Thursday, September 3, 2009

umat Islam dan Iptek

UMAT ISLAM DAN IPTEK: Sketsa Realitas Umat Islam
Oleh: Maftuh, S.Pd.I, MSI

Berbicara mengenai penguasaan teknologi di kalangan umat Islam, kita dihadapkan akan kenyataan yang tidak membanggakan, bahkan justru sebaliknya, sangat memprihatinkan. Sebab, dikatakan bahwa tidak satu pun dari negara-negara yang mayoritas umat Islam dapat disebut sebagai negara maju dengan perkembangan ilmu dan teknologinya.
Dalam keadaan yang demikian ini, mustahil bagi dunia Islam untuk bersaing dengan dunia Barat yang telah jauh berada dalam kultur industri modern. Hingga kini dunia Islam hanya menghasilkan seorang saja peraih hadiah Nobel di bidang sains, Prof. Abdussalam, itu pun berasal dari aliran Ahmadiyah yang dianggap sebagai aliran sesat, bahkan tidak diakui sebagai bagian umat Islam oleh lembaga-lembaga resmi umat Islam. Namun dari aliran mayoritas, seperti Syi’ah dan Sunni, belum tampak seorang saintis yang menonjol dalam kaliber dunia.
Kenyataan itu juga diakui oleh Prof. Abdussalam, seorang ilmuwan Muslim dari Pakistan ini, dengan keprihatinannya yang mendalam, mengatakan: “Tidak diragukan lagi bahwa seluruh peradaban di planet ini, sains menempati posisi yang paling lemah dan benar-benar memprihatinkan di dunia Islam. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa kelemahan ini berbahaya karena kelangsungan hidup suatu masyarakat pada abad ini secara langsung tergantung pada penguasaannya atas sains dan teknologi.” (Pervez Hoodboy, 1992: 12)
Demikian halnya pula dalam tradisi penelitian yang berkembang di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Disebutkan bahwa, banyak sarjana Muslim penyandang gelar Ph.D dari universitas terkenal Barat yang menjauh dari kegiatan penelitian dan memilih menjadi birokrat. Nature, jurnal ilmiah sangat bergengsi di dunia, mengatakan bahwa prestasi ilmiah negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) sangat jauh terbelakang. Science Citation Index dan Social Sciences Citation Index mencatat jumlah rata-rata publikasi ilmiah 47 negara-negara OKI yang disurvei hanya 13 persatu juta penduduk, sementara rata-rata dunia untuk indeks ini ialah 137. Lebih parah lagi, dari 28 negara dengan produktivitas artikel ilmiah terendah, separuhnya adalah anggota OKI. Gabungan 20 negara Arab hanya menyumbang 0,55 persen dari total karya ilmiah dunia, sementara Israel 0,89 persen, Jerman 7,1 persen, Inggris 7,9 persen, Jepang 8,2 persen dan Amerika 30,8 persen.
Dari data-data tersebut, jelaslah bahwa umat Islam sangat jauh tertinggal dari negara-negara yang selama ini dikenal sebagai negara yang umatnya non-Muslim. Dari titik ini, kita tentu berasumsi bahwa ada yang salah dalam pandangan (mindset) umat Islam ini, sehingga sedemikian jauh ketertinggalannya. Bukankah terdapat evidensi sejarah bahwa umat Islam pernah mengalami masa keemasan dalam penguasaan sains dan teknologi di saat Eropa masih dalam kegelapannya? Namun, mengapa sains dalam peradaban Islam itu tidak berhasil dipertahankan kontinyuitasnya, bahkan gagal mencapai titik peradaban, dan malah justru mengalami penurunan?
Dalam konteks umat Islam di Indonesia, keadaannya tidak lebih baik dengan negara-negara muslim lainnya – untuk tidak mengatakan justru lebih buruk lagi. Terbukti bahwa dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada Kamis (29/11/07) menunjukkan, peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Yang jelas, education development index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965) (Moh. Yamin, 2008).
Paten Indonesia yang terdaftar di kantor paten AS (negara yang merupakan pasar internasional yang cukup besar) hingga 2006 hanya 43 buah, padahal Filipina saja mencapai 145 paten, Thailand 164 paten, Malaysia 694, Singapura 1.840 paten. Padahal, lanjut dia, negara-negara tetangga ini pada awal 1980-an, sama-sama tak memiliki paten terdaftar di AS, namun dalam perjalanan waktu, pertumbuhan inovasi mereka tampak jauh lebih pesat.
Ilustrasi di atas semakin mempertegas keadaan iptek di negara Indonesia yang dihuni oleh mayoritas umat Islam ini. Rendahnya iptek ini ternyata juga berkorelasi positif dengan anggaran yang dialokasikan untuk pengembangannya. Tercatat bahwa, rasio anggaran iptek terhadap PDB sejak tahun 2000 mengalami penurunan dari 0,052 persen menjadi 0,039% pada tahun 2002, sedangkan organisasi dunia UNESCO, merekomendasikan rasio anggaran iptek yang memadai adalah sebesar 2%. Padahal jika suatu negara ingin maju anggaran litbang seharusnya diprioritaskan seperti juga anggaran pendidikan. Ironis memang.
Kewajiban Menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Menyadari kelemahan-kelemahan umat Islam dalam penguasaan iptek di atas, maka sudah saatnya untuk melakukan sesuatu dalam memecahkan persoalan tersebut. Salah satu langkah yang paling penting adalah menumbuhkan dan mengembangkan kembali etos keilmuan pada umat Islam. Oleh karena itu, sasaran utama dalam upaya penumbuhan etos keilmuan ini, yaitu pandangan hidup seorang Muslim. Dan pandangan hidup seorang Muslim atau umat Islam, tentu tidak dapat lain kecuali berdasarkan ajaran Islam. Dengan lain perkataan, yang amat diperlukan sebetulnya adalah sebuah etos yang mampu melihat hubungan organik antara ilmu dan iman, atau iman dan ilmu (Budhy Munawar-Rahman, 2006: 667)
Dalam Islam, posisi iptek sangat dijunjung tinggi. Hal ini sangat jelas terlihat akan wahyu yang pertama kali turun, yakni Surat al-‘Alaq ayat 1-5 yang dimulai dengan kata iqra’. Kata ini oleh para ulama mengandung arti yang sangat kaya. Sebagaimana misalnya Quraish Shihab, ahli tafsir kenamaan dari Indonesia, menerangkan bahwa iqra' terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak.
Lebih lanjut, Quraish Shihab menjelaskan bahwa qara’a – yang merupakan akar kata dari ‘iqra ini – terulang sebanyak tiga kali dalam al-Qur’an, masing-masing pada Surat al-Isra’ ayat 14 dan Surat al-‘Alaq ayat 1 dan 3. Sedangkan kata jadian dari akar kata tersebut, dalam berbagai bentuknya, terulang sebanyak 17 kali selain kata al-Qur’an yang terulang sebanyak 70 kali (M. Quraish Shihab, 1996: 432)
Dengan demikian, perulangan kata-kata qara’a dan berbagai kata jadiannya itu, tentu saja bukannya tanpa maksud apa pun. Perulangan ini mengindikasikan bahwa Allah menghendaki hamba-Nya untuk membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya, baik bacaan yang suci yang bersumber dari Tuhan maupun yang bukan, baik menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis, sehingga mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, ayat suci al-Qur’an, majalah, koran, dan sebagainya.
Kaitannya dengan teknologi, Islam mengajak kita menengok sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam raya. Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar 750 ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya, dan yang memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkan alam ini. Secara tegas dan berulang-ulang Al-Quran menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan Allah untuk manusia (Q.S. al-Jatsiyah [45]: 13).
Berbeda dengan pandangan dunia Barat yang melandasi pengembangan ipteknya hanya untuk kepentingan duniawi dan sekular, maka Islam mementingkan pengembangan dan penguasaan iptek untuk menjadi sarana ibadah-pengabdian Muslim kepada Allah Swt. dan mengembang amanat khalifatullah fi al-ardh (wakil/mandataris Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada kemanusiaan dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ’Alamin). Ada lebih dari 800 ayat dalam Al-Qur’an yang mementingkan proses perenungan, pemikiran dan pengamatan terhadap berbagai gejala alam, untuk ditafakuri dan menjadi bahan dzikir (ingat) kepada Allah. Yang paling terkenal adalah Q.S. Ali Imron ayat 190-191
Bagi umat Islam, kedua-duanya adalah merupakan ayat-ayat (atau tanda-tanda/sinyal) Ke-Maha-Kuasa-an dan Keagungan Allah Swt. Ayat tanziliyah/naqliyah (yang diturunkan atau transmitted knowledge), seperti kitab-kitab suci dan ajaran para Rasulullah (Taurat, Zabur, Injil dan Al Qur’an), maupun ayat-ayat kauniyah (fenomena, prinsip-prinsip dan hukum alam). Keduanya bila dibaca, dipelajari, diamati dan direnungkan, melalui mata, telinga dan hati (qalbu + akal) akan semakin mempertebal pengetahuan, pengenalan, keyakinan dan keimanan kita kepada Allah Swt., Tuhan Yang Maha Kuasa, Wujud yang wajib, Sumber segala sesuatu dan segala eksistensi. Jadi agama dan ilmu pengetahuan, dalam Islam tidak terlepas satu sama lain. Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua sisi koin dari satu mata uang koin yang sama. Keduanya saling membutuhkan, saling menjelaskan dan saling memperkuat secara sinergis, holistik dan integratif.
Bila ada pemahaman atau tafsiran ajaran agama Islam yang menentang fakta-fakta ilmiah, maka kemungkinan yang salah adalah pemahaman dan tafsiran terhadap ajaran agama tersebut. Bila ada ’ilmu pengetahuan’ yang menentang prinsip-prinsip pokok ajaran agama Islam maka yang salah adalah tafsiran filosofis atau paradigma materialisme-sekular yang berada di balik wajah ilmu pengetahuan modern tersebut.
Karena alam semesta –yang dipelajari melalui ilmu pengetahuan, dan ayat-ayat suci Tuhan (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Saw. – yang dipelajari melalui agama, adalah sama-sama ayat-ayat (tanda-tanda dan perwujudan/tajaliyat) Allah Swt., maka tidak mungkin satu sama lain saling bertentangan dan bertolak belakang, karena keduanya berasal dari satu Sumber yang Sama, Allah Yang Maha Pencipta dan Pemelihara seluruh Alam Semesta.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, umat Islam hukumnya wajib mempelajari iptek. Sebab, tugasnya sebagai ‘abd dan khalifatullah sekaligus, tidak akan ditunaikan dengan baik dan sempurna tanpa penguasaan terhadap iptek tersebut. Sebagaimana kaidah-kaidah fikih yang menyatakan bahwa, pekerjaan wajib yang tidak sempurna tanpa adanya sesuatu, maka sesuatu itu statusnya menjadi wajib (Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwal wajib).
Rasulullah SAW pun memerintahkan para orang tua agar mendidik anak-anaknya dengan sebaik mungkin. “Didiklah anak-anakmu, karena mereka itu diciptakan buat menghadapi zaman yang sama sekali lain dari zamanmu kini.” (Al-Hadits Nabi Saw.); “Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap Muslimin, Sesungguhnya Allah mencintai para penuntut ilmu.” (Al-Hadits Nabi Saw.); dan hadis-hadis Nabi Saw. yang senada lainnya.
Dari uraian-uraian di atas, diketahui begitu tingginya apresiasi ajaran Islam terhadap pengembangan iptek. Hal ini disebabkan bahwa kebenaran iptek menurut Islam ditentukan oleh kemanfaatan yang terkandung di dalamnya. Iptek akan bermanfaat apabila (1) mendekatkan pada kebenaran Allah dan bukan menjauhkannya; (2) dapat membantu umat merealisasikan tujuan-tujuannya (yang baik); (3) dapat memberikan pedoman bagi sesama; dan (4) dapat menyelesaikan persoalan umat. Dalam konsep Islam sesuatu hal dapat dikatakan mengandung kebenaran apabila ia mengandung manfaat dalam arti luas.
Dengan melihat uraian-uraian mengenai kenyataan umat Islam yang memprihatinkan dalam penguasaannya akan iptek dewasa ini di satu sisi, dan pandangan ajaran Islam yang justru menyanjungnya, serta kenyataan historis umat Islam masa klasik di sisi lain, hendaknya membuka mata kita untuk segera bangkit dari kejumudannya dan meraih kembali “hikmah” yang direbut oleh orang-orang non-Muslim itu. Oleh karena itu, negara-negara Muslim –terutama negara Indonesia– hendaknya semakin serius untuk mengatasi kertinggalannya dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendorong dilakukannya penelitian-penelitian dalam bidang iptek. Jika tidak, “abad ke-15 Hijriah yang disebut sebagai abad kebangkitan umat Islam” tinggal hanya slogan belaka.











No comments: