UMAT ISLAM DAN IPTEK: Sketsa Realitas Umat Islam
Oleh: Maftuh, S.Pd.I
Kondisi Penguasaan Teknologi Umat Islam Saat Ini
Berbicara mengenai penguasaan teknologi di kalangan umat Islam, kita dihadapkan akan kenyataan yang tidak membanggakan, bahkan justru sebaliknya, sangat memprihatinkan. Sebab, dikatakan bahwa tidak satu pun dari negara-negara yang mayoritas umat Islam dapat disebut sebagai negara maju dengan perkembangan ilmu dan teknologinya.
Menyadari keadaan yang menyedihkan itu, Bassam Tibi, seorang pemikir Muslim Jerman asal Syria dalam bukunya The Crisis of Modern Islam, mengatakan bahwa dunia Islam secara keseluruhan dewasa ini masih berada dalam kultur pra-industri.[1] Dalam keadaan yang demikian ini, mustahil bagi dunia Islam untuk bersaing dengan dunia Barat yang telah jauh berada dalam kultur industri modern. Hingga kini dunia Islam hanya menghasilkan seorang saja peraih hadiah Nobel di bidang sains, Prof. Abdussalam, itu pun berasal dari aliran Ahmadiyah yang dianggap sebagai aliran sesat, bahkan tidak diakui sebagai bagian umat Islam oleh lembaga-lembaga resmi umat Islam. Namun dari aliran mayoritas, seperti Syi’ah dan Sunni, belum tampak seorang saintis yang menonjol dalam kaliber dunia.
Kenyataan itu juga diakui oleh Prof. Abdussalam, seorang ilmuwan Muslim dari Pakistan ini, dengan keprihatinannya yang mendalam, mengatakan: “Tidak diragukan lagi bahwa seluruh peradaban di planet ini, sains menempati posisi yang paling lemah dan benar-benar memprihatinkan di dunia Islam. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa kelemahan ini berbahaya karena kelangsungan hidup suatu masyarakat pada abad ini secara langsung tergantung pada penguasaannya atas sains dan teknologi.”[2]
Realitas seperti itu agaknya telah lama diidap oleh umat Islam dan telah berlangsung berabad-abad, sehingga bangsa-bangsa Barat yang lebih maju dengan leluasa menjajahnya. Data yang menyebutkan bahwa hanya sekitar 55 persen dari total umat Islam yang melek aksara, sangatlah memalukan. Sungguh ironi bagi dunia Islam yang pernah menjadi raksasa sains sampai abad pertengahan.[3] Ketertinggalan sains dan teknologi ini kemudian juga menyebabkan dunia Islam mudah ditipu dan dieksploitasi. Menurut ISESCO (Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization), 57 negara Islam yang tergabung dalam OKI (dengan 1,1 miliar penduduk dan wilayah seluas 26,6 juta kilometer) menyimpan 73 persen cadangan minyak dunia. Disebabkan rendahnya sumber daya manusia yang dimiliki, gabungan negara-negara Islam itu hanya memiliki GNP sebesar 1,016 miliar dolar AS. Berbeda dengan Prancis (hanya penduduk 57,6 juta dan wilayah 0,552 juta kilometer) bisa memiliki GNP 1,293 miliar dolar AS.[4]
Demikian halnya pula dalam tradisi penelitian yang berkembang di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Disebutkan bahwa, banyak sarjana Muslim penyandang gelar Ph.D dari universitas terkenal Barat yang menjauh dari kegiatan penelitian dan memilih menjadi birokrat. Nature, jurnal ilmiah sangat bergengsi di dunia, mengatakan bahwa prestasi ilmiah negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) sangat jauh terbelakang. Science Citation Index dan Social Sciences Citation Index mencatat jumlah rata-rata publikasi ilmiah 47 negara-negara OKI yang disurvei hanya 13 per satu juta penduduk, sementara rata-rata dunia untuk indeks ini ialah 137. Lebih parah lagi, dari 28 negara dengan produktivitas artikel ilmiah terendah, separuhnya adalah anggota OKI. Gabungan 20 negara Arab hanya menyumbang 0,55 persen dari total karya ilmiah dunia, sementara Israel 0,89 persen, Jerman 7,1 persen, Inggris 7,9 persen, Jepang 8,2 persen dan Amerika 30,8 persen.[5]
Dari data-data tersebut, jelaslah bahwa umat Islam sangat jauh tertinggal dari negara-negara yang selama ini dikenal sebagai negara yang umatnya non-Muslim. Dari titik ini, kita tentu berasumsi bahwa ada yang salah dalam pandangan (mindset) umat Islam ini, sehingga sedemikian jauh ketertinggalannya. Bukankah terdapat evidensi sejarah bahwa umat Islam pernah mengalami masa keemasan dalam penguasaan sains dan teknologi di saat Eropa masih dalam kegelapannya? Namun, mengapa sains dalam peradaban Islam itu tidak berhasil dipertahankan kontinyuitasnya, bahkan gagal mencapai titik peradaban, dan malah justru mengalami penurunan?
Sekarang mari kita coba menengok ke sejarah yang lebih awal tentang peradaban Islam dan sistem pengetahuan yang dibangunnya. Catatan A.I. Sabra dapat kita jadikan salah satu pegangan untuk melihat kontribusi peradaban Islam dalam sains. Dalam pengamatannya, peradaban Islam memang mengimpor tradisi intelektual dari peradaban Yunani Klasik. Tetapi proses ini tidak dilakukan begitu saja secara pasif, melainkan dilakukan melalui proses appropriation atau penyesuaian dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, peradaban Islam mampu mengambil, mengolah, dan memproduksi suatu sistem pengetahuan yang baru, unik, dan terpadu yang tidak pernah ada sebelumnya.
Ada dua hal yang dicatat Sabra sebagai kontribusi signifikan peradaban Islam dalam sains. Pertama, adalah dalam tingkat pemikiran ilmiah yang diilhami oleh kebutuhan dalam sistem kepercayaan Islam. Penentuan arah kiblat secara akurat adalah salah satu hasil dari konjungsi ini. Kedua, dalam tingkat institusionalisasi sains. Sabra merujuk pada empat institusi penting bagi perkembamgan sains yang pertama kali muncul dalam peradaban Islam, yaitu rumah sakit, perpustakaan umum, sekolah tinggi, dan observatorium astronomi. Semua kemajuan yang dicapai ini dimungkinkan oleh dukungan dari penguasa pada waktu itu dalam bentuk pendanaan dan penghargaan terhadap tradisi ilmiah.[6]
Lebih jauh kita dapat melihat pendapat yang datang dari Aydin Sadili. Seperti dijelaskan di atas bahwa keunikan sains dalam Islam adalah masuknya unsur agama dalam sistem pengetahuan. Tetapi, menurut Sadili, disini jugalah penyebab kegagalan peradaban Islam mencapai Revolusi Ilmiah. Dalam asumsi Sadili, tradisi intelektual Yunani Klasik yang diwarisi oleh peradaban Islam baru dapat menghasilkan kemajuan ilmiah jika terjadi proses rekonsiliasi dengan kekuatan agama. Rekonsiliasi antara sains dan agama tersebut terjadi di peradaban Eropa, tetapi tidak terjadi di peradaban Islam. Dikotomi antara dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan keagamaan dan pengetahuan duniawi (awâil) adalah indikasi kuat. Permasalahan yang terjadi adalah adanya ketimpangan posisi antara pengetahuan agama dan pengetahuan duniawi di mana pengetahuan agama menempati posisi sosial politik yang lebih baik sementara status pengetahuan duniawi berada pada status pelengkap.[7]
Memang, berdasarkan penelitian yang dilakukan George Makdisi, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, yang mengatakan bahwa lembaga pendidikan Islam (terutama madrasah sebagai pendidikan tinggi atau al-Jami’ah) tidak pernah menjadi universitas yang semata-mata untuk mengembankan tradisi penyelidikan bebas berdasarkan nalar. Ia banyak diabdikan kepada ‘ulumud diniyah (ilmu-ilmu agama) dengan penekanan kepada fikih dan hadis. Sementara ilmu-ilmu non-agama (keduniaan), terutama ilmu-ilmu alam dan eksakta sebagai alat pengembangan sains dan teknologi sejak awal perkembangan madrasah dan al-Jami’ah sudah berada dalam posisi marjinal.[8]
Dalam konteks umat Islam di Indonesia, keadaannya tidak lebih baik dengan negara-negara muslim lainnya – untuk tidak mengatakan justru lebih buruk lagi. Terbukti bahwa dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada Kamis (29/11/07) menunjukkan, peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Yang jelas, education development index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965).[9]
Sejalan dengan merosotnya pendidikan tersebut, penguasaan sains dan teknologi di negara ini juga memperlihatkan gambaran yang suram. Peneliti Pusat dan Perkembangan Iptek (Pappitek) LIPI, Yan Rianto, mengatakan, bahwa faktanya kapasitas industri di Indonesia memang sangat rendah dan tak terlalu bersemangat untuk melakukan inovasi. Kemajuan ekonomi, tegas Yan lebih lanjut, berarti mengurangi ketergantungan perekonomian nasional terhadap sektor primer (pertanian dan pertambangan) dan meningkatnya sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa, konstruksi) yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi dari sektor primer. Sektor industri manufaktur, katanya, memegang peranan penting dalam penerapan dan pengembangan berbagai teknologi dan sering dijadikan indikator perkembangan iptek di suatu bangsa.
Yan pun mengakui bahwa hasil kegiatan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) Indonesia yang terukur dalam bentuk publikasi nasional dan internasional serta paten, kenyataannya juga rendah. Termasuk jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura, terbilang belum bisa bersaing, apalagi jika dibanding dengan negara-negara lain seperti China.
Paten Indonesia yang terdaftar di kantor paten AS (negara yang merupakan pasar internasional yang cukup besar) hingga 2006 hanya 43 buah, padahal Filipina saja mencapai 145 paten, Thailand 164 paten, Malaysia 694, Singapura 1.840 paten. Padahal, lanjut dia, negara-negara tetangga ini pada awal 1980-an, sama-sama tak memiliki paten terdaftar di AS, namun dalam perjalanan waktu, pertumbuhan inovasi mereka tampak jauh lebih pesat.[10]
Ilustrasi di atas semakin mempertegas keadaan iptek di negara Indonesia yang dihuni oleh mayoritas umat Islam ini. Rendahnya iptek ini ternyata juga berkorelasi positif dengan anggaran yang dialokasikan untuk pengembangannya. Tercatat bahwa, rasio anggaran iptek terhadap PDB sejak tahun 2000 mengalami penurunan dari 0,052 persen menjadi 0,039% pada tahun 2002, sedangkan organisasi dunia UNESCO, merekomendasikan rasio anggaran iptek yang memadai adalah sebesar 2%.[11] Padahal jika suatu negara ingin maju anggaran litbang seharusnya diprioritaskan seperti juga anggaran pendidikan. Ironis memang.
Dari uraian tersebut terlihat jelas bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia sebenarnya sedang mengalami persoalan yang serius. Hal ini disebabkan setidaknya oleh dua sebab, yaitu pertama, lemahnya tradisi ilmiah yang masih menggelayuti umat Islam di Indonesia. Walaupun Indonesia memiliki perguruan tinggi yang cukup berkualitas, kegiatan ilmiah yang sehat, khususnya dalam bidang sains, dalam menghasilkan pengetahuan yang orisinil masih jauh dari harapan. Kondisi ini menjadi lebih lemah lagi karena terpisahnya sains dan filsafat dalam wacana akademik. Masuknya sains dalam kategori ilmu eksakta sementara filsafat sebagai ilmu non-eksakta adalah indikasinya. Padahal kategori eksakta dan non-eksakta tersebut bersifat ilusif. Ini menyebabkan tidak terbentuknya suatu tradisi filsafat kritik sains yang mapan, dan sebaliknya, sains berjalan sendiri seolah-olah dia bersifat otonom.
Kedua, merujuk pada tesis Nurcholish Majid, satu kenyataan bahwa masyarakat Islam di Indonesia tidak mewarisi tradisi intelektual peradaban Islam ketika masa keemasan. Islam muncul di Indonesia justru ketika tradisi intelektual Islam sedang mengalami penurunan di tempat asalnya sehingga tradisi intelektual tersebut tidak sempat terserap dalam sistem sosial dan kebudayaan. Disamping itu, salah satu syarat tumbuhnya tradisi intelektual adalah adanya sikap keterbukaan atau inklusivitas karena suatu sistem pengetahuan baru dapat terbentuk dengan baik jika berada dalam sistem sosial yang menghargai perbedaan dan keberagaman pemikiran. Hal ini menjadi isu penting mengingat masih kuatnya eksklusivitas di berbagai lapisan masyarakat Islam di Indonesia.[12]
Dengan demikian, adalah tanggung jawab kita bersama untuk mengejar ketertinggalan demi ketertinggalan itu, agar kita tidak selalu mudah ditipu dan dieksploitasi. Agaknya sudah saatnya untuk melakukan langkah kongkrit sesegera mungkin. Seperti yang dinyatakan oleh Abdullah Gymnastiar dalam khotbahnya, “mulailah dari sekarang, mulailah dari yang kecil dan mulailah dari diri sendiri.”
Kewajiban Menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Menyadari kelemahan-kelemahan umat Islam dalam penguasaan iptek di atas, maka sudah saatnya untuk melakukan sesuatu dalam memecahkan persoalan tersebut. Salah satu langkah yang paling penting adalah menumbuhkan dan mengembangkan kembali etos keilmuan pada umat Islam. Oleh karena itu, sasaran utama dalam upaya penumbuhan etos keilmuan ini, yaitu pandangan hidup seorang Muslim. Dan pandangan hidup seorang Muslim atau umat Islam, tentu tidak dapat lain kecuali berdasarkan ajaran Islam. Dengan lain perkataan, yang amat diperlukan sebetulnya adalah sebuah etos yang mampu melihat hubungan organik antara ilmu dan iman, atau iman dan ilmu.[13]
Sebenarnya, sebagaimana dikatakan Osman Bakar,[14] sejak kaum Muslimin sadar akan kemunduran dan kemandegan mereka, mereka telah berupaya untuk mengenal akar-akar penyebabnya, menganalisis masalah-masalah yang besar, dan memberikan obat yang efektif bagi keadaan yang tidak mengenakkan itu. Namun, jauh dari mencapai konsensus umum, kaum Muslimin justru terpecah tentang isu-isu mendasar. Berkaitan dengan itu, pada bagian ini akan coba diungkapkan pandangan Islam dari segi ajaran-ajarannya dalam memandang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab, menurut Osman Bakar lebih lanjut, orang dapat terilhami untuk mempelajari sains dan teknologi karena berbagai alasan, antara lain agama, ideologis, ekonomi, dan politis. Namun, motif yang paling baik dan paling bertahan lama adalah motif religius, yang mana di dalamnya juga mencakup alasan-alasan spiritual, etika dan filosofis.[15]
Dalam Islam, posisi iptek sangat dijunjung tinggi. Hal ini sangat jelas terlihat akan wahyu yang pertama kali turun, yakni Surat al-‘Alaq ayat 1-5 yang dimulai dengan kata iqra’.[16] Kata ini oleh para ulama mengandung arti yang sangat kaya. Sebagaimana misalnya Quraish Shihab, ahli tafsir kenamaan dari Indonesia, menerangkan bahwa iqra' terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak.[17] Dalam karyanya yang lain, Quraish Shihab menjelaskan bahwa qara’a – yang merupakan akar kata dari ‘iqra ini – terulang sebanyak tiga kali dalam al-Qur’an, masing-masing pada Surat al-Isra’ ayat 14 dan Surat al-‘Alaq ayat 1 dan 3. Sedangkan kata jadian dari akar kata tersebut, dalam berbagai bentuknya, terulang sebanyak 17 kali selain kata al-Qur’an yang terulang sebanyak 70 kali.[18]
Dengan demikian, perulangan kata-kata qara’a dan berbagai kata jadiannya itu, tentu saja bukannya tanpa maksud apa pun. Perulangan ini mengindikasikan bahwa Allah menghendaki hamba-Nya untuk membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya, baik bacaan yang suci yang bersumber dari Tuhan maupun yang bukan, baik menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis, sehingga mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, ayat suci al-Qur’an, majalah, koran, dan sebagainya.[19]
Manusia oleh Allah Swt. diberi tugas sebagai ‘abd lillah dan juga sebagai khalifah fi al-ardh. Kedua fungsi ini memiliki konsekuensi keilmuan yang dianugerahkan Allah kepada manusia, sekaligus sebagai persyaratan mutlak bagi kesempurnaan pelaksanaan kedua tugas tersebut. Ilmu, baik yang kasbiy (acquired knowledge) maupun yang ladunniy (abadi, perennial), tidak dapat dicapai tanpa terlebih dahulu melakukan qira’at – bacaan dalam arti yang luas. Dengan demikian, dalam pandangan Islam, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Ini tercermin dari kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan Al-Quran pada surat Al-Baqarah (2) 31 dan 32.[20]
Kaitannya dengan teknologi, Islam mengajak kita menengok sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam raya. Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar 750 ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya, dan yang memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkan alam ini. Secara tegas dan berulang-ulang Al-Quran menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan Allah untuk manusia Q.S. al-Jatsiyah [45]: 13).[21]
Islam, sebagai agama penyempurna dan paripurna bagi kemanusiaan, sangat mendorong dan mementingkan umatnya untuk mempelajari, mengamati, memahami dan merenungkan segala kejadian di alam semesta. Dengan kata lain Islam sangat mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berbeda dengan pandangan dunia Barat yang melandasi pengembangan ipteknya hanya untuk kepentingan duniawi dan sekular, maka Islam mementingkan pengembangan dan penguasaan iptek untuk menjadi sarana ibadah-pengabdian Muslim kepada Allah Swt. dan mengembang amanat khalifatullah fi al-ardh (wakil/mandataris Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada kemanusiaan dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ’Alamin). Ada lebih dari 800 ayat dalam Al-Qur’an yang mementingkan proses perenungan, pemikiran dan pengamatan terhadap berbagai gejala alam, untuk ditafakuri dan menjadi bahan dzikir (ingat) kepada Allah. Yang paling terkenal adalah ayat, misalnya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imron [3] : 190-191)
Bagi umat Islam, kedua-duanya adalah merupakan ayat-ayat (atau tanda-tanda/sinyal) Ke-Maha-Kuasa-an dan Keagungan Allah Swt. Ayat tanziliyah/naqliyah (yang diturunkan atau transmitted knowledge), seperti kitab-kitab suci dan ajaran para Rasulullah (Taurat, Zabur, Injil dan Al Qur’an), maupun ayat-ayat kauniyah (fenomena, prinsip-prinsip dan hukum alam). Keduanya bila dibaca, dipelajari, diamati dan direnungkan, melalui mata, telinga dan hati (qalbu + akal) akan semakin mempertebal pengetahuan, pengenalan, keyakinan dan keimanan kita kepada Allah Swt., Tuhan Yang Maha Kuasa, Wujud yang wajib, Sumber segala sesuatu dan segala eksistensi. Jadi agama dan ilmu pengetahuan, dalam Islam tidak terlepas satu sama lain. Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua sisi koin dari satu mata uang koin yang sama. Keduanya saling membutuhkan, saling menjelaskan dan saling memperkuat secara sinergis, holistik dan integratif.[22]
Bila ada pemahaman atau tafsiran ajaran agama Islam yang menentang fakta-fakta ilmiah, maka kemungkinan yang salah adalah pemahaman dan tafsiran terhadap ajaran agama tersebut. Bila ada ’ilmu pengetahuan’ yang menentang prinsip-prinsip pokok ajaran agama Islam maka yang salah adalah tafsiran filosofis atau paradigma materialisme-sekular yang berada di balik wajah ilmu pengetahuan modern tersebut.
Karena alam semesta –yang dipelajari melalui ilmu pengetahuan, dan ayat-ayat suci Tuhan (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Saw. – yang dipelajari melalui agama, adalah sama-sama ayat-ayat (tanda-tanda dan perwujudan/tajaliyat) Allah Swt., maka tidak mungkin satu sama lain saling bertentangan dan bertolak belakang, karena keduanya berasal dari satu Sumber yang Sama, Allah Yang Maha Pencipta dan Pemelihara seluruh Alam Semesta.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, umat Islam hukumnya wajib mempelajari iptek. Sebab, tugasnya sebagai ‘abd dan khalifatullah sekaligus, tidak akan ditunaikan dengan baik dan sempurna tanpa penguasaan terhadap iptek tersebut. Sebagaimana kaidah-kaidah fikih yang menyatakan bahwa, pekerjaan wajib yang tidak sempurna tanpa adanya sesuatu, maka sesuatu itu statusnya menjadi wajib.
Pentingnya Menguasai Iptek
Hampir menjadi pengetahuan umum (common sense) bahwa dasar dari peradaban modern adalah ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Iptek merupakan dasar dan pondasi yang menjadi penyangga bangunan peradaban modern barat sekarang ini. Masa depan suatu bangsa akan banyak ditentukan oleh tingkat penguasaan bangsa itu terhadap iptek. Suatu masyarakat atau bangsa tidak akan memiliki keunggulan dan kemampuan daya saing yang tinggi, bila ia tidak mengambil dan mengembangkan iptek. Bisa dimengerti bila setiap bangsa di muka bumi sekarang ini, berlomba-lomba serta bersaing secara ketat dalam penguasaan dan pengembangan iptek.
Diakui bahwa iptek, di satu sisi telah memberikan “berkah” dan anugerah yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia. Namun di sisi lain, iptek telah mendatangkan “petaka” yang pada gilirannya mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Kemajuan dalam bidang iptek telah menimbulkan perubahan sangat cepat dalam kehidupan umat manusia. Perubahan ini, selain sangat cepat memiliki daya jangkau yang amat luas. Hampir tidak ada segi-segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh perubahan. Perubahan ini pada kenyataannya telah menimbulkan pergeseran nilai nilai dalam kehidupan umat manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan.
Osman Bakar dalam hal ini mengatakan:
“Apa pun halangan dan bahaya sains dan teknologi modern, khususnya jika dipandang dari sudut pandang Islam, tidak diragukan bahwa kaum Muslimin harus mempelajari dan menguasainya. Kaum Muslimin harus memperoleh pengetahuan ilmiah dan teknologi hingga dapat berdiri sendiri dan sangat kompetitif dan bahkan kalau bisa hingga mencapai tampuk kepemimpinan dunia. Islam harus menjadi daya dorong utama untuk merealisasikan tujuan ini. Ini artinya pengejaran kemajuan ilmiah dan teknologi oleh Muslimin harus dilakukan dalam kerangka filsafat sains dan teknologi Islam yang ditegakkan di atas sistem kepercayaan Islam serta sistem etika dan moral yang terwujud dalam syariah.[23]
Allah Swt. pun menegaskan dalam banyak ayat-Nya mengenai keutamaan orang-orang yang berilmu, di antara ayat-ayat itu adalah sebagai berikut:
“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?’ Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar [39] : 9).
“Allah berikan al-Hikmah (ilmu pengetahuan, hukum, filsafat dan kearifan) kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-Hikmah itu, benar-benar ia telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (berdzikir) dari firman-firman Allah.” (QS. Al-Baqoroh [2] : 269).
“… Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Mujaadilah [58] :11)
Rasulullah SAW pun memerintahkan para orang tua agar mendidik anak-anaknya dengan sebaik mungkin. “Didiklah anak-anakmu, karena mereka itu diciptakan buat menghadapi zaman yang sama sekali lain dari zamanmu kini.” (Al-Hadits Nabi Saw.); “Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap Muslimin, Sesungguhnya Allah mencintai para penuntut ilmu.” (Al-Hadits Nabi Saw.); dan hadis-hadis Nabi Saw. yang senada lainnya.
Dari uraian-uraian di atas, diketahui begitu tingginya apresiasi ajaran Islam terhadap pengembangan iptek. Hal ini disebabkan bahwa kebenaran iptek menurut Islam ditentukan oleh kemanfaatan yang terkandung di dalamnya. Iptek akan bermanfaat apabila (1) mendekatkan pada kebenaran Allah dan bukan menjauhkannya; (2) dapat membantu umat merealisasikan tujuan-tujuannya (yang baik); (3) dapat memberikan pedoman bagi sesama; dan (4) dapat menyelesaikan persoalan umat. Dalam konsep Islam sesuatu hal dapat dikatakan mengandung kebenaran apabila ia mengandung manfaat dalam arti luas.
Dengan melihat uraian-uraian mengenai kenyataan umat Islam yang memprihatinkan dalam penguasaannya akan iptek dewasa ini di satu sisi, dan pandangan ajaran Islam yang justru menyanjungnya, serta kenyataan historis umat Islam masa klasik di sisi lain, hendaknya membuka mata kita untuk segera bangkit dari kejumudannya dan meraih kembali “hikmah” yang direbut oleh orang-orang non-Muslim itu. Oleh karena itu, negara-negara Muslim –terutama negara Indonesia– hendaknya semakin serius untuk mengatasi kertinggalannya dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendorong dilakukannya penelitian-penelitian dalam bidang iptek. Jika tidak, “abad ke-15 Hijriah yang disebut sebagai abad kebangkitan umat Islam” tinggal hanya slogan belaka.
DAFTAR PUSTAKA
Aminullah, Syahrul, “Urgensi Meningkatkan Anggaran IPTEK”, file:///C:/Documents%20and%20Settings/Admin/My%20Documents/URGENSI%20MENINGKATKAN%20IPTEK.htm, akses 1 April 2008
Amir, Sulfikar, “Sains, Islam, dan Revolusi Ilmiah”, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&mode=print&id=153, akses 25 March 2008
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Bakar, Osman, Tauhid dan Sains: Esei-esei tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Penerj. Yuliani Liputo, Cet.II, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Thoha Putra, 1989.
Ghozali, Bob Syahrial, “Islam, Sains Dan Ketauhidan”, http://empiris-homepage.blogspot.com/2007/10/islam-sains-dan-ketauhidan-1.html, Akses 25 Maret 2008
Hoodboy, Pervez, Islam and Science: Religiuos Orthodox and the Battle for Rationality, Malaysia: Abdul Majeed & Co., 1992.
Lestari, Dewanti, “Masihkah IPTEK Tersungkur di 2008?”, file:///C:/Documents%20and%20Settings/Admin/My%20Documents/%C2%BB%20Masihkah%20Iptek%20Tersungkur%20di%202008.htm, akses 1 April 2008
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Cet.IV, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000.
Muhaimin, “Redefinisi Islamisasi Pengetahuan: Upaya Menjajaki Model-model Pengembangannya”, dalam Mudjia Rahardjo (Ed.), Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Pengetahuan, Malang: Cendekia Paramulya, 2002.
Munawar-Rahman, Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jakarta: Mizan, 2006.
Samantho, Ahmad Y, “IPTEK dan Peradaban Islam,” http://ahmadsamantho.wordpress.com/2007/09/18/170/, akses 3 April 2008
Shihab, M. Quraish, “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992.
_____, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudlu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996.
Tibi, Bassam, Krisis Peradaban Islam Modern: Sebuah Kultur Praindustri dalam Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Penerj. Yudian W. Asmin dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994.
Watt, W. Montmogery, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, Penerj. Hendro Prasetyo, Jakarta: Gramdia Pustaka Utama, 1995.
Yamin, Moh., “Peringkat Pendidikan Turun dari 58 ke 62”, http://epajak.org/blog/peringkat-pendidikan-turun-dari-58-ke-62-232/, akses 1 April 2008
UMAT ISLAM DAN IPTEK: Sketsa Realitas Umat Islam
URAIAN
Disusun untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester Genap
pada Mata Kuliah Teknologi Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Ki Supriyoko, S.D.U., M.Pd.
Oleh:
MAFTUH, S.Pd.I
NIM. 07223784
MINAT AKIDAH AKHLAK (A)
KONSENTRASI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2008
[1] Bassam Tibi, Krisis Peradaban Islam Modern: Sebuah Kultur Praindustri dalam Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Penerj. Yudian W. Asmin dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994)
[2] Pervez Hoodboy, Islam and Science: Religiuos Orthodox and the Battle for Rationality, (Malaysia: Abdul Majeed & Co., 1992), hal. 12, sebagaimana dikutip Muhaimin, “Redefinisi Islamisasi Pengetahuan: Upaya Menjajaki Model-model Pengembangannya”, dalam Mudjia Rahardjo (Ed.), Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Pengetahuan, (Malang: Cendekia Paramulya, 2002), hal. 221
[3] Pada masa keemaan Islam dikatakan bahwa: “Kaum Muslim klasik, pramodern, menyadari benar keunggulan mereka dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi atas banga-bangsa lain.” Lihat Budhy Munawar-Rahman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, (Jakarta: Mizan, 2006), hal. 3359; Lihat juga pengakuan jujur atas peradaban Islam klasik yang gemilang dan sumbangannya kepada Eropa-Barat oleh seorang orientalis konservatif, W. Montmogery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, Penerj. Hendro Prasetyo, (Jakarta: Gramdia Pustaka Utama, 1995)
[4]Bob Syahrial Ghozali, “Islam, Sains Dan Ketauhidan”, http://empiris-homepage.blogspot.com/2007/10/islam-sains-dan-ketauhidan-1.html, Akses 25 Maret 2008
[5] Ibid.; Bandingkan juga, Mohammad Nasir Mokhtar, Islam dan Sains, yang mencatat bahwa penulis-penulis Muslim “hanya” menyumbangkan 46 tulisan dari 4.168 di bidang Fisika, 53 dari 5.050 di bidang Matematika, dan 128 dari 5.375 tulisan di bidang Kimia pada tahun 1989.
[6]Sulfikar Amir, “Sains, Islam, dan Revolusi Ilmiah”, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&mode=print&id=153, akses 25 March 2008
[7] Ibid.
[8] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. ix
[9] Moh. Yamin, “Peringkat Pendidikan Turun dari 58 ke 62”, http://epajak.org/blog/peringkat-pendidikan-turun-dari-58-ke-62-232/, akses 1 April 2008
[10]Dewanti Lestari, “Masihkah IPTEK Tersungkur di 2008?”, file:///C:/Documents%20and%20Settings/Admin/My%20Documents/%C2%BB%20Masihkah%20Iptek%20Tersungkur%20di%202008.htm, akses 1 April 2008
[11]Syahrul Aminullah, “Urgensi Meningkatkan Anggaran IPTEK”, file:///C:/Documents%20and%20Settings/Admin/My%20Documents/URGENSI%20MENINGKATKAN%20IPTEK.htm, akses 1 April 2008
[12] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Cet.IV, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), hal. 132
[13] Budhy Munawar-Rahman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 667
[14] Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Esei-esei tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Penerj. Yuliani Liputo, Cet.II, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), hal. 239-240
[15] Ibid.
[16] Arti ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Lihat, Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Thoha Putra, 1989), hal. 1079
[17] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudlu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 432
[18] M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 168
[19] Ibid.
[20] Dan dia (Allah) mengajarkan kepada Adam, nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!" Mereka menjawab, "Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 14
[21] Dan dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. Ibid., hal. 816
[22]Ahmad Y Samantho, “IPTEK dan Peradaban Islam,” http://ahmadsamantho.wordpress.com/2007/09/18/170/, akses 3 April 2008
[23]Osman Bakar, Tauhid dan Sains, hal. 250-251
No comments:
Post a Comment