UMAT ISLAM DAN IPTEK: Sketsa Realitas Umat Islam
Oleh: Maftuh, S.Pd.I, MSI
Berbicara mengenai penguasaan teknologi di kalangan umat Islam, kita dihadapkan akan kenyataan yang tidak membanggakan, bahkan justru sebaliknya, sangat memprihatinkan. Sebab, dikatakan bahwa tidak satu pun dari negara-negara yang mayoritas umat Islam dapat disebut sebagai negara maju dengan perkembangan ilmu dan teknologinya.
Dalam keadaan yang demikian ini, mustahil bagi dunia Islam untuk bersaing dengan dunia Barat yang telah jauh berada dalam kultur industri modern. Hingga kini dunia Islam hanya menghasilkan seorang saja peraih hadiah Nobel di bidang sains, Prof. Abdussalam, itu pun berasal dari aliran Ahmadiyah yang dianggap sebagai aliran sesat, bahkan tidak diakui sebagai bagian umat Islam oleh lembaga-lembaga resmi umat Islam. Namun dari aliran mayoritas, seperti Syi’ah dan Sunni, belum tampak seorang saintis yang menonjol dalam kaliber dunia.
Kenyataan itu juga diakui oleh Prof. Abdussalam, seorang ilmuwan Muslim dari Pakistan ini, dengan keprihatinannya yang mendalam, mengatakan: “Tidak diragukan lagi bahwa seluruh peradaban di planet ini, sains menempati posisi yang paling lemah dan benar-benar memprihatinkan di dunia Islam. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa kelemahan ini berbahaya karena kelangsungan hidup suatu masyarakat pada abad ini secara langsung tergantung pada penguasaannya atas sains dan teknologi.” (Pervez Hoodboy, 1992: 12)
Demikian halnya pula dalam tradisi penelitian yang berkembang di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Disebutkan bahwa, banyak sarjana Muslim penyandang gelar Ph.D dari universitas terkenal Barat yang menjauh dari kegiatan penelitian dan memilih menjadi birokrat. Nature, jurnal ilmiah sangat bergengsi di dunia, mengatakan bahwa prestasi ilmiah negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) sangat jauh terbelakang. Science Citation Index dan Social Sciences Citation Index mencatat jumlah rata-rata publikasi ilmiah 47 negara-negara OKI yang disurvei hanya 13 persatu juta penduduk, sementara rata-rata dunia untuk indeks ini ialah 137. Lebih parah lagi, dari 28 negara dengan produktivitas artikel ilmiah terendah, separuhnya adalah anggota OKI. Gabungan 20 negara Arab hanya menyumbang 0,55 persen dari total karya ilmiah dunia, sementara Israel 0,89 persen, Jerman 7,1 persen, Inggris 7,9 persen, Jepang 8,2 persen dan Amerika 30,8 persen.
Dari data-data tersebut, jelaslah bahwa umat Islam sangat jauh tertinggal dari negara-negara yang selama ini dikenal sebagai negara yang umatnya non-Muslim. Dari titik ini, kita tentu berasumsi bahwa ada yang salah dalam pandangan (mindset) umat Islam ini, sehingga sedemikian jauh ketertinggalannya. Bukankah terdapat evidensi sejarah bahwa umat Islam pernah mengalami masa keemasan dalam penguasaan sains dan teknologi di saat Eropa masih dalam kegelapannya? Namun, mengapa sains dalam peradaban Islam itu tidak berhasil dipertahankan kontinyuitasnya, bahkan gagal mencapai titik peradaban, dan malah justru mengalami penurunan?
Dalam konteks umat Islam di Indonesia, keadaannya tidak lebih baik dengan negara-negara muslim lainnya – untuk tidak mengatakan justru lebih buruk lagi. Terbukti bahwa dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada Kamis (29/11/07) menunjukkan, peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Yang jelas, education development index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965) (Moh. Yamin, 2008).
Paten Indonesia yang terdaftar di kantor paten AS (negara yang merupakan pasar internasional yang cukup besar) hingga 2006 hanya 43 buah, padahal Filipina saja mencapai 145 paten, Thailand 164 paten, Malaysia 694, Singapura 1.840 paten. Padahal, lanjut dia, negara-negara tetangga ini pada awal 1980-an, sama-sama tak memiliki paten terdaftar di AS, namun dalam perjalanan waktu, pertumbuhan inovasi mereka tampak jauh lebih pesat.
Ilustrasi di atas semakin mempertegas keadaan iptek di negara Indonesia yang dihuni oleh mayoritas umat Islam ini. Rendahnya iptek ini ternyata juga berkorelasi positif dengan anggaran yang dialokasikan untuk pengembangannya. Tercatat bahwa, rasio anggaran iptek terhadap PDB sejak tahun 2000 mengalami penurunan dari 0,052 persen menjadi 0,039% pada tahun 2002, sedangkan organisasi dunia UNESCO, merekomendasikan rasio anggaran iptek yang memadai adalah sebesar 2%. Padahal jika suatu negara ingin maju anggaran litbang seharusnya diprioritaskan seperti juga anggaran pendidikan. Ironis memang.
Kewajiban Menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Menyadari kelemahan-kelemahan umat Islam dalam penguasaan iptek di atas, maka sudah saatnya untuk melakukan sesuatu dalam memecahkan persoalan tersebut. Salah satu langkah yang paling penting adalah menumbuhkan dan mengembangkan kembali etos keilmuan pada umat Islam. Oleh karena itu, sasaran utama dalam upaya penumbuhan etos keilmuan ini, yaitu pandangan hidup seorang Muslim. Dan pandangan hidup seorang Muslim atau umat Islam, tentu tidak dapat lain kecuali berdasarkan ajaran Islam. Dengan lain perkataan, yang amat diperlukan sebetulnya adalah sebuah etos yang mampu melihat hubungan organik antara ilmu dan iman, atau iman dan ilmu (Budhy Munawar-Rahman, 2006: 667)
Dalam Islam, posisi iptek sangat dijunjung tinggi. Hal ini sangat jelas terlihat akan wahyu yang pertama kali turun, yakni Surat al-‘Alaq ayat 1-5 yang dimulai dengan kata iqra’. Kata ini oleh para ulama mengandung arti yang sangat kaya. Sebagaimana misalnya Quraish Shihab, ahli tafsir kenamaan dari Indonesia, menerangkan bahwa iqra' terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak.
Lebih lanjut, Quraish Shihab menjelaskan bahwa qara’a – yang merupakan akar kata dari ‘iqra ini – terulang sebanyak tiga kali dalam al-Qur’an, masing-masing pada Surat al-Isra’ ayat 14 dan Surat al-‘Alaq ayat 1 dan 3. Sedangkan kata jadian dari akar kata tersebut, dalam berbagai bentuknya, terulang sebanyak 17 kali selain kata al-Qur’an yang terulang sebanyak 70 kali (M. Quraish Shihab, 1996: 432)
Dengan demikian, perulangan kata-kata qara’a dan berbagai kata jadiannya itu, tentu saja bukannya tanpa maksud apa pun. Perulangan ini mengindikasikan bahwa Allah menghendaki hamba-Nya untuk membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya, baik bacaan yang suci yang bersumber dari Tuhan maupun yang bukan, baik menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis, sehingga mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, ayat suci al-Qur’an, majalah, koran, dan sebagainya.
Kaitannya dengan teknologi, Islam mengajak kita menengok sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam raya. Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar 750 ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya, dan yang memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkan alam ini. Secara tegas dan berulang-ulang Al-Quran menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan Allah untuk manusia (Q.S. al-Jatsiyah [45]: 13).
Berbeda dengan pandangan dunia Barat yang melandasi pengembangan ipteknya hanya untuk kepentingan duniawi dan sekular, maka Islam mementingkan pengembangan dan penguasaan iptek untuk menjadi sarana ibadah-pengabdian Muslim kepada Allah Swt. dan mengembang amanat khalifatullah fi al-ardh (wakil/mandataris Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada kemanusiaan dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ’Alamin). Ada lebih dari 800 ayat dalam Al-Qur’an yang mementingkan proses perenungan, pemikiran dan pengamatan terhadap berbagai gejala alam, untuk ditafakuri dan menjadi bahan dzikir (ingat) kepada Allah. Yang paling terkenal adalah Q.S. Ali Imron ayat 190-191
Bagi umat Islam, kedua-duanya adalah merupakan ayat-ayat (atau tanda-tanda/sinyal) Ke-Maha-Kuasa-an dan Keagungan Allah Swt. Ayat tanziliyah/naqliyah (yang diturunkan atau transmitted knowledge), seperti kitab-kitab suci dan ajaran para Rasulullah (Taurat, Zabur, Injil dan Al Qur’an), maupun ayat-ayat kauniyah (fenomena, prinsip-prinsip dan hukum alam). Keduanya bila dibaca, dipelajari, diamati dan direnungkan, melalui mata, telinga dan hati (qalbu + akal) akan semakin mempertebal pengetahuan, pengenalan, keyakinan dan keimanan kita kepada Allah Swt., Tuhan Yang Maha Kuasa, Wujud yang wajib, Sumber segala sesuatu dan segala eksistensi. Jadi agama dan ilmu pengetahuan, dalam Islam tidak terlepas satu sama lain. Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua sisi koin dari satu mata uang koin yang sama. Keduanya saling membutuhkan, saling menjelaskan dan saling memperkuat secara sinergis, holistik dan integratif.
Bila ada pemahaman atau tafsiran ajaran agama Islam yang menentang fakta-fakta ilmiah, maka kemungkinan yang salah adalah pemahaman dan tafsiran terhadap ajaran agama tersebut. Bila ada ’ilmu pengetahuan’ yang menentang prinsip-prinsip pokok ajaran agama Islam maka yang salah adalah tafsiran filosofis atau paradigma materialisme-sekular yang berada di balik wajah ilmu pengetahuan modern tersebut.
Karena alam semesta –yang dipelajari melalui ilmu pengetahuan, dan ayat-ayat suci Tuhan (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Saw. – yang dipelajari melalui agama, adalah sama-sama ayat-ayat (tanda-tanda dan perwujudan/tajaliyat) Allah Swt., maka tidak mungkin satu sama lain saling bertentangan dan bertolak belakang, karena keduanya berasal dari satu Sumber yang Sama, Allah Yang Maha Pencipta dan Pemelihara seluruh Alam Semesta.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, umat Islam hukumnya wajib mempelajari iptek. Sebab, tugasnya sebagai ‘abd dan khalifatullah sekaligus, tidak akan ditunaikan dengan baik dan sempurna tanpa penguasaan terhadap iptek tersebut. Sebagaimana kaidah-kaidah fikih yang menyatakan bahwa, pekerjaan wajib yang tidak sempurna tanpa adanya sesuatu, maka sesuatu itu statusnya menjadi wajib (Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwal wajib).
Rasulullah SAW pun memerintahkan para orang tua agar mendidik anak-anaknya dengan sebaik mungkin. “Didiklah anak-anakmu, karena mereka itu diciptakan buat menghadapi zaman yang sama sekali lain dari zamanmu kini.” (Al-Hadits Nabi Saw.); “Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap Muslimin, Sesungguhnya Allah mencintai para penuntut ilmu.” (Al-Hadits Nabi Saw.); dan hadis-hadis Nabi Saw. yang senada lainnya.
Dari uraian-uraian di atas, diketahui begitu tingginya apresiasi ajaran Islam terhadap pengembangan iptek. Hal ini disebabkan bahwa kebenaran iptek menurut Islam ditentukan oleh kemanfaatan yang terkandung di dalamnya. Iptek akan bermanfaat apabila (1) mendekatkan pada kebenaran Allah dan bukan menjauhkannya; (2) dapat membantu umat merealisasikan tujuan-tujuannya (yang baik); (3) dapat memberikan pedoman bagi sesama; dan (4) dapat menyelesaikan persoalan umat. Dalam konsep Islam sesuatu hal dapat dikatakan mengandung kebenaran apabila ia mengandung manfaat dalam arti luas.
Dengan melihat uraian-uraian mengenai kenyataan umat Islam yang memprihatinkan dalam penguasaannya akan iptek dewasa ini di satu sisi, dan pandangan ajaran Islam yang justru menyanjungnya, serta kenyataan historis umat Islam masa klasik di sisi lain, hendaknya membuka mata kita untuk segera bangkit dari kejumudannya dan meraih kembali “hikmah” yang direbut oleh orang-orang non-Muslim itu. Oleh karena itu, negara-negara Muslim –terutama negara Indonesia– hendaknya semakin serius untuk mengatasi kertinggalannya dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendorong dilakukannya penelitian-penelitian dalam bidang iptek. Jika tidak, “abad ke-15 Hijriah yang disebut sebagai abad kebangkitan umat Islam” tinggal hanya slogan belaka.
Thursday, September 3, 2009
umat Islam dan Iptek
Wednesday, September 2, 2009
pesantren
QUO VADIS PESANTREN?
Oleh : Maftuh, S.Pd.I, M.S.I
Pesantren, jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous (“asli” budaya Indonesia). Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke-13. Kemudian, dalam perkembangan sejarahnya, peran kebudayaan yang menonjol dan berpengaruh yang dimainkannya hingga kini adalah konsentrasi dan kepeloporannya dalam mempertahankan dan melestarikan ajaran-ajaran Islam ala Sunni (ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah) serta mengembangkan kajian-kajian keagamaan melalui khazanah berbagai Kitab Kuning (al-kutub al-qadimah), yang sering disebut kalangan pesantren sendiri sebagai “memperdalam agama” (tafaqquh fi ad-din).
Pada masa penjajahan kolonial Belanda, pesantren berkembang dengan mengambil sikap non-kooperatif dengan pemerintahan yang mereka pandang sebagai kafir itu. Sikap non-kooperatif dan “perlawanan diam” (silent opposition) para ulama pesantren itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi pemerintah kolonial serta memberi kesempatan kepada rakyat yang belum memperoleh pendidikan. Oleh karenanya, mengapa sekarang umumnya kita temui pesantren berlokasi di daerah-daerah pedesaan.
Berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional lainnya, yang sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam kebanyakan telah lenyap tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum, maka pesantren relatif masih mampu bertahan dengan kekhasannya. Ini dapat kita bandingkan dengan eksistensi surau di Minangkabau, misalnya, yang memiliki karakteristik yang sama dengan pesantren. Pesantren berada dalam kultur Jawa yang involutif, sehingga mampu menyerap kebudayaan luar melalui suatu proses interiosasi, dengan tanpa kehilangan identitasnya membuat ia dengan canggih mampu bertahan terhadap segala perubahan dari luar yang dapat mengancam eksistensinya. Sebaliknya, surau berada di tengah kultur yang lebih terbuka, sehingga unsur-unsur baru yang datang dari luar dengan segera menimbulkan perubahan-perubahan besar pula dalam dunia surau.
Kini, pesantren kembali dihadapkan pada perubahan yang cepat sebagai konsekuensi era informasi di abad ke-21 yang melahirkan berbagi persoalan krusial dan dilematis. Di satu sisi, pesantren dituntut untuk tetap mempertahankan perannya sebagai penerjemah dan penyebar ajaran-ajaran Islam dalam masyarakat. Karena itu, pesantren berkepentingan menyeru masyarakat dengan berlandaskan kepada komitmen amar ma’ruf dan nahy munkar. Di sisi lain, untuk mempertahankan jati dirinya sebagai sebuah institusi pendidikan Islam tradisional, pesantren harus melakukan seleksi ketat dalam pergaulannya dengan dunia luar atau masyarakat, yang tidak jarang malah menawarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang telah digariskan pesantren. Akibatnya, terjadi semacam tarik menarik kekuatan antara keduanya. Pemilihan pada salah satu sisi berarti akan menghilangkan keutuhan misinya, terlebih lagi bila meninggalkan kedua sisi itu secara bersama-sama.
Barangkali dengan kondisi dilematis inilah pesantren kemudian dinilai sebagai sudah tak mampu lagi memberikan kontribusi nyata bagi masyarakatnya untuk melakukan transformasi sosial. Bahkan yang terjadi adalah kebalikannya: telah tercipta sebuah jurang yang lebar antara masyarakat dengan pesantren. Pesantren seolah-olah telah membentuk sebuah “komunitas eksklusif” yang tidak mau lagi bersentuhan dengan masyarakat di sekitarnya.
Dari paparan di atas terlihat bahwa, pesantren agaknya mesti segera melakukan koreksi diri atas sikap dan pola pikir dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Hanya dengan demikianlah, diharapkan perubahan “nasib” pesantren yang afirmatif dengan kekinian akan lebih cepat kehadirannya. Upaya mencari solusi pada tataran ini begitu menjadi mendesak dan memiliki arti penting.
Transformasi Pesantren: Beberapan Catatan Kritis
Dihadapan perubahan-perubahan sosial yang semakin gencar dan dahyat dewasa itu, pesantren agaknya telah terlanjur memandang Kitab kuning sebagai khazanah intelektual dan referensi yang paling absah dan sakral. Ia telah menjadi bagian yang inheren dalan pesantren. Menurut masyarakat pesantren, Kitab Kuning merupakan formulasi final dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Sayangnya, Kitab Kuning ini umumnya adalah kitab-kitab yang memfokuskan diri pada kajian fiqih, nahwu-sharaf, dan tasawuf, sehingga kajian Kitab Kuning yang dikembangkan di pesantren lebih berorientasi pada fiqh-minded (aspek legal-formal) ketimbang aspek substansial (ruh atau spiritnya).
Bagi masyarakat pesantren, ilmu dipandang sebagai sesuatu yang suci, sacred. Tidak boleh spekulatif, akal-akalan. Puncak dari pandangan ini, ilmu dianggap wahyu tersendiri, atau paling tidak, ia hadir sebagai penjelas wahyu. Seperti halnya wahyu yang hanya “dimonopoli” oleh Nabi, ilmu juga hanya bisa dikuasai oleh ilmuwan, ulama. Dengan pandangan keilmuan yang sedemikian ketat, tidak dinamis, maka pengajaran dan pendidikan yang berlangsung akhirnya selalu merupakan pengulang-ulangan sebatas “kata-kata” ulama.
Dari sini, barangkali, perlu segera dilakukan pergeseran paradigma orientasi keilmuannya. Kitab Kuning yang selama ini diajarkan seyogyanya di samping tidak mengabaikan aspek pendalaman dan pengayaan materi, tetapi juga mesti diarahkan pada aspek pengembangan teori, metodologi dan wawasan. Sebab, semua yang disebutkan terakhir ini sesungguhnya justru menjadi unsur-unsur keilmuan yang mendasar. Dengan teori dan metodologi yang memadai, maka kekayaan materi yang dimilikinya dapat dikembangkan dan diekspresikan secara kontekstual.
Demikian pula metode mengajar yang cenderung monoton dan menggunakan pendekatan doktrinal, mesti ditransformasikan dan diperkaya dengan berbagai metode instruksional modern agar lebih membuka eksplorasi cakrawala peserta didiknya (baca: santri). Selama kurun waktu yang panjang, pesantren telah memperkenalkan dan menerapkan beberapa metode: weton atau bandongan, sorogan dan hafalan.
Metode weton atau bandongan adalah cara menyampaikan pelajaran di mana seorang kyai, ustadz atau guru membacakan atau menerangkan, sedangkan santri mendengarkan, memberi makna dan menerima. Dalam metode sorogan sebaliknya, guru mendengarkan sambil memberi catatan, komentar atau bimbingan bila diperlukan. Metode-metode ini sama-sama memiliki ciri penekanan yang sangat kuat pada pemahaman tekstual atau literal. Dalam rangka memudahkan pemahaman ini, diciptakanlah “simbol-simbol” bahasa seperti utawi, iki, iku dan sebagainya yang nota bene sangat “lokalistik” (Jawa).
Terlebih metode hafalan yang dianggap oleh sebagian kalangan sebagai trade mark (cap) pesantren, kiranya perlu diubah dengan penekanan pada metode pemahaman dan diskusi. Ini tidak berarti bahwa metode hafalan tidak ada manfaatnya sama sekali. Ia sangat berguna ketika diterapkan bagi keilmuan yang mengutamakan argumen naqli dan masih relevan untuk diberikan kepada santri yang berada di tingkat dasar. Akan tetapi, ketika konsep keilmuan lebih menekankan rasionalitas seperti yang menjadi dasar sistem pendidikan modern, maka metode hafalan kurang dipandang penting. Sebaliknya, yang penting adalah kreativitas dan kemampuan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki.
Apek lain yang perlu dilihat dalam pesantren ini adalah aspek yang bersinggungan dengan manajemen pendidikan pesantren. Hal ini sangat penting dilakukan karena disadari bahwa keberhasilan pada suatu lembaga pendidikan sangat dipengaruhi oleh penataan manajerialnya. Tepatlah adagium terkenal yang menyatakan, al-haqq bi la an-nizham yaghlibuh al-bathil bi an-nizham (maksudnya: sebuah kebenaran tanpa manajerial yang baik, akan dikalahkan oleh kebatilan dengan manajemennya yang tertata rapi).
Penerapan manajemen yang konvensional misalnya kyai masih merupakan figur sentral dan satu-satu penentu kebijakan pesantren, rekruitmen ustadz, pengembangan akademik, reward system, bobot kerja yang tidak berdasarkan aturan yang baku, tidak adanya usaha kategorisasi dan klasifikasi secara kualitatif pada saat penerimaan santri baru, dan penyelenggaraan pendidikan yang seringkali tanpa perencanaan, merupakan persoalan-persoalan yang senantiasa menggelayuti dunia pesantren.
Dalam hubungannya dengan dunia luar, pesantren yang selama ini dicitrakan sebagai lembaga pendidikan yang bersifat isolasionis, eksklusif, konservatif, atau istilah-istilah lainnya yang bernada pejoratif, hendaknya sudah saatnya anggapan tersebut dipatahkan –atau setidaknya diminimalisir- dengan “melongok” keluar untuk melihat perkembangan di luar dirinya. Keharusan ini meniscayakan kebutuhan pola kerja sama simbiosis-mutualistis antara pesantren dengan institusi-institusi yang dianggap mampu memberikan kontribusi dan menciptakan nuansa transformatoris. Pola kerja sama ini dapat juga dilakukan dalam usaha pengembangan sumber daya pesantren agar dapat memberdayakan diri dalam menghadapi tantangan kontemporer yang semakin kompleks ini.
Agenda-agenda itu akan dapat terlaksana asalkan pihak internal pesantren mau berbenah diri dalam menyongsong perkembangan zaman yang tak terelakkan ini. Ikhtiar ke arah itu akan semakin potensial berhasil apabila dibarengi dengan adanya keinginan-keinginan dan upaya-upaya dari para pemuka-pemuka pesantren –dalam hal ini kyai-kyainya- itu sendiri. Dengan demikian, bukanlah suatu hal yang mustahil dan utopis bila pesantren kelak dapat melahirkan produk “ulama” yang memiliki keluasan ilmu dan dapat menjawab tuntutan lajunya perubahan sosial. Wa Allah a’lam