TAFSIR AHKAM:
Upaya Menafsirkan Al-Qur’an Berperspektif Hukum
Oleh: Maftuh
A. Pendahuluan
Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai hudan li al-nas, petunjuk bagi umat manusia. Akan tetapi petunjuk al-Qur’an tersebut tidaklah dapat ditangkap maknanya bila tanpa adanya penafsiran. Itulah sebabnya sejak al-Qur’an diwahyukan hingga dewasa ini gerakan penafsiran yang dilakukan oleh para ulama tak henti-hentinya. Hal ini terbukti dengan banyaknya karya-karya para ulama yang dipersembahkan guna menyingkap dan menguak rahasia-rahasia yangterkandung di dalamnya dengan menggunakan metode dan sudut pandang yang berlainan.
Sejarah penafsiran al-Qur’an adalah sejarah Islam itu sendiri. Artinya perjalanan sejarah tafsir al-Qur’an sudah sama tuanya dengan sejarah perjalanan Islam sebagai agama, sehingga antara keduanya menjadi identik tak terpisah.
Aktivitas penafsiran sudah barang tentu dimulai semenjak nabi Muhammad Saw yang menyampaikan risalah Tuhan yang datang dalam bentuk al-Qur’an. Sebagai pembawa risalah, nabi Muhammad harus faham dan mengerti terlebih dahulu atas pesan wahyu yang harus disampaikan kepada umatnya. Ketika sasaran wahyu, yaitu umat, menghadapi kesulitan tertentu dalam memahami wahyu maka mereka akan menanyakan langsung isi pesannya kepada nabi sebagai penyampai wahyu. Pada saat itu penafsiran dilakukan oleh Rasul dengan cara menjelaskan langsung beberapa makna ayat kepada para sahabat seperti menjelaskan lafal yang mujmal, mentakhsis lafal yang ‘am, menjelaskan yang musykil, dan sebagainya. Dengan demikian, tugas penafsiran menjadi bagian integral dari tugas risalah.
Tulisan ini akan coba mendiskusikan mengenai tafsir ahkam, yaitu suatu jenis tafsir yang bercorak fiqh atau bercorak hukum. Namun sebelum lebih jauh membahasnya, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian tafsir itu sendiri.
B. Pengertian Tafsir
Kata “tafsir” berasal dari bahasa Arab fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman dan perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti al-idlah wa tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan.
Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan timbangan (wazan) kata taf’il, diambil dari kata al-fasr yang berarti al-bayan (penjelasan) dan al-kasyf yang berarti membuka atau menyingkap; dan dapat pula diambil dari kata al-tafsarah, yaitu istilah yang digunakan untuk suatu alat yang biasa digunakan oleh dokter untuk mengetahui penyakit.
Selanjutnya, pengertian tafsir seperti dikemukakan para pakar al-Qur’an tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, akan tetapi esensinya sama. Al-Jurjani, misalnya, mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun sebab nuzul-nya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas.
Sementara itu Imam az-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Selanjutnya, Abu Hayan, sebagaimanan dikutip al-Suyuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal al-Qur’an disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (al-Qur’an) yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw., dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.
Dari definisi-definisi di atas dapat ditemukan tiga ciri utama tafsir. Pertama,dilihat dari segi objek pembahasannya adalah kitabullah (al-Qur’an) yang di dalamnya terkandung firman Allah Swt. yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad Saw. melalui malaikat Jibril. Kedua, dilihat dari segi tujuannya, adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan al-Qur’an sehingga dijumpai hikmah, hukum, ketetapan, dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Ketiga, dilihat dari segi sifat dan kedudukannya adalah hasil penalaran, kajian, dan ijtihad para mufassir yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya, sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.
Dengan demikian, secara singkat dapat diambil suatu pengertian bahwa tafsir adalah usaha manusia dalam memahami al-Qur’an.
C. Kandungan Hukum dalam Al-Qur’an
Perlu dikemukakan terlebih dahulu yang dimaksud dengan istilah “fiqh” dan “hukum” itu sendiri.
1. Pengertian Fiqh
Kata “fiqh” secara etimologis berarti “paham yang mendalam”. Kata ini di dalam al-Qur’an sebanyak 20 ayat; 19 di antaranya berarti bentuk tertentu dari kedalaman paham dan kedalaman ilmu yang menyebabkan dapat diambil manfaat darinya.
Sedangkan secara terminologis, fiqh diartikan sebagai:
العلم بالأحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية
“Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafshili”.
Dari definisi tersebut, sebagaimana dijelaskan Amir Syarifuddin, fiqh diibaratkan dengan ilmu sebab fiqh merupakan semacam ilmu pengetahuan. Memang fiqh besifat dzhan, sedangkan ilmu tidak bersifat dzhan. namun dzhan dalam fiqh ini kuat sehingga ia juga dekat kepada ilmu.
Sedangkan kata “hukum” (jamak: ahkam) menerangkan bahwa hal-hal yang berada di luar apa yang dimaksud dengan kata “hukum”, seperti zat, tidaklah termasuk ke dalam pengertian fiqh. Disebut dalam bentuk jamaknya “ahkam” dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa fiqh itu ilmu tentang seperangkat aturan yang disebut hukum.
Penggunaan istilah “syar’iyyah” atau “syari’ah” dalam definisi di atas menjelaskan bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang syar’i, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata ini sekaligus menjelaskan bahwa sesuatu yang bersifat ‘aqli seperti ketentuan bahwa 2x2= 4 atau bersifat hissi seperti ketentuan bahwa api itu panas, bukanlah lapangan fiqh.
Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi di atas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak-tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan atau ‘aqidah tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam artian ini. umpamanya ketentuan bahwa Allah itu bersifat Esa dan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat.
Penggunaan kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan, penganalisaan dan penentuan ketetapan tentang hukum. karenanya bila bukan bentuk hasil suatu penggalian – seperti mengetahui apa-apa yang secara lahir dan jelas dikatakan Allah – tidak disebut fiqh. Fiqh itu hasil penemuan mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh nash.
Kata “tafshili” mengandung maksud bahwa dalil-dalil yang digunakan seorang faqih atau mujtahid dalam penggalian dan penemuannya. Karena itu ilmu yang diperoleh orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk dalam pengertian fiqh.
2. Pengertian Hukum
Sementara istilah “hukum” (jamak: ahkam) itu sendiri ada yang mengartikan:
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين إقتضاء أو تخييرا أو وضعا
“Tuntutan Allah ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhshah, atau ‘azimah”.
Dalam definisi tersebut ditegaskan bahwa hukum (menurut ajaran Islam) adalah kehendak Allah, untuk mengatur perbuatan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya. Hukum yang merupakan khitab Allah tersebut bagi umat Islam tertuang dalam al-Qur’an dengan klasifikasi hukum sebanyak 228 ayat.
Abdul Wahab Khallaf, sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, dalam mendefinisikan hukum mengganti kalimat خطاب الله تعالى (tuntutan Allah ta’ala) dalam definisi di atas dengan خطاب الشرع (tuntutan syar’i), dengan tujuan agar hukum itu bukan saja ditentukan Allah, melainkan juga ditentukan Rasulullah melalui Sunnahnya dan melalui ijma’ para ulama.
Akan tetapi, mayoritas ahli ushul fiqh menyatakan bahwa kalimat “tuntutan Allah ta’ala” tersebut maksudnya adalah al-Qur’an. Dalam al-Qur’an itu mencakup Sunnah dan juga sekaligus ijma’.
Dari definisi di atas, akhirnya para ulama menetapkan bahwa hukum harus bersumber dari syara’. Apabila hukum itu bukan bersumber dari syara’, maka tidak dinamakan hukum. Dari pengertian inilah, mayoritas ulama ushul akhirnya sepakat dengan menyatakan bahwa sumber hukum yang sebenarnya adalah al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas.
Sedangkan kata-kata “perbuatan mukallaf”, menurut para ahli ushul, selanjutnya dikatakan bahwa yang dibebani hukum itu hanya orang mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal sehat. Sikap dan tingkah laku orang-orang seperti inilah yang dibebani hukum. Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, orang yang berbuat dalam keadaan terpaksa, dan orang yang lupa, tidak dikenai pembebanan hukum.
Selanjutnya para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan hukum. Menurut ulama fiqh, hukm adalah “akibat” yang ditimbulkan oleh khitab (tuntutan) syar’i berupa wujub, mandub, hurmah, karahah, dan ibahah. Perbuatan yang dituntut itu, menurut mereka, disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah (boleh).
Akan tetapi, ulama ushul fiqh mengatakan yang disebut hukm adalah tuntutan syar’i itu sendiri, yaitu dalil al-Qur’an dan atau Sunnah. Misalnya Allah berfirman:
أقيموا الصلآة وآتوا الزكاة
“Dirikanlah shalat dan tunaikan zakat”
Teks di atas, menurut ahli ushul fiqh, disebut ijab; akibat yang ditimbulkan dalil ini disebut wujub; dan perbuatan yang dituntut disebut wajib. Akan tetapi, ulama fiqh tidak membedakan dalil dengan akibat yang ditimbulkan dalil, karena itu mereka sebut dengan wujub, dan perbuatan itu sendiri mereka sebut wajib.
3. Bagian-bagian Hukum dalam Al-Qur’an
Menurut Amir Syarifuddin, kandungan al-Qur’an yang berisi hukum-hukum ternyata hanya sebagian kecil saja, yaitu yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat dan ketentuan yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah Swt. maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya.
Secara garis besar, hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga macam:
Pertama, hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt. mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum i’tiqadiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau “Ushuluddin”.
Kedua, hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
Ketiga, hukum-hukum yang menyangkut tindak-tanduk manusia dan tingkah laku lahiriahnya dalam hubungan dengan Allah Swt., dalam hubungan dengan sesama manusia, dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”.
Selanjutnya, Abdul Wahab Khallaf, seperti dikutip Muin Umar dkk., membagi hukum amaliyah menjadi dua bagian, yaitu:
a. Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah, dan ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan antara manusia dan Allah Swt.
b. Hukum-hukum mu’amalah, seperti akad, pembelanjaan, hukuman, jinayat, dan lain-lain selain ibadah, yaitu yang mengatur hubungan manusia dengan manusia baik perorangan maupun kelompok. Inilah yang disebut hukum mu’amalah, yang dalam hukum modern bercabang-cabang sebagai berikut:
1) Hukum badan pribadi, tentang manusia, sejak adanya dan kemudian ketika bergaul sebagai suami istri. Di dalam al-Qur’an terdapat sekitar 70 ayat (akhwalusy akhabiyah)
2) Hukum perdata, yaitu hukum mu’amalah antara perseorangan dengan perseorangan dan juga masyarakat, seperti jual-beli, sewa-menyewa, gadai dan lain-lainnya yang menyangkut harta kekayaan. Ayat-ayat tentang ini sekitar 70 ayat (ahkamul madaniyah)
3) Hukum pidana, sekitar 30 ayat (ahkamul jinayah)
4) Hukum acara, yaitu yang bersangkut paut dengan pengadilan kesaksian dan sumpah, sekitar 13 ayat (al-ahkamul murafa’at)
5) Hukum perundang-undangan, yaitu yang berhubungan dengan hukum dan pokok-pokoknya. Yang dimaksudkan dengan ini ialah membatasi hubungan antara hakim dengan terdakwa, hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat. Ayat tentang ini sekitar 10 ayat (al-ahkam dusturiyah)
6) Hukum ketatanegaraan, yaitu hubungan antara negara-negara Islam dengan negara bukan Islam, tata cara pergaulan dengan selain muslim di dalam negara Islam. Semuanya baik ketika perang maupun damai sekitar 25 ayat (al-ahkamud dauliyah)
7) Hukum tentang ekonomi dan keuangan, yaitu hak orang miskin pada harta orang kaya, sumber air, bank, juga hubungan antara fakir dan orang-orang kaya, antara negara dengan perorangan. Ayat tentang ini sekitar 10 ayat (al-ahkamul iqtishadiyah wal maliyah).
D. Contoh Implementasi Tafsir Ahkam: al-Qurthubi
Salah satu dari sekian banyak tafsir yang ada adalah tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi. Oleh para ahli, tafsir al-Qurthubi ini dimasukkan dalam kategori tafsir corak hukum (fiqhi), sehingga sering juga disebut sebagai tafsir ahkam. Karena dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum.
Sebagai contoh dapat dilihat ketika ia menafsirkan surat al-Fatihah. Al-Qurthubi mendiskusikan persoalan-persoalan fiqh, terutama yang berkaitan dengan kedudukan basmalah ketika dibaca dalam shalat, juga persoalan bacaan fatihah makmun ketika imam membacanya jahr.
Contoh lain di mana al-Qurthubi membicarakan panjang lebar mengenai persoalan-persoalan fiqh dapat ditemukan ketika ia membahas ayat QS Al-Baqarah: 43
•
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'”. (QS Al-Baqarah [2]: 43)
Di antara diskusinya dalam menafsirkan ayat tersebut ia membicarakan tentang status anak kecil yang menjadi imam. Di antara tokoh-tokoh yang mengatakan tidak boleh adalah al-Sauri, Malik dan Ashab al-Ra’y. Dalam masalah ini al-Qurthubi berbeda pendapat dengan madzhab yang dianutnya, yakni Maliki, dengan mengatakan: “Anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik.”
Begitu pula ketika ia menafsrikan QS Al-Baqarah (2): 185
••
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”. (QS Al-Baqarah [2]: 185)
Di dalamnya al-Qurthubi mendiskusikan mengenai shalat ‘Iedul Fithri yang dilaksanakan pada hari kedua. Ia berpendapat tetap boleh dilaksanakan, berbeda dengan pendapat Malik sebagai imam madzhabnya yang tak membolehkan.
Demikian pula ketika ia menafsirkan QS Al-Baqarah (2): 187
•
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu”. (QS Al-Baqarah [2]: 187)
Ia mendiskusikan persoalan makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut tidak berkewajiban mengganti puasanya, berbeda dengan pendapat Imam Malik, sebagai madzhab yang dianutnya.
Dari keterangan-keterangan di atas jelaslah bahwa tafsir al-Qurthubi banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum, yang kemudian sarjana memasukkannya ke dalam kategori jajaran tafsir yang bercorak hukum.
Kendati al-Qurthubi menampilkan semua ayat dan selalu membawa kepada diskusi-diskusi fiqh, tidak berarti ia menganggap semua ayat al-Qur’an adalah ayat hukum. Karena sejak awal ia memang sudah berniat akan menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an dengan lebih menekankan kepada pembahasan-pembahasan hukum. Namun bila dalam sebuah ayat tidak menyangkut persoalan hukum tertentu, ia tetap akan menguraikannya secara mendetil.
E. Kritik Terhadap Model Tafsir Ahkam
Persoalan lain yang perlu dicermati adalah adanya sejumlah keberatan dari berbagai pihak mengenai keberadaan tafsir corak hukum. Bila al-Qur’an ini selalu dipandang sebagai kitab suci yang berisi ketentuan-ketentuan perundang-undangan maka akan melahirkan suatu pemisahan yang mekanis antara ayat-ayat yang berisi hukum dan yang tidak. Ayat-ayat hukum selalu didekati secara atomistis dan harfiah, yang pada gilirannya akan timbul sejumlah kebingungan dalam melihat sebuah proses tahapan ajaran al-Qur’an. Keadaan ini menyebabkan timbulnya konsep-konsep nasikh-mansukh, am-khas dan dikotomi-dikotomi lainnya. Contoh dari keadaan ini umpamanya ketika ahli hukum menafsirkan ayat 282 surat al-Baqarah:
•
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” (QS al-Baqarah [2]: 282)
Ayat ini oleh kalangan ahli hukum dijadikan dasar hukum persaksian serta diterapkan secara ketat, tanpa mau menengok gagasan lain al-Qur’an seperti keadilan dan persamaan manusia, serta pemahaman seperti itu telah keluar konteks kesejarahannya.
Akhirnya, pendekatan fiqhiyah yang bersifat atomistis dan harfiah dalam kenyataannya telah menimbulkan kesulitan besar bila dihubungkan dengan doktrin bahwa al-Qur’an sebagai petunjuk dan pengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
F. Penutup
Dari uraian-uraian di atas dapatlah dipahami bahwa, al-Qur’an sebagai sumber hukum akan selalu menarik perhatian para ulama fiqh untuk menafsirkannya dengan pendekatan fiqhiyah. Dengan pendekatan seperti ini akan lahir status dari suatu persoalan, apakah wajib, sunah, haram, makruh atau mubah (boleh). Dari berperspektif inilah kemudian lahir tafsir-tafsir al-Qur’an yang kemudin dikenal dengan tafsir ahkam.
Namun, model pendekatan seperti itu bukannya sepi dari kritik. Hal ini – menurut para pengkritik – dikarenakan para ahli hukum terlalu bersifat atomistis dan harfiah, sehingga sering mengaburkan program besar al-Qur’an sebagai petunjuk dan pengatur seluruh aspek kehidupan ini. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar, Indal, “Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wal Mubayyin Lima Tadammanah min al-Sunnah wa Ayil Furqan Karya al-Qurthubi”, dalam Muhammmad Yusuf dkk., Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras, 2004.
Al-Jurzani, Ahmad, Kitab al-Ta’rifat, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1965.
Al-Qatthan, Manna’ Khalil, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, ttp.: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, tt.
Al-Suyuthi, Syaikh a-Islam Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz I, Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1951.
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, ttp.: Dar al-Kutub, tt.
Al-Zarqani, Muhammad al-Adzim, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz II, Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby wa Syurakauh, tt.
Amal, Taufik Adnan dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1989.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Cet.II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Khallaf, Syekh Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Rineka Cipta, 1995.
Mahfudz, Mahsun, “Sejarah Perkembangan Pemikiran Al-Qur’an (Memotret Wajah al-Qur’an sejak Masa Nabi hingga Kontemporer)”, dalam Jurnal Citra Ilmu, Edisi 5, Vol.III, April, 2007: 19-32
Mansur, Muhammad, “Ma’ani al-Qur’an Karya al-Farra”, dalam Muhammmad Yusuf dkk., Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras, 2004.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Cet.IX, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Shihab, H.M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Cet.II, Bandung: Mizan, 1992.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jil.I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Umar, Muin dkk., Ushul Fiqh I, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1985.
Wehr, Hans, A Dictionary of Written Arabic, Beirut: Librairie Du Liban & London: Mc Donald & Evand Ltd., 1974.
1 comment:
ini pertamax saya kesini makasih kunjungannya ke blog saya, blognya bagus ya...jauh bgt ma punya saya (hiks)
o ya saya juga punya blogspot: jemurankering.blogspot.com
keep bloging!! :D
Post a Comment