QUO VADIS PESANTREN?
Oleh : Maftuh, S.Pd.I, M.S.I
Pesantren, jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous (“asli” budaya Indonesia). Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke-13. Kemudian, dalam perkembangan sejarahnya, peran kebudayaan yang menonjol dan berpengaruh yang dimainkannya hingga kini adalah konsentrasi dan kepeloporannya dalam mempertahankan dan melestarikan ajaran-ajaran Islam ala Sunni (ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah) serta mengembangkan kajian-kajian keagamaan melalui khazanah berbagai Kitab Kuning (al-kutub al-qadimah), yang sering disebut kalangan pesantren sendiri sebagai “memperdalam agama” (tafaqquh fi ad-din).
Pada masa penjajahan kolonial Belanda, pesantren berkembang dengan mengambil sikap non-kooperatif dengan pemerintahan yang mereka pandang sebagai kafir itu. Sikap non-kooperatif dan “perlawanan diam” (silent opposition) para ulama pesantren itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi pemerintah kolonial serta memberi kesempatan kepada rakyat yang belum memperoleh pendidikan. Oleh karenanya, mengapa sekarang umumnya kita temui pesantren berlokasi di daerah-daerah pedesaan.
Berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional lainnya, yang sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam kebanyakan telah lenyap tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum, maka pesantren relatif masih mampu bertahan dengan kekhasannya. Ini dapat kita bandingkan dengan eksistensi surau di Minangkabau, misalnya, yang memiliki karakteristik yang sama dengan pesantren. Pesantren berada dalam kultur Jawa yang involutif, sehingga mampu menyerap kebudayaan luar melalui suatu proses interiosasi, dengan tanpa kehilangan identitasnya membuat ia dengan canggih mampu bertahan terhadap segala perubahan dari luar yang dapat mengancam eksistensinya. Sebaliknya, surau berada di tengah kultur yang lebih terbuka, sehingga unsur-unsur baru yang datang dari luar dengan segera menimbulkan perubahan-perubahan besar pula dalam dunia surau.
Kini, pesantren kembali dihadapkan pada perubahan yang cepat sebagai konsekuensi era informasi di abad ke-21 yang melahirkan berbagi persoalan krusial dan dilematis. Di satu sisi, pesantren dituntut untuk tetap mempertahankan perannya sebagai penerjemah dan penyebar ajaran-ajaran Islam dalam masyarakat. Karena itu, pesantren berkepentingan menyeru masyarakat dengan berlandaskan kepada komitmen amar ma’ruf dan nahy munkar. Di sisi lain, untuk mempertahankan jati dirinya sebagai sebuah institusi pendidikan Islam tradisional, pesantren harus melakukan seleksi ketat dalam pergaulannya dengan dunia luar atau masyarakat, yang tidak jarang malah menawarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang telah digariskan pesantren. Akibatnya, terjadi semacam tarik menarik kekuatan antara keduanya. Pemilihan pada salah satu sisi berarti akan menghilangkan keutuhan misinya, terlebih lagi bila meninggalkan kedua sisi itu secara bersama-sama.
Barangkali dengan kondisi dilematis inilah pesantren kemudian dinilai sebagai sudah tak mampu lagi memberikan kontribusi nyata bagi masyarakatnya untuk melakukan transformasi sosial. Bahkan yang terjadi adalah kebalikannya: telah tercipta sebuah jurang yang lebar antara masyarakat dengan pesantren. Pesantren seolah-olah telah membentuk sebuah “komunitas eksklusif” yang tidak mau lagi bersentuhan dengan masyarakat di sekitarnya.
Dari paparan di atas terlihat bahwa, pesantren agaknya mesti segera melakukan koreksi diri atas sikap dan pola pikir dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Hanya dengan demikianlah, diharapkan perubahan “nasib” pesantren yang afirmatif dengan kekinian akan lebih cepat kehadirannya. Upaya mencari solusi pada tataran ini begitu menjadi mendesak dan memiliki arti penting.
Transformasi Pesantren: Beberapan Catatan Kritis
Dihadapan perubahan-perubahan sosial yang semakin gencar dan dahyat dewasa itu, pesantren agaknya telah terlanjur memandang Kitab kuning sebagai khazanah intelektual dan referensi yang paling absah dan sakral. Ia telah menjadi bagian yang inheren dalan pesantren. Menurut masyarakat pesantren, Kitab Kuning merupakan formulasi final dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Sayangnya, Kitab Kuning ini umumnya adalah kitab-kitab yang memfokuskan diri pada kajian fiqih, nahwu-sharaf, dan tasawuf, sehingga kajian Kitab Kuning yang dikembangkan di pesantren lebih berorientasi pada fiqh-minded (aspek legal-formal) ketimbang aspek substansial (ruh atau spiritnya).
Bagi masyarakat pesantren, ilmu dipandang sebagai sesuatu yang suci, sacred. Tidak boleh spekulatif, akal-akalan. Puncak dari pandangan ini, ilmu dianggap wahyu tersendiri, atau paling tidak, ia hadir sebagai penjelas wahyu. Seperti halnya wahyu yang hanya “dimonopoli” oleh Nabi, ilmu juga hanya bisa dikuasai oleh ilmuwan, ulama. Dengan pandangan keilmuan yang sedemikian ketat, tidak dinamis, maka pengajaran dan pendidikan yang berlangsung akhirnya selalu merupakan pengulang-ulangan sebatas “kata-kata” ulama.
Dari sini, barangkali, perlu segera dilakukan pergeseran paradigma orientasi keilmuannya. Kitab Kuning yang selama ini diajarkan seyogyanya di samping tidak mengabaikan aspek pendalaman dan pengayaan materi, tetapi juga mesti diarahkan pada aspek pengembangan teori, metodologi dan wawasan. Sebab, semua yang disebutkan terakhir ini sesungguhnya justru menjadi unsur-unsur keilmuan yang mendasar. Dengan teori dan metodologi yang memadai, maka kekayaan materi yang dimilikinya dapat dikembangkan dan diekspresikan secara kontekstual.
Demikian pula metode mengajar yang cenderung monoton dan menggunakan pendekatan doktrinal, mesti ditransformasikan dan diperkaya dengan berbagai metode instruksional modern agar lebih membuka eksplorasi cakrawala peserta didiknya (baca: santri). Selama kurun waktu yang panjang, pesantren telah memperkenalkan dan menerapkan beberapa metode: weton atau bandongan, sorogan dan hafalan.
Metode weton atau bandongan adalah cara menyampaikan pelajaran di mana seorang kyai, ustadz atau guru membacakan atau menerangkan, sedangkan santri mendengarkan, memberi makna dan menerima. Dalam metode sorogan sebaliknya, guru mendengarkan sambil memberi catatan, komentar atau bimbingan bila diperlukan. Metode-metode ini sama-sama memiliki ciri penekanan yang sangat kuat pada pemahaman tekstual atau literal. Dalam rangka memudahkan pemahaman ini, diciptakanlah “simbol-simbol” bahasa seperti utawi, iki, iku dan sebagainya yang nota bene sangat “lokalistik” (Jawa).
Terlebih metode hafalan yang dianggap oleh sebagian kalangan sebagai trade mark (cap) pesantren, kiranya perlu diubah dengan penekanan pada metode pemahaman dan diskusi. Ini tidak berarti bahwa metode hafalan tidak ada manfaatnya sama sekali. Ia sangat berguna ketika diterapkan bagi keilmuan yang mengutamakan argumen naqli dan masih relevan untuk diberikan kepada santri yang berada di tingkat dasar. Akan tetapi, ketika konsep keilmuan lebih menekankan rasionalitas seperti yang menjadi dasar sistem pendidikan modern, maka metode hafalan kurang dipandang penting. Sebaliknya, yang penting adalah kreativitas dan kemampuan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki.
Apek lain yang perlu dilihat dalam pesantren ini adalah aspek yang bersinggungan dengan manajemen pendidikan pesantren. Hal ini sangat penting dilakukan karena disadari bahwa keberhasilan pada suatu lembaga pendidikan sangat dipengaruhi oleh penataan manajerialnya. Tepatlah adagium terkenal yang menyatakan, al-haqq bi la an-nizham yaghlibuh al-bathil bi an-nizham (maksudnya: sebuah kebenaran tanpa manajerial yang baik, akan dikalahkan oleh kebatilan dengan manajemennya yang tertata rapi).
Penerapan manajemen yang konvensional misalnya kyai masih merupakan figur sentral dan satu-satu penentu kebijakan pesantren, rekruitmen ustadz, pengembangan akademik, reward system, bobot kerja yang tidak berdasarkan aturan yang baku, tidak adanya usaha kategorisasi dan klasifikasi secara kualitatif pada saat penerimaan santri baru, dan penyelenggaraan pendidikan yang seringkali tanpa perencanaan, merupakan persoalan-persoalan yang senantiasa menggelayuti dunia pesantren.
Dalam hubungannya dengan dunia luar, pesantren yang selama ini dicitrakan sebagai lembaga pendidikan yang bersifat isolasionis, eksklusif, konservatif, atau istilah-istilah lainnya yang bernada pejoratif, hendaknya sudah saatnya anggapan tersebut dipatahkan –atau setidaknya diminimalisir- dengan “melongok” keluar untuk melihat perkembangan di luar dirinya. Keharusan ini meniscayakan kebutuhan pola kerja sama simbiosis-mutualistis antara pesantren dengan institusi-institusi yang dianggap mampu memberikan kontribusi dan menciptakan nuansa transformatoris. Pola kerja sama ini dapat juga dilakukan dalam usaha pengembangan sumber daya pesantren agar dapat memberdayakan diri dalam menghadapi tantangan kontemporer yang semakin kompleks ini.
Agenda-agenda itu akan dapat terlaksana asalkan pihak internal pesantren mau berbenah diri dalam menyongsong perkembangan zaman yang tak terelakkan ini. Ikhtiar ke arah itu akan semakin potensial berhasil apabila dibarengi dengan adanya keinginan-keinginan dan upaya-upaya dari para pemuka-pemuka pesantren –dalam hal ini kyai-kyainya- itu sendiri. Dengan demikian, bukanlah suatu hal yang mustahil dan utopis bila pesantren kelak dapat melahirkan produk “ulama” yang memiliki keluasan ilmu dan dapat menjawab tuntutan lajunya perubahan sosial. Wa Allah a’lam
Wednesday, September 2, 2009
pesantren
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
kunjung balik sob, kalau boleh saranin ganti template aja karena readmorenya error, widget yang tidak penting dihapus, dan komentarnya diberi dibawah postingan, oke
Post a Comment