Monday, June 2, 2008

Manajemen Fasilitas Pada Madrasah: Problematika dan Upaya Pemecahannya


MANAJEMEN FASILITAS PADA MADRASAH:

Problematika dan Upaya Pemecahannya

Oleh : Maftuh, S.Pd.I

A. Pendahuluan

Memperbincangkan mengenai lembaga pendidikan yang bernama madrasah, agaknya akan selalu menarik dan tidak ada habis-habisnya. Terlebih yang dibicarakan adalah dari aspek manajemennya. Karena manajemen dalam suatu lembaga apa pun akan sangat diperlukan, bahkan – disadari atau tidak – sebagai prasyarat mutlak untuk tercapainya tujuan yang ditetapkan dalam lembaga tersebut. Semakin baik manajemen yang diterapkan, semakin besar pula kemungkinan berhasilnya lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya. Demikian pula sebaliknya.

Berkaitan dengan itu, madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam juga tidak dapat lepas akan perlunya manajemen di dalamnya. Namun, sebagian para penyelenggara madrasah agaknya belum memiliki kesadaran akan hal itu. Hal ini berdasarkan fakta bahwa manajemen pendidikan yang diterapkan pada madrasah dalam upaya pengembangannya, belum diterapkan secara optimal. Padahal dikatakan bahwa manajemen pendidikan Islam – yang di dalamnya terdapat madrasah itu – adalah salah satu upaya strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam. Sebab, manajemen merupakan komponen integral dan tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan. Dengan demikian, tanpa manajemen tidak mungkin tujuan pendidikan dapat terwujud secara optimal, efektif dan efisien.[1]

Kenyataannya, sebagian besar madrasah masih diliputi oleh suasana dan semangat tradisional, yakni dengan manajemen “seadanya”, kurang disiplin, menerima apa adanya dan seterusnya. Akibatnya, madrasah tidak menghasilkan citra dan output sebagaimana yang diharapkan sebagai representasi atau personifikasi ajaran Islam itu.[2]

Keadaan madrasah yang tidak di-manage dengan strategi, sistem, dan metodologi yang sama dengan manajemen lembaga pendidikan umum lainnya, seperti dikatakan Suprayogo,[3] maka akan mengabaikan tidak kurang dari 14 atau 15% jumlah anak bangsa ini – yang note bene menjadi siswa dari madrasah itu.[4] Jumlah ini tidak boleh dikatakan kecil, apalagi terkait dengan pendidikan yang juga menyangkut masa depan bangsa ini.

Menyadari peran dan posisi penting madrasah yang juga ikut menentukan bagi masa depan bangsa di masa yang akan datang, maka sudah saatnya kini dipikirkan kembali upaya-upaya serius dan menyeluruh untuk memecahkan persoalan-persoalan yang masih menggelayuti madrasah itu.

Dengan tidak berpretensi tulisan ini mampu melakukannya, disini akan coba dibahas mengenai madrasah dari sudut manajemen fasilitas pendidikan[5] yang idealnya ada pada madrasah menurut PP. Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian telah dijabarkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan.

B. Problematika Manajemen Sarana dan Prasarana Madrasah

Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab XII Pasal 45 ayat (1) mengamanatkan bahwa “setiap satuan pendidikan formal maupun non-formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.”[6]

Pasal tersebut menekankan pentingnya sarana dan prasarana dalam satuan pendidikan, sebab tanpa didukung adanya sarana dan prasarana yang relevan, maka pendidikan akan sulit untuk berjalan secara efektif.

Sarana dan prasarana pendidikan tersebut perlu adanya manajemen dengan baik agar dapat memberikan kontribusi yang optimal pada jalannya proses pendidikan di sekolah. Dalam hal E. Mulyasa[7] mengatakan bahwa manajemen sarana dan prasarana yang baik itu dapat menciptakan madrasah yang bersih, rapi, indah sehingga menciptakan kondisi yang menyenangkan baik bagi guru maupun murid untuk berada di sekolah. Di samping itu juga diharapkan tersedianya alat-alat atau fasilitas belajar yang memadai secara kuantitatif maupun kualitatif serta relevan dengan kebutuhan dan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan proses pendidikan dan pengajaran, baik oleh guru sebagai pengajar maupun murid sebagai pelajar.

Manajemen sarana dan prasarana pendidikan bertugas mengatur dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar dapat memberikan kontribusi secara optimal dan berarti pada jalannya proses pendidikan. Kegiatan pengelolaan ini meliputi perencanaan, pengadaan, pengawasan, penyimpanan inventarisasi, dan penghapusan serta penataan.

Dalam konteks madrasah, baik negeri maupun swasta, sarana dan prasarana yang tersedia nampaknya belum seperti yang diharapkan demi terwujudnya madrasah yang andal. Hal ini disebabkan alokasi subsidi yang disediakan bagi madrasah sangat jauh dari memadai. Dalam rentang waktu yang sangat panjang, madrasah mendapatkan dana pendidikan yang berbeda dari sekolah yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Padahal, seperti dikatakan Ki Supriyoko ketika melakukan penelitian mengenai keterkaitan antara anggaran pendidikan dengan kualitas pendidikan, menyimpulkan bahwa adanya pengaruh positif anggaran pendidikan terhadap kinerja pendidikan; semakin tinggi anggaran pendidikan yang disediakan pemerintah semakin baik kinerja pendidikan. Sebaliknya, semakin rendah anggaran pendidikan yang disediakan pemerintah semakin buruk kinerja pendidikan tersebut.[8] Namun kenyataannya memprihatinkan sekali, mengingat madrasah hanya kebagian dana pendidikan yang diambil dari anggaran keagamaaan.[9]

Disinyalir bahwa, madrasah adalah lembaga pendidikan Islam yang sebagian besar berada di dalam masyarakat yang kurang beruntung. Kenyataan ini lebih jauh berimbas juga dengan persoalan dana, sarana dan prasarana yang seadanya. Ruang kelas yang tidak memadai, laboratorium dan perpustakaan yang tidak tersedia, kesejahteraan guru yang minimal – untuk menyebut beberapa – merupakan problem besar yang melengkapi kondisi madrasah itu. [10]

Kendati madrasah dianggap sama dan sejajar dengan sekolah umum, namun madrasah belum memperoleh anggaran pembangunan pendidikan secara adil. Oleh sebab itu, kemampuan madrasah untuk membangun fasilitas gedung madrasah, renovasi, pengadaan alat penunjang pendidikan, menjadi sangat minim. Madrasah swasta kondisinya sangat memprihatinkan lagi, karena subsidi yang diberikan malah lebih kecil dibandingkan dengan negeri. Hanya saja madrasah swasta relatif lebih mandiri dan memiliki kebijakan otonom dalam penyediaan tenaga pengajar atau fasilitas pendukung lainnya.

Minimnya sarana pendukung pendidikan ini bisa terlihat dari bangunan madrasah yang jauh dari standar minimal suatu lembaga pendidikan sekali pun. Gedung, bangku, papan tulis, dan fasilitas pendukung lainnya seperti alat peraga mengajar dan praktik sangatlah minim. Tersedianya kelengkapan sarana pendukung mutlak bagi peningkatan out put madrasah.[11]

Sedangkan disadari bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan mutu akademik (pendidikan) adalah tersedianya sarana dan prasarana (hardware) pendidikan.[12] Dengan demikian, konsep pendidikan Islam di Indonesia sebaik apa pun, jika tidak didukung dengan sarana dan prasarana (hardware) penunjang pendidikan yang baik, apakah berupa fasilitas laboratorium, perpustakaan, ruang belajar yang nyaman dan menyenangkan, pelayanan yang dilandasi atas pemenuhan kebutuhan peserta didik, atau dukungan-dukungan lain yang berbasis pada teknologi informasi, maka tidak ada jaminan keberhasilan akan penerapan konsep pendidikan Islam tersebut.

Kaitannya dalam pengembangan madrasah, Suprayogo membagi madrasah di Indonesia menjadi tiga tipologi, yakni madrasah yang tertinggal, madrasah yang sedang tumbuh dan madrasah yang sudah maju.[13] Madrasah yang tertinggal jumlahnya paling besar dan biasanya berada di pedesaan. Madrasah ini biasanya juga bangunannya sederhana, fasilitas pendidikan, kurikulum termasuk para gurunya berjalan apa adanya.

Sedangkan yang termasuk kategori madrasah yang tumbuh, biasanya berada dalam lingkungan masyarakat yang menguntungkannya. Madrasah tipe ini biasanya berada di perkotaan atau pedesaan yang berekonomi kuat. Madrasah seperti ini, memiliki sumber pendanaan yang dikembangkan secara kreatif yang tinggi. Sumber-sumber dana dari madrasah ini biasanya berasal dari usaha-usaha derah setempat misalnya dari hasil menyewakan perahu nelayan, mobil angkutan umum, hasil pertanian dan juga hasil pengelolaan zakat masyarakat setempat. Namun jumlah madrasah ini masih relatif sedikit.

Madrasah kategori ketiga, yakni madrasah maju pada umumnya berstatus negeri, atau madrasah yang dikelola oleh yayasan yang memiliki sumber pendanaan, manajemen dan kepemimpinan yang cukup kuat. Mereka sudah mampu bersaing dengan sekolah umum lainnya, baik menyangkut urusan madrasah, penampilan fisik, manajemen sampai prestasi akademik para siswanya.

Dengan demikian terlihat bahwa, madrasah adalah lembaga pendidikan yang walaupun diakui memiliki sumbangsih yang besar pada pemerataan pendidikan di negeri ini, namun ternyata umumnya kualitasnya masih belum sesuai dengan yang diharapkan, terutama jika dilihat dari sarana dan prasarana yang ada di dalamnya.

Terlepas dari permasalahan tersebut, penyediaan dan peningkatan hardware pendidikan, khususnya infrastruktur berbasis teknologi menjadi kebutuhan primer yang harus dipenuhi dalam kerangka mewujudkan akuntabilitas lembaga pendidikan Islam ini.

Pendayagunaan teknologi pendidikan tidak hanya secara fungsional membuat lembaga pendidikan Islam bersifat efektif dan efisien dalam penyelenggaraan pendidikan, melainkan lebih dari itu memunculkan citra di mata publik sebagai lembaga pendidikan Islam yang tanggap dengan tuntutan zaman. Kesan publik menunjukkan bahwa sebagian besar daya tarik lembaga pendidikan serta yang memberi rasa percaya terhadap kualitas kelulusannya adalah disebabkan lembaga pendidikan tersebut telah dilengkapi oleh infrastruktur yang berbasis teknologi. Karena itu, sudah saatnya umat Islam Indonesia yang memikirkan, dan peduli akan ketersediaan perangkat teknologi pendukung bagi lembaga pendidikan Islam di Indonesia.

Teknologi pendukung yang paling memberikan kesan bagi eksistensinya lembaga pendidikan Islam adalah kelengkapan laboratorium, baik laboratorium dakwah, bahasa, maupun industri, kimia, biologi dan bidang eksakta secara umum, juga kebutuhan teknologi multimedia untuk kebutuhan presentasi pembelajaran atau perkuliahan, seminar maupun untuk menunjang perpustakaan. Kebutuhan pendayagunaan teknologi ini selain memperkuat eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang akuntabel di mata publik, secara fungsional mempermudah civitas akademika untuk melakukan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan proses belajar dan pembelajaran.[14]

Seiring dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapi madrasah tersebut, pemerintah kini telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Sedangkan standar mengenai sarana dan prasarana termaktub dalam Pasal 42 sampai dengan pasal 48. Kemudian pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 sebagai penjabaran atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005. Dari titik ini menjadi penting untuk dikemukakan aturan itu sebagai pedoman atau patokan madrasah dalam penyelenggaraan pendidikannya. Namun sebelumnya akan diuraikan urgensinya sarana dan prasarana pada sebuah lembaga pendidikan, khususnya madrasah.

C. Manajamen Sarana dan Prasarana Madrasah

Sutari Imam Barnadib mengemukakan pengertian bahwa alat pendidikan ialah “suatu tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan.”[15] Sedangkan Ahmad D. Marimba mendefinisikan alat pendidikan sebagai “segala sesuatu atau apa yang dipergunakan dalam usaha mencapai tujuan.”[16] M. Ngalim Purwanto mengartikan alat pendidikan sebagai “usaha-usaha atau perbuatan-perbuatan dari si pendidik yang ditujukan untuk melaksanakan tugas mendidik.”[17]

Dari pendapat-pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa alat pendidikan adalah semua yang digunakan pendidik dan peserta didik dalam proses pendidikannya. Alat-alat pendikan ini mencakup perangkat keras (hard ware) dan perangkat lunak (soft ware). Perangkat keras misalnya gedung madrasah dan laboratorium; dan perangkat lunak umpamanya kurikulum, metode, dan administrasi.[18]

Demikian pula halnya yang dimaksud dengan istilah sarana, yaitu sesuatu yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu dalam mencapai suatu tujuan.[19] Sedangkan kaitannya dengan pendidikan, Hafidz[20] memberikan pengertian bahwa sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar, seperti gedung, ruang kelas, meja kursi, serta alat-alat dan media pengajaran. Sementara yang dimaksud prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran seperti halaman, kebun, taman sekolah, jalan menuju sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar, seperti taman sekolah untuk pengajaran biologi, halaman sekolah sebagai lapangan olah raga, komponen tersebut merupakan sarana pendidikan.

Sedangkan Mudjahid berpendapat, sarana adalah semua peralatan dan perlengkapan yang langsung digunakan dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah/madrasah, meliputi: alat pelajaran (bahan-bahan perangkat pembelajaran, kamus-kamus, Kitab Suci al-Qur’an, alat-alat peraga, alat-alat praktik, dan alat-alat tulis) dan media pendidikan (media cetak, audio, audio visual, dan media terpadu atau multimedia).[21]

Dalam konteks manajemen sarana dan prasarana, maka yang perlu mendapat perhatian adalah sejauh mana seluruh perlengkapan dan peralatan madrasah berfungsi dengan baik serta telah melalui suatu perencanaan yang terpogram, aksesibilitas dalam proses belajar mengajar, serta administrasinya.[22]

Sarana pembelajaran pendidikan tidak terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan barang atau peralatan tetapi juga ide, gagasan, prosedur, teknik, dan strategi. Dengan demikian, kajian mengenai sarana pembelajaran pendidikan menyangkut berbagai persoalan material dan nonmaterial yang dapat mempermudah pembelajaran pendidikan.[23]

Sedangkan cakupan manajemen sarana dan prasarana yaitu meliputi:[24]

1. Perencanaan. a. Mengidentifikasi kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan di madrasah; dan b. Menetapkan prioritas kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan.

2. Pengadaan. a. Menuangkan dalam bentuk program; dan b. Mengusulkan sarana dan prasarana pendidikan kepada pihak terkait.

3. Penggunaan. a. Mengadakan sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan prioritas dan kemampuan madrasah; dan b. Mendistribusikan dan pendayagunaan sarana dan prasarana secara optimal.

4. Perawatan. a. Melaksanakan perawatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan secara teratur dan berkesinambungan.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, terlihat bahwa cakupan alat-alat atau sarana dan prasarana pendidikan tersebut sangat luas, oleh karena itu tulisan ini hanya akan memfokuskan diri dengan membahas perangkat keras seperti gedung madrasah, perpustakaan, dan media pendidikan.

1. Gedung Madrasah

Keadaan suatu lembaga pendidikan, termasuk madrasah, seringkali menjadi bahan pertimbangan masyarakat dalam memasukkan anak-anaknya pada lembaga pendidikan tersebut. Terkadang perhatian itu berlebihan, lembaga pendidikan yang dipilih berdasarkan prestise bukan sarana pendukung untuk meraih prestasi.

Keadaan gedung suatu madrasah berpengaruh terhadap suasana belajar mengajar. Gedung madrasah yang memenuhi syarat, jelas lebih memberikan kemungkinan kepada siswa untuk belajar lebih enak dibandingkan dengan belajar ruang belajar yang sempit, udaranya kurang lancar sirkulasinya, cahaya yang kurang memenuhi syarat dan sebagainya.[25] Keadaan kelas yang bersih, baik, dan memenuhi persyaratan kesehatan, jauh lebih menguntungkan siswa atau guru dibanding kelas yang buruk, kotor, dan tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Oleh sebab itu, dalam hubungannya dengan menata keadaan gedung ini banyak hal yang perlu diperhatikan. Di antara hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:[26]

a. Penerangan. Gedung madrasah hendaknya memungkinkan cahaya matahari masuk ke dalam ruang-ruang kelas, sehingga ruangan kelas cukup terang untuk keperluan baca-tulis di siang hari. Demikian pula untuk keperluan malam hari, hendaknya ruang kelas diperlengkapi dengan lampu-lampu yang cukup terang, sehingga baying-bayang tidak mengganggu kegiatan menulis.

b. Sirkulasi udara. Udara dalam kelas hendaknya dijaga agar tetap segar dan bersih. Untuk itu diperlukan lubang-lubang ventilasi yang cukup agar udara selalu bisa bertukar.

c. Ukuran kelas. Luas kelas hendaknya memungkinkan murid yang duduk paling belakang sekali pun untuk bisa membaca tulisan di papan tulis dengan jelas dan mendengarkan suara guru dengan baik.

d. Tempat duduk dan meja tulis. Ketika pelajaran berlangsung, peserta didik hendaknya mendapat situasi yang menyenangkan. Tempat duduk dan meja tulis mempunyai andil dalam penciptaan situasi yang demikian. Meja tulis yang terlalu tinggi atau terlalu rendah bagi peserta didik akan membuatnya membungkuk atau terlalu dekat ke buku ketika membaca dan menulis. Hal ini untuk menguntungkan bagi kesehatan peserta didik. Meja tulis dan tempat duduk hendaknya dibuat dalam bentuk yang luwes, agar peserta didik dapat duduk menurut keinginannya, dan mudah dipergunakan untuk keperluan-keperluan lain seperti pertemuan dan rapat. Di perguruan tinggi biasa digunakan kursi yang diberi daun tempat menulis.

e. Papan tulis. Papan tulis hendaknya tidak menyilaukan pandangan peserta didik. Untuk itu diperlukan pengetahuan tentang warna dan bahan cat yang baik. Papan tulis yang biasa digunakan ialah berwarna hitam (blackboard) atau berwarna putih (whiteboard). Sering juga digunakan papan tulis hijau karena menyejukkan pandangan mata.

f. Keamanan dan ketenangan. Lokasi gedung madrasah hendaknya jauh dari situasi yang berbahaya dan situasi bising seperti dekat jalan raya, lintasan kereta api dan pasar.

Adapun fungsi-fungsi ruang kelas sebagaimana tertulis dalam Permendiknas No. 24 Tahun 2007, adalah sebagai berikut:

a. Fungsi ruang kelas adalah tempat kegiatan pembelajaran teori, praktek yang tidak memerlukan peralatan khusus, atau praktek dengan alat khusus yang mudah dihadirkan.

b. Banyak minimum ruang kelas sama dengan banyak rombongan belajar.

c. Kapasitas maksimum ruang kelas 28 peserta didik.

d. Rasio minimum luas ruang kelas 2 m2/peserta didik. Untuk rombongan belajar dengan peserta didik kurang dari 15 orang, luas minimum ruang kelas 30 m2. Lebar minimum ruang kelas 5 m.

e. Ruang kelas memiliki fasilitas yang memungkinkan pencahayaan yang memadai untuk membaca buku dan untuk memberikan pandangan ke luar ruangan.

f. Ruang kelas memiliki pintu yang memadai agar peserta didik dan guru dapat segera keluar ruangan jika terjadi bahaya, dan dapat dikunci dengan baik saat tidak digunakan.

g. Ruang kelas dilengkapi sarana sebagaimana tercantum berikut ini:[27]

No.

Jenis

Rasio

Deskripsi

Perabot

1.

Kursi peserta didik

1buah/peserta

Didik

Kuat, stabil dan mudah dipindahkan oleh peserta didik

Ukuran sesuai dengan kelompok usia peserta didik dan mendukung pembentukan postur tubuh yang baik

Desain dudukan dan sandaran membuat peserta didik nyaman belajar

2

Meja peserta didik

1 buah/peserta didik

Kuat, stabil dan mudah dipindahkan oleh peserta didik

Ukuran sesuai dengan kelompok usia peserta didik dan mendukung pembentukan postur tubuh yang baik

Desain memungkinkan kaki peserta didik leluasa ke bawah meja

3.

Kursi guru

1 buah/guru

Kuat, stabil, dan mudah dipindahkan

Ukuran memadai untuk duduk dengan nyaman

4.

Meja guru

1 buah/guru

Kuat, stabil, dan mudah dipindahkan

Ukuran memadai untuk bekerja dengan nyaman

5.

Lemari

1 buah/ruang

Ukuran memadai untuk menyimpan perlengkapan yang diperlukan kelas. Tertutup dan dapat dikunci

6.

Rak hasil karya

Peserta didik

1 buah/ruang

Ukuran memadai untuk meletakkan hasil karya seluruh peserta didik yang ada di kelas

7.

Papan pajang

1 buah/ruang

Dapat berupa rak terbuka atau lemari ukuran 60 cm x 120 cm

8.

Papan tulis

1 buah/ruang

Ukuran minimum 90 cm x 200 cm

Ditempatkan pada posisi yang memungkinkan seluruh peserta didik melihatnya dengan jelas

9.

Tempat sampah

1 buah/ruang

10.

Tempat cuci tangan

1 buah/ruang

11.

Jam dinding

1 buah/ruang

12.

Soket listrik

1 buah/ruang

2. Perpustakaan

Perpustakaan dalam suatu lembaga pendidikan sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pendidikan. Dalam menata ruang perpustakaan hendaknya juga memiliki penerangan yang cukup, udara yang segar, lingkungan yang bersih dan teratur serta suasana yang tenang dan tertib. Diantara pentingnya perpustakaan yaitu: menyajikan sajian yang baik bagi perkembangan pribadi peserta didik, mendorong hasrat belajar, memahami karangan, memudahkan cara mengajar, dan memenuhi kehausan peserta didik dalam mencari informasi sendiri. Selama peserta didik bergantung kepada keterangan pendidik, maka kemampuannya akan terbatas. Perpustakaan madrasah merupakan tempat menambah pengetahuan lain yang berguna, dan karenanya persediaan buku hendaknya tidak terbatas pada buku yang diajarkan sebagai buku teks. Perpustakaan terutama berisi buku-buku referensi, buku teks, surat kabar dan majalah.[28]

Berikut akan dikemukakan standar perpustakaan menurut keputusan Mendiknas No. 24 Tahun 2007.

a) Ruang perpustakaan berfungsi sebagai tempat kegiatan peserta didik dan guru memperoleh informasi dari berbagai jenis bahan perpustakaan dengan membaca, mengamati, mendengar dan sekaligus tempat petugas mengelola perpustakaan

b) Luas minimum ruang perpustakaan sama dengan luas satu ruang kelas. Lebar minimum ruang perpustakaan 5 m

c) Ruang perpustakaan dilengkapi jendela untuk pencahayaan yang memadai untuk membaca buku

d) Ruang perpustakaan terletak di bagian sekolah yang mudah dicapai.

Ruang perpustakaan dilengkapi sarana sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut:[29]

No.

Jenis

Rasio

deskripsi

1

Buku

1.1

Buku teks

Pelajaran

1 eksemplar/mata pelajaran/

peserta didik ditambah 2

eksemplar/mata pelajaran/

sekolah

Termasuk dalam daftar buku teks pelajaran yang ditetapkan oleh Mendiknas dan daftar buku teks muatan lokal yang ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota

1.2

Buku panduan pendidik

1 eksemplar/guru mata pelajaran bersangkutan, ditambah 1 eksemplar/mata pelajaran/sekolah

1.3

Buku pengayaan

840 judul/sekolah

Terdiri dari 60% non-fiksi dan 40% fiksi.

Banyak eksemplar/sekolah minimum: 1000 untuk 6 rombongan belajar (rombel), 1500 untuk 7-12 rombel, 2000 untuk 13-24 rombel.

1.4

Buku referensi

10 judul/sekolah

Sekurang-kurangnya meliputi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, ensiklopedi, buku statistik daerah, buku telepon, kitab undang-undang dan peraturan, dan kitab suci.

1.5

Sumber belajar lain

10 judul/sekolah

Sekurang-kurangnya meliputi majalah, surat kabar, globe, peta, gambar, pahlawan nasional, CD pembelajaran dan alat peraga matematika.

2

Perabot

2.1

Rak buku

1 set/sekolah

Dapat menampung seluruh koleksi dengan baik.

Memungkinkan peserta didik menjangkau koleksi buku dengan mudah.

2.2

Rak majalah

1 buah/sekolah

Dapat menampung seluruh koleksi surat kabar

Memungkinkan peserta didik menjangkau koleksi buku dengan mudah.

2.4

Meja Baca

10 buah/sekolah

Kuat, stabil, dan mudah dipindahkan oleh peserta didik.

Desain memungkinkan peserta didik masuk dengan leluasa ke bawah meja.

2.5

Kursi baca

10 buah/sekolah

Kuat, stabil, dan mudah dipindahkan oleh peserta didik.

Desain dudukan dan sandaran membuat peserta didik nyaman belajar.

2.6

Kursi kerja

1 buah/petugas

Kuat dan stabil.

Ukuran yang memadai untuk bekerja dengan nyaman.

2.7

Meja kerja/sirkulasi

1 buah/petugas

Kuat, stabil, dan mudah dipindahkan.

Ukuran yang memadai untuk bekerja dengan nyaman.

2.8

Lemari katalog

1 buah/sekolah

Cukup untuk menyimpan kartu-kartu katalog.

Lemari katalog dapat diganti dengan meja untuk menempatkan katalog.

2.9

Lemari

1 buah/sekolah

Ukuran memadai untuk menampung seluruh peralatan untuk pengelolaan perpustakaan.

Dapat dikunci.

2.10

Papan pengumuman

1 buah/sekolah

Ukuran minimum 1 m2

2.11

Meja multimedia

1 buah/sekolah

Kuat dan stabil.

Ukuran memadai untuk menampung seluruh peralatan multimedia.

3. Media Pendidikan

Secara etimologis, kata ”media” berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium, yang berarti perantara atau pengantar. Media ini merupakan wahana penyalur pesan atau informasi belajar, yakni segala sesuatu yang dapat digunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri peserta didik.[30]

Alat peraga, atau disebut juga media instruksional, ialah alat-alat pengajaran yang berfungsi atau memberikan gambaran yang konkrit tentang hal-hal yang diajarkan.[31] Dasar penggunaan alat peraga ini ialah bahwa belajar merupakan proses pengalaman. Semakin dekat peserta didik kepada obyek, semakin melekat kesan pengalaman di dalam ingatannya.[32]

Menurut Gerlach, sebagaimana dikutip Muhaimin, media dapat diklasifikasikan menjadi 8 (delapan) kategori, yaitu:[33]

a. Real things, yakni manusia, benda yang sesungguhnya (bukan gambar atau model), dan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Pengajar adalah media yang paling utama dalam proses pembelajaran. Ia adalah koordinator dan fasilitator belajar bagi peserta didik. Sedangkan kertas, ruangan, buku tulis adalah benda (media) yang dipergunakan oleh peserta didik untuk mencatat atau menulis apa yang diterangkan atau didemonstrasikan oleh pengajar, atau menuliskan peristiwa yang sedang dipelajarinya.

b. Verbal representations, adalah media tulis/cetak, misalnya buku teks, referensi, dan bahan bacaan lainnya.

c. Graphic representations, adalah misalnya grafik, diagram, gambar, atau lukisan. Alat-alat ini mungkin dipakai dalam buku teks atau bahan bacaan lain, pada display, transparency overhead projection, instructional program, workbooks, slide, film strip dan media visual lainnya.

d. Still picture, seperti foto, slide, film strip, overhead projector transparency. Still picture kadang-kadang hitam putih, dan kadang juga berwarna.

e. Motion picture adalah film (movie), televisi, video tape dengan atau tanpa suara, diambil dari kejadian yang sebenarnya ataupun dibuat dari gambar (graphic represantition), animasi, dan lain-lain.

f. Audio recording, seperti pita kaset, reel tape, piringan hitam, sound track pada film atau pun pita pada video tape. Yang termasuk media audio ini tidak hanya berupa rekaman tetapi audio yang life, seperti telepon, radio (broadcasting), CB (Citizen Band) terutama untuk distance learning, telex, facsimile, teleconference dan teleprint.

g. Programming adalah kumpulan informasi yang berurutan. Program bisa berbentuk verbal (buku teks), visual maupun audio. Misalnya kumpulan pilihan buku teks dan bahan bacaan yang dijadikan program bacaan, kumpulan gambar yang disusun menjadi suatu program slide, film strip, film, tv, atau video tape.

h. Simulations, yang terkenal dengan istilah simulation and game, yaitu suatu permainan yang menirukan kejadian yang sebenarnya. Misalnya pelajaran menyetir mobil, sebelum peserta didik praktik dengan mobil yang sebenarnya, ia dilatih seolah-olah menyetir mobil yang sebenarnya tanpa mempergunakan mobil. Media seperti komputer, tape recorder, motion picture, slides, maupun benda-benda dapat dipergunakan untuk simulasi.

Sedangkan Yudi Hadi Miarso mengelompokkan media ke dalam tujuh kelompok, yaitu: 1) media audio visual gerak, adalah media yang paling lengkap, yaitu menggunakan kemampuan audio visual dan gerak; 2) media audio visual diam, merupakan media kedua dari segi kelengkapan kemampuannya, karena ia memiliki semua kemampuan yang ada pada golongan sebelumnya kecuali penampilan gerak; 3) media audio semi gerak memiliki kemampuan menampilkan suara disertai gerakan titik secara linier, jadi tidak dapat menampilkan garakan secara utuh; 4) media visual gerak memiliki kemampuan seperti pertama kecuali penampilan suara; 5) media visual diam memiliki kemampuan menyampaikan informasi secara visual tetapi tidak dapat menampilkan suara maupun gerak; 6) media audio adalah media yang hanya memanipulasikan kemampuan suara-suara semata; dan 7) media cetak merupakan media yang hanya mampu menampilkan informasi berupa huruf-angka dan symbol-simbol verbal tertentu saja.[34]

Dari berbagai pengelompokkan media yang tersebut, terdapat hal-hal perlu diperhatikan misalnya tingkat efektifitas, efisiensi, dan daya tarik metode dan strategi dalam penyediaan pengalaman belajar siswa. Menurut Peter Sheal, seperti dikutip Muhaimin,[35] pengalaman belajar diperoleh dari 10% dari yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita dengar dan lihat, 70% dari apa yang kita katakan, dan 90% dari apa yang kita katakan dan kerjakan.

Setidaknya ada lima cara yang dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pemilihan suatu media/sarana pembelajaran pendidikan, yaitu: 1) tingkat kecermatan representasi suatu media, 2) tingkat interaktif yang mampu ditimbulkan oleh suatu media, 3) tingkat kemampuan khusus yang dimiliki oleh suatu media, 4) tingkat motivasi yang mampu ditimbulkannya suatu media terkait dengan karakteristik pembelajar, dan 5) tingkat biaya yang diperlukan.[36]

Lebih rinci fungsi media pendidikan yaitu:[37]

a. Membantu dan mempermudah para guru dalam mencapai tujuan khusus instruksional secara efektif dan efisien;

b. Mempermudah para siswa menangkap materi pelajaran, memperkaya pengalaman belajar, serta membantu memperluas cakrawala pengetauan mereka; dan

c. Menstimulasi pengembangan pribadi serta profesi para guru dalam usahanya mempertinggi mutu pengajaran di madrasah.

D. Standarisasi Sarana dan Prasarana Madrasah

Standarisasi sarana dan prasarana madrasah adalah penyesuaian bentuk (jenis, kuantitas dan kualitas) suatu sarana pembelajaran pada madrasah dengan pedoman (standar) yang ditetapkan, atau pembakuan sarana dan prasarana madrasah sebagai patokan dalam melakukan kegiatan pembelajaran di madrasah.[38]

Sebagaimana dikatakan di awal-awal bahwa dalam menyelenggarakan pendidikan sulit akan dapat berhasil tanpa dukungan sarana dan prasarana yang diperlukan dalam dunia kependidikan. Maka madrasah perlu memiliki sarana dan prasarana yang sesuai dengan standar nasional pendidikan meliputi:[39]

1. Setiap madrasah wajib memiliki sarana keperabotan, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkesinambungan.

2. Setiap madrasah wajib memiliki prasarana meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan, ruang pendidik, ruang TU, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat olah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkesinambungan.

3. Standar keragaman jenis peralatan laboratorium ilmu pengetahuan alam, laboratorium bahasa, laboratorium komputer dan peralatan pembelajaran lain pada madrasah dinyatakan dalam daftar yang berisi jenis minimal peralatan yang harus disediakan.

4. Standar jumlah peralatan dinyatakan dalam rasio minimal jumlah peralatan perpeserta didik.

5. Standar buku perpustakaan dinyatakan dalam jumlah judul dan jenis buku di perpustakaan madrasah.

6. Standar jumlah buku teks pelajaran di perpustakaan dinyatakan dalam rasio minimal jumlah buku teks pelajaran untuk masing-masing mata pelajaran di perpustakaan madrasah.

7. Kelayakan isi, bahasa, penyajian dan kegrafikan buku teks pelajaran dinilai oleh BSNP dan ditetapkan dengan peraturan menteri.

8. Standar sumber belajar lainnya untuk setiap madrasah dinyatakan dalam rasio jumlah sumber belajar terhadap peserta didik sesuai dengan jenis sumber belajar dan karakteristik madrasah.

9. Lahan untuk bangunan madrasah, lahan praktek, lahan untuk prasarana penunjang dan lahan pertamanan untuk menjadikan madrasah suatu lingkungan yang secara ekologis nyaman dan sehat. Standar lahan madrasah dinyatakan dalam rasio luas lahan per peserta didik.

10. Standar letak lahan madrasah mempertimbangkan letak lahan madrasah di dalam klaster madrasah sejenis dan sejenjang serta letak madrasah yang menjadi pengumpan masukan peserta didik. Standar letak lahan madrasah mempertimbangkan jarak tempuh maksimal yang harus dilalui oleh peserta didik untuk menjangkau madrasah tersebut. Adapun standar letak lahan madrasah juga mempertimbangkan segi keamanan, kenyamanan dan kesehatan lingkungan.

11. Standar rasio luas kelas dan bangunan peserta didik dirumuskan oleh BSNP dan diterapkan dengan peraturan menteri.

12. Standar kualitas bangunan minimal pada madrasah dasar dan menengah adalah kelas B. Standar kualitas bangunan pada daerah rawan gempa bumi atau tanahnya labil, bangunan madrasah harus memenuhi ketentuan standar bangunan tahan gempa. Standar kualitas bangunan mengacu pada ketetapan menteri yang menangani urusan pemerintah di bidang pekerjaan umum.

13. Madrasah yang memiliki peserta didik, pendidikan/kependidikan yang memerlukan layanan khusus wajib menyediakan akses ke sarana dan prasarana yang sesuai dengan kebutuhan.

14. Kriteria penyediaan akses sarana dan prasarana dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan peraturan menteri.

15. Pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan menjadi tanggung jawab madrasah yang bersangkutan. Pemeliharaan dilakukan secara berkala dan berkesinambungan memperhatikan masa pakai. Pengaturan tentang masa pakai ditetapkan dengan peraturan menteri.

16. Standar sarana dan prasarana dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan peraturan menteri.

Dari keenambelas butir yang dirangkum dari Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tersebut, dengan jelas masih jauh dari memadainya madrasah untuk memenuhi standar yang diinginkan oleh pemerintah itu. Hal itu lebih sulit lagi, tentunya, apabila madrasah yang diselenggarakan masuk kategori, menurut Suprayogo di atas, dalam kelompok terbelakang.

E. Penutup

Dari uraian-uraian singkat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, berhasil tidaknya suatu tujuan pada madrasah sebagai suatu lembaga pendidikan Islam, sangat ditentukan oleh fasilitas-fasilitas yang terdapat di dalamnya. Semakin lengkap fasilitas yang tersedia, semakin besar pula peluang keberhasilan madrasah dalam mencapai tujuan pendidikannya tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin kurang lengkap fasilitas yang ada, maka akan semakin kecil pula peluang tercapainya tujuan dari madrasah itu.

Kenyataan yang kita temui, sebagian besar madrasah justru berjalan dengan manajemen fasilitas seadanya. Hanya madrasah-madrasah yang masuk kategori maju sajalah agaknya yang mampu bersaing – atau bahkan mengungguli – dengan lembaga-lembaga pendidikan umum.

Dalam hal ini, pemerintah menerbitkan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai pedomanan untuk para penyelenggara pendidikan di seantero nusantara ini, termasuk juga lembaga pendidikan madrasah. Dengan Peraturan tersebut, maka madrasah-madrasah diharapkan kelak dapat memenuhinya demi peningkatan kualitas pendidikannya yang terlanjur memiliki citra kurang baik di masyarakat pengguna pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Azies, W. Wahuddin, “Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Abuddin Nata (Ed.), Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa, 2003.

Bakar, Usman Abu dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam (Respon Kreatif Terhadap Undang-undang Sisdiknas), Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2005.

Barnadib, Sutari Imam, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta: Andi Offset, 1993.

Daradjat, Zakiyah dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Cet.II, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Departemen Agama RI, Pedoman Akreditasi Madrasah, Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005.

_____, Pedoman Manajemen Berbasis Madrasah, Cet.II, Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005.

Hafidz, Hasan, Dasar-dasar Pendidikan dan Ilmu Jiwa, Solo: CV Ramadhani, 1989.

Hamid, Abdul dan Kadir Djaelani, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003.

Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Cet.II, Jakarta: Logos, 1999.

Khaeruddin dkk., Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Konsep dan Implementasinya di Madrasah, Cet.II, Semarang: MDC Jateng bekerja sama dengan PILAR MEDIA, 2007.

Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1981.

Masyhuri AM, dkk. (Ed.), Problematika Madrasah, Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2001.

Miarso, Yudi Hadi dkk., Teknologi Komunikasi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press, 1984.

Mudjahid AK dkk., Manajemen Sarana dan Prasarana Madrasah Mandiri, Jakarta: Puslitbang Penda dan Keagamaan, 2001.

Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, hingga Redefinisi Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Bandung: Nuansa, 2003.

Mulyasa, E., Manajemen Berbasis Sekolah, Cet.X, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.

Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 2001.

Suprayogo, Imam, Quo Vadis Madrasah: Pengajaran Iman Menuju Madrasah Impian, Editor Rasmianto, Yogyakarta: Hikayat, 2007.

Supriyoko, Ki, “Pengantar”, dalam Ali Muhdi Amnur (Ed.), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007.

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet.IV, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.

Trimo, Soejono, Pengembangan Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986.

Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,Jakarta: Cemerlang, 2003.

Zuhairini dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama, Surabaya: Usaha Nasional, 1983.

MANAJEMEN FASILITAS PADA MADRASAH:

Problematika dan Upaya Pemecahannya

Makalah

Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu pada Mata Kuliah

Manajemen Pendidikan Islam dan Problematikanya

Dosen Pengampu: Dr. Khasnah Saidah, MA



Oleh:

MAFTUH, S.Pd.I

NIM. 07223784

Kelas Akidah Akhlak (A)

KONSENTRASI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA

UIN SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2008


[1]Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam (Respon Kreatif Terhadap Undang-undang Sisdiknas), (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2005), hal. 159

[2] Imam Suprayogo, Quo Vadis Madrasah: Pengajaran Iman Menuju Madrasah Impian, Editor Rasmianto, (Yogyakarta: Hikayat, 2007), hal. 39

[3] Ibid., hal. 39-40

[4] Secara lebih rinci, angka partisipasi kasar pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah mencapai 2.894.128 siswa, pada tingkat Tsanawiyah mencapai 1.813.135 siswa, dan tingkat Aliyah mencapai 525.596 siswa pada tahun ajaran 1999/2000. Angka-angka ini menunjukkan bahwa sumbangan madrasah terhadap mobilisasi pendidikan anak-anak usia sekolah secara nasional mencapai 10,1% dari sekitar 27.454.659 anak usia 13-15 tahun, dan 4% dari keseluruhan remaja usia 16-18 tahun. Data ini diperoleh dari Buletin Manajemen Informartion System (BMIS), Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, sebagaimana dikutip oleh W. Wahuddin Azies, “Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Abuddin Nata (Ed.), Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 2003), hal. 101

[5] Istilah “fasilitas pendidikan” memiliki nama-nama lain seperti: alat pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, media pendidikan, dan sebagainya. Dalam konteks tulisan ini istilah-istilah itu digunakan silih berganti dengan maksud yang sama, yakni segala sesuatu yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam pendidikan. Lihat, Zakiyah Daradjat dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Cet.II, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 80

[6] Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,(Jakarta: Cemerlang, 2003), hal. 32

[7] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Cet.X, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 49-50

[8] Ki Supriyoko, “Pengantar”, dalam Ali Muhdi Amnur (Ed.), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007), hal. viii

[9] Masyhuri AM, dkk. (Ed.), Problematika Madrasah, (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2001), hal. 23

[10] Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001), hal. 169

[11] Ibid., hal. 26

[12] Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda, hal. 159

[13] Imam Suprayogo, Quo Vadis Madrasah, hal. 70-75

[14] Ibid., hal. 160-161

[15] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Andi Offset, 1993), hal. 96

[16] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hal. 50

[17] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 223

[18] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet.IV, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 90

[19] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal. 29

[20]Hasan Hafidz, Dasar-dasar Pendidikan dan Ilmu Jiwa, (Solo: CV Ramadhani, 1989), seperti dikutip Ibid., hal. 185

[21] Mudjahid AK dkk., Manajemen Sarana dan Prasarana Madrasah Mandiri, (Jakarta: Puslitbang Penda dan Keagamaan, 2001), hal. 2

[22] Departemen Agama RI, Pedoman Akreditasi Madrasah, (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005), hal. 12

[23] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, hingga Redefinisi Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Bandung: Nuansa, 2003), hal. 132

[24] Departemen Agama RI, Pedoman Manajemen Berbasis Madrasah, Cet.II, (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005), hal. 22; Dalam karya yang lain Depag menyebutkan bahwa manajemen sarana dan prasarana meliputi: a) perencanaan (adanya tujuan, rencana jangka panjang dan rencana tahunan); b) pemanfaatan (kelas, ruang guru, laboratorium, perpustakaan, sarana/alat); c) pengendalian (pemantauan penggunaan ruang, kebersihan, perbaikan, perawatan). Lihat Departemen Agama RI, Pedoman Akreditasi Madrasah, hal. 12

[25] Ibid., hal. 93

[26] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Cet.II, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 145-146

[27] Diadaptasi dari Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan.

[28] Ibid., hal.148

[29] Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana

[30] Yudi Hadi Miarso dkk., Teknologi Komunikasi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 1984), hal. 48

[31] Zuhairini dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), hal. 51

[32] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, hal. 152

[33] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan, hal. 133-134

[34] Yudi Hadi Miarso dkk., Teknologi Komunikasi Pendidikan, hal. 53

[35] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan, hal. 135

[36] Ibid.

[37] Soejono Trimo, Pengembangan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), hal. 151

[38] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan, hal. 141

[39] Khaeruddin dkk., Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Konsep dan Implementasinya di Madrasah, Cet.II, (Semarang: MDC Jateng bekerja sama dengan PILAR MEDIA, 2007), hal. 62-64

No comments: