dengan kesibukan duniawi akan memalingkan konsentrasi belajar, sehingga kemampuan mempelajari ilmu menjadi tumpul. Al-Ghazali berkata:
“Ilmu tidak akan menyerahkan diri kepadamu, hingga kamu mau memberikan semuanya. Jika kamu telah memberikan semuanya, maka itu pun belum tentu kamu raih semuanya. Pikiran dan perhatian yang bercabang-cabang, laksana percikan-percikan air yang meresap di tanah dan diterpa angin kesana-sini, sehingga taka sedikit pun yang tersisa untuk bisa dimanfaatkan.”[31]
c. Tidak membusungkan dada terhadap guru. Bahkan ia harus patuh terhadap segala urusan dan bersedia mendengarkan nasihatnya. Sebab, pasien sudah seharusnya mematuhi apa yang menjadi nasihat dokter yang menanganinya.
d. Bagi penuntut ilmu pemula hendaknya menghindarkan diri dari meangkaji variasi pemikiran dan tokoh, karena akan membuat pikiran bingung dan memecahkan konsentrasi. Ia harus terlebih dahulu menguasai betul suatu disiplin ilmu dari salah seorang guru sebelum mengkaji ragam pemikiran da aliran yang lainnya.
e. Penuntut ilmu harus mempelajari sebaik mungkin disipilin apapun yang terpuji sampai ia tahu tujuan dan maksud orientasi disiplin tersebut. Bila kesempatan tidak mengijinkan, ia perlu memprioritaskan disiplin ilmu yang terpenting untuk didalami.
f. Penuntut ilmu dalam usaha mendalami suatu disiplin ilmu hendaknya tidak dilakukan secara sekaligus, akan tetapi perlu bertahap dan memprioritaskan yang terpenting.
g. Penuntut ilmu hendaknya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan dapat memperoleh ilmu yang paling mulia. Kriteria kemuliaan dan keutamaan ilmu terletak pada dua hal: Keutamaan hasil (dampak) dan reliabilitas argumen. Sebagai contoh ilmu agama dan ilmu kedokteran, di mana ilmu agama berdampa positif bagi kehidupan seseorang di akhirat, sedangkan ilmu kedokteran berdampak positif baginya di dunia. Maka ilmu agama lebih utama dibandingkan ilmu kedokteran.
h. Tujuan belajar penuntut ilmu adalah peambersihan batin dan menghiasinya dengan keutamaan serta pendekatan diri kepada Allah serta mendekatkan maqam spiritualnya. Dengan begitu hendaknya ia memprioritaskan ilmu akhirat dan ilmu-ilmu lain yang membantunya.
Kode etik peserta didik di atas masih ampak kental perspektif tasawufnya. Agaknya untuk konteks sekarang, perlu ditambahkan dengan lebih menekankan akan kreativitas dan kegairahan balajar anak didik.
D. Implikasi Pemikiran Pendidikan al-Ghazali Terhadap Sistem Pendidikan Islam di Indonesia
Implikasi pemikiran al-Ghazali terhadap sistem pendidikan Islam di Indonesia diduga kuat sangat signifikan. Hal ini terlihat terutama pada praktek pendidikan yang dilaksanakan pada pondok-pondok pesantren tradisional di Indonesia. Dalam pesantren, otoritas kyai begitu dominan dan sangat dihormati. Santri mempunyai kewajiban taat dan tunduk kepada kyai yang hampir-hampir sampai pada batas mutlak.[32] Sebagai konsekuensi logis dari hubungan semacam ini, maka kesempatan bagi seorang santri untuk berbeda pendapat dan pandangan dengan kyainya, sangat kecil.
Abdurrahman Wahid melukiskan bahwa para kyai dan para pembantunya merupakan satu-satunya hirarki kekuasaan yang diakui di pesantren. Kekuasaan kyai bersifat mutlak atas para santrinya; santri merasa terikat kepada kyainya sepanjang hidupnya, setidak-tidaknya sebagai sumber ilham dan bantuan moral bagi kehidupan perorangannya.[33] Deliar Noer bahkan mengatakan kyai dianggap sebagai ma'shum (tanpa salah).[34]
Tentu saja di bawah sistem yang seperti itu menjadi hampir-hampir tidak mungkin untuk mengembangkan dan mendorong terciptanya suatu pikiran mandiri, merdeka dan kritis dalam diri seorang santri, suatu kualitas yang banyak dituntut oleh zaman modern sekarang ini.
Begitu pula dengan subyek-subyek yang diajarkan di pesantren akan terlihat kecenderungan yang sangat kuat akan pengaruh pemikiran al-Ghazali yang beraliran konservatif itu. Pengaruh sufisme (tarikat) terlebih subyek fiqh sangat terasa pada pesantren-pesantren tersebut, bahkan lebih luas lagi pada pendidikan dan pengajaran pendidikan Islam umumnya di Indonesia.[35]
Kritik yang muncul dengan sistem seperti ini diwakili oleh Ahmad Syafi'i Ma'arif yang melihat pesantren tidak lebih dari suatu halaqah yaitu tempat para santri mengerumuni seorang kyai tertentu, tetapi antara mereka dan pemahaman langsung al-Qur'an ada jarak tertentu.Artinya, menurutnya lebih lanjut, al-Qur'an sebagai sumber pokok Islam tidak didekati sebagai satu kesatuan ajaran hingga berhasil membentuk suatu pandangan hidup Qur'ani yang bulat, jelas dan padu. Dari sudut penglihatan seperti ini, maka hampir-hampir tidak mungkin untuk mengharapkan dari sistem pengajaran model ini akan mampu dikembangkan suatu sikap mental kreatif dari muslim yang dengan positif, konstruktif disertai tanggung jawab untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan di bawah sorotan al-Qur'an.[36]
Terlepas dari berbagai kelemahan yang mengidap sistem pendidikan aliran konservatif ini, namun agaknya ia sangat efektif dalam menghasilkan peserta didik yang militan terhadap Islam dan memiliki moral yang tinggi. Agaknya ini juga sejalan dengan pandangan al-Ghazali yang sangat menekankan akan penanaman nilai-nilai akhlak sejak dini. Ia menegaskan bahwa jika masa-masa awal anak diabaikan pembentukan akhlaknya, maka umumnya anak itu berakhlak buruk dan suka berdusta.[37]
Pesantren juga ternyata dalam lingkungannya banyak nilai-nilai positif yang sejalan dengan tuntutan yang harus dimiliki oleh peserta didik dalam kehidupannya di masyarakat luas. Hasil penelusuran yang dilakukan M. Nurkholis Setiawan[38] memperlihatkan bahwa di dalam pesantren terdapat nilai-nilai toleransi dan demokrasi yang diterapkan di dalamnya.
E. Penutup
Dari keseluruhan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, al-Ghazali adalah seorang ulama besar yang menaruh perhatian yang cukup tinggi terhadap pendidikan. Corak penddikan yang dikembangkannya nampak dipengaruhi oleh pandangannya tentang tasawuf dan fikih. Hal ini tidak mengherankan karaena bidang ilmu tersebut itulah al-Ghazali memperlihatkan kecenderungan yang besar. Konsep pendidkan yang dikemukakannya nampak selain sistematik dan komprehensif juga secara konsisten sejalan dengan sikap dan kepribadiannya sebagai seorangf sufi.
Konsep penddikan al-Ghazali tersebut merupakan aplikasi dan responsi dari jawabannya terhadap permasalahan sosial kemasyarakatan yang dihadapinya saat tu. Konsep tersebut jika diaplikasikan pada masa sekarang nampak sebagiannya masih ada yang sesuai dan sebagian lainnya ada yang perlu disempurnakan. Itulah watak hasil pemikiran manusia yang selalu menuntut penyempurnaan.
Konsep pemikiran pendidikannya yang cenderung sufistik dan fiqh-oriented memperlihatkan pengaruh yang sangat besar terhadap sistem pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini sangat jelas terlihat terutama pada praktik-praktik pendidikan pondok pesantren tradisional di mana kitab-kitab karangan al-Ghazali dikaji secara intensif di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, "Pesantren sebagai Subkultur," dalam Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974)
_____, “Pondok Pesantren Masa Depan,” dalam Sa’id Aqiel Siradj dkk., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transfomasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998)
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Ahmad Fuad Ahwani, Al-Tarbiyah fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Misriyyah, t.t.)
Ahmad Syafi'i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Cet.III,(Jakarta: LP3ES, 1996)
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jil. I, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi)
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)
Deliar Noer, "Masyumi: Its Organization, Ideology, and Political Role in Indonesia," Tesis M.A. (New York: Cornel University Ithaca, 1960)
_____, Hubungan Tiga Golongan, (Yogyakarta: Seminar Sejarah Nasional II, 1970)
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Menurut al-Ghazali: Solusi Menghadapi Tantangan Zaman, Penerj. Z.S. Nainggolan dan Hadri Hasan, (Jakarta Timur: Dea Press, 2000)
Fazlur Rahman, Islam, Penerj. Ahsin Mohammad, Cet.IV, (Bandung: Pustaka, 2000)
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978)
Hasan Asari, “The Education Thought of Al-Ghazali: Theory and Practice,” Tesis, (Canada: Montreal Institute of Islamic Studies McGill University, 1993)
M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis-Filosofis), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002)
M. Nur Kholis Setiawan, "In Search of an Ideal Islamic Education (The Contribution of Pesantren)," Jurnal Studi Agama Millah,Vol.V, No. 1, (MSI UII: Yogyakarta, 2005)
Saefuddin Zuhri, “Pendidikan Pesantren di Persimpangan Jalan,” dalam Sa’id Aqiel Siradj dkk., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transfomasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002)
Sembodo Ardi Widodo, Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam, (Jakarta: Nimas Multima, 2003)
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat , (Jakarta: LP3ES, 1987)
TK. H. Ismail Jakub, Mencari Makam Imam Ghazali, (Surabaya: Faizan, t.t.)
PENDIDIKAN ISLAM KONSERVATIF : TOKOH DAN AJARANNYA
(Studi Atas Pemikiran Imam AL-Ghazali)
EDISI REVISI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri pada Mata Kuliah
Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dr. Sembodo Ardi Widodo, MA
Oleh
NAMA : MAFTUH, S.Pd.I
NIM : 07223784
PRODI : MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
MINAT : AKIDAH AKHLAK
KELAS : A
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2007
[1] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), p. 56-57
[2] Nama lengkapnya Syekh Abdillah Nashiruddin al-Thusi Muhammad Ibnu Muhammad Ibu Husain al-Thusi (597-672 H). Seorang ahli astronomi, ahli matematika dan filsafat. Karya tulisnya dalam pendidikan adalah Kitab Adab al-Muta’allimin. Lihat, M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Perspektif Sosiologis-Filosofis), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya), 2002, p. 114
[3] Nama Lengkapnya Abu Abdullah Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Sa’dullah Ibnu Jama’ah Ibnu Hazm Ibnu Shaqr (639-733 H). Karya tulisnya dalam penddikan yaitu Tadzkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa Muta’allim. Ibid.
[4] Lengkapnya Abu Abdullah Muhammad Ibnu Husaini Ibnu Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Abdirrahman Ibnu Khaldun al-Khadrami al-Tunisi (732-808 H). Percikan pemikirannya tertuang dalam magnum opus-nya Muqaddimah. Ibid.
[5] Yaitu al-Faqih al-Qairuwani Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Khalaf (342-403 H). Karya tentang pendidikannya al-Risalah al-Mufashshalah li Ahwal al-Mu’allimin wa Ahkam al-Mu’allimin wa al-Muta’allimin. Ibid.
[6] Lengkapnya Ibnu Abi Sa’id Sahnun Abdussalam Ibn Sa’id Ibn Habib al-Tanukhi (202-256 H). Lahir dan meninggal di Qairawan dan karya tentang pendidikannnya ditulis dalam Kitab Adab al-Muta’allimin. Ibid.
[7] Lengkapnya Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Hajar al-Haitami (909-974 H). Karya tulis tentanga pendidiannya yaitu Tahrir al-Maqal fi Adab wa Ahkam wa Fawa’id Yahtajju Ilaiha Muaddib al-Athfal. Ibid.
[8] Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Menurut al-Ghazali: Solusi Menghadapi Tantangan Zaman, Penerj. Z.S. Nainggolan dan Hadri Hasan, (Jakarta Timur: Dea Press, 2000), p. 19
[9] M. Jawwad Ridla membagi aliran pendidikan Islam menjadi tiga, yaitu aliran agamis-konservatif yang tokoh-tokohnya telah disebutkan di atas, aliran religius-rasional yang diwakili oleh Ikhwan al-Shafa dan aliran pragmatis-instrumental yang diwakili oleh Ibnu Khaldun.
[10] Lihat, M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran…, p. 75
[11] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), p. 9
[12] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), p. 43
[13] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), p. 159
[14] Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan…., p. 25
[15] Hasan Asari, “The Education Thought of Al-Ghazali: Theory and Practice,” Tesis, (Canada: Montreal Institute of Islamic Studies McGill University, 1993), p. 8
[16] Dikutip Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan…., p. 26
[17] M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran…, p. 116
[18] Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan…., p. 26; Lihat juga, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), p. 86
[19] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme…, p.42
[20] Fazlur Rahman, Islam, Penerj. Ahsin Mohammad, Cet.IV, (Bandung: Pustaka, 2000), p. 131
[21] Ibid.
[22] TK. H. Ismail Jakub, Mencari Makam Imam Ghazali, (Surabaya: Faizan, t.t.), p. 111
[23] Ahmad Fuad Ahwani, Al-Tarbiyah fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Misriyyah, t.t.), p. 238, seperti dikutip Abudin Nata, Filsafat Pendidikan…, p. 161
[24] M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran…, p. 121
[25] Hasan Asari, “The Education Thoght…, p. 58-59
[26] M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran…, p. 121-122
[27] Informasi tentang pengklasifikasian ilmu oleh al-Ghazali ini dapat dibaca pada karya-karya berikut ini: Abudin Nata, Filsafat Pendidikan…, p. 166-167; Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan…., p. 39-56; Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali…, p. 44-49; dan Hasan Asari, “The Education Thought…, p. 62-81
[28] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jil. I, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi), p. 14, seperti dikutip Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali…, p. 47
[29] Disarikan dari keterangan Hasan Asari, “The Education Thought…, p. 105-112; M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran…, p. 129-132; Abudin Nata, Filsafat Pendidikan…, p. 163-164
[30] Lihat, M. Jawwad Ridla, Tiga Aliran…, p. 124-128 dan Hasan Asari, “The Education Thought…, p. 93-104
[31] Al-Ghazali, Ihya…, Juz I, p. 56
[32]Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat , (Jakarta: LP3ES, 1987), p. 112-113
[33] Abdurrahman Wahid, "Pesantren sebagai Subkultur," dalam Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974), p. 42-43
[34] Deliar Noer, Hubungan Tiga Golongan, (Yogyakarta: Seminar Sejarah Nasional II, 1970), p. 4
[35] Deliar Noer, "Masyumi: Its Organization, Ideology, and Political Role in Indonesia," Tesis M.A. (New York: Cornel University Ithaca, 1960), p. 9; Saefuddin Zuhri sebagai “orang dalam” dari pondok pesantren menyadari akan kelemahan muatan materi yang dipelajari dalam lembaga ini. Ia mengatakan: “Kemandegan berpikir di kalangan pesantren terus bergelayut hingga dewasa ini bagaikan bola salju yang semakin lama semakin bertambah besar gumpalannya. …Kitab Kuning yang menjadi pilihan utama referensi pesantren pada umumnya adalah kitab-kitab yang memfokuskan diri pada kajian fiqh, nahwu-sharaf, dan tasawuf sehingga kajian Kitab Kuning yang dikembangkan di pesantren lebih berorientasi pada fiqh-minded (aspek legal-formal) ketimbang aspek substansial (ruh atau spiritnya). Materi yang dikaji lebih banyak bersifat parsial dan terkesan tidak komprehensif dalam menggali ilmu-ilmu keislaman yang telah berhasil dikembangkan sejak fase Abbasiyah.” Saefuddin Zuhri, “Pendidikan Pesantren di Persimpangan Jalan,” dalam Sa’id Aqiel Siradj dkk., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transfomasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), p.204
[36]Ahmad Syafi'I Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Cet.III,(Jakarta: LP3ES, 1996), p.61
[37]Sembodo Ardi Widodo, Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam, (Jakarta: Nimas Multima, 2003), p. 183
[38] M. Nur Kholis Setiawan, "In Search of an Ideal Islamic Education (The Contribution of Pesantren)," Jurnal Studi Agama Millah, Vol.V, No. 1, 2005, p. 23; Lihat juga, Abdurrahman Wahid, “Pondok Pesantren Masa Depan,” dalam Sa’id Aqiel Siradj dkk., Pesantren Masa Depan…, p.18
No comments:
Post a Comment